Sabtu, 26 Maret 2011

AGAMA TIDAK BERBANDING LURUS DENGAN KETUHANAN



Istilah-istilah dalam qur’an sangat relatif sebab Qur’an disusun rosul dalam persamaan gelombang relativitas dan pola qisos, membuat ayat-ayatnya bersifat relatif pula, tergantung dimensi dan fungsinya. Contoh istilah malaikat pada dimensi hukum adalah cermin (munkar-nakir = cermin C, mikail = CP, Ijroil-Isrofil cermin T, Rokib-Atid = cermin P, dan Malik Ridwan = cermin CPT). Arti setan pada dimensi halus adalah Jin, contoh  Sulaiman pada Anbiya 82, malaikat penjaga neraka adalah ruh. Tanpa memahami dimensi-dimensi itu, sangat besar kemungkinan  salahnya dalam menafsirkan ayat. Sehingga ketika diajarkan , maka ajaran itu menyesatkan.
Masih banyak istilah dalam Qur’an yang disalah artikan para ahli kitab. Bahkan yang paling umum saja dan dikenal semua agama seperti istilah nabi dan rosul, telah menjadi kesalahan universal. Sebab ahlikitab semua agama  selalu memperkuat kesalahan para pendahulunya. Istilah nabi misalnya, semua agama mengartikan tukang sihir, karena kemampuannya tidak terjangkau akal (tidak masuk akal = mukjizat, Baqoroh 102). Sebaliknya dari mengubah persepsi masyarakat, ahli kitab agama Islam justru mendukungnya dalam riwayat hidup Rosul Muhammad (hadits) dengan cara pembelahan dada rosul ketika usia 5 tahun oleh malaikat untuk mengisi sifat kenabian. Begitu pula dalam rukun islam, ahli kitab telah mengubah artinya dari falsafah kenabian menjadi ritual penyembahan (mengambil arti dibaliknya, Mu’minuun 7).
Agamawan ulama menafsirkan sholat dengan ritual penyembahan perintah Alloh untuk mendapat ampunan dosa. Ritual penyembahan dalam Islam berbeda dengan ritual penyembahan  agama lain yang ada di dunia ini. Jika benar ritual solat itu penyembahan perintah Alloh, maka tatacaranya harus sama di setiap agama. Sebab solat itu telah didirikan sejak Adam-Hawa seperti yang disebutkan pada surat Tho Haa 132. Nyatanya tidak. Itu hanya mengandung satu arti bahwa . Solat adalah istilah Rosul Muhammad untuk aturan hukam, karena dalam agama lain tidak ada istilah itu.
Kebenaran arti istilahnya sejalan dengan pernyataan  ‘dirikan sholat’ untuk mencegah kejahatan = tegakan hukum untuk mencegah kejahatan. Sebaliknya ketika sholat diartikan sebagai ritual penyembahan terhadap Alloh untuk ampunan dosa, hasilnya bukan mencegah kejahatan, tetapi justru membangun berbagai kejahatan, sebab segala dosa akan diampuni ritual. Begitu pula ketika melaksanakan haji-umroh diartikan undangan Alloh untuk mengampuni seluruh dosa, hasilnya justru membangun kejahatan lebih besar lagi.
Akibatnya bangsa-bangsa penganut agama Islam (termasuk Indonesia) rata-rata berprilaku jahil dan kurang menghargai etika peradaban. Contohnya di negri ini demikian carut-marut. Hukum dipermainkan, korupsi tumbuh subur, poligami dilegalkan, teroris marak dan banyak lagi contoh lainnya. Untuk mendapat penghapusan dosa para koruptor mengambil uang rakyat miliaran rupiah, dan mereka pergi haji untuk diampuni dosa dengan mengeluarkan uang tidak lebih dari 100 juta, maka dosa sudah terhapus, seperti bayi baru lahir.
Satu ironi yang harus dipertanyakan ketika keimanan didasarkan pada sariat agama, sebab kebenarannya dinilai dari kepatuhan terhadap ritual-ritual penymbahan yang memuaskan perasaan (kebenaran pragmatis), masuk akal ataupun tidak masuk akal harus diimani. Kebenaran itu bertentangan dengan peradaban yang dibangun para rosul. Sebab kebenaran peradaban adalah kebenaran ilmu yang dibangun para rosul. Kebenaran peradaban adalah, kebenaran harus selaras dengan fakta, sejalan dengan kenyataan, dan serasi dengan bukti (kebenaran korespondensi).
Kebenaran korespondensi adalah kebenaran ilmu, yang harus diterima jika punya alasan-alasan masuk akal. Artinya, semua rosul adalah penganut hukum akal yang dibangunnya peradaban akal, dan buku ajaran yang dibawanya pasti petunjuk ilmu, bukan buku mukjizat (sihir) yang tak terjangkau akal. Karena itu, semua ahli kitab yang menolak akal dan ilmu dalam ajaran agamanya adalah penolak Qur’an dan kitab rosul lainnya. Pada kenyataannya yang mereka imani bukan Taurot, Zabur, Injil dan Qur’an, tetapi exodus, bibble, hadits. Karena alasan itu Rosul Muhammad menjelaskan definisi keimanan yang diberitakan dalam Baqoroh 62 : Sesungguhnya orang-orang Mu’min, orang-orang Yhudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang sabiin, siapa saja di antara mereka  yang benar-benar beriman kepada Alloh, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima  pahala dari Tuhan mereka , tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Jelas keimanan tidak ditentukan oleh anutan agama, sebab yang disebut beriman adalah percaya kepada Alloh, hari kemudian (hari akibat), dan beramal soleh (berbuat kebajikan            ). Karena Allah sebagai pencipta alam, maka hukum yang diterapkan pada alam (termasuk manusia) adalah hukum Alloh, atau hukum evolusi dari sebab-ke akibat. Dengan kata lain, agama tidak berbanding lurus dengan ketuhanan.
Hukum evolusi sebab akibat adalah hukum akal, dan penganut hukum akal akan berupaya untuk mematuhi moral pengasih penyayang. Sebab ia tahu, setiap perbuatan buruk, jahat, tak adil, akan dibalas dengan perbuatannya yang setimpal di hari kemudian (hari akibat) setelah dibangkitkan. Itulah yang dimaksud beriman kepada hari kemudian = mengimani hukum sebab-akibat. Karena itu, semua agama yang meyakini ritual penyembahan untuk mendapat ampunan, pembersihan dosa, sesungguhnya tidak mengimani Alloh dan hari kemudian. Sebab segala dosa bisa dihapus oleh ritual, bukan oleh perbuatan, sehingga peradilan kiamat pun tidak akan terjadi, itu berarti pula, semua agama mendustakan hari kiamat (Furqoon 11).
Hukum sebab akibat adalah hukum  pilihan tanpa memaksa sejak makhluk masih berbentuk bahan (Fatihah 6-7). Hukum pilihan tidak dibentuk oleh perintah. Sebab, perintah itu memaksakan kehendak. Itu berarti, semua agama yang meyakini ritual-ritual sebagai perintah Alloh, telah memfitnah Alloh sebagi penguasa ambisius tukang memaksakan kehendak.
Yang benar, hukum pilihan dibentuk oleh kesadaran sendiri mengemban tugas yang diamanahkan Alloh. Amanah itu bukan dikatakan, tetapi ditemukan  semua rosul dari gejala tampak yang diperagakan cermin-P dalam bentuk lompatan-lompatan bundel (quantum leap) itu dapat dilihat dalam surat Mu’minuun ayat 1 – 11. Karena itu, mustahil amanah akan berbentuk ritual penyembahan. Dalam kenyataannya Alloh hadir tanpa wujud, sehingga tidak ada yang dapat disembah (Nuur35).
Tetapi semua agama menilai ritual penyembahan sebagai tugas utama perintah Tuhan untuk menghapus dosa perbuatan. Artinya, nilai perbuatan lebih rendah dari ritual penyembahan, sebab segala dosa perbuatan akan dihapus ritual. Mereka lupa, dosa dan pahala timbul dari perbuatan. Maka menurut hukum sebab akibat, perbuatan pula yang harus didakwa diperadilan kiamat, bukan ritual.
Dengan demikian, semua agama adalah menolak hukum sebab akibat (hari kemudian). Mereka juga mendustakan peradilan kiamat. Karena itu hukum memastikan, mereka bakal jadi penghuni neraka (Furqoon 11).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar