Selasa, 31 Mei 2011

Novel 4 Dimensi - Dimensi 2 WAJAH-WAJAH 9

Sembilan
Jangan Mengatur Aku
       “Tidak. Aku akan berangkat sendiri langsung ke sana”, sahut Widar kepada Inspektur Hendro  di kantornya, “aku punya tugas menyanyi dulu sebentar lagi”, sambungnya.
       “Kalau begitu, sebaiknya kau bawa senjata. Kau diberi wewenang menembak jika ada yang berusaha melarikan diri”, ujar Inspektur Hendro sambil membuka laci mejanya dan menyerahkan sebuah pistol dames kepada gadis itu.
       “Terimakasih”, sahut Widar, dan dia mengambil pistol itu, lalu dimasukkan ke saku jaketnya.
       “Aku akan memasang orang juga di belakang gedung itu. Aku tidak mau gagal dua kali seperti yang terjadi tempo hari. Kali ini aku sudah mempelajari sekeliling gedung itu dengan cermat. Di setiap arah yang memungkinkan jalan untuk lolos, aku akan menempatkan orang-orangku”.
       Widar memperhatikan dengan seksama peta kasar yang dibuat Inspektur Hendro. Dia mengangguk-anggukan kepala melihat rencana pengepungan yang rapat itu.
       “Baiklah Inspektur, aku pergi dulu. Sampai bertemu lagi nanti”, kata Widar sambil melangkah pergi.
       “Jangan lupa waktunya”. Inspektur Hendro mengingatkan.
       “Oke”.
       Widar menghampiri VW-nya. Sejenak kemudian mobil itu telah meluncur keluar halaman kantor polisi, dan meluncur di keramaian kota menuju ke Night Club.
       Tidak seperti biasanya. Kali ini begitu selesai menyanyi, Widar tidak duduk-duduk santai dulu, tetapi langsung menuju keluar. Ketika mobilnya ke luar dari halaman Night Club, mobil sedan lain bergerak pula mengikutinya. Penumpangnya dua orang lelaki, yang seorang berwajah dingin tanpa ekspresi.
       “Apakah kita akan menyelesaikannya malam ini juga?”, tanya yang memegang kemudi.
       “Tidak”, sahut orang berwajah dingin singkat.
       “Tetapi kalau kesempatan itu ada?”.
       “Biar saja”.
       “Kenapa?”.
       “Upah yang kuterima terlalu kecil. Aku ingin dapat lebih banyak, tetapi aku tidak mau memeras kawanku. Jalan satu-satunya, aku harus mengeruk duit perempuan itu. Karena itu aku harus tahu tempat-tempat tinggalnya dulu”, sahut si wajah dingin.
       Pada suatu saat VW yang dikemudikan Widar membelok ke satu daerah elit. Widar meminggirkan mobilnya tidak jauh dari sebuah gedung besar yang berhalaman luas. Mobil itu berhenti persis di batas gedsung itu dengan gedung di sebelahnya. Dinding batas gedung itu tingginya sekitar dua meter, sehingga orang-orang yang berada di sebelah-menyebelah gedung tidak akan dapat melihat keadaan di gedung sebelahnya.
       Di pokok pekarangan gedung besar itu terdapat bak sampah besar yang bagian depannya sejajar dengan pagar halaman. Sementara bagian belakang bak sampah bertembok setinggi sama dengan tembok batas. Widar sengaja memparkir mobilnya di depan bak sampah, sehingga tidak terlihat dari gedung besar itu.
       Dalam pada itu mobil yang mengikutinya terus melewati mobil Widar, dan baru dipinggirkan di depan gedung paling ujung dekat ke persimpangan jalan yang jaraknya sekitar 50 meter dari mobil Widar.
       “Kenapa gadis itu berhenti di sana?”, tanya si pengemudi mobil yang membuntutinya, “dan dia tidak keluar dari mobilnya”.
       “Aku tidak tahu. Mungkin menunggu seseorang ke luar dari gedung besar itu”, sahut orang berwajah dingin.
       Baru saja orang itu menyelesaikan bicaranya, tiba-tiba tiga buah mobil patroli polisi dan sebuah jeep berhenti di depan gedung besar itu. Para polisi penumpangnya berloncatan turun. Sebagian memasuki halaman gedung besar. Beberapa orang berpencar memasuki halaman gedung sebelah-menyebelahnya.
       “Nah, aku mulai tahu.  Gadis itu tentu seorang informan polisi”, kata orang berwajah dingin.
       “Gila! Kalau begitu kita memang harus hati-hati”, umpat kawannya.
       “Itulah sebabnya aku tidak mau tergesa-gesa.Aku bisa mencapai reputasi seperti sekarang, karena aku tidak pernah bekerja tergesa-gesa. Aku selalu meyakinkan dulu kkuatan dan kelemahan sasaranku. Dari penemuan ini berarti, aku memerlukan beberapa orang kawan lagi yang punya kemampuan cukup tinggi”, kata si orang berwajah dingin.
       Sementara itu Inspektur Hendro yang memasuki gedung besar, mulai membagi tugas anak buahnya. Sebagian ke samping kiri, sebagian ke samping kanan, dan sebagian di depan gedung. Meskipun keadaan gedung itu tampak sunyi, namun para pengepungnya bergerak hati-hati. Mereka mengendap-endap di kegelapan, menuju ke arah tempat-tempat yang telah direncanakan dalam bagan kasar yang dibuat Inspektur Hendro.
       Sambil berjongkok di sisi pagar halaman bagian dalam, Inspektur Hendro melihat arlojinya dengan lampu senter kecil . Kemudian dia menjangkau megafon dari tangan anak buahnya yang juga berjongkok di sampingnya.  Sejenak dia menyapukan pandangan ke sekelilingnya, tidak ada gerakan lagi. Berarti orang-orangnya sudah menduduki tempat masing-masing sesuai rencana. Maka dia pun mengangkat pengeras suara itu ke mulutnya.
       “Halo Tuan Lim, di sini pihak kepolisian. Kami telah mengepung tempatmu. Keluarlah kau dan semua anak buahmu dengan tangan diangkat ke atas. Kami tunggu lima menit!”.
       Suara Inspektur Hendro berkumandang memecah kesunyian, cukup keras, sehingga pasti dapat didengar oleh orang di dalam gedung.
       “Sekali lagi. Kami tunggu lima menit Tuan Lim. Menyerahlah!”, kata Inspektur Hendro lagi melalui megafon.
       Suasana kembali sunyi. Inspektur Hendro melihat arlojinya lagi.Tidak ada gerakan apa-apa dari arah gedung. Walaupun begitu Inspektur Hendro menunggu dengan sabar sampai saat yang dijanjikannya. Setelah waktu lima menit lewat, dai mengangkat megafonnya lagi.
       “Tuan Lim! Rupanya Tuan dan anak buah Tuan tidak mengacuhkan perintah kami. Berarti kau telah berani melanggar hukum. Tetapi kami masih memberi kesempatan kepada kalian lima menit lagi. Kalau kalian masih tetap tidak mengacuhkan, kami akan memasuki gedungmu dengan kekerasan”.
       Inspektur Hendro menurunkan megafonnya. Sementara anak buahnya yang ditugaskan untuk memasuki gedung mulai bergerak maju merapatkan kepungannya dan menempati kedudukan di depan pintu-pintu, mepet di dinding sambil bersiap dengan senjata masing-masing.
       Dalam pada itu di bagian dalam gedung tampak berkumpul sekitar 15 orang lelaki. Satu diantaranya adalah orang bertubuh sedang, berkulit kuning dengan mata sipit. Dia tengah bicara mengatur orang-orangnya, dan tangannya menjinjing tas echolac besar. Dialah Tuan Lim.
       “Usahakan kalian dapat meloloskan diri. Tetapi kalau tidak bisa, menyerah saja. Nanti aku yang akan mengurus kalian. Jangan melawan dengan senjata, sebab hukuman kalian akan lebih berat. Kalau tertangkap, katakan, aku sedang tidak ada di rumah. Nah berangkatlah dengan berpencar. Aku akan pergi dengan si Ganda”, katanya.
       Tanpa perlu diulang lagi tiga belas anak buah Tuan Lim berpencar meninggalkan ruangan itu memasuki tempat pintu. Tuan Lim dan seorang lelaki bertubuh tinggi besar berkumis tebal menunggu sampai orang-orangnya lenyap di balik pintu. Kemudian dengan tergesa-gesa dia melangkah ke depan rak panjang dari sisi ke sisi ruangan yang dipenuhi dengan buku.
       Dia menarik sebuah buku cukup tebal di rak tengah, dan menjulurkan jari-jarinya ke dalam rak. Sejenak kemudian tanpa menimbulkan suara, rak di bagian tengah itu berputar. Tuan Lim dan Ganda cepat-cepat memasukinya, dan rak bersama dinding bagian itu tertutup kembali seolah tidak pernah terjadi pergantian, karena deretan buku pada rak tersebut persis sama dengan yang sebelumnya.
       Dalam pada itu waktu yang diberikan Inspektur Hendro telah berlalu pula. Maka dia pun mengangkat megafonnya dan berteriak.
       “Baiklah Tuan Lim. Karena kau tidak mengacuhkan perintah kami, kami pun tidak akan segan-segan lagi, katanya. Lalu pemberitahuan itu berubah menjadi perintah kepada seluruh anak buahnya: “Geledah! Dan tangkap semua orang yang ada di dalam!”.
       Bersamaan dengan itu terdengar suara-suara pintu didobrak  Para angota polisi berloncatan masuk dengan penuh kesiagaan. Gedung itu ternyata banyak kamarnya, sehingga menyulitkan penggeledahan. Dua-dua orang polisi membuka setiap pintu kamar yang dijumpai. Sementara salah seorang masuk memeriksa, yang seorang lagi berjaga di depan pintu sambil mengawasi keadaan.
       Ketika tidak menemukan yang dicarinya, kedua anggota polisi itu bergerak meninggalkan kamar tersebut. Baru beberapa langkah berlalu, mereka mendengar desiran di belakangnya. Mereka terkejut ketika seseorang keluar dari kamar yang baru diperiksanya berlari menuju keluar. Dengan sigap kedua anggota polisi itu mengejaranya sambil berteriak memberi peringatan. Akhirnya orang itu mengangkat tangan setelah tidak mungkin meloloskan diri. Salah seorang anggota polisi memutar tangannya ke belakang dan memasangkan borgol di pergelangannya.
       “Setan! Aku sudah memeriksa kamar itu dengan teliti, rupanya ada tempat persembunyian rahasia”. Maki anggota polisi yang tadi memeriksa ke dalam.
       Ternyata hampir semua kawan mereka juga mengalami kejadian yang sama. Di dalam gedung itu mereka berhasil meringkus 8 orang, dan yang lima orang berhasil lolos ke luar gedung. Tetapi mereka pun akhirnya dapat diringkus oleh para petugas yang memang bertugas mengepung di luar. Mereka yang berhasil lolos itu melakukan perlawanan tanpa senjata, sehingga terjadi perkelahian. Namun akhirnya mereka harus menyerah, karena para petugas patroli yang mengepung itu rata-rata memiliki kemampuan karate.
      Sementara penggeledahan berlangsung di dalam gedung, Widar tidak keluar dari mobilnya, tetapi matanya mengawasi keadaan sekeliling. Tiba-tiba dia terkejut ketika dari balik dinding tembok bak sampah muncul dua sosok tubuh. Yang satu tinggi besar dan yang satu lagi berbadan sedang. Kedua orang itu melangkah tenang menghampiri pagar besi halaman. Pemandangan ke arah gedung terhalang oleh beberapa poahon cemara  hias yang berjajar di belakang bak sampah itu.
       Laki-laki bertubuh sedang yang menjinjing tas echolac memegang apagar besi. Sejenak kemudian pagar itu terkuak, merupakan pintu kecil. Kedua orang ayang keluar dari pintu pagar itu terkejut ketika tiba-tiba pintu VW yang diparkir tidak jauh dari situ terbuka, dan sesosok tubuh perempuan keluar dari dalamnya. Mereka berdua serentak berlari. Tetapi Widar mengejarnya dengan loncatan panjang, dan kakinya menendang punggung orang bertubuh sedang itu, sehingga yang diserangnya terjerunuk ke depan dengan mulut mendengus kesakitan.
       Melihat itu orang yang bertubuh besar berbalik menyerang Widar. Terjadi benturan tangan karena Widar menangkis serangannya, sementara kakinya terayun menendang lambung lawan. Orang bertubuh tinggi besar itu menyeringai menahan sakit. Widar bergerak cepat. Dia memutar tubuhnya, dan sekali lagi kakinya menghantam perut lawan dengan telak.
       Perkelahian itu berlangsung cepat dan hampir tak bersuara kecuali dengusan-dengusan kesakitan. Widar melakukan serangan beruntun dengan kaki dan tangannya menghajar orang bertubuh tinggi besar itu tanpa memberi kesempatan terhadap lawannya. Sesungguhnyalah gadis itu memiliki kemampuan berkelahi yang tinggi, sehingga lawannya yang bertubuh tinggi besar tidak mampu mengimbanginya. Dalam tempo yang sangat singkat, tubuh lawan Wiodar terjajar menabrak pagar besi dengan keras, dan tubuhnya melorot jatuh tak bergerak lagi, pingsan.
       Saat itu Tuan Lim yang membawa echolac baru bangkit dari jatuhnya. Widar yang sudah menyelesaikan lawannya berpaling. Dengan satu loncatan panjang dia menerjang ke arah Tuan Lim yang baru saja mengeluarkan tangannya dari balik jaketnya dengan menggenggam sebuah pistol. Untunglah gadis itu cepat tanggap. Karena bertepatan dengan bergulingnya tubuh Widar, sebuah letusan terdengar, dan pelurunya berdesing di atas kepala si gadis.
       Sambil menjatuhkan diri tadi Widar mengayunkan kakinya menghantam pistol di tangan Tuan Lim. Suatu detakan terdengar, dan Tuan Lim mengaduh merasakan tangannya seolah dipukul martil. Pistolnya terlempar jatuh beberapa meter di trotoar.
       Begitu berhasil menendang senjata lawan, Widar melenting bangun dan sepasang tangannya bekerja beruntun menghantam leher dan wajah lawan. Terakhir sisi telapak tangannya menghajar pelipis Tuan Lim dengan keras, sehingga orang itu terbanting jatuh tak bergerak lagi.
       Suara tembakan yang keluar dari dari pistol Tuan Lim tadi mengejutkan dua anggota polisi yang bertugas mengawasi keadaan di dekat pintu halaman gedung. Dengan bersiaga penuh keduanya menghampiri arah suara tembakan. Mereka masih sempat melihat Widar menggocoh lawannya. Begitu mereka sampai, tubuh Tuan Lim sudah ambruk di trotoar.
       “Ringkus mereka, dan angkat ke mobil. Mereka mau melarikan diri”, kata Widar kepada dua anggota polisi yang menghampirinya.
       “Tapi dari mana? Kami mengawasi seluruh halaman gedung, dan tidak melihat seorang pun yang keluar ke arah sini”, tanya salah seorang anggota polisi itu.
       “Sudahlah. Seret saja mereka. Aku akan menemui Inspektur”, ujar Widar.
       “Baik Bu”, sahut mereka hampir serempak. Lalu masing-masing memborgol tangan kedua tubuh pingsan itu dan menyeretnya dinaikkan ke atas mobil.
       Widar memungut tas echolac yang tergeletak di trotoar. Sambil menjinjing tas itu dia melangkah ke arah munculnya kedua orang tadi. Ternyata di balik dinding bak sampah itu terdapat sebuah pintu ke dalam tanah. Dengan berani gadis itu langsung memasuki pintu tersebut dan menuruni undakannya.
       Dalam pada itu Inspektur hendro sudah berada di ruangan besar dalam gedung yang ada rak panjangnya bersama semua anak buahnya yang memasuki gedung. Dihadapan mereka tampak 8 orang yang berhasil diringkus, duduk di tengah ruangan dengan tangan mereka diborgol semuanya.
       “Di mana Tuan Lim?”, tanya Inspektur Hendro.
       “Ampun Pak, dia tidak ada di sini. Dia sedang pergi”, sahut salah seorang tawanan itu.
       “Bohong. Aku tahu betul, tadi sore dia masuk ke sini dan tidak pernah keluar lagi”, bentak Inspektur Hendro lagi.
       “Sungguh Pak. Bukankah Bapak sudah menggeledah seluruh tempat ini?”.
       “Dia pasti bersembunyi Inspektur. Orang-orang ini pun punaya persembunyian rahasia. Kami telah menggeledah setiap kamar, tetapi tidak melihat seorang pun. Namun ketika kami meninggalkan kamar itu, mereka menyelinap keluar”, ujar salah seorang anak buahnya.
       “Hmmm...begitu? Baik kita periksa salah sebuah kamar itu”, kata Inspektur Hendro sambil melangkah memasuki salah sebuah kamar diikuti oleh dua orang anak buahnya.
       Cukup lama juga mereka memeriksa kamar itu. Kolong tempat tidur, bupet, dan peralatan lainnya yang ada di dalam kamar itu diteliti dengan seksama. Akhirnya Inspektur Hendro menyandarkan tubuh di pojok kamar dengan menelekankan tangannya pada dinding, sementara matanya memperhatikan kedua anak buahnya yang masih memeriksa.
       Suatu saat tanpa disadarinya jari telunjuk Inspektur Hendro yang menelekan ke dinding mengutik-utik benda kecil bundar yang teraba di dinding itu hampir setinggi lehernya. Tiba-tiba saja tubuhnya terdorong dinding berputar, dan sejenak kemudian dia telah berada di kamar kecil yang gelap. Tentu saja dia terkejut. Sejenak dia termenung, namun secercah cahaya tampak pada sisi dinding. Dia menghampiri dan mendekatkan matanya pada lubang kecil yang menimbulkan berkas cahaya itu. Maka tampaklah keadaan kamar di mana kedua anak buahnya tengah memeriksa benda-benda tanpa menyadari atasnya telah tidak ada di ruangan itu.
       Inspektur Hendro mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu dia meraba lobang itu yang berupa tombol berlensa. Sejenak kemudian tubuhnya didorong lagi oleh dinding, dan dia telah berdiri kembali di pojok kamar tanpa menimbulkan suara.
       “Sudahlah. Tak perlu kalian cari lagi”, kata Inspektur Hendro kepada kedua anak buahnya.
       “Kenapa?”, tanya salah seorang di antara mereka sambil berpaling kepada atasannya.
       “Kalau kalian mencari di situ, sampai kiamat pun tidak akan kalian temukan”, sahut Inspektur Hendro sambil jarinya menekan tombol tadi, dan sesat kemudian tubuhnya telah lenyap di balik dinding bersama dengan berputarnya dinding itu, sehingga kedua anak buahnya terbelalak. Namun di saat lainnya Inspektur Hendro telah berdiri kembali di tempatnya semula.
       “Nah, kalian periksa semua kamar, dan cari tombol seperti ini. Tapi hati-hati, siapa tahu orang yang kita cari ada di dalamnya. Ajak dua orang lagi untuk melakukan pemeriksaan. Aku akan kembali ke ruangan besar”, ujar Inspektur Hendro.
       “Siap Inspektur”, sahut kedua orang itu.
       Ketika Inspektur hendro tiba di ruangan besar kembali, dia melihat tawanan sudah bertambah dengan lima orang yang berhasil lolos keluar tadi.
       “Huh, sekalipun kalian tidak memberitahukan, aku tahu tempat persembunyian itu”, kata Inspektur Hendro kepada para tawanan yang memandang kemunculannya. Para tawanan itu menundukkan kepala.
       “Dua dari kalian pergi periksa kembali seluruh kamar dalam gedung ini. Dua kawan kalian sudah tahu rahasianya. Hati-hati, mungkin Tuan Lim masih ada di dalam salah satu kamar rahasia itu”, kata Inspektur Hendro memerintah dua anak buahnya.
       “Siap Inspektur”, sahut dua anak buahnya hampir serempak, dan mereka pergi ke kamar dari mana Inspektur Hendro muncul tadi.
       “Nah, sebaiknya kalian berterus terang di mana Boss kalian bersembunyi?”, tanya Inspektur Hendro.
       “Kami benar-benar tidak tahu Pak”, sahut salah seorang atawanan itu.
       “Tadi juga kau bilang tidak tahu, ternyata kalian punya persembunyian kamar rahasia”.
       “Sungguh Pak, kami tidak tahu”.
       “Bohong! Cepat katakan! Apa kalian memancing kesabaranku habis?! Cepat!”, bentak Inspektur Hendro dengan suara keras, sampai semua tawanannya tidak berani mengangkat muka lagi melihat kemarahan terpancar di wajahnya.
       “Jangan mengumbar amarah Inspektur, nanti kau cepat tua”, ujar satu suara perempuan dari arah belakangnya.
       Serentak Inspektur Hendro dan semua orang yang hadir di ruangan itu berpaling memandang ke arah datangnya suara. Widar berdiri sambil tersenyum melihat keheranan di wajah semua orang dalam ruangan itu.
       “He, kau Widar? Dari mana kau masuk?”, tanya Inspektur Hendro dengan nada keheranan.
       “Tentu saja dari luar, apa yang aneh?”. Widar balik bertanya.
       “Tapi aku tidak mendengar dan melihat kedatanganmu”, kata Inspekjtur hendro.
       “Sudahlah. Yang penting aku ingin tahu isi tas ini, tolong dibuka”, kata Widar sambil menyerahkan tas echolak yang dijinjingnya kepada Inspektur hendro.
       Inspektur Hendro menerima tas itu dan meletakkannya di lantai.
       “Pinjam sangkurmu”, katanya kepada salah seorang anak buahnya.
       Setelah menrima sangkur itu, Inspektur Hendro mencungkil kunci tas echolac tersebut dengan paksa. Tak lama kemudian kuncinaya terbuka. Ternyata isi tas echolac besar itu sejumlah bungkusan bubuk putih yang justru sedang mereka cari.
       “Dari mana kau dapatkan ini?”, tanya Inspektur Hendro.
       “Dari Tuan Lim”, sahut Widar sambil tersenyum lagi.
       “Hee? Jadi kau....?”.
       “Sudahlah Inspektur. Sebaiknya mereka semua bawa keluar. Tuan Lim dan seorang pengawalnya telah menunggu di mobil”, tukas Widar sebelum Inspektur Hendro menyelesaikan perkataanya.
       Inspektur Hendro nampaknya mengerti isyarat tersebut bahwa, si gadis akan memperlihatkan rahasia kedatangannya tadi. Maka dia pun mengangguk.
       “Baiklah. Ayo kalian berdiri semua!”, katanya kepada tawanannya. Lalu kepada anak buahnya: “Bawa mereka ke mobil. Aku masih ada pekerjaan sedikit lagi di sini”.
       “Siap Inspektur”, kata anak buahnya hampir serempak.
       Sejenak kemudian para tawanan itu telah didorong ke luar ruangan.
       “Dari mana kau masuk?”. Inspektur hendro mengulangi pertanyaannya tadi setelah semua tawanan dan anak buahnya hilang di balik pintu.
       Widar menghampiri rak buku dan mengambil salah satu buku tebal di antara deretan buku lainnya. Lalu jari-jari tangannya dimasukkan ke sela-sela bekas buku itu, dan dinding pun berputar. Rak itu telah berganti dengan rak di belakang dinding tetapi dengan susunan buku yang persis sama.
       Di belakang rak buku ini terdapat lorong bawah tanah sampai ke ujung halaman”, sahut Widar, sementara jari-jarinya mencabut buku yang bertitel sama dengan yang dipegangnya. Lalu dia menyerahkan sebuah kepada Inspektur Hendro, sedang yang dicabutnya tetap dipegangnya.
       “Tolong buku ini nanti dimasukkan lagi ke tempatnya”, ujar Widar sambil menekan tombol di belakang celah rak itu. Bersamaan dengan bergeraknya rak itu dia pun melangkah mengikutinya, dan sesaat kemudian dia lenyap di belakang rak.
       Inspektur Hendro pun berbuat sama sambil menjinjing tas echolac, sehingga sebentar kemudian dia telah bertemu kembali dengan Widar. Ternyata di balik rak itu terdapat tangga menurun. Inspektur Hendro menyelipkan buku yang dipegangnya ke tempatnya, lalu kedua orang itu menuruni tangga ke bawah.
       Lorong itu hanya satu jalur dan cukup terang karena diterangi lampu listrik, sehingga mereka dapat berjalan cepat. Akhirnya tiba di ujung lorong yang bertangga naik. Mereka muncul di sisi tempat bak sampah. Sejenak kemudian mereka telah berada di pinggir jalan di dekat mobil Widar diparkir.
       “Untunglah kau memparkir mobilmu di sini”, kata Inspektur Hendro.
       “Tuhanlah yang menuntunku memparkir mobil di sini. Aku hanya berpikir bahwa bak sampah itu dapat menghalangi pengawasan dari gedung karena temboknya tinggi.”, sahut Widar. “Aku sendiri sampai terkejut ketika tiba-tiba muncul dua sosok tubuh dari balik tembok itu”, sambungnya.
       “Ya, kita harus bersyukur kepada Tuhan, karena berkat tuntunannya barang ini dapat kita rampas”, kata Inspektur sambil menyerahkan tas yang dijinjingnya kepada Widar. “Kau bawa tas ini sekalian untuk menyelesaikan kerja kita selanjutnya”.
       “Baiklah. Aku akan langsung pulang untuk istirahat”, ujar Widar sambil menjinjing tas itu dan memasukkan ke dalam mobilnya, dan dia duduk di belakang kemudinya.
      “Selamat malam”, kata Inspektur Hendro. Widar melambaikan tangannya membalas salam Inspektur Hendro, dan VW itu meluncur meninggalkan tempat kejadian.
       Inspektur Hendro memperhatikan mobil itu sejenak, lalu melangkah menuju tempat anak buahnya yang sedang sibuk mengatur tawanan untuk mereka bawa. Sebuah motor lewat di jalan di sampingnya sebelum Inspektur yang masih muda itu sampai di mobil jeepnya.
       Widar mengendarai mobilnya tidak tergesa-gesa. Di belakangnya dalam jarak 20 meter diikuti mobil yang ditumpangi orang berwajah dingin. Akhirnya Widar membelokkan VW-nya ke gedung besar milik Pak Abdurrakhman. Mobil yang mengikutinya berhenti setelah melewati pintu gerbang masuk gedung itu. Kedua penumpangnya memandang gedung mewah itu dengan terpesona.
       “Bukan main. Ternyata gadis itu orang kaya raya”, gumam si pengemudi.
       “Penemuan kedua yang menguntungkan”, sahut si orang berwajah dingin. “Sebelum diselesaikan, aku akan menyanderanya dulu untuk meminta tebusan. Bukan hanya satu-dua juta tetapi seratus juta”, sambungnya, “dan aku akan bisa menikmati hidupku tanpa kekurangan lagi”.
       “Kalau begitu kita sudah bisa menanganinya pada pada kesempatan membuntutinya nanti”, kata si pemegang kemudi.
       “Belum. Aku masih ingin menemukan keajaiban lainnya. Sasaranku kali ini adalah orang istimewa, lain dari yang lain. Naluri profesionalku memberitahukan bahwa dia gadis luarbiasa. Aku ingin mendapatkan kepuasan dalam menanganinya nanti”, ujar si wajah dingin, “mari kita pulang dulu”.
      “Tetapi kapan?”, tanya si pengemudi.



-----oooooooooo-----



       “Tidak lama lagi”, sahut Pak Darwi, “mungkin setelah penggerebegan sasaran terakhir”.
       “Tetapi keberangkatanku ke pedalaman hanya tinggal beberapa hari lagi”, kata si pemuda pemilik bengkel.
       Percakapan itu terjadi di kantor bengkel si pemuda kawan Pak Darwi pada sore hari ketika bengkel sudah tutup.
       “Mudah-mudahan di saat kau berangkat, pekjerjaan kita kali ini sudah tuntas”.
       “Lalu kapan kira-kira penggerebegan sasaran terakhir itu?”, tanya si pemuda lagi.
       “Malam ini. Barang ayang ada pada Nona Dokter hanya sisa tiga bungkus lagi. Dan itu kukira petang nanti sudah ada yang mengambil. Dengan demikian penggerebegan akan dilakukan di dua tempat sekaligus. Untuk itu kita membagi tugas. Kau mengawasi penggerebegan pengambil barangnaya, sedangkan aku di tempat Bossnya Nona Dokter”, sahut Pak Darwi.
       “Oke”.
       “Tetapi dalam menghadapi rencana si muka dingin dan kawan-kawannya, kaupun harus menyamar seperti aku agar tidak dikenali, baik oleh lawan-lawan kita maupun oleh Nona Dokter”.
       “Terus terang saja aku tidak telaten bermain bungalon sepertimu dan seperti Nona Dokter itu”.
       “Tetapi kali ini kau harus”.
       “Buat apa?”, tanya si pemuda.
       “Banyak kegunaannya. Yang paling utama sdalah untuk menghindari dendam. Kalau kita sampai dikenali lawan, bila bertemu lagi, orang-orang sadis semacam mereka tidak segan-segan menusuk kita dari belakang”, sahut Pak Darwi.
       “Ngng...benar juga alasanmu. Lalu apa keberatannya jika dikenali Nona Dokter?”.
       “Itu untuk kepentinganku. Pokoknya aku tidak mau kalau Nona Dokter mengenaliku sebagai kawanmu sama-sama pencinta alam. Sebab dia telah mengenal wajah asliku sebagai Baka, walaupun namaku itu belum diketahuinya. Tetapi suatu saat aku akan memberitahukan kepadanya”.
       “Aku sungguh tidak mengerti caramu yang berbelit-belit itu. Katanya kau tergila-gila, tetapi kau tidak mau memperkenalkan dirimu secara langsung”.
       “Aku hanya mengikuti cara dia. Sampai sekarang dia menganggapku baru mengenalnya sebagai Mpok Tiwi. Dia juga tidak mau mengenalkan wajahnya yang lain. Karena itu aku tidak mau mengenalkan wajahku yang lain. Biar dia mencari sendiri”, kata Pakj Darwi.
       “Huh, kalian berdua sama-sama bunglon, dan kau menyeret aku untuk menjadi bunglon pula”.
       “Ternyata bermain bunglon-bunglonan itu sangat menyenangkan. Aku bisa selalu berdekatan dengan Nona Dokter”.
       “Baiklah, demi kawan dan juga demi keselamatanku sendiri”. Akhirnya si pemuda menyetujui.
       Pak Darwi tersenyum. “Terimakasih”, katanya, “sekarang sudah hampir magrib. Kita harus bersiap-siap mengawasi operasi terakhir. Aku harus segera pergi mengikuti Nona Dokter. Jangan lupa, alamat tempat yang harus digerebeg itu kirimkan langsung kepada Inspektur Hendro begitu ada kepastiannya”.
       “Oke”.
       Pak Darwi bangkit menuju ke tempat motornya yang diparkir di garasi bengkel, diantar si pemuda. Sejenak kemudian Pak Darwi telah meluncur di tengah keramaian kota dengan motornya.
       Matahari perlahan-lahan turun di ufuk barat. Begitu terbenam, alam pun menjadi gelap. Lampu-lampu mulai menyala, baik di rumah-rumah, lampu-lampu jalan, maupun lampu-lampu kendaraan. Ketika malam semakin larut, Widar keluar dari Night Club, langsung naik VW-nya. Begitu mobilnya keluar halaman parkir, mobil lain pun bergerak pula mengikutinya. Terakhir sebuah motor mengikuti mobil yang membuntuti Widar.
       Ketika Widar membelokkan mobilnya ke jalan tempat tingga Boss yang menjadikan gubuknya sebagai gudang, si orang berwajah dingin bicara kepada kawannya yang memegang kemudi.
       “Sebentar lagi kita akan lewat di tempat kenalanku yang membayarku untuk menyelesaikan cewek di depan kita”, katanya.
       “Suatu pertanda umurnya sudah tidak lama lagi. Dia seolah memberitahukan kepada kenalanmu bahwa dia sudah menyerahkan nyawanya untuk...”.
       “Setan! Mobil patroli itu berada di depan rumah kenalanku”. Tiba-tiba orang berwajah dingin mengumpat kasar sebelum kawannya menyelesaikan kata-katanya.
       Sesungguhnyalah di depan rumah si Boss tampak sebuah mobil patroli dan sebuah jeep polisi. Widar sendiri menghentikan mobilnya di belakang mobil patroli itu. Dia tidak turun dari mobilnya, karena saat itu dari dalam gedung tampak beberapa orang polisi menodongkan senjata menggiring para tawanan, diantaranya adalah orang berjambang bauk dan orang berwajah keras.
       Sementara orang-orang itu didorong ke atas mobil patroli, Inspektur Hendro menghampiri mobil Widar.
       “Maaf Inspektur. Kali ini aku agak terlambat”, ujar Widar.
       “Tidak apa. Pekerjaan di sini tidak terlalu sulit. Begitu digerebeg, mereka langsung menyerah tanpa memberi perlawanan”, sahut Inspektur Hendro.
       “Jadi tidak ada yang lolos?”, tanya Widar.
       “Tidak, dan yang penting sebagaimana kau lihat, Bossmu yang dulu melarikan diri itu, mulai saat ini tidak akan bisa meracuni anak-anak muda lagi, setidak-tidaknya selama dalam penjara. Bila keluar lagi kelak, kita akan mengawasinya dengan ketat”.
       “Ya. Setidak-tidaknya kita telah berusaha mengurangi para peracun generasi muda kita. Karena walau bagaimanapun kita tidak bisa menumpas habis manusia-manusia yang tidak punya rasa tanggung jawab terhadap bangsa dan negara ini selama orang masih memerlukan uang”, kata Widar.
       “Betapa pun operasi kita kali ini adalah yang paling berhasil sepanjang aku memegang jabatan sekarang. Ini berkat bantuanmu dan orang yang menjadi kawanmu itu yang tidak pernah aku kenal, baik namanya apalagi wajahnya”, kata Inspektur Hendro.
       “Dia selalu menolak untuk diperkenalkan kepadamu”.
       “Orang-orang semacam dialah yang sebenar-benarnya pejuang. Mereka berjuang tanpa pamrih, tanpa mengharapkan upah, tanda jasa, dan sanjung puja. Tolong sampaikan rasa terimakasihku kepadanya”.
       “Baik Inspektur. Aku juga akan terus pulang sekarang”, sahut Widar sambil menstarter VW-nya.
       Sejenak kemudian VW itu meninggalkan para anggota polisi yang masih sibuk mengatur para tawanannya.
       “Laknat! Perempuan itu telah membuat aku marah”, kata si orang berwajah dingin ketika mobil Widar melewatinya, “dia telah mengurangi satu dari sumber penghasilanku”.
       “Kalau begitu kita selesaikan saja malam ini”, sahut si pengemudi mobilnya.
       “Jangan mengatur aku. Kesabaranku belum hilang, meskipun hatiku sudah mulai dijangkiti bibit dendam”.
       Sekali lagi buntut-membuntuti itu terjadi, sampai akhirnya Widar membelokkan mobilnya ke garasi umum di jalan raya dekat perkampungan kumuh.
       “Nah kau lihat. Dia menyimpan mobilnya di garasi sewaan. Itu berarti, di dekat-dekat sini dia punya tempat tinggal pula”, ujar si orang wajah dingin, sementara kawannya menghentikan mobilnya di dekat pintu garasi umum itu.
     Sampai lama mereka menanti munculnya Widar dari garasi itu. Mereka tidak tertarik pada seorang perempuan berpakaian kebaya dan kain batik belel serta berkerudung kain batik belel pula, yang sejak tadi sudah keluar dari garasi bahkan lewat di samping mobilnya menuju ke lorong ke arah perkampungan kumuh.
       “Coba kau periksa ke dalam”, kata si orang berwajah dingin setelah terlalu lama menunggu. “Lihat juga kalau-kalau ada jalan keluar lain dari garasi itu”.
       Kawannya mengangguk, lalu keluar dari mobilnya dan melangkah masuk ke dalam garasi. Dia langsung menghampiri mobil VW yang diparkir di antara beberapa mobil lain. Garasi umum itu cukup besar. Mobil yang keluar-masuk juga cukup sering. Di dalam garasi sendiri tampak beberapa lelaki dan perempuan, ada yang mau naik mobilnya, ada pula yang baru turun.
       Kawan si orang berwajah dingin itu memperhatikan setiap wajah perempuan yang ada di situ, tetapi yang dicarinya tidak ada. Ketika dia tiba di samping VW Widar, dia melihat ke dalam melalui jendela. Ternyata sudah tidak ada orangnya. Kemudian dia mengelilingi garasi itu, tetapi tidak menemukan jalan keluar lainnya kecuali yang dilaluinya tadi. Akhirnya dia berbalik ke mobilnya dengan keheranan memenuhi hatinya.
       “Bagaimana?”, tanya si orang berwajah dingin setelah kawannya duduk lagi di depan kemudi.
       “Mengherankan. Lenyap tanpa bekas, padahal tidak ada jalan lain untuk keluar selain jalan ini”.
       “Setan! Sekarang dia mempermainkan aku”, umpat si orang berwajah dingin.
       “Tapi mobilnya ada”.
       “Apa sudah kau cari di WC atau di pos piketnya?”.
       “Sudah”.
       “Laknat! Dua kali dia telah membuatku marah”, umpatnya lagi.
       “Mungkinkah dia sudah mengetahui kalau dirinya kita buntuti?”, tanya si pengemudi.



-----oooooooooo-----



       “Melihat dari caranya memang mungkin sekali”, sahut Pak Darwi sambil menaruh helmnya di atas meja di kantor bengkel kawannya. Lalu: “Soalnya orang bayaran semacam dia akan selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang dapat menghasilkan duit. Karena hidupnya memang hanya untuk duit yang punya nilai tertinggi”.
       “Dengan demikian, keselamatan diri Nona Dokter sendiri tidak terlalu mengkhawatirkan. Karena kalau orang itu sudah memperoleh tebusan yang tidak kecil dari ayahnya, pasti Nona Dokter akan dibebaskan tanpa diganggu samasekali”, kata si pemuda pemilik bengkel.
       Percakapan itu terjadi pada malam larut setelah operasi penjaringan terakhir selesai. Pak Darwi baru saja datang dari membuntuti orang berwajah dingin tadi yang kehilangan buruannya.
       “Kau salah”, kata Pak Darwimencela pendapat kawannya. “Kalau aku mengatakan orang itu menilai duit nomor satu, berarti yang lainnya termasuk nyawa manusia tidak lebih berharga dari nyawa ayam. Karena itu setelah menerima uang tebusan, Nona Dokter akan dibunuhnya tanpa mempedulikan perjanjian yang dibuatnya. Sebab orang itu telah menerima bayaran untuk membunuhnya, sehingga ayah Nona Dokter hanya akan menerima mayat anaknya atas uang tebusan yang dikeluarkannya itu”.
       Si pemuda mengangguk-anggukkan kepala. Maka tanyanya: “Jadi bagaimana rencanamu”.
       “Sejak besok kau harus menjadi tamuku. Kita tidak bisa melepaskan lagi pengawasan terhadap Nona Dokter dan calon algojonya dalam setiap langkahnya. Aku harus terus membayangi orang bayaran itu setiap saat, dan kau menjaga Nona Dokter”, sahut Pak Darwi.
       “Apa tidak terbalik? Bukankah kau yang tergila-gila sama dia dan selalu ingin berdekatan dengannya?”, tanya si pemuda sambil tersenyum.
       Pak Darwi pun tersenyum pula. Lalu jawabnya: “Soal itu dapat kita atur setelah kau datang ke gubukku. Aku lebih mengkhawatirkan keselamatannya. Karena kalau dia celaka, selamanya aku tidak akan bisa berdekatan dengan dia lagi. Aku harus tahu pasti kekuatan lawan yang kita hadapi”.
       “Bukankah kau sudah tahu bahwa kedua orang itu jago karate?”.
       “Belum terlalu jago. Kalau seorang lawan seorang, dia tidak akan nempil pada kemampuan Nona Dokter. Aku sudah tahu, saat ini Nona Dokter sedang menghadapi ujian Dan III. Tetapi yang aku harus ketahui, berapa orang dia membawa kawan dan senjata apa yang mereka pergunakan”, sahut Pak Darwi.
       “Ternyata kau sudah banyak tahu keadaan calon pacarmu”, kata si pemuda.
       “Harus begitu. Karena aku ingin menjadi pacar yang baik, maka aku harus tahu segalanya, sehingga dapat mengimbanginya. Aku tidakmau kalau kelak dia merasa malu punya pacar yang tidak berharga dan tidak mengerti hatinya. Aku harus berusaha agar dia merasa bangga punya pacar seperti aku. Soalnya aku punya satu kekurangan yang tidak bisa mengimbangi dia”.
       “Apa itu?”.
       “Seperti kau, mahasiswa drop out. Aku tidak punya titel. Padahal titel merupakan kebanggaan tertinggi rakyat negara ini di zaman sekarang”, sahut Pak Darwi.
       “Tetapi kebanggaan demikian membuat orang berlomba-lomba mendapatkannya dengan segala cara. Satu diantaranya yang paling menonjol adalah dengan duit, sehingga titel yang dimilikinya sebenarnya hanya aspal”.
       “Nah, kau mulai beristilah. Apa yang kau maksud dengan aspal itu?”, tanya Pak Darwi dengan mengerut kening.
       “Asli tapi palsu. Ijazah dan titelnya memang asli karena resmi dikeluarkan dari perguruan tinggi. Tetapi jalan untuk mendapatkannya bukan berdasar kemampuan ilmu yang dimilikinya. Skripsinya juga buatan orang lain”, sahut si pemuda.
       “Ah kau ini ada-ada saja”.
       “Kenyataan Dar, kenyataan. Karena itu aku sebagai wiraswastawan yang lebih memerlukan skill, kemampuan, tidak tertarik lagi untuk memperoleh ijazah. Aku justru lebih bangga punya kawan sepertimu. Tanpa ijazah, tanpa titel, tetapi kemampuanmu melebihi sarjana. Kau pelajari beberapa cabang ilmu. Kau baca ilmu apa saja, dan perpustakaan pribadimu jauh lebih lengkap dari yang dimiliki kebanyakan sarjana”.
       “Terimakasih atas kebanggaanmu terhadapku. Sebenarnya aku hanya mengikuti perintah iqro”, ujarnya.
       “Dengan kemampuanmu itu aku yakin, meski kau tidak bertitel, tetapi Nona Dokter akan menilaimu lebih tinggi dari seorang bertitel”, kata si pemuda.
       “Entahlah. Dalam hal ini aku merasa terlalu rendah untuk berdampingan dengannya. Karena itu aku merasa ragu untuk memperkenalkan diriku yang asli kepadanya”.
       “Buang rasa rendah dirimu itu. Sadari bahwa kau punya banyak kelebihan. Sebenarnya kau seorang otodidak Dar. Bahkan aku pun sekarang sudah mulai mengikuti langkahmu”, ujar si pemuda.
       “Susah Yan. Aku belum yakin. Aku masih harus mencari kepastian hati Nona Dokter dulu. Sebab sekali gagal, tidak ada kesempatan lagi untuk mengulanginya”, sahut Pak Darwi.




---ooooo000ooooo---


         
         
            
           
          
      
       
        
             
       
              
      
      
  
          
      
        
        
      
       
        
        
         
        
        
        
      
          
        
          

          
             
          
       
       








   
   



  


        
        
      
      
     
      
      

          
      
      
      

      
          
         
         
      
      
  
      
      
      
      
  
      
      
  
        
         
     
      
      
      
     

      
      
           
     













        
    

           

        
      
      
     

        
     
        
      




 
       
        
      
     

          

      

      
       

      
      
      
      


      




      
      
      
         
      
         
       
    
        
             
      

  
          
      
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar