Selasa, 31 Mei 2011

Novel 4 Dimensi - Dimensi 2 WAJAH-WAJAH 10

Sepuluh
Bibirmu Ranum Tapi Tawar
       “Karena itu kali ini kita tidak boleh gagal lagi”, kata si orang berwajah dingin sementara matanya memperhatikan VW yang diikutinya. “Dia sudah dua kali membuat hatiku marah, dan tidak boleh sampai tiga kali. Sebab kalau itu sampai terjadi, aku akan langsung membunuhnya di saat bertemu berikutnya, di mana pun, sekalipun di tempat ramai. Aku tidak akan mempedulikan lagi soal apa pun, baik duit tebusan ataupun kemungkinan ditangkap polisi dan dipenjara”, sambungnya.
       Hati pengemudi di sampingnya bergidik juga mendengar kata-kata itu. Rupanya dua peristiwa yang membuat hatinya marah itu benar-benar merupakan penghinaan, meski pada saat mengucapkannya tidak tampak perubahan apa-apa di wajahnya, dan nada kata-katanya juga seperti orang bicara biasa.
       “Kalau begitu, ketika mobilnya masuk garasi umum aku harus langsung mengikutinya”, katanya.
      “Ya. Kalau kau gagal, aku tidak akan mengikutkanmu lagi dalam pekerjaanku selanjutnya”, sahut si orang berwajah dingin.
       Si pengemudi menelan ludah. Sebab setiap kata yang diucapkan kawannya yang seorang ini merupakan keputusan yang tidak akan dirubah lagi. Itu berarti, penghasilannya yang tidak kecil akan lenyap samasekali. Tentu saja dia tidak mau kehilkangan. Karena itu, risiko lainnya, sekalipun sampai kemungkinan diketahui oleh orang yang diikutinya, tidak lebih berharga dari kemungkinan lenyapnya penghasilannya.
       Begitulah ketika VW Widar membelok masuk ke garasi umum, dia langsung menghentikan mobilnya tidak jauh dari pintu garasi, dan langsung turun, melangkah cepat memasuki garasi. Dia berdiri di dekat dinding garasi berseberangan lurus dengan dengan mobil Widar yang diparkir, sehingga siapapun yang turun dari mobil itu akan dapat dilihatnya.
       Beberapa lamanya pintu VW itu tetap tertutup. Tetapi akhirnya terbuka juga. Yang turun adalah seorang perempuan berbaju kebaya dan kain batik belel serta berkerudung kepala kain batik belel juga, menjinjing tas plastik besar. Tentu saja kenyataan yang dilihatnya itu sangat mengejutkannya, sehingga beberapa lamanya dia berdiri mematung dengan mulut melongo.
       Pada mulanya Widar yang telah berganti jadi Mpok Tiwi tidak menyadari. Tetapi tubuh orang yang berdiri lurus di seberang parkiran mobilnya itu menarik perhatiannya, dan dia terkejut melihat sikap dan pandangan orang itu terhadapnya. Dia langsung dapat menduga bahwa orang itu mengikuti mobilnya, dan sekarang penyamarannya telah diketahui. Namun dia cepat menguasai dirinya, dan langsung melangkah keluar sambil menundukkan kepala.
       Dengan hati berdebar-debar Mpok Tiwi terus melangkah keluar garasi umum, sementara dia berpikir bagaimana caranya menghindarkan diri dari peristiwa itu yang pasti bersangkut-paut dengan kegiatan dirinya sebagai orang yang bekerja membantu polisi.
       “Apakah dia salah seorang pengedar narkotika yang lolos dari penjaringan?”, pikir Mpok Tiwi sementara kakinya terus melangkah.
       Ketika dia hampir mencapai lorong ke perkampungan kumuh, tiba-tiba terdengar suara orang yang telah dikenalnya memanggil-manggil.
       “Pok, Mpok Tiwi, tunggu sebentar!”, panggil orang yang muncul dari arah berlawanan datangnya, yang tak lain dari Pak Darwi.
       “Ah Bapak kiranya. Bapak baru datang juga?”, tanya Mpok Tiwi sambil menghentikan langkahnya.
       “Iya”, sahut Pak Darwi sementara melangkah menghampiri Mpok Tiwi, “hari ini langgananku tetap ngotot ingin bertemu dengan Mpok, sehingga besok terpaksa Mpok harus menemani Bapak menemuinya. Kalau tidak kita akan rugi besar”.
       “Ngng...kalau begitu apaboleh buat. Aku harus memenuhi permintaannya, karena aku tidak mau rugi”.
       Mpok Tiwi dapat menangkap yang diisyaratkan Pak Darwi, karena tidak biasanya orangtua itu menyebut Mpok kepadanya. Dari kata-katanya jelas sekali, Pak Darwi telah mengetahui bahwa ada orang yang membuntutinya, dan orang itu bermaksud jahat. Tetapi yang belum dia ketahui, kenapa orangtua itu seperti mengajaknya untuk menghadapi orang itu.
       Sambil berjalan bersisian memasuki lorong Pak Darwi berkata lagi: “Terimakasih Pok. Dengan demikian Bapak merasa tenang. Bapak takut Mpok tidak bisa menemani karena punya urusan lain, padahal orang itu menyatakan, kalau Mpok tidak datang, dia akan mengambil barang Mpok tanpa membayar harganya”.
      “Sebenarnaya aku ada urusan lain Bapak. Tetapi nampaknya terpaksa harus kutunda. Aku tidak mau merugi”.
       “Syukurlah kalau Mpok mengerti. Sebab orang itu bisa membuat usaha Mpok bangkrut”, ujar Pak Darwi.
       Mereka terus juga berjalan bersama-sama sampai keduanya tiba di gubuk, sementara dua orang yang mengikutinya hanya sampai di ujung kampung. Keduanya memperhatikan Mpok Tiwi dan Pak Darwi yang memasuki gubuk masing-masing.
       “Sialan! Tidak guna lagi aku menunda-nunda kerjaku. Dia tidak punya tempat tinggal lain”, rutuk si wajah dingin sambil membalikkan tubuhnya diikuti oleh kawannya.
       Seorang lelaki tua muncul dari arah berlawanan dalam langkah-langkah kelelahan, rupanya habis berjalan jauh. Kedua orang yang berjalan keluar lorong tidak menaruh perhatian samasekali kepadanya. Mereka berjalan sambil bicara.
       “Kalau begitu kapan kerja ini dilakukan?”, tanya si pengemudi.
       “Malam ini dan di sini. Tempat ini sangat baik, jauh dari keramaian”, sahut si wajah dingin.
       Lelaki tua yang berjalan dari arah berlawanan itu menyisi ketika dua orang itu berjalan seenaknya tanpa mau mengalah.
       “Memang tempat yang baik sekali. Sebab di sini dia tidak dikawal bodigar atau polisi, sehingga kita tidak memerlukan banyak teman”, ujar si pengemudi.
       “Tetapi aku tetap akan membawa tiga orang lagi untuk menjaga kemungkinan turut campurnya para penghuni lain. Yang kuperlukan adalah orang yang punya senjata api dua orang untuk menahan pengeroyokan. Nyali mereka akan ciut jika melihat satu-dua orang kawannya mati terkapar, sehingga kita bisa membawa perempuan itu tanpa ada yang mengganggu lagi”.
       Demikianlah, sementara bercakap-cakap kedua orang itu telah tiba kembali di jalan besar. Mereka menaiki mobilnya kagi dan berlalu meninggalkan tempat itu dengan rencana yang matang.
       Dalam pada itu lelaki tua yang menyisi tadi sambil berhenti karena jalan sempit, meneruskan langkahnya lagi setelah kedua orang itu hilang di ujung lorong. Dia menuju ke gubuk Pak Darwi yang saat itu sedang menyalakan lampu gantung di depan gubuknya. Mpok Tiwi yang juga sedang menyalakan lampu gantungnya melihat kedatangan lelaki tua itu dan menyapanya.
       “Baru pulang Pak Yanto?”, tanyanya.
       “Betul Nak”, sahut yang ditanya.
       “Sudah bertemu?”, tanya Mpok Tiwi lagi.
       “Belum. Ternyata Jakarta terlalu banyak orangnya. Pelabuhan itu ramai sekali, sehingga Bapak seperti mencari sebatang jarum di lapangan rumput yang luas”.
       “Itulah susahnya kalau kita tidak tahu alamat yang jelas dari orang yang kita cari”, kata Mpok Tiwi.
       ”Tapi kalau di kampung Bapak, sekalipun seluas kecamatan, jika kita mencari orang, asal tahu kampungnya, sebentar juga ketemu”, kata Pak Yanto.
       “Jakarta lain Pak”.
       “Ya, sungguh jauh dari yang Bapak bayangkan. Ah sudahlah. Bapak ingin istirahat dulu untuk pencarian esok hari”.
       “Silahkan Pak. Mudah-mudahan kemenakan Bapak itu dapat segera ditemukan”, kata Mpok Tiwi.
       “Ya mudah-mudahan saja, supaya Bapak tidak terlalu lama meninggalkan kampung”, sahut Pak Yanto, dan sambil masuk ke gubuk dia berkata kepada Pak Darwi: “Kukira malam ini aku tidak akan bisa tidur, sehingga kau dan Nak Tiwi akan terganggu oleh keluhanku”.
       “Tidak apa, aku dan Nak Tiwi sudah biasa tahan bangun sampai pagi”, sahut Pak Darwi yang mengerti isyarat itu bahwa penyerangan akan terjadi malam ini. Maka dia pun melangkah menghampiri Mpok Tiwi.yang sedang duduk di depan pondoknya sambil memperhatikan kesuraman malam.  
       “Apa yang kau renungkan Nak?”, tanya Pak Darwi.
       “Isyarat tadi Pak. Rupanya Bapak sudah tahu ada orang yang mengikutiku. Itu berarti Bapak sudah tahu pula siapa diriku sebenarnya”, sahut Mpok Tiwi dengan menghela nafas.
       “Maafkan Bapak, Nak. Bapak tidak bermaksud jelek. Bapak hanya mencemaskan keselamatanmu, karena kau telah Bapak anggap anak sendiri. Bapak cemas kalau peristiwa pencegatan terhadapmu tempo hari terulang kembali. Maka Bapak sering mengikutimu. Ternyata apa yang Bapak khawatirkan itu nampaknya akan terjadi lagi”.
       “Jadi Bapak juga telah tahu tempat tinggalku yang sebenarnya?”, tanya Mpok Tiwi tanpa mengacuhkan perkataan terakhir Pak Darwi.
       “Sekali lagi Bapak minta maaf. Bukan maksud Bapak sengaja menyelidiki dirimu. Bapak hanya mengikuti orang yang telah beberapa kali membuntutimu. Karena itu sekarang Bapak tidak berani lagi menganggapmu sebagai anakku”, sahut Pak Darwi.
       “Aku tidak berkeberatan samasekali Bapak. Justru aku senang karena Bapak seorang pejuang tanpa pamrih”.
       “Ah dibandingkan denganmu, perjuangan Bapak jadi tidak berarti. Bapak hanya membantu satu segi dari perjuanganmu. Sementara kau menyumbang tenaga, pikiran, dan harta di tiap bidang tempat kau berada, termasuk di perkampungan kumuh ini. Yang sangat mengagumkan adalah, kau seorang kayaraya dan cantik jelita, tetapi sengaja menghinakan diri sebagai orang hina berwajah penyakitan  untuk menolong sesama tanpa membuat orang menghormatimu berlebihan. Dengan demikian kau adalah wanita utama yang cantik lahir-batin, berhati lembut tetapi tegar, patriot...”.
       “Ah sudahlah Bapak, jangan diteruskan lagi. Aku takut tidak kuat menanggung pujianmu. Sebaiknya kita bicara soal orang yang mengikutiku tadi. Aku belum mengerti betul apa yang Bapak isyaratkan tadi”, tukas Mpok Tiei memotong perkataan Pak Darwi.
       “Kau tengah diintai bahaya besar Nak, harta dan jiwamu. Dia pembunuh bayaran suruhan Bossmu yang telah ditangkap itu, karena kau pernah mengobrak-abrik sarangnya”, kata Pak Darwi.
       “Kapan kira-kira rencana dia?”, tanya Mpok Tiwi.
       “Bukan hanya dia seorang, tetapi beberapa orang. Yang paling berbahaya bukan orang yang kau lihat tadi, tetapi kawannya, seorang pembunuh berdarah dingin. Dan rencana itu hampir dapat dipastikan malam ini, mungkin sebentar lagi. Karena itu kita harus segera bersiap. Kau jangan berada di dalam gubuk. Sebaiknya ganti pakaianmu dan bawa senjata. Bapak akan berkeliling dulu memberitahukan penghuni lain agar tidak ada yang keluar dari gubuknya”, sahut Pak Darwi sambil berlalu.
       Sejenak Mpok Tiwi menatap tubuh Pak Darwi. Tetapi kemudian dengan tergesa-gesa dia menyelinap masuk ke gubuknya untuk mempersiapkan diri.
       Malam pun merayap semakin larut. Pintu gubuk-gubuk sudah tertutup. Nampaknya kebanyakan penghuninya sudah pada tidur, mempersiapkan tenaga untuk kerja esok hari. Dalam kesenyapan malam larut itu, dari arah lorong muncul lima orang lelaki. Beberapa lamanya kelima lelaki itu berdiri saja di ujung deretan gubuk memperhatikan keadaan.
       Setelah yakin tidak ada hal yang mencurigakan, mereka berjalan lagi beriringan. Sampai di depan gubuk Mpok Tiwi mereka berpencar. Yang dua-dua di kiri-kanan gubuk. Sedangkan yang seorang, yaitu si orang berwajah dingin berdiri di depan gubuk  Si orang berwajah dingin langsung menghampiri pintu dan jari-jarinya mengetuk pintu gubuk sambil memanggil perlahan-lahan.
       “Pok, Mpok Tiwi”, panggilnya.
       Tidak ada sahutan. Karena itu sekali lagi dia mengetuk pintu agak keras.
       “Mpok Tiwi! Mpok Tiwi!”, panggilnya lagi lebih keras.
       “Aku di sini. Siapa kalian? Ada perlu apa malam-malam datang ke gubukku?”, sahut Mpok Tiwi, tetapi bukan dari dalam gubuk, melainkan dari arah sungai.
       Serentak kelima orang itu berpaling ke arah datangnya suara jawaban. Beberapa langkah dari pinggir sungai tampak sesosok tubuh berpakaian karate, berambut kribo pirang, berdiri mengangkang kaki memperhatikan kelima pendatang itu. Dia adalah Widar.
       Si orang berwajah dingin maju menghampiri Widar beberapa langkah, sementara mulutnya bicara.
       “Ternyata kau perempuan luarbiasa. Nalurimu sangat tajam terhadap bahaya. Itu membuat hatiku jadi gembira. Kau akan memberi kepuasan kepadaku, karena kau bukan perempuan cengeng. Hatimu lebih jantan dari banyak lelaki yang pernah kuhadapi”.
       “Aku juga kagum pada ketegarannya. Tetapi soal kedatangan kalian bukan karena naluri tajam, hanya kebetulan telinga tuaku mendengar omonganmu”, sahut suara lain, datangnya dari arah belakang dua orang yang berdiri di samping gubuk arah gubuk Pak Darwi, tetapi bukan Pak Darwi melainkan Pak Yanto.
       Sekali lagi kelima orang itu serentak berpaling ke arah datangnya suara. Tetapi yang paling terkejut adalah dua orang yang berdiri membelakanginya. Mereka langsung berbalik menghadap ke arah Pak Yanto yang berdiri dalam jarak tiga meter dari dua orang itu.
       “Setan! Kau orangtua loyo yang berpapasan denganku tadi ha?!”, bentak si orang wajah dingin dengan nada marah.
       “Tetapi akulah yang memberitahukan bakal datangnya kalian kepada Mpok Tiwi”, sahut suara lain lagi. Kini datang dari arah belakang dua orang yang berdiri berseberangan dengan yang menghadapi Pak Yanto.
       Untuk ketiga kalinya kelima orang itu berpaling serempak ke arah datangnya suara, dan yang dua orang terdekat meloncat berbalik. Dalam jarak tiga meter dihadapannya berdiri seorang tua lagi, Pak Darwi.
       “Laknat! Ternyata kalian seluruh penghuni gubuk di sini sudah bersiap hendak mengeroyokku. Baiklah, mari keluar semua jika sudah tidak sayang akan nyawa kalian”. Si orang berwajah dingin membentak lagi dengan darah bergolak dan matanya menyapu liar ke sekeliling tempat.
       “Jangan memutar balik kenyataan. Kalian berlimalah yang akan mengeroyok Mpok Tiwi. Karena itu aku telah melarang semua penghuni lainnya ke luar dari gubuknya. Jadi mereka semua jangan dilibatkan ke dalam persoalan kalian. Karena yang kalian perlukan adalah Mpok Tiwi yang sudah siap menghadapi kau. Sedangkan aku dan kawanku yang sudah tua akan menghadapi kalian yang empat orang, dua lawan satu. Siapa di antara kita yang lebih banyak?”, ujar Pak Darwi dalam pertanyaan.
       Sesungguhnyalah, sebelum kelima orang itu datang, Pak Darwi telah mendatangi setiap gubuk agar tidak ada yang keluar, apa pun yang terjadi dan yang mereka dengar. Mereka telah diberitahu bahwa kampung mereka akan didatangi beberapa penjahat yang kejam dan berbahaya, jauh lebih berbahaya dari yang pernah mereka keroyok tempo hari.
       “Iblis! Kalian bertiga telah membuatku marah. Karena itu kalian akan merasakan sayatan-sayatan pisau di seluruh tubuh kalian seblum kupotong-potong jadi sepuluh potong”, teriak si orang berwajah dingin dengan keras, sehingga para penghuni yang ketakutan dalam gubuk semakin ngeri mendengar ancaman sadis itu.
       “Kau memang manusia sadis. Aku tidak tahu apakah keempat kawanmu juga sama sadisnya denganmu? Walaupun begitu aku tidak takut. Biarlah nyawa tuaku ini kalian iris-iris, bahkan dagingku mau kalian makan juga aku tidak keberatan, asal kalian mampu”, tukas Pak Darwi dengan nada keras pula.
       “Bunuh kedua orangtua loyo itu! Perempuan ini biar aku yang menanganinya!”, teriak si orang berwajah dingin dengan kemarahan yang memuncak.
       Serentak keempat kawannya bergerak bersamaan.Yang dua menerjang Pak Yanto, dan yang dua lagi menerjang Pak Darwi. Demikian pula si orang berwajah dingin menerjang Widar dengan jurus-jurus karatenya. Maka sejenak kemudian pertarungan pun berlangsung dengan sengit dalam tiga lingkaran.
       Kalau Widar dan lawannya bertarung dalam tata kelahi yang bercorak sama, maka Pak Yanto dan Pak Darwi bertarung dalam jurus-jurus yang lain dari lawan mereka. Kedua orangtua itu meggunakan jurus-jurus silat yang tidak kalah berbahayanya dengan serangan lawan-lawannya. Adalah satu kenyataan, kedua orangtua itu mampu mengimbangi dua lawan masing-masing. Bahkan mereka dapat mendesak membuat lawan-lawannya kerepotan.
       Kemampuan Widar ternyata sangat mengagumkan. Berkali-kali tendangan dan pukulannya menghantam tubuh orang berdarah dingin itu dengan telak, sehingga beberapa kali orang itu terbanting jatuh. Namun ternyata pula ketahanan tubuh orang berwajah dingin itu sangat kuat. Widar sendiri beberapa kali harus berdesis karena merasakan nyeri setiap dikenai serangan lawan. Untungnya dia memiliki gerakan yang lebih lincah, sehingga serangan-serangan lawan yang mengenainya tidak terlalu telak, karena selalu sempat menghindari.
       Ketika pertarungan sudah berlangsung agak lama, si orang berwajah dingin terpaksa harus mengakui keunggulan lawannya. Suatu saat dalam kesempatan yang sangat baik, Widar memutar tubuh, dan dalam detik beikutnya, kaki kanannya yang mencuat  menghantam leher lawan dengan keras sekali, sehingga si orang berwajah dingin terlontar ke belakang sampai beberapa meter, dan terbanting keras di tanah.
       Widar memburu hendak menyusulkan serangannya lagi ketika orang berwajah dingin itu menggeliat bangun. Namun gadis itu terpaksa mundur lagi karena di tangan lawannya telah tergenggam pisau belati. Dari cara orang itu menggenggamnya dan digerak-gerakan tak henti-hentinya, jelas sekali dia telah terlatih dengan senjata itu. Karena itu Widar pun mencabut senjatanya, sepotong pipa besi bekas stang motor.
       Tetapi senjata Widar bukan untuk menyerang, melainkan untuk mempertahankan diri. Karena itu dia hanya menunggu sambil bergeser-geser setiap kali lawannya menggoyangkan pisau belatinya melakukan tusukan. Hanya sekali-kali saja Widar menangkis tusukan itu. Lawannya merasakan pula senjatanya yang lebih menguntungkan.
       Dalam pada itu satu di antara lawan Pak Darwi adalah si pengemudi yang selalu bersama-sama dengan si orang berwajah dingin ketika membuntuti Widar.  Ternyata kemampuan karate orang itu tidak lebih rendah dari si orang berwajah dingin. Hanya bedanya, orang ini tandangnya tidak terlalu garang. Lawannya yang kedua memiliki kemampuan di bawah si pengemudi, sehingga merupakan sasaran yang lebih ringan.
       Untuk mengurangi tekanan lawan, Pak Darwi menggunakan siasat tipuan. Dia banyak mendesak lawan yang kemampuannya lebih tinggi. Tetapi pada saat yang tidak diduga-duga, dia meloncat menerjang lawan yang lebih lemah dengan serangan cepat beruntun, sehingga lawannya tidak sempat mnghindar lagi. Terakhir dengan sodokan lima jarinya yang dirangkapkan, Pak Darwi menyerang lawan itu tepat di bawah dagunya, disusul dengan ayunan kaki menyambar  lambung lawan, sehingga tubuh orang itu terpelanting berputar dan ambruk di tanah  bagai pohon yang tumbang tanpa bergerak lagi.
       Melihat itu lawannya yang satu lagi mencabut pisau belati dari pinggangnya. Pak Darwi pun mencabut senjatanya pula, sepotong pipa besi seperti yang dipergunakan Widar. Sama seperti yang terjadi dalam pertarungan Widar dengan si orang berwajah dingin, lawan Pak Darwi pun sangat mahir menggunakan pisaunya yang selalu bergetar dan bergoyang, sehingga menyusahkan lawan menangkisnya.
       Di lingkaran lain lagi, Pak Yanto menghadapi kedua lawannya dengan jurus-jurus silat. Sebuah kebetulan, kedua lawan Pak Yanto kemampuan bertarungnya tidak terlalu tinggi, sehingga Pak Yanto dapat menghadapi lawan-lawannya dengan mantap. Sejak awal pertarungan, Pak Yanto sudah menguasai medan. Dia mendesak kedua lawannya dengan sodokan-sodokan lima jarinya dan tendangan-tendangan akakinya.
       Pada suatu saat kedua lawannya menerjang dari dua arah berlawanan. Pak Yanto meloncat selangkah mundur tepat pada saat kedua lawannya tiba, sehingga serangan kedua lawannya saling menghantam kawan sendiri tanpa dapat dihindari. Sebelum kedua lawannya menyadari keadaan, kedua tangan Pak Yanto bergerak cepat menangkap leher kedua lawannya, dan membenturkan kedua kepala lawan satu sama lain dengan kerasnya. Begitu pegangan Pak Yanto dilepaskan, kedua tubuh lawannya ambruk di tanah tak bergerak lagi.
       Pak Yanto adalah yang pertama menyelesaikan perkelahian itu. Dia memandang ke arah Widar yang sedang bergeser-geser dalam pertarungan cepat melawan senjata di tangan si orang berwajah dingin. Suatu saat ketika pisau lawannya terjulur, Widar mengayunkan pipa besinya, bukan pada pisaunya tetapi pada pergelangan tangan lawannya. Terdengar bunyi detakan beradunya tulang dengan pipa besi. Si orang berwajah dingin memekik dengan mulut menyeringai menahan nyeri yang hampir tak tertahankan, dan pisau belati pegangannya terjatuh tanpa dimaui pemiliknya.
       Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Widar. Dia menghantam pipi lawannya dengan pipa besi. Kembali terdengar pekikan. Tetapi kejadian selanjutnya terjadi demikian cepat, sehingga sukar diikuti oleh mata.
       Pada saat Widar mengayunkan lagi pipa besinya, sesosok tubuh meloncat demikian cepat mendorong tubuh si gadis dengan kuatnya. Bersamaan dengan itu sebuah letusan pistol meledak, diikuti sesosok tubuh lain meloncat menyerang sosok tubuh yang mendorong Widar tadi dengan pisau terjulur.  Sosok tubuh itu yang tak lain dari Pak Darwi hanya sempat membalik, dan pisau di tangan sosok pengejarnya menghunjam di dadanya.
       Widar yang terjengkang ke belakang, langsung bersalto untuk menghindarkan tubuhnya terjatuh. Di saat lainnya dia sudah berdiri mengangkang kaki menghadapi segala kemungkinan. Tetapi matanya menjadi terbelalak melihat yang terjadi di depannya.
       Si orang berwajah dingin berdiri mematung dengan tangan menekap dada. Pak Darwi terhuyung mundur, juga dengan tangan menekap dada. Kawan si orang berwajah dingin memegang pisau berdarah di tangannya, sementara pandangannya berpaling ke arah si orang berwajah dingin yang mengernyitkan alisnya oleh rasa sakit yang tak tertahankan.
       “Bunuh orang yang men..nemb..bakkku”, desah si orang berwajah dingin dalam suara sendat. Bersamaan dengan akhir ucapannya, tubuhnya terguling di tanah dengan mata membelalak, bersamaan pula dengan tergulingnya tubuh Pak Darwi.
       Kawan si orang berwajah dingin membalikkan tubuhnya menatap tajam ke arah kawan bertarungnya tadi yang telah dijatuhkan oleh Pak Darwi, tetapi saat itu telah duduk kembali dengan menggenggam pistol di tangannya. Si pengemudi yang memegang pisau berdarah itu meloncat ke arah si pemegang pistol dengan pisau terjulur. Bersamaan dengan itu dari arah lain Pak Yanto juga meloncat ke arah si pemegang pistol dengan dua loncatan panjang.
       Sebuah letusan terdengar lagi, dan tubuh si pengemudi tertegun tidak jauh di depan penembaknya, lalu ambruk di tanah, bertepatan dengan tibanya Pak Yanto di depan si penembak. Sekali tendang saja pistol di tangan si penembak terlempar jauh. Pak Yanto melanjutkan serangannya dengan tendangan lain menghantam kepala orang itu sehingga terputar dengan mengeluarkan pekikan. Tendangan berikutnya yang menghantam perut orang itu mengakhiri seluruh perkelahian, karena tubuh yang diserangnya terbanting di tanah, pingsan.
       Dalam waktu beberapa detik itu Widar yang masih berdiri mematung dapat membaca seluruh kejadiannya. Pada saat dia menyerang si orang berwajah dingin tadi, rupanya Pak Darwi yang tengah berkelahi dengan si pengemudi melihat lawan yang satunya lagi siuman kembali, dan mencabut pistol hendak menembak si gadis untuk menolong pemimpinnya.
       Melihat itu Pak Darwi langsung melontarkan dirinya ke arah Widar dan mendorong gadis itu tepat pada saat senjata meletus, dan pelurunya langsung menembus dada si orang berwajah dingin ketika tubuh Widar terjengkang. Lawan Pak Darwi yang menyangka orangtua itu hendak menyerang pemimpinnya, mengejarnya dengan pisau terjulur, dan langsung menusukkan ke tubuh Pak Darwi yang baru membalikkan tubuh.
       Hampir bersamaan Pak Yanto yang telah menyelesaikan si penembak itu berlari ke tempat Pak Darwi jatuh, sementara dari arah berlawanan Widar juga meloncat menghampiri. Kedua orang itu berjongkok di depan tubuh Pak Darwi yang terbaring.
       “Dar”, panggil Pak Yanto.
       “Pak Darwi”. Widar pun memanggil namanya.
       Pelupuk mata Pak Darwi bergerak dan matanya membuka memandang kepada Widar sejenak, lalu menutup kembali dengan mulut menyeringai menahan sakit.
       “Kita ringkus dulu mereka semua supaya tidak membahayakan”, kata Widar sambil meloncat berlari ke gubuknya.  
       Pak Yanto pun berlari ke gubuk Pak Darwi. Tak berapa lama kemudian keduanya telah berbalik sambil membawa tali pengikat. Pak Yanto dan Widar bekerja cepat. Tetapi ternyata si orang berwajah dingin dan kawannya yang selalu jadi pengemudi itu tidak memerlukan ikatan, karena telah mati, sehingga mereka hanya meringkus tiga orang yang ternyata semuanya membawa pistol.
       “Pak Yanto, tolong angkat Pak Darwi ke mobilku di garasi umum. Kita harus cepat menolongnya”, ujar Widar.
       Pak Yanto mengangguk. Tanpa bicara lagi dia mendukungbtubuh kawannya. Sementara Widar pergi ke gubuknya, mengambil tas plastik besarnya, lalu mengunci pintu gubuk itu. Dia juga menutupkan pintu gubuk Pak Darwi. Sebelum pergi meninggalkan tempat itu, Widar berteriak di depan pintu gubuk Pak Sukra.
       “Pak Sukra, perkelahian telah selesai!. Tolong awasi para penjahat yang telah kami ringkus. Pak Darwi terluka parah, aku akan membawanya ke rumah sakit, sekalian akan menelpon polisi untuk membawa para penjahat itu!”, katanya.
       Tanpa menunggu jawaban Pak Sukra, Widar pergi setengah berlari mengejar Pak Yanto yang mendukung tubuh Pak Darwi.
       Setibanya di garasi umum, Widar mengeluarkan VW-nya. Pak Yanto mendudukkan Pak Darwi di tempat duduk belakang dengan disanggah oleh tubuhnya sendiri sebagai sandaran.
       “Siapa yang didukung tadi Nona?”, tanya petugas piket garasi  ketika mobil itu lewat di depan kantor piket.
       “Kawan yang sakit parah. Aku akan membawanya ke rumah sakit”, sahut Widar.
       Si petugas piket tidak bertanya lagi. Widar pun melarikan mobilnya dengan cepat. Tetapi ternyata dia tidak membawa Pak Darwi ke rumah sakit, melainkan ke rumah yatim-piatu. Tanpa menimbulkan kegaduhan, Widar dan Pak Yanto membawa masuk Pak Darwi ke kamar gadis itu dan dibaringkan di pembaringan Pertiwi.
       Widar langsung mengangkat telepon yang ada di meja kamarnya, dan memutar nomor menghubungi kator polisi. Sejenak kemudian hubungan pun telah nyambung.
       “Halo di sini Widar. Minta bicara dengan Pak Inspektur Hendro”.
       “.............”.
       “Ada dua mayat dan tiga orang yang diringkus di perkampungan kumuh tempat tinggalku. Mereka para penjahat yang bermaksud membunuhku”.
       “.............”.
       “Besok saja penjelasannya. Aku harus cepat menolong kawan yang luka parah”.
       “............”.
       “Baik. Selamat malam”.
       Widar menaruh teleponnya kembali. Lalu dengan tergesa-gesa dia mengeluarkan tas dokternya dari lemari. Peralatan kedokteran di kamar itu memang cukup lengkap. Karena sejak Pertiwi menjadi dokter, ruang depan kamarnya telah dijadikan poliklinik pengobatan bagi rumah yatim-piatu itu khususnya dan bagi para tetangga di sekitarnya yang memerlukan pertolongan dokter.
       Tak lama kemudian, dengan cekatan tangan gadis itu telah menangani luka Pak Darwi, luka yang cukup dalam. Meskipun gadis itu punya hati tabah, namun dahi dan wajahnya dibanjiri keringat, sehingga beberapa kali dia harus mengelapnya. Namun akhirnya pekerjaan itu selesai juga. Widar menjatuhkan dirinya di kursi panjang yang ada di kamar itu, tempat dia bersantai-santai sambil membaca buku kalau ada waktu luang.
       “Bagaimana keadaannya Nak?”, tanya Pak Yanto dengan hati masih tegang.
       “Kita serahkan kepada Tuhan, Pak. Lukanya sangat parah, kita hanya sekedar berusaha”, sahut Widar sambil menarik kulit wajah palsunya yang berambut kribo pirang, sehingga sejenak kemudian telah berganti menjadi wajah Pertiwi.
       “Tolonglah Nak. Dia sahabatku yang sangat baik”, kata Pak Yanto dengan nada memohon.
       “Insya Alloh, Pak. Aku akan berusaha semampuku. Karena aku juga tahu, lukanya itu terjadi akibat menyelamatkan diriku. Tanpa ditolong olehnya, mungkin aku yang terkapar di sana karena ditembus peluru yang ternyata telah membunuh lawanku”, sahutnya sambil membersihkan wajahnya yang berpeluh.
       Pak Yanto menunggu sampai si gadis menyelesaikan pekerjaannya, baru kemudian dia bertanya.
       “Kenapa kau buka samaranmu di depanku Nak?”.
       “Dibuka atau tidak, kalian tentu sudah tahu siapa diriku”, sahut Pertiwi, “di saat kedatangan para penjahat tadi, aku tahu Bapak datang ke gubuk Pak Darwi adalah sengaja untuk membantuku. Untuk itu benar-benar aku sangat berterimakasih. Aku yakin pula, Bapak adalah kawan Pak Darwi yang telah membantu pihak kepolisian dalam menjaring para pengedar narkotika itu, sehingga berhasil dengan gemilang”.
       “Ah, bantuan yang tidak berarti”, kata Pak Yanto.
       “Jangan mengecilkan diri. Tanpa informasi kalian yang cepat dan tepat, tentu penjaringan itu akan banyak gagal”.
       Tiba-tiba terdengar Pak Darwi mengerang. Pak Yanto dan Pertiwi menghampirinya. Pak Yanto memegang dahi kawannya.
       “Panas sekali”, katanya.
      “Kita berdoa Pak. Mudah-mudahan Pak Darwi dapat mengatasi saat-saat kritisnya. Kalau besok pagi membaik, Bapak dapat melanjutkan mencari kemenakan Bapak itu”, ujar Pertiwi sambil tersenyum.
       Pak Yanto tersenyum pula. “Tadi sudah datang sendiri, sehingga tidak perlu kucari lagi. Tetapi memang Bapak punya pekerjaan lain yang tidak bisa ditinggalkan”, sahutnya.
       “Kalau begitu, jika Bapak ingin istirahat, silahkan. Tetapi maaf, Bapak terpaksa tidur di kursi panjang di ruang depan”, kata Pertiwi.
       “Itu lebih baik daripada tidur di gubuk reyot sahabatku”, sahut Pak Yanto sambil bangkit dan berlalu ke ruang depan. Sementara Pertiwi pun melunjurkan kakinya pada kursi panjang itu.
       Malam yang telah sangat larut itu terus merayap semakin larut, sampai akhirnya fajar muncul di ufuk timur. Tak lama kemudian hari baru telah datang lagi. Ketika Pak Yanto masuk ke dalam, Pertiwi sedang duduk di pinggir pembaringan memeriksa perkembangan pasiennya.
       “Bagaimana perkembangannya Nak?”, tanya Pak Yanto.
       “Alhamdulillah Pak, saat kritisnya telah lewat”.
       Rupanya percakapan kedua orang itu terdengar oleh Pak Darwi, karena tiaba-tiba dia membukakan matanya. Kemudian mulutnya bergerak sambil menatap Pak Yanto.
       “Di mana aku?”, tanyanya dengan suara lemah.
       “Tenanglah Dar. Jangan banyak bergerak dan bicara dulu. Nona Dokter telah menjagamu setengah malam penuh’, sahut Pak Yanto.
       Pak Darwi mengalihkan pandangannya kepada Pertiwi. “Terimakasih”, ujarnya, lalu memejamkan matanya lagi.
      “Nona, Bapak akan pergi dulu. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Kalau sempat, nanti sore Bapak akan ke sini lagi. Tetapi kalau tidak sempat, besok pagi pasti akan menengok keadaannya”.
      “Silahkan”, sahut Pertiwi sementara tangannya bekerja untuk mengobati dan mengganti pembalut luka Pak Darwi.



-----oooooooooo-----



       Jari-jari lentik Petiwi terus juga membelit-belitkan pembalut luka pasiennya. Keadaan Pak Darwi sudah semakin baik. Dia sudah dapat duduk, sehingga pekerjaan membalut itu tidak sukar lagi.
       Pak Darwi mengangkatkan tangannya untuk semakin mempermudah pembalutan. Pertiwi tidak menyadari kalau mata orangtua itu tak lepas-lepasnya menatap wajahnya yang begitu dekat dengan wajah Pak Darwi. Suatu saat, ketika Pertiwi  baru selesai mengikat balutan pembungkus lukanya, tiba-tiba lengan Pak Darwi yang teracung jatuh di pundak Pertiwi, dan menarik maju. Tak dapat dihindarkan lagi wajah mereka beradu, dan bibir Pak Darwi mengecup bibir Pertiwi dengan hangat.
       Tanpa sesadarnya Pertiwi meronta mundur, dan tangannya menampar pipi orangtua itu dengan keras dua kali, sehingga mulut Pak Darwi berdesis. Kemudian menyeringai karena rontaan Pertiwi tadi menyakitkan lukanya.  
       “Apa yang kau lakukan?”, desis Pertiwi dengan muka menyemburat merah dan mata melotot.
       Sambil mengusap-usap pipinya yang ditampar, Pak Darwi menyahut: “Maafkan Bapak, Nak. Bapak hanya ingin mengucapkan terimakasih atas ketelatenanmu merawat Bapak. Tidak ada maksud lain, Bapak merasa seperti mencium anak sendiri”.
       “Tetapi tidak harus dengan cara itu. Kenyataannya aku bukan anakmu, dan aku bukan anak kecil lagi. Orangtuaku sendiri tidak akan berani melakukan perbuatan sekurang ajar Bapak”, kata Pertiwi masih dengan wajah merah.
       “Kalau begitu, sekali lagi Bapak minta maaf karena telah berbuat hilaf”, ujarnya, dan dia membaringkan dirinya, lalu memejamkan matanya. “Bapak akan tidur supaya cepat sembuh, dan secepatnya angkat kaki dari sini”.
       “Benar. Aku pun ingin agar kau cepat berlalu”, ujar Pertiwi dengan nada keras.
       Sementara membereskan alat-alatanya Pertiwi melirik kepada pasiennyayang sudah memejamkan matanya. Tiba-tiba wajah gadis itu berubah. Dia melihat sesuatu yang ganjil pada jambang pasiennya, di tempat dia menamparnya tadi. Jambang putih Pak Darwi terlipat sedikit, dan di bawahnya tampak rambut hitam.
       Dengan diam-diam Pertiwi menghampiri lemari obatnya, mengambil sebuah botol dan menuangkan sedikit cairan dalam botol itu pada kain putih yang dilipat-lipat. Setelah menyimpan kembali botol itu ke tempatnya, dia mendekati Pak Darwi dan menutupkan kain yang diberi obat itu ke hidungnya. Sejenak Pak Darwi menggeleng-gelengkan kepala untuk melepaskan bekapan itu, tetapi kemudian diam.
       Dengan tenang Pertiwi menarik jambang putih itu yang menyatu dengan rambut kepalanya. Sesaat kemudian tampaklah jambang dan rambut aslinya yang hitam. Selanjutnaya dia membukai janggutnya, kumisnya, dan alis matanya, sehingga akhirnya Pertiwi melihat wajah asli orang itu. Dia adalah lelaki muda yang pernah memberikan potongan pipa besi stang motor pada waktu menghadapi lima orang lawan yang mencegatnya tempo hari.
       “Gila”, desis Pertiwi sambil menatap wajah itu. Hatinya sangat mendongkol. Hampir saja tangannya menampar lagi lelaki itu. Tetapi tangannya yang sudah terangkat diturunkan kembali, dan dia menghela nafas. Kemudian dia berlalu meninggalkan pasiennya.    
       Ketika beberapa jam kemudian Pertiwi masuk lagi ke kamarnya, pasiennya membukakan mata dan memandang Pertiwi sejenak, tetapi kemudian mata itu dipejamkan lagi.
       “Jangan berpura-pura lagi. Bangun!”, kata Pertiwi dengan ketus.
       “Bapak tidak berpura-pura Nak. Bapak malu padamu”, sahut pemuda berjambang bauk kotor itu.
       “Nak, nak apa? Kau tidak pantas menyebutku anak, tahu? Kau manusia kurang ajar yang tidak pantas kuhormati”, bentak Pertiwi.
       “Ya, ya. Bapak memang manusia kurang ajar yang takpantas dihargai samasekali, sekalipun sudah hampir masuk kubur. Bapak manusia tak tahu diri yang pantas dimaki dan disumpahi olehmu Nak”.
       Pertiwi tidak menyahut. Tetapi dia mengambil cermin kecil yang tergantung di dinding kamar. Lalu dia menghampiri lelaki itu lagi, menarik tangannya supaya memegangi cermin itu.
       “Pandang wajahmu. Apa masih pantas kau menyebut diriku anak?”, tanyanya sambil menjangkau rambut palsu dari bawah kolong meja. “Dan ini rambut bapak moyangmu”, ujarnya lagi sambil melemparkan rambut itu ke wajahnya.
       Melihat wajah di cermin itu si pemuda membelalakkan mata, tetapi hanya sejenak. Lalu dia bangkit duduk sambil tetap memperhatikan wajahnya dalam cermin.
       “Kalau saja kau tidak ceriwis, mungkin selamanya aku tidak akan bisa membongkar kedokmu”, desis Pertiwi dengan nada kesal, “aku benar-benar ingin menampar wajahmu yang kumal itu”.
       “Silahkan Nona. Saya memang pantas Anda tampar. Saya manusia kurang ajar yang tak tahu diri, tak tahu kebaikan orang. Silahkan tampar sepuas-puasnya sampai kemarahan Anda reda”, sahut si pemuda sambil menaruh cermin di ujung pembaringan, dan dia memajukan wajahnya.
       Tetapi Pertiwi tidak melakukannya, justru tangannya bekerja membukai balutan si pemuda. Dengan telaten dia membersihkan luka itu yang sudah tertutup lagi dan mengobatinya. Kemudian membalutnya lagi dengan pembalut yang bersih.
       Pada saat itu pintu diketuk orang. Pertiwi bangit dan pergi ke ruang depan. Ternyata yang datang adalah Pak Yanto, yang setiap hari datang menengoknya. Begitu Pak Yanto tiba di dalam, mendadak Pertiwi mengulurkan tangannya hendak menjambret rambut orangtua itu, sementara mulutnya berkata.
       “Kau juga harus membuka kedokmu”, ujarnya.
       Tetapi dengan gerak refleks Pak Yanto menangkisnya, sehingga jambretan tangan si gadis luput. Beberapa kali Pertiwi berusaha menjangkaukan tangannya dengan cepat beruntun, tetapi Pak Yanto terus menangkisnya.
       “Jangan Nak. Kau tidak boleh melakukannya dengan cara begini”, kata Pak Yanto.
       Akhirnya gadis itu menghentikan usahanya dan berbalik melangkah masuk lagi ke kamarnya sambil bersungut-sungut.
       “Hentikan panggilan nak..nak itu. Apa kau kira aku tidak tahu usiamu masih muda, bahkan mungkin lebih muda dariku?”, kata si gadis.
       “Baiklah Dokter. Tetapi aku tidak akan membuka samaranku. Anda harus membuka kedokku dengan cara seperti kami membuka samaranmu”, sahut Pak Yanto, “Ha, akhirnya kau tidak bisa menyembunyikan lagi wajah kotormu Baka”, sambung Pak Yanto lagi dengan mengganti sebutan nama si pemuda.
       “Sayang, Nona Dokter membuka kedokku dengan cara yang kurang bermutu”, sahut Baka, “kedokku dibuka ketika aku sedang tidur”.
       Pertiwi menjatuhkan kursinya di atas kursi panjang tanpa mengacuhkan omongan kedua pria itu. Sementara Pak Yanto duduk di sisi pembaringan.
       “Bagaimana keadaanmu?”, tanyanya.
       ”Lumayan. Berkat pengobatan Nona Dokter yang sangat telaten. Kalau tidak, mungkin sekarang kau telah kehilangan aku”, sahut Baka.
       “Apa kau sudah mengucapkan terimakasih kepadanya?”.
       “Sudah sekali. Tetapi justru dia marah kepadaku”, sahut Baka.
       “Salahmu. Pasti kau berbuat tidak sopan”.
       “Dugaanmu tak salah”.
       “Itu berarti, usahamu untuk memacarinya sudah tertutup”. 
       “Apaboleh buat. Dan itu berarti pula, hidupku di gubuk kumuh telah tamat”.
       Meskipun kedua orang pria itu mempercakapkan dirinya dengan blak-blakan, Pertiwi samasekali tidak mencampurinya. Dia hanya mendengarkan sambil mempermainkan jari-jari tangannya, seolah telinganya telah menjadi tuli.
       “Dengan demikian akulah yang beruntung. Di samping menengok keadaanmu, kali ini aku datang untuk berpamitan, karena besok aku sudah tidak ada di sini lagi. Tolong jalankan usahaku sementara aku pergi. Jangan lupa, sebagian hasilnya buat pacarku”, kata Pak Yanto.
       “Sebenarnya aku sudah tidak kerasan lagi tinggal di kota ini. Aku sudah terlalu lama meninggalkan pekerjaanku sendiri, sehingga persediaan uangku hampir habis. Karena itu aku akan segera pulang ke Bandung”.
       “Jangan Baka. Apa kau tega membiarkan pacarku terlantar? Apalagi dia sekarang mulai menyusun skripsi dan membutuhkan biaya cukup besar. Kemarin aku sudah memberitahukan kepada pacarku, kalau memerlukan uang, minta saja kepadamu di perusahaan, karena kau sendiri sudah berjanji  membantuku selama aku pergi”.
       “Tempo hari lain. Sekarang keadaan sudah berubah. Aku tidak tertarik lagi untuk tinggal lebih lama disini”, sahut Baka.
       “Tidak bisa. Kau sudah berjanji. Kalau janji itu kau ingkari, aku tidak mau berteman lagi denganmu selamanya”.
       “Hmm...kau memerasku. Baiklah, kalau mau pergi, pergilah. Pokoknya begitu kau pulang, kau bisa langsung mengawininya, karena skripsi pacarmu pasti sudah beres”, sahut Baka.
       “Tetapi awas, jangan kau bantu membuatnya. Aku tidak mau pacarku jadi sarjana aspal. Dia harus jadi sarjana asli”.
       Baka tidak menyahut. Sementara Pertiwi mulai menaruh perhatian pada pembicaraan kedua lelaki itu. Karena di balik obrolannya yang sederhana dan terdengar kasar itu terpateri suatu persahabatan sejati yang penuh rasa tanggung jawab. Alangkah bahagianya orang-orang yang terpercik pancaran persahabatan mereka. Pertiwi sendiri sudah merasakan pancaran persahabatan itu ketika menjaring para pengedar narkotika dan ketika menghadapi pembunuh bayaran berwajah dingin beberapa hari sebelumnya. Sungguh sayang percakapan itu sudah selesai.
       “Ini kunci bengkelnya”, kata Pak Yanto sambil meletakkan serentet kunci di pangkuan Baka. Lalu dia berpaling kepada Pertiwi: “Dokter”, katanya, “aku mengucapkan terimakasih atas pertolongan Anda terhadap kawanku. Tentang penyamaranku nampaknya Anda tidak akan punya kesempatan membuka selamanya. Karena setelah pertemuan sekarang, mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi. Sebab sejak besok aku akan pergi jauh cukup lama. Nah selamat tinggal”.
       “Selamat jalan”, sahut Pertiwi, lalu: “Tetapi mungkin jika bertemu lagi nanti, aku sudah dapat mengetahui dirimu yang sebenarnya”.
       “Asal bukan dari kawanku, aku akan salut”, sahut Pak Yanto sambil berlalu.
       Pertiwi bangkit dari duduknya. Dia mengambil cermin yang diberikan kepada Baka tadi, lalu dipasangkan lagi pada tempatnya di dinding. Setelah itu dia membereskan peralatan bekas mengobati pasiennya, dimasukkan ke dalam tas dokternya, dan menaruhnya di atas meja. Dia tidak mengetahui bahwa Baka telah turun dari pembaringannya, menghampirinya dari belakang.
       Ketika Pertiwi membalikkan badannya, Baka berdiri begitu dekat dihadapannya, sehingga wajah mereka hampir bersentuhan. Pertiwi tidak sempat menghindar lagi ketika lelaki itu memeluknya dan menciumi bibirnya. Pertiwi tidak meronta. Dia mandah saja menerima perlakuan kurang ajar dari lelaki itu. Tetapi setelah lelaki itu melepaskan pelukan dan ciumannya, tangan Pertiwi menampar pipi si pemuda dua kali kiri kanan. Si pemuda pun tidak mengelak. Beberapa lamanya mereka bertatapan. Kemudian Baka melangkah mengambil bajunya dari gantungan pakaian.
       “Saya sungguh tidak mengira di balik tubuh Anda yang menggairahkan itu terdapat hati yang beku sedingin es. Bibirmu merah rabum, tetapi tawar sekali”, ujar Baka sambil mengenakan bajunya.
       Pertiwi tidak menyahut.Baka melanjutkan kata-katanya: “Saya sudah mendengar cerita diri Anda. Seharusnya Anda tidak terlalu kukuh kepada janji hati di masa lalu itu. Masa depan Anda masih panjang. Jangan menyia-nyiakan masa muda yang datangnya hanya sekali. Kalau saya mencium Anda barusan, selain sebagai ucapan terimakasih, sebenarnya saya bermaksud mencairkan kebekuan hati Anda. Sekarang Anda sudah punya tunangan. Binalah pertunangan itu dengan cara yang wajar”.
       Pertiwi tidak menyahut juga, bahkan tidak bergerak samasekali dari tempat berdirinya, sehingga lelaki itu keheranan dan berpaling memandangnya. Dia agak terkejut ketika melihat gadis itu mematung dalam tatapan kosong, namun sepasang matanya tampak berkaca-kaca.
       “Saya minta maaf karena telah berbuat kurang ajar kepada Anda. Juga saya minta maaf jika kata-kataku telah menyentuh kenangan masa lalu Anda yang pahit. Tetapi semuanya itu saya lakukan demi masa depan Anda, agar Anda tidak menyesal di kemudian hari. Lupakan kekasih masa lalu itu, karena mungkin justru dia sudah tidak mengingatnya lagi. Dan kita juga mungkin tidak akan pernah bertemu lagi. Selamat tinggal”.
       Baka melangkah ke luar meninggalkan kamar itu. Pertiwi masih mematung dalam kepedihan berlarut-larut. Ketika dia tersadar, pemuda itu sudah tidak berada di dekatnya. Dia bergegas keluar mencarinya, tetapi pemuda brewok kotor itu sudah tidak terlihat bayangannya samasekali.
       Tiba-tiba saja Pertiwi merasakan suatu kemenyesalan yang sangat atas kepergian pemuda itu, seolah ada sesuatu yang sangat berharga telah hilang dari dirinya bersama lenyapnya pemuda itu. Tetapi dia cepat menyadari bahwa yang hilang itu adalah gairah cintanya. Akhirnya dia menghela nafas yang begitu berat.....

--0

Bersambung ke Dimensi 3
         
         
            
           
          
      
       
        
             
       
              
      
      
  
          
      
        
        
      
       
        
        
         
        
        
        
      
          
        
          

          
             
          
       
       








   
   



  


        
        
      
      
     
      
      

          
       
      
      

      
          
         
         
      
      
  
      
      
      
      
  
      
      
  
        
         
     
      
      
      
     

      
      
           
     













        
    

           

        
      
      
     

        
     
        
      




 
       
        
      
     

          

      

      
      

      
      
      
      


      




      
      
      
         
      
         
       
    
        
             
      

  
          
      
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar