Citra
negatif tentang sains (ilmu) di dunia Islam nampaknya perlu diluruskan, memang tidak
sedikit orang yang beranggapan jika
meperdalamnya akan membahayakan keimanan, sebab konon sains bertentangan dengan
agama. Tetapi menurut peradaban Islam, mempelajari ilmu itu satu kewajiban yang
tidak bisa ditawar. Tanpa mempelajari fisika dan kosmologi misalnya, kita tidak
akan pernah tahu sososk pencipta alam ini. Bagaimana watak dan hukum yang
diterapkannya ?. Padahal itu merupakan pokok utama dalam menentukan sikap yang
harus diambil dalam mengimaninya. Dalam keimanan, hukum adalah penentu nasib
hidup, apabila salah dalam mematuhinya, celakalah nasib diri. Keyakinan pada
Tuhan tidak bisa diduga-duga atau dikhayalkan perasaan, tetapi harus diketahui
secara pasti melalui hasil penelitian ilmu.
Manusia
dinyatakan sebagai makhluk terpenting dan menjadi pusat penciptaan bukan
dilihat dari wujud fisiknya, tetapi karena akalnya. Kenyataan itu dapat dilihat
dari catatan sejarah, baik dari puing-puing peradaban maupun yang diberitakan dari kitab-kitab
petunjuk rosul. Semua itu digambarkan oleh pemikiran dan kemampuan akal
manusia. Sehingga tanpa kehadiran manusia tidak mungkin hadir istilah apapun,
termasuk jin, setan, malaikat, dan alin-lain. Dengan kata lain, potensi akal
tinggi yang dimilikinya menjadi ukuran tinggi rendahnya peradaban. Semakin
tinggi kesadaran masyarakatat atas potinsinya, peradaban masyarakat tersebut
semakin maju. Sebaliknya, semakin rendah kesadaran atas potensinya, peradaban
masyarakat itupun akan semakin rendah pula. Pada kesadaran atas potensi yang
meluncur ke tingkat yang paling rendah, maka masyarakat itu menjadi biadab.
Menurut
fitrahnya, makhluk berakal akan selalu berusaha melakukan yang benar, tetapi nilai
benar itu sangat tergantung pada tingkat potensi akal yang dimilikinya. Kita dapat
menyimpulkan bahwa teori-teori ilmu dan pola pikir manusia umumnya berlandas pada
3 tingkat perubahan bentuk dalam tingkat ruang yaitu, hanya pada dimensi
tampak. Akibat pola pikir yang tidak lengkap itu, berlangsungnya perubahan
pemikiran menyesuaikan dengan tempat kedudukannya menjadi samar, sehingga
perubahan bentuknya terlepas dari pengamatan.
Hukum
alam atau hukum evolusi, mempunyai pola sederhana namun memiliki pengembangan
yang tidak terbatas. Perubahan bentuk yang menyesuaikan (conformal
transformation) dari teori skalar tensor Pascual Jordan dan persamaan gelombang
kenisbian (relativistic wave equation) Paul Dirac merupakan dasar dari hukum
tersebut. Gabungan dari keduanya menunjukan bahwa, segala benda dan peristiwa
tidak bisa tidak akan berkembang menyesuaikan
diri (berevolusi) pada ruang dan waktunya.
Manusia
sebagai makhluk berakal yang memiliki ego (rasa) umumnya berfikir dari alamnya
sendiri, sehingga menganggap kebenaran ada di fihaknya. Bahkan ekstrimnya berfikir
lebih sempit lagi, yaitu memihak pada lingkup bidang tempat dirinya berada.
Masing-masing kita memihak pada kedudukan sendiri. Contohnya dapat kita
buktikan melalui definisi, yang pada garis besarnya terbagi dalam 3 bidang
yaitu : agama, politik, dan, ilmu. Sekalipun masing-masing di antara kita
memiliki pengetahuan atau mempelajari bidang-bidang tersebut, namun secara alami,
sikap kita akan memihak pada salah satu bidang yang dipilih.
Mari
kita lihat kenyataannya, ketiga kelompok itu mengadakan diskusi gabungan,
mereka adalah para filsuf dari ketiga bidang tersebut, setidaknya, mereka semua
berangkat dari falsafah. Dalam perjalanan hidupnya kemudian, yang memilih
berkecimpung di bidang agama, cenderung akan menjadi agamawan, dan akan
berpendapat bahwa agama adalah kebenaran tertinggi. Orang yang mengambil bidang
politik atau ilmu sebagai pilihan hidupnya, masing-masing akan menjadi politisi
dan ilmuwan, sekaligus akan menganggap bidang yang dipilihnya adalah kebenaran
tertinggi. Dengan kata lain, ketika mereka merumuskan definisi, masing-masing
akan menempatkan bidang pilihannya pada kedudukan tertinggi. akibatnya ketika
dilakukan diskusi gabungan tentang
definisi kebenaran, yang terjadi adalah perdebatan tanpa akhir yang berlangsung
penuh emosi dan berlarut-larut, tanpa memperoleh rumusan yang pasti dan dapat
diterima secara bulat oleh ketiga fihak pembicaranya.
Pilihan
pola fikir tersebut, disadari atau tidak disadari membawa kepada perubahan tingkat
kesadaran atas potensi diri. Kesadaran atas potensi menghasilkan peringkat
kemampuan berfikir akal. Itulah sebabnya, ketika utusan dari 3 bidang itu
berdiskusi, mereka tidak dapat memperoleh kebenaran yang sama dalam rumusannya.
Diskusi yang tujuannya mencari kebenaran hakiki tidak akan pernah tercapai, karena
mereka masing-masing memegang kebenarannya, yang tentu saja tidak akan sama,
karena perbedaan tingkat kesadaran atas potensi.
Sampai
hari ini, didunia terdapat 3 teori tentang kebenaran yaitu, teori korespondensi (the correspondence
theory of truth), teori konsistensi (the
consistence theory of truth), dan teori
pragmatis (the pragmatic theory of truth). Dari ketiga teori ini, masing
masing punya penganut serta pendukung, dan memang prilaku manusia tidak akan
terlepas dari ketiganya.
Teori korespondensi menyatakan bahwa, kebenaran harus
sesuai (conforms) dengan fakta, selaras dengan kenyataan, dan serasi
(correspond) dengan bukti atau keadaan yang sesungguhnya. Dengan kata lain,
kebenaran harus memiliki bukti-bukti nyata, itu adalah kebenaran yang
dipercayai akal, atau kebenaran ilmu.
Teori konsistensi menyatakan bahwa, kebenaran tidak
dibentuk atas hubungan antara putusan (judgment) dengan sesuatu yang lain (yaitu
fakta dan kenyataan), tetapi atas hubungan di antara putusan itu sendiri.
Artinya kebenaran didasarkan pada pernyataan
sebelumnya, atau sesuatu dinyatakan benar, bukan didasarkan pada bukti atau
kenyataan. Tetapi pada keputusan yang telah disepakati sebelumnya. Sebagai
contoh, ada sehelai kertas, sekarang berwarna kuning, dulunya ia berwarna
putih, maka pemegang teori ini menyebut kertas itu putih. Penganut teori
konsistensi tidak mau tahu bahwa kertas itu telah berubah warna karena terkena
evolusi waktu. Mereka menolak hukum alam yang berlangsung dalam evolusi. Dengan
kata lain, mereka bersepakat menolak bahwa diri mereka telah berevolusi dari
seorang bayi menjadi orang dewasa. Itu adalah kebenaran kesepakatan atau
kebenaran politik.
Teori pragmatis menyatakan bahwa, suatu ukuran
disebut benar selama ukuran itu berlaku dan memuaskan menurut anekaragam
pandangan yang digambarkan oleh penjelasan orang berlainan. Dengan kata lain, suatu pendapat dikatakan
benar apabila membawa akibat yang memuaskan, apabila berlaku dalam praktek,
apabila mempunyai nilai praktis. Artinya kebenaran harus dibuktikan oleh
kegunaannya, hasil dan akibat-akibat praktisnya. Karena itu, kebenaran adalah
yang berlaku, sehingga didunia ini tidak ada kebenaran mutlak. Sesuatu disebut
benar jika membawa akibat yang memuaskan perasaan. Kalau tidak memuaskan
perasaan, sekalipun ada bukti atau sesuai dengan kenyataan, maka harus ditolak.
Jadi, masuk akal ataupun tidak masuk akal harus diterima jika memuaskan perasaan.
Itulah kebenaran agama.
Kita
dapat melihat, teori korespondensi berbeda dari kedua teori lainnya (teori
konsistensi dan teori pragmatis). Kedua teori yang terakhir ini mempunyai
pandangan yang hampir sama, yaitu kebenaran buatan manusia. Kebenaran
konsistensi adalah kebenaran dari ketentuan yang disepakati bersama atau
kebenaran kami (ego kelompok). Sedangkan kebenaran pragmatis berangkat dari
kepercayaan terhadap kekuatan super yang tidak terjangkau akal, sehingga masuk
akal ataupun tidak masuk akal harus diterima asal memuaskan perasaan diri atau
kebenaran aku (ego diri). Dua kebenaran ini muncul dari perasaan manusia yang
selalu ingin memuaskan jasad (pamrih-ambisi). Karena watak dari hukum yang
dianut keduanya sama, sehingga bagi penganut agama tidak ada hambatan untuk menjadi
politisi, sebaliknya seorang politisi tidak ada larangan jadi agamawan.
Bagi
penganut teori korespondensi, kebenaran harus ditemukan dari alam melalui
penelitian yang memberi alasan-alasan.
Sebab mereka percaya bahwa alam diciptakan dengan ilmu dalam proses
evolusi perubahan bentuk mengurut sinambung dari sebab ke akibat. Sehingga
memiliki alasan-alasan yang dapat dijelaskan akal, mengapa alam ini dibuat,
siapa yang membuatnya, hukum apa yang
diterapkannya, bagaimana nasib akhirnya. Dengan berbekal pengetahuan itu,
penganut teori korespondensi dapat menentukan pilihan langkah hidupnya sesuai
dengan hukum sebab akibat yang diciptakan Alloh.
Orang
yang menganut kebenaran korespondensi adalah para ilmuwan murni, dan orang ummi
(tidak beragama dan berpolitik), mereka konsisten percaya pada hukum fisika
atau hukum alam ciptaan Alloh. Dalam menyikapi hidupnya, selalu berpegang pada
hukum sebab akibat karena mengetahui bahwa alam ini diciptakan dengan hukum
pembalasan seimbang. Jika kita berbuat baik –netral-adil-- di alam sebab (dunia),
maka Hukum (Tuhan) akan membalasnya di alam akibat (akhirat) dengan kebaikan
pula, sebaliknya jika mengikuti kehendak rasa-jasad
(syahwat-angkara-pamrih-ambisi) di dunia ini, maka di akhirat kelak akan dilemparkan
ke jalur malik.
Namun
kenyataannya, kebanyakan manusia tertipu oleh penampilan luar akibat rasa yang
ada pada dirinya selalu ingin memuaskan jasad. Sementara para agamawan sepanjang
jaman selalu menanamkan doktrin kepada manusia bahwa agama adalah ajaran Tuhan
yang membina moral. Dengan demikian, para orang tua sejak dini telah menanamkan
agama yang dianutnya kepada anak-anaknya sebagai keimanan yang benar, sedangkan
agama lain salah. Tidak heran jika mayoritas manusia mengaku beriman kepada
Alloh berdasarkan keturunan. Padahal doktrin itu merupakan akar pembentuk watak
egois-diskriminatif yang menimbulkan perpecahan-permusuhan di antara manusia
darai generasi ke generasi di muka Bumi ini.
Kenyataan,
carut-marutnya hukum yang terjadi di negeri ini demikian parah. Sementara
koruptor menjamur di setiap lini, bahkan itu terjadi dilingkungan yang harusnya
menjadi teladan seperti Departemen pendidikan dan Deprtemen agama. Padahal kita
tahu, penduduk negeri ini adalah orang-orang yang katanya “beriman“. Penerangan
agamawan di media-media tiap hari dari pagi buta, tidak pernah terlewatkan,
tetapi mengapa keadaan menjadi tambah parah. Lalu bagaimana pertanggungjawaban
para agamawan-ulama yang mengkalaim sebagai pembina moral?.
Jika
melihat akar dari kepercayaan yang dipaparakan di atas serta fakta yang ada, nampaknya,
kita pun wajib berfikir dan merenungkan kembali tentang pilihan hidup. Hukum apa
yang selama ini kita pegang, sudah betulkah yang kita imani. Sebab hukum Alloh
itu bersifat kekal, kematian di alam fana bukan akhir kehidupan, tetapi sekedar
jeda hukum untuk menunggu proses evolusi keseluruhan (kiamat), sebagai penentu
nasib hidup di alam akibat.
Ini koreksi
Artikel ini pernah di posting kangamun dengan nama Ajam Jamhari untuk komentar/jawaban ke kaisnet.wordpress.com.
Ini koreksi
Artikel ini pernah di posting kangamun dengan nama Ajam Jamhari untuk komentar/jawaban ke kaisnet.wordpress.com.
·
Pernah dipublish sebagai komentar
terhabap : kaisnet.wordpress.com
C
C
C
C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar