Istilah-istilah
dalam qur’an sangat relatif sebab Qur’an disusun rosul dalam persamaan
gelombang relativitas dan pola qisos, membuat ayat-ayatnya bersifat relatif
pula, tergantung dimensi dan fungsinya. Contoh istilah malaikat pada dimensi hukum
adalah cermin (munkar-nakir = cermin C, mikail = CP, Ijroil-Isrofil cermin T, Rokib-Atid
= cermin P, dan Malik Ridwan = cermin CPT). Arti setan pada dimensi halus adalah
Jin, contoh Sulaiman pada Anbiya 82,
malaikat penjaga neraka adalah ruh. Tanpa memahami dimensi-dimensi itu, sangat
besar kemungkinan salahnya dalam
menafsirkan ayat. Sehingga ketika diajarkan , maka ajaran itu menyesatkan.
Masih
banyak istilah dalam Qur’an yang disalah artikan para ahli kitab. Bahkan yang
paling umum saja dan dikenal semua agama seperti istilah nabi dan rosul, telah
menjadi kesalahan universal. Sebab ahlikitab semua agama selalu memperkuat kesalahan para pendahulunya.
Istilah nabi misalnya, semua agama mengartikan tukang sihir, karena
kemampuannya tidak terjangkau akal (tidak masuk akal = mukjizat, Baqoroh 102).
Sebaliknya dari mengubah persepsi masyarakat, ahli kitab agama Islam justru
mendukungnya dalam riwayat hidup Rosul Muhammad (hadits) dengan cara pembelahan
dada rosul ketika usia 5 tahun oleh malaikat untuk mengisi sifat kenabian.
Begitu pula dalam rukun islam, ahli kitab telah mengubah artinya dari falsafah
kenabian menjadi ritual penyembahan (mengambil arti dibaliknya, Mu’minuun 7).
Agamawan
ulama menafsirkan sholat dengan ritual penyembahan perintah Alloh untuk
mendapat ampunan dosa. Ritual penyembahan dalam Islam berbeda dengan ritual
penyembahan agama lain yang ada di dunia
ini. Jika benar ritual solat itu penyembahan perintah Alloh, maka tatacaranya
harus sama di setiap agama. Sebab solat itu telah didirikan sejak Adam-Hawa
seperti yang disebutkan pada surat Tho Haa 132. Nyatanya tidak. Itu hanya
mengandung satu arti bahwa . Solat adalah istilah Rosul Muhammad untuk aturan
hukam, karena dalam agama lain tidak ada istilah itu.
Kebenaran
arti istilahnya sejalan dengan pernyataan
‘dirikan sholat’ untuk mencegah kejahatan = tegakan hukum untuk mencegah
kejahatan. Sebaliknya ketika sholat diartikan sebagai ritual penyembahan terhadap
Alloh untuk ampunan dosa, hasilnya bukan mencegah kejahatan, tetapi justru
membangun berbagai kejahatan, sebab segala dosa akan diampuni ritual. Begitu
pula ketika melaksanakan haji-umroh diartikan undangan Alloh untuk mengampuni
seluruh dosa, hasilnya justru membangun kejahatan lebih besar lagi.
Akibatnya
bangsa-bangsa penganut agama Islam (termasuk Indonesia) rata-rata berprilaku
jahil dan kurang menghargai etika peradaban. Contohnya di negri ini demikian
carut-marut. Hukum dipermainkan, korupsi tumbuh subur, poligami dilegalkan, teroris
marak dan banyak lagi contoh lainnya. Untuk mendapat penghapusan dosa para
koruptor mengambil uang rakyat miliaran rupiah, dan mereka pergi haji untuk
diampuni dosa dengan mengeluarkan uang tidak lebih dari 100 juta, maka dosa
sudah terhapus, seperti bayi baru lahir.
Satu
ironi yang harus dipertanyakan ketika keimanan didasarkan pada sariat agama,
sebab kebenarannya dinilai dari kepatuhan terhadap ritual-ritual penymbahan
yang memuaskan perasaan (kebenaran pragmatis), masuk akal ataupun tidak masuk
akal harus diimani. Kebenaran itu bertentangan dengan peradaban yang dibangun
para rosul. Sebab kebenaran peradaban adalah kebenaran ilmu yang dibangun para
rosul. Kebenaran peradaban adalah, kebenaran harus selaras dengan fakta,
sejalan dengan kenyataan, dan serasi dengan bukti (kebenaran korespondensi).
Kebenaran
korespondensi adalah kebenaran ilmu, yang harus diterima jika punya alasan-alasan
masuk akal. Artinya, semua rosul adalah penganut hukum akal yang dibangunnya
peradaban akal, dan buku ajaran yang dibawanya pasti petunjuk ilmu, bukan buku
mukjizat (sihir) yang tak terjangkau akal. Karena itu, semua ahli kitab yang
menolak akal dan ilmu dalam ajaran agamanya adalah penolak Qur’an dan kitab
rosul lainnya. Pada kenyataannya yang mereka imani bukan Taurot, Zabur, Injil
dan Qur’an, tetapi exodus, bibble, hadits. Karena alasan itu Rosul Muhammad
menjelaskan definisi keimanan yang
diberitakan dalam Baqoroh 62 : Sesungguhnya
orang-orang Mu’min, orang-orang Yhudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
sabiin, siapa saja di antara mereka yang
benar-benar beriman kepada Alloh, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan
menerima pahala dari Tuhan mereka ,
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Jelas
keimanan tidak ditentukan oleh anutan agama, sebab yang disebut beriman adalah
percaya kepada Alloh, hari kemudian (hari akibat), dan beramal soleh (berbuat
kebajikan ). Karena Allah
sebagai pencipta alam, maka hukum yang diterapkan pada alam (termasuk manusia)
adalah hukum Alloh, atau hukum evolusi dari sebab-ke akibat. Dengan kata lain,
agama tidak berbanding lurus dengan ketuhanan.
Hukum
evolusi sebab akibat adalah hukum akal, dan penganut hukum akal akan berupaya
untuk mematuhi moral pengasih penyayang. Sebab ia tahu, setiap perbuatan buruk,
jahat, tak adil, akan dibalas dengan perbuatannya yang setimpal di hari
kemudian (hari akibat) setelah dibangkitkan. Itulah yang dimaksud beriman
kepada hari kemudian = mengimani hukum sebab-akibat. Karena itu, semua agama yang
meyakini ritual penyembahan untuk mendapat ampunan, pembersihan dosa,
sesungguhnya tidak mengimani Alloh dan hari kemudian. Sebab segala dosa bisa dihapus
oleh ritual, bukan oleh perbuatan, sehingga peradilan kiamat pun tidak akan
terjadi, itu berarti pula, semua agama mendustakan hari kiamat (Furqoon 11).
Hukum
sebab akibat adalah hukum pilihan tanpa
memaksa sejak makhluk masih berbentuk bahan (Fatihah 6-7). Hukum pilihan tidak
dibentuk oleh perintah. Sebab, perintah itu memaksakan kehendak. Itu berarti,
semua agama yang meyakini ritual-ritual sebagai perintah Alloh, telah memfitnah
Alloh sebagi penguasa ambisius tukang memaksakan kehendak.
Yang
benar, hukum pilihan dibentuk oleh kesadaran sendiri mengemban tugas yang
diamanahkan Alloh. Amanah itu bukan dikatakan, tetapi ditemukan semua rosul dari gejala tampak yang
diperagakan cermin-P dalam bentuk lompatan-lompatan bundel (quantum leap) itu
dapat dilihat dalam surat Mu’minuun ayat 1 – 11. Karena itu, mustahil amanah
akan berbentuk ritual penyembahan. Dalam kenyataannya Alloh hadir tanpa wujud,
sehingga tidak ada yang dapat disembah (Nuur35).
Tetapi
semua agama menilai ritual penyembahan sebagai tugas utama perintah Tuhan untuk
menghapus dosa perbuatan. Artinya, nilai perbuatan lebih rendah dari ritual
penyembahan, sebab segala dosa perbuatan akan dihapus ritual. Mereka lupa, dosa
dan pahala timbul dari perbuatan. Maka menurut hukum sebab akibat, perbuatan
pula yang harus didakwa diperadilan kiamat, bukan ritual.
Dengan
demikian, semua agama adalah menolak hukum sebab akibat (hari kemudian). Mereka
juga mendustakan peradilan kiamat. Karena itu hukum memastikan, mereka bakal
jadi penghuni neraka (Furqoon 11).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar