Selasa, 03 Mei 2011

NOVEL 4 DIMENSI PERTIWI

Oleh : S Anwar Effendie

PRAHARA NUSANTARA

PROLOG
Pesawahan itu membentangi daerah luas. Nun diujungnya dibentengi perbukitan membiru kelabu. Pohon padinya yang rata-rata belum berbuah, mengalun berombak-ombak tertiup angin pegunungan, seolah ombak-ombak hijau di lautan.
Sebuah jalan sirtu desa yang lengang, membujur lurus membelah pesawahan yang luas itu. Di kedua pinggirnya didereti pepohonan kayu rindang, tempat berteduh para pejalan dari teriknya sinar matahari, seperti yang dilakukan tiga lelaki berada di pertengahan jalan menuju arah deretan perbukitan.
Teriknya mentari hampir tengah hari, membuat tubuh ketiga lelaki itu dibasahi keringat. Ketiganya duduk pada akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. Yang seorang bertubuh kurus, berusia 30-an, mengenakan seragam pegawai negeri dari bahan kaki drill kuning-coklat. Di pangkuannya tampak map merah, dan pada dadanya tergantung sebuah kekeran.
Dua kawan seperjalanannya berpakaian hitam-hitam yang biasa dikenakan jawara. Tubuh keduanya tampak tegap-tegap, dan di pergelangan tangan kanan masing-masing dilingkari gelang akar bahar. Yang seorang berkepala gundul pelontos, membuat wajahnya yang keras tampak semakin garang. Di tangan mereka memegang topi cetok yang dipakai mengipasi tubuhnya. Alas kakinya terompah kulit.
“Aku heran, kenapa Nyi Icih menentukan waktunya tengah hari yang begini panas? Kenapa tidak pagi-pagi atau sore saja sekalian? Apa dia bukan sengaja hendak menyiksa kita dulu?”, tanya si kepala gundul.
“Kalau kau mau menggunakan otakmu sedikit saja, tentu tidak akan mengeluarkan pertanyaan itu”, sahut kawannya yang berambut gondrong.
“Iya, tapi kenapa?”.
“Dalam udara yang panas begini orang paling malas bepergian, sehingga jalan akan lengang. Itu berarti memperkecil gangguan terhadap tugas kita”.
“Memang kau terlalu malas berpikir Bung Baran. Sudah berkali-kali aku mengatakan bahwa perjuangan kita bukan hanya memerlukan tinju, tetapi yang lebih penting adalah otak. Kau masih harus banyak belajar. Aku senang karena Bung Gomar sudah ada peningkatan. Apa yang dikatakannya memang benar meskipun belum lengkap”, timbrung orang berpakaian seragam.
Si gundul mengangguk-anggukan kepala tanpa tahu pasti, apa dia menyetujui pendapat kawannya yang bernama Gomar itu atau kata-kata yang diucapkan orang berpakaian seragam. Sementara itu orang yang berpakaian seragam mengangkat kekeran dan mengarahkan pandangannya ke ujung jalan yang ditujunya, sebuah anak bukit berjarak sekitar satu kilometer dari tempat mereka berteduh.
Melalui kekeran itu dia dapat melihat jelas sebuah rumah bilik bambu berhalaman luas, tepat di awal jalan mendaki ke anak bukit. Itu sebuah rumah panggung cukup besar. Hampir tiga perempat bagiannya berupa tepas seperti pendapa. Halamannya sendiri yang luas itu berlantai tembok tempat menimbun padi di musim panen.
Dari sana pandangannya dialihkan ke jalan pendakian, terus ke puncak anak bukit yang berupa lapangan semak rumput datar diselingi beberapa pohon kayu besar yang rindang. Tiba-tiba pandangannya terhenti pada sesosok tubuh penunggang kuda yang muncul dari balik belukar. Sejenak dia memusatkan perhatiannya pada wajah penunggang kuda itu yang berpakaian khusus untuk menunggang kuda, dan mengenakan topi yang biasa dipakai tuan-tuan besar di zaman penjajahan.
“Dia sudah muncul”, desisnya seolah kepada dirinya sendiri, namun kedua teman seperjalanannya dapat mendengarnya.
“Kalau begitu kita harus segera menemuinya”, kata si kepala gundul.
“Tidak perlu tergesa-gesa. Jarak ini paling lama juga bisa dicapai dalam waktu 10 menit. Dia belum lagi duduk beristirahat”, sahutnya tanpa melepaskan pandangannya dari penunggang kuda itu yang nampaknya sedang menikmati pemandangan sawah di bawahnya tanpa turun dari kudanya.
Sesungguhnyalah si penunggang kuda itu menghentikan tunggangannya di puncak kedataran anak bukit. Kebiasaan yang selalu dilakukannya hampir setiap hari, memperhatikan panorama alam sekelilingnya tanpa pernah merasa bosan. Dia adalah lelaki bertubuh sedang, berwajah bersih, dan masih tampak segar meskipun usianya sudah lebih dari setengah abad.
Anak bukit itu seperti tanjung di pantai lautan, menjorok ke depan dari pinggang deretan bukit, membelah tanah pesawahan, seolah jembatan panjang yang menghubungkan perkampungan kecil di pinggang bukit dengan jalan desa. Kedua sisi anak bukit itu bertebing curam, yang dasarnya tidak kurang dari 15 meter dari bibir tebing. Ini terlihat dari pepohonan hutan kecil yang tumbuh di dasar kedua sisi anak bukit itu, yang pucuk-pucuknya tidak sampai mencapai bibir tebing. Penduduk setempat memberi nama anak bukit itu Pasirpanjang. Nama yang cukup beralasan. Punggung bukit Pasirpanjang itu satu-satunya jalan yang menghubungkan kampung di pinggang bukit dengan kampung-kampung lainnya di desa itu yang letaknya di seberang bentangan pesawahan tersebut.
Penunggang kuda itu adalah satu di antara beberapa tuan tanah yang memiliki sawah paling luas di daerah itu. Tempat tinggalnya di kampung di pinggang bukit, dan rumah bambu besar yang berada di pinggir jalan pendakian itu adalah dangaunya. Namanya Sukarta, dan orang memanggilnya Juragan Sukarta atau Juragan Karta.
Setelah agak lama menikmati pemandangan hijau yang menyegarkan mata itu, Juragan Sukarta meneruskan perjalanannya menuruni jalan pendakian, menuju ke rumah bambu. Dia samasekali tidak menyadari ada orang yang memperhatikan gerak-geriknya. Karena, disamping jaraknya terlalu jauh, juga ketiga orang itu tidak sedang bergerak di tengah jalan.
Juragan Sukarta turun dari kudanya di pinggir halaman dangaunya. Dia menuntun kudanya, lalu menambatkan pada pohon jambu yang tumbuh di pinggir halaman dangaunya. Setelah itu dia melangkah ke tepas dangau. Di tengah tepas telah tersedia sebuah penampan besar berisi cerek, sebuah mangkok besar air kopi, dua buah gelas, sepiring ubi rebus, dan sepiring buah mangga yang sudah masak-masak.
Sekilas matanya memandang ke pintu dangau yang terkunci dengan gembok. Kemudian dia naik ke palupuh sambil membuka topinya dan menaruh di sampingnya. Dia duduk menghadapi penampan, mengangkat mangkuk kopi, membuka tutupnya, dan menghirup isinya dalam tegukan panjang. Setelah menaruh kembali mangkuk itu di tatakannya, tangannya merogoh saku, mengeluarkan rokok kretek Bentul dan geretannya. Dicabutnya sebatang dan mengetuk-ngetukan ujung rokok itu pada geretan, lalu diselipkan di bibirnya. Sejenak kemudian matanya telah mengikuti kepulan asap rokok isapannya yang pertama.
Sementara rokok terselip di bibirnya, dia mengambil pisau dan sebuah mangga dari piringnya, lalu mengupasnya. Perhatiannya benar-benar terpusat pada pekerjaannya, sehingga dia tidak melihat tiga lelaki yang berada di jalan dengan langkah-langkah tergesa-gesa menghampiri dangau itu.
Setibanya di pinggir halaman ketiga lelaki itu berhenti sejenak. Mata mereka memperhatikan sekeliling dengan seksama. Jalan yang membujur itu benar-benar lengang. Demikian pula di sawah. Nampaknya teriknya sinar matahari hampir tengah hari itu membuat orang-orang segan untuk bekerja dan menempuh perjalanan.
“Selamat siang Juragan!”, sapa lelaki berpakaian seragam yang telah berdiri di bibir tepas. Sementara dua kawannya berdiri di belakangnya dengan mengangkang kaki.
Juragan Sukarta berpaling dengan terkejut. Dia sedang memakan mangga sambil menunduk, sementara pikirannya sedang tertumpah pada satu masalah yang mengganggu ketenangannya dalam beberapa hari belakangan ini. Wajahnya berubah ketika melihat ketiga orang itu. Karena sesungguhnya merekalah yang ada dalam pikirannya, dan kini tiba-tiba telah berada di hadapannya.
“Wah nampaknya ubi rebus itu enak sekali Juragan”, kata si kepala gundul.
“Benar. Perjalanan yang jauh ini membuat perutku keroncongan lagi. Bukankah Juragan tidak berkeberatan kalau kami ikut mencicipinya?”, sambung jawara berambut gondrong. Dan tanpa menunggu sahutan Juragan Sukarta, kedua orang itu berloncatan naik ke tepas, langsung menjangkau ubi rebus. Kemudian mereka duduk di kiri kanan pemilik dangau. Tanpa mengupas kulitnya dulu, mereka langsung memakan ubi rebus tersebut.
Wajah Juragan Sukarta semburat merah menyaksikan kelakuan kedua tukang pukul itu. Tetapi mulutnya tetap terkunci.
“Jangan marah Juragan. Mereka memang sedang kelaparan”, kata lelaki berpakaian seragam, dan dia pun naik pula ke tepas, lalu duduk dihadapan Juragan Sukarta.
“Apa lagi mau kalian? Bukankah tempo hari sudah kukatakan, aku tidak akan menyumbangkan hartaku sepeser pun kepada perjuangan kalian?”, tanya Juragan Sukarta tanpa mengomentari omongan tamunya.
“Bagus. Pertanyaan itulah yang kutunggu-tunggu”, sahut lelaki berseragam pegawai negeri, “kita memang tidak perlu berbasa-basi lagi. Aku akan langsung pada tujuan kedatanganku”, sambungnya sambil membuka map merah yang dibawanya dan menyodorkan ke depan Juragan Sukarta. Lalu: “Kau tinggal membubuhkan tanda tangan pada surat-surat dalam map itu. Segalanya sudah diatur oleh Lurah”.
“Tentu surat-surat itu merupakan pemaksaan mimpi gilamu, hidup samarata-samarasa kan? Dan aku harus menyumbangkan sebagian hartaku untuk kalian bagi-bagikan kepada petani-penggarap. Begitu kan?”, ujar Juragan Sukarta dengan nada tinggi.
Orang berseragam pegawai negeri itu tersenyum kecil. “Hampir benar”, katanya, “tepatnya, surat-surat itu merupakan pernyataan bahwa Juragan telah menyerahkan harta Juragan dengan sukarela. Karena itu Juragan harus membacanya dulu agar yakin, dan sampai sejauh mana partisipasi Juragan kepada perjuangan samarata-samarasa itu”, sahutnya masih dalam nada tenang tanpa tersinggung oleh kemarahan yang tersirat dalam kata-kata Juragan Sukarta.
“Tidak perlu. Sampai kapan pun aku tidak akan mau mendukung gagasan gilamu. Aku tidak akan menyumbangkan apa-apa, sekalipun hanya sepetak sawah. Semua hartaku adalah hasil kerja jerih-payah memeras keringat. Sementara kalian tanpa kerja apa-apa mau mendapat bagian sesuai dengan yang kalian tentukan sendiri. Kalau sekarang kau memaksa aku menandatanganinya, apa bedanya dengan garong....aduh!”.
Tubuh Juragan Sukarta terjajar di atas palupuh oleh kekuatan pukulan si kepala gundul pada wajahnya. Sebelum sempat berbuat apa-apa, Gomar telah menarik kerah bajunya sambil memilin tangan kiri Juragan Sukarta ke belakang. Terdengar bunyi berdetak dari tulang yang lepas dari sendinya. Juragan Sukarta mengaduh lebih keras dengan mulut menyeringai. Dari matanya menitik air bening oleh rasa nyeri yang sangat. Wajah bagian kanannya biru sembam bekas tinju si kepala gundul tadi.
“Kau menghina kami. Kami bukan garong, tahu? Tanahmu akan dipakai untuk dana perjuangan, ngerti?”, bentak si kepala gundul yang bernama Baran dengan mata mendelik.
Juragan Sukarta mengatupkan mulutnya. Kemarahan telah menyesaki dadanya. Tetapi dia terpaksa menahan diri, karena menyadari akibatnya jika menuruti perasaannya. Itu sudah dirasakannya. Ternyata kedua jawara itu makhluk kejam yang sadis.
“Juragan, sebaiknya kau turuti kata-kataku supaya tidak menjadi lebih parah. Nah baca dulu, agar kau tahu kedudukanmu saat ini”, kata lelaki berpakaian seragam dalam nada berat. Tetapi ketika Juragan Sukarta nampaknya tidak hendak memenuhi perintahnya, dia pun membentak: “Baca kataku! Cepat! Batas kesabaranku sudah hampir habis, tahu?”.
Meskipun enggan, akhirnya Juragan Sukarta mengambil surat pernyataan yang paling atas. Matanya jadi membeliak, karena tandatangannya telah tertera. Persis seperti tandatangan yang biasa dibuatnya sendiri. Di sebelahnya ada tandatangan dua orang saksi, salah seorang diantaranya adalah Lurah daerah itu. Dengan jari-jari gemetar dia mulai membaca, tetapi mulutnya terkatup. Kemudian wajahnya semburat merah membara, lalu menggelap. Giginya gemeretak.
“Setan! Jadi kalian telah bekerja sama dengan si Lurah merampok hartaku...aduh!”. Juragan Sukarta membentak tanpa bisa menahan diri lagi. Akibatnya sekali lagi tinju Baran menimpa wajahnya. Tetapi tubuhnya tidak terguling lagi, karena dipegangi oleh Gomar. Namun akibatnya lebih parah. Kini mata kanannya yang biru pengab, bahkan dari hidungnya keluar cairan merah.
“Sadari Juragan. Hari ini kau sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Kau telah menyerahkan seluruh milikmu, termasuk rumahmu sendiri dengan sukarela, demi perjuangan rakyat tertindas, demi perjuangan kaum buruh dan petani kecil. Semua surat dalam map ini telah kau tandatangani, disaksikan oleh Lurah”.
Wajah Juragan Sukarta berubah memutih. Dia sadar, saat itu dirinya telah menjadi orang yang serudin-rudinnya. Tidak punya apa-apa lagi selain pakaian yang melekat di badannya. Dia tidak dapat mengingkarinya, karena tandatangan itu persis sama dengan tandatangan dirinya. Dia percaya akan kata-kata terakhir orang berseragam pegawai negeri itu bahwa semua surat itu telah dibubuhi tandatangannya, meski yang melakukannya orang lain. Yang membuatnya penasaran ialah, siapa orangnya yang telah memalsu tandatangannya itu. Nampaknya lelaki berpakaian seragam itu dapat menduga tepat yang ada dalam pikirannya. Sebab sejenak kemudian hal itu keluar dari mulutnaya.
“Agar kau tidak penasaran, baiklah kuberitahu siapa yang telah menirukan tandatanganmu itu. Aku sendiri Juragan. Tandatanganmu terlalu mudah untuk ditiru”, katanya dengan nada ringan, lalu: “Dan kalau kau mau membaca semua surat dalam map itu, kau pasti lebih keheranan lagi, karena kami mengetahui semua hartamu dengan tepat. Itu berkata bantuan Nyi Icih, isterimu yang masih terlalu muda, montok, dan cantik itu. Perlu kau ketahui, Nyi Icih telah lama menjadi salah satu srikandi kami tanpa sepengetahuanmu”.
Penjelasan terakhir nampaknya tidak mengejutkan Juragan Sukarta samasekali. Dia hanya menundukkan kepalanya sambil menghela nafas berat. Karena itu lelaki berpakaian seragam tersebut meneruskan lagi kata-katanya.
“Rupanya keteranganku yang terakhir tidak mengejutkanmu samasekali Juragan. Itu berarti bahwa kau sudah punya dugaan. Bahkan aku yakin, kau baru menyadari kalau keberadaanmu di sini saat ini adalah jebakan isterimu juga. Sayang kau terlambat menyadarinya”.
“Sebenarnya apa maksudmu menemuiku? Bukankah surat-surat itu sudah kau tandatangani sendiri?”, tanya Juragan Sukarta.
“Hmm ternyata kau tidak mau diajak bertele-tele. Kau ingin langsung ke puncak persoalan”, gumam lelaki berseragam itu, “kalau begitu baiklah”, sambungnya pula, “sudah kukatakan tadi, surat-surat itu hanya perlu kau baca, agar Juragan mengetahui bahwa sejak hari ini kau tidak punya apa-apa samasekali termasuk isterimu sendiri. Isterimu telah jadi milik kami, milik perjuangan kami. Dengan demikian, saat ini kau adalah orang yang serudin-rudinnya. Kenyataan ini tentu akan membuatmu sangat menderita lahir-batin”.
Sejenak orang itu menghentikan kata-katanya agar Juragan Sukarta dapat mencernanya.
“Buah-buahan dan ubi rebus dihadapanmu sekarang juga sudah bukan milikmu lagi”, sambungnya pula. “Itu berarti, sejak saat ini kau akan menderita kelaparan. Nanti malam kau akan berselimut embun, sehingga menderita kedinginan. Aku dapat membayangkan bagaimana tersiksanya kau oleh semua penderitaan itu. Karena itu terpaksa aku melakukan neuthanasia. Kau tahu arti neuthanasia? Aku ingin meringankan beban penderitaanmu. Itulah tujuan utamaku menemuimu sekarang”.
Sekali lagi orang berseragam pegawai negeri itu menghentikan kata-katanya. Kemudian dia berpaling kepada kedua kawannya, lalu katanya: “Tugasku sudah selesai. Sekarang antarkan dia ke tempat tidurnya yang terakhir. Nah, selamat jalan Juragan”.
Juragan Sukarta mengerti betul maksud orang itu, meski dia tidak mengerti istilah yang disebutkannya. Karena itu dia meronta-ronta sekuat tenaga dalam cengkeraman kedua jawara itu.Tetapi usahanya sia-sia saja. Pegangan kedua orang jawara itu seolah jepitan baja. Dengan mudahnya tubuh Juragan Sukarta mereka angkat, seolah menjinjing anak kecil, dibawa ke belakang dangau.
Orang berpakaian seragam itu memperhatikan Juragan Sukarta dan dua algojonya menghilang di balik dinding dangau.Kemudian dengan tenang dia mengambil mangga dan pisau pengeratnya. Sejenak kemudian dia mulai memakan mangga itu kerat demi kerat tanpa mengupas kultnya. Sementara matanya menatap ke jalan lengang yang membujur dengan tatapan penuh rencana tersembunyi.

--0--


Satu
Mendung Di Hari Cerah
Sorak-sorai para pelajar SLTA diseputar lapangan pertandingan volley itu terdengar demikian lepas dan bening, seolah tidak menghiraukan samasekali awan mendung yang mulai berarak menggayuti angkasa negeri ini.
Sesungguhnyalah langit sore itu tampak demikian cerah. Tak setiitik awanpun nampak di langit yang membiru kelabu. Sebab awan mendung itu bukan berarak di langit yang sebenarnya, melainkan di langit-langit jantung manusia. Dan sebagai para remaja yang masih awam akan politik, mereka benar-benar belum menyadari betapa gejala badai mulai melanda negerinya. Badai dahsyat yang akan memporakporandakan nilai-nilai hidup yang luhur.
Pertandingan volley itu berlangsung di alun-alun Kabupaten, dan telah berlangsung sejak beberapa hari sebelumnya. Sore ini adalah pertandingan final regu putera, dan merupakan yang terakhir dari seluruh rangkaian pertandingan.
Di antara penonton yang melingkari arena pertandingan, terdapat sekelompok gadis remaja yang jadi suporter salah satu regu petanding. Sorakan dan teriakan mereka benar-benar menguasai seluruh arena pertandingan. Setiap kali kapten tim yang dijagokannya meloncat tinggi mengambil umpan dan melakukan pukulan smes, serempak mereka berteriak ‘sikaaat!’. Dan setiap kali pukulan smes itu berhasil menyusup ke pertahanan lawan, meledaklah sorakan mereka sambil melonjak-lonjak menandakan kegembiraan hati yang tidak dikekang.
Sesungguhnyalah tim yang dijagokan kelompok gadis itu merupakan tim terkuat. Sejak awal pertandingan, permainan mereka sangat memukau, baik dalam kekompakan maupun dalam serangan-serangannya. Dan pukulan-pukulan smes kapten timnya benar-benar sulit ditahan lawan. Di samping pukulannya yang keras dan tajam, juga tangan itu seolah mempunyai mata yang dapat melihat celah-celah di daerah pertahanan lawan. Dalam keadaan pertahanannya terlalu rapat, pukulan smes itu langsung mengarah pemain. Pukulannya yang tajam dan keras beberapa kali membuat lawan yang berusaha menahannya terseret oleh dorongan tenaga bolanya, sehingga membuatnya terpelanting jatuh.
Kalau para pemain yang dijagokannya demikian memukau, maka kelompok gadis yang jadi suporternya juga tidak kalah menarik perhatian. Terutama gadis tinggi lampai berambut panjang dengan tubuh padat berisi, serta wajahnya yang begitu cantik.
Berbeda dari kawan-kawannya yang melonjak-lonjak. Tingkah gadis itu justru sebaliknya. Dia tidak pernah turut berteriak-teriak atau melonjak-lonjak. Yang dilakukannya sekedar tersenyum dan bertepuk tangan. Setiap orang yang memperhatikan tingkah kelompok itu, akhirnya pasti perhatiannya akan terpusat pada gadis pendiam itu.
Orang yang belum begitu mengenalnya pasti akan merasa keheranan. Bagaimana mungkin gadis pendiam itu dapat berada di tengah-tengah kelompok tersebut. Tanggapan itu dapat didengar dari percakapan dua pemuda yang menonton di sisi yang berseberangan.
“Heran aku”, kata salah seorang di antara dua pemuda itu, “bagaimana mungkin gadis pendiam itu betah berada dalam kelompok yang pembawaan sifatnya seperti bumi dan langit”.
“Yang mana?”, tanya kawannya sambil memalingkan perhatian dari arena pertandingan.
“Itu tuh, gadis yang wajahnya aduhai itu”, bisik yang pertama dengan memajukan dagunya ke depan.
“Kau tertarik?”, tanya yang kedua.
“Kalau aku mengatakan tidak tertarik, tentu aku pemuda abnormal”.
Kawannya tersenyum. “Namanya Wiwi, panjangnya Pertiwi. Kau ketinggalan kereta Dani. Orang lain sudah sejak hari pertama pertandingan menaruh perhatian kepadanya. Kau justru baru pada hari terakhir”.
“Tetapi aku benar-benar baru sempat memperhatikan sekarang. Kau sendiri tahu, sampai hari kemarin aku tidak punya kesempatan menonton, karena terus-menerus bertanding. Kalau saja pada semifinal kemarin tim kita tidak kalah, mungkin aku tidak akan pernah tahu ada gadis secantik itu. Jadi, namanya Wiwi katamu tadi?”.
“Ya. Dia itu gadis serius. Tapi hatinya terbuka, sehingga mampu menempatkan diri dalam kelompok yang bagaimana saja. Kalau kau ingin kenal, datang saja kepadanya, pasti dia akan menerima dengan senang hati. Tapi jangan mencoba menyanjung atau memujinya untuk tujuan tersembunyi. Kalau kau cinta, lebih baik katakan terus terang. Dan kau jangan tersinggung kalau dia juga menolak cintamu. Meski masih muda, gadis itu sudah punya pendirian utuh. Pandangannya tentang hidup dan kehidupan, jauh lebih dewasa dari usianya”, kata yang kedua menjelaskan panjang lebar.
“Ah, sudah begitu banyaknya yang kau ketahui tentang gadis itu?”.
“Sudah beberapa kali aku ngobrol dengannya. Kemarin lebih dari setengah jam berbincang-bincang. Aku telah menjajagi hatinya. Rupanya dia tahu maksudku. Dengan terus terang dia membukakan hatinya. Dia menyatakan belum ada niatan berpacaran. Dia masih ingin meneruskan sekolah dan tidak mau pelajarannya terganggu dulu”.
“Itu artinya pernyataan cintamu telah ditolak”, kata yang pertama.
Tiba-tiba terdengar sorakan riuh, sehingga percakapan mereka terputus sejenak. Kedua orang itu memperhatikan gadis yang sedang dipercakapkannya.
“Kau salah. Dia tidak pernah menolak cintaku”, orang kedua menyahuti setelah keadaan reda.
“Lho, bukankah dia mengatakan belum punya niat berpacaran?”.
“Memang, tetapi aku belum sampai menyatakan cinta. Dia membukakan hatinya tanpa diminta. Karena itu aku justru jadi kagum kepadanya. Dia tidak ingin menyinggung perasaan orang. Itu sebabnya, sebelum orang terlanjur menyatakan cintanya, dia telah menutup dirinya lebih dulu. Itu adalah sikap bijaksana”.
“Atau mungkin dia sudah punya pacar?”.
“Tidak. Dia sendiri juga yang mengatakannya. Justru mulanya aku menyangka dia membuka kesempatan bagiku, tetapi ternyata bukan”, sahut yang kedua.
“Hmm, kalau begitu rupanya dia tidak senang bergaul denganmu, dan dia mengusirmu secara halus”, komentar yang pertama.
“Kau salah lagi. Setelah selesai membuka hatinya, kami masih mengobrol panjang. Dia mengajakku berbincang tentang hidup dan kehidupan. Kata-katanya banyak mengandung falsafah yang dalam, sampai aku jadi lebih banyak mendengarkan”.
“Itu supaya kamu bosan”.
“Sebalikanya Dani. Aku justru jadi tertarik. Aku sampai terlongong-longong mendengar komentarnya tentang situasi sekarang. Aku yakin, dia punya bakat besar untuk jadi politikus. Pada akhir pembicaraan, dia mengundangku untuk sekali-kali datang ke rumahnya”.
“ Hmm, aneh”, gumam pemuda yang pertama, lalu: “Kau sendiri kuanggap orang yang sok dewasa karena suka bicara politik. Kalau sampai tertarik pada obrolannya, tentu karena merasa cocok, dan aku percaya. Tetapi kalau kau mengatakan sampai terbengong-bengong, aku kira kau mengakui kelebihannya darimu”.
“Benar. Itu sebabnya aku katakan dia gadis serius. Perhatiannya berbeda dari umumnya anak-anak muda sebaya kita”.
Kembali percakapan mereka terganggu oleh deraian sorak kelompok gadis itu.
“Apa kau ada niat untuk berkunjung ke rumahnya?”, tanya yang pertama setelah sorakan mereda.
“Mungkin kalau kebetulan datang ke daerahnya, tetapi tidak secara khusus. Soalnya berat”.
“Kenapa berat? Bukankah kau menyenangi diskusi politik?”.
“Dari ciri-cirinya, dia bukan gadis santai. Dalam pelajaran di sekolahnya, setiap tahun dia jadi bintangnya. Dalam kecantikan, dia adalah kembangnya kecamatan. Selain itu, dia berdarah biru, seorang ningrat, dan ayahnya adalah kepala kecamatan. Itu berarti, kehidupan sehari-harinya sangat disiplin, tidak suka membuang-buang waktu yang tak berguna”.
“Apa kau bukan sedang mencegahku agar mundur teratur sebelum memperkenalkan diri kepadanya?”, tanya yang pertama.
“Jangan berprasangka jelek. Bukankah tadi aku sendiri yang menganjurkan agar datang langsung kepadanya kalau ingin berkenalan? Kalau aku mengatakan berat, itu untukku sendiri. Aku tidak ingin mengganggu waktunya yang sangat berharga. Kalau saja nalarku dalam paolitik setingkat dengannya, tentu aku akan sering mengajaknya berdiskusi. Sebagai laki-laki aku juga punya gengsi. Sudahlah, pertandingan ini nampaknya hampir selesai, dan tim sekolah gadis itu tentu akan jadi juara”, ujar pemuda kedua mengakhiri percakapannya.
Sebenarnyalah pertandingan itu sudah mendekati akhir. Sorakan suporter semakin riuh. Angka demi angka terus diraih oleh tim sekolah Pertiwi. Dan ketika kapten tim sekolahnya meloncat tinggi untuk melakukan smes mengumpulkan angka terakhir, kawan-kawan Pertiwi berteriak serempak.
“Giiiim!”.
Dan ketika bola itu benar-benar berhasil menerobos pertahanan lawan tanpa dapat dikembalikan, sorakan pun meledak pada puncaknya dalam teriakan-teriakan hampir histeris. Gadis-gadis itu berjingkrak-jingkrak sambil melemparkan topi-topi yang dipakainya, kecuali Pertiwi yang hanya bertepuk-tepuk tangan sambil tersenyum cerah.
Begitu para pemain keluar lapangan, para gadis suporter pun mengerumuninya, menyalami mereka dengan hangat. Tetapi di antara para pemain itu ada yang langsung menyisihkan diri dari kerumunan para gadis suporternya, justru kapten timnya yang bernama Darmawan. Dia hanya memperhatikan saja solah-tingkah mereka sambil menghirup minuman dari gelas plastik, dan tangan kirinya bertolak pinggang. Dari sikapnya tampak sekali, kapten tim itu orang angkuh.
Nampaknya para gadis suporternya juga sudah mengenal sifat kapten tim volley mereka. Karena itu mereka juga tidak begitu mengacuhkannya. Namun demikian, rupanya ada juga gadis yang teringat pada kapten timnya.
“Apa kita tidak akan memberi selamat kepada si Wawan?”, tanya Susi yang paling lincah.
“Tidak perlu. Bukankah dia sendiri yang memisahkan diri? Itu artinya dia merasa terlalu besar untuk bergaul dengan kita”, sahut Herlina dengan mendengus.
“Memang dia angkuh. Tetapi walau bagaimanapun harus kita akui. Tanpa dia, tim kita mungkin tidak akan mencapai juara”, timbrung Betty.
“Huh, kalau kita datang munduk-munduk kepadanya, tentu akan menambah keangkuhannya. Dia akan menyangka dirinya sangat penting”, kata Herlina mempertahankan diri. Lalu berpaling kepada Pertiwi mencari dukungan: “Bukan begitu Wiwi?”.
Pertiwi tersenyum dan menyahut: “Mungkin juga pendapatmu benar...”.
“Nah, benar kan?”, kata Herlina lagi menukas sebelum Pertiwi menyelesaikan kata-katanya.
“Tetapi kalau kita juga tidak mau mengalah, kemungkinan dia tidak akan mau melatih kita. Bukankah kau sendiri tadi mengatakan sepulangnya dari sini, kita akan minta dia agar mau melatih tim puteri?”, sambung Pertiwi.
“Jadi, apa kita harus mengalah?”, tanya Herlina.
“Ya kalau kita benar-benar ingin seperti tim putera. Tetapi sekarang sudah terlambat”.
“Kenapa?”.
“Kita sudah didahului orang. Coba lihat, bukankah beberapa tim sekolah lain sedang menghampiri dia untuk mengucapkan selamat kepadanya?”, sahut Pertiwi sambil menunjuk.
“Hmm, dengan demikian dia akan jadi semakin besar kepala”, gumam Herlina lagi.
“Sebaiknya kau cegah sebelum mereka sampai Lina. Dengan begitu kepalanya akan mengerut lagi hihihi”, ujar Susi dalam tawanya.
“Dicegah nenekmu”, dengus Herlina, “memang mereka robot-robot yang bisa kuatur semauku?”.
Semua kawannya jadi tertawa. Dan percakapan tentang kapten tim mereka yang angkuh itupun berhenti dengan sendirinya.
Setelah menyalami Darmawan, kedua rombongan tim volley lawan meneruskan langkahanya menghampiri tempat Pertiwi dan kawan-kawannya berkumpul. Sejenak kemudian semua mereka bersalam-salaman. Di antara rombongan yang mengucapkan selamat itu terdapat anak muda yang tadi mempercakapkan Pertiwi. Ternyata pemuda itu mempergunakan kesempatan tersebut sebagai jalan untuk berkenalan dengan Pertiwi.
“Dani”, katanya memperkenalkan namanya ketika menyalami Pertiwi, “saya benar-benar kagum kepada tim sekolah Anda”, sambungnya.
“Terimakasih. Tim Anda pun sangat mengagumkan. Bukankah Anda kapten tim yang bertanding dalam semifinal kemarin?”.
“Kok tahu?”, katanya, sementara hatinya merasa senang karena ternyata gadis itu telah memperhatikan dirinya.
“Soalnya menurut pengamatanku, tim Anda tidak lebih lemah dari tim runner-up yang tadi bertanding. Kalau saja tidak satu pool dengan tim kami, mungkin tim Anda yang akan berhadapan dengan tim kami di final tadi”, sahut Pertiwi.
Dani mengangguk-anggukkan kepala. Dia mulai mengakui pendapat kawannya. Gadis ini memang serius dalam menanggapi keadaan, tidak sekedar menonton sebagaimana kebanyakan yang lainnya.
“Tetapi untuk melawan tim sekolah Anda, kami masih harus berlatih keras”, ujarnya. Lalu: “Bagaimana kalau sewaktu-waktu tim kami berkunjung ke sekolah Anda?”.
“O, tentu kami akan senang sekali. Tetapi kalau berkunjung nanti, jangan lupa bawa sekalian tim puterinya, sehingga kami juga dapat turut berlatih”.
“Oke. Kalau begitu saya akan berunding dengan kawan-kawan”, kata Dani dengan gembira.
“Kami tunggu beritanya”, kata Pertiwi. “tetapi jangan terlalu mendadak, agar kami bisa mempersiapkan diri dulu, setidak-tidaknya untuk memperingan biaya penginapan kalian”.
Pembicaraan mereka terpaksa dihentikan, karena tiba-tiaba terdengar pengumuman dari panitia pertandingan melalui pengeras suara.
“Perhatian! Perhatian! Kepada tim putera dan puteri pemenang satu, dua, tiga agar segera mengambil tempat di panggungan pembagian piala. Dan kepada seluruh tim peserta juga agar hadir di lapangan sesuai dengan patok-patok tanda yang telah disiapkan. Karena sebentar lagi upacara penutupan akan dimulai”.
Begitu selesai pengumuman terjadilah kesibukan di lapangan upacara. Semua tim peserta dan rombongannya masing-masing bergerak ke lapangan upacara sambil membawa tas-tas perlengkapan mereka. Sementara di pinggir lapangan, masyarakat setempat berderet untuk menyaksikan upacara tersebut.
“Baiklah. Saya permisi dulu karena harus bergabung dengan kawan-kawan”, kata Dani pamitan kepada Pertiwi, dan mereka bersalaman.
“Sampai jumpa lain kali”, kata Pertiwi.
Tak lama kemudian seluruh tim peserta pertandingan telah berbaris di tengah lapangan. Di depan deretan tampak enam tim putera dan puteri yang menjadi juara 1, 2, dan 3, mengambil tempat pada panggungan kecil bertingkat. Tim putera dan puteri juara pertama berdampingan di tengah panggung tertinggi, dengan semua anggota timnya berbaris di belakang. Sementara tim putera dan puteri juara 2 dan 3 mengapitnya di sisi kanan-kiri pada panggung lebih rendah.
Penyerahan piala dan medali untuk tim juara 1 putera-puteri dilakukan oleh Bapak Bupati sendiri. Ketika Darmawan mengangkat piala yang diterimanya, suara riuh para penonton pun terdengar. Demikian pula ketika tim juara 1 puteri mengangkatkan pialanya. Kemudian satu persatu kedua anggota timnya mendapat giliran dikalungi medali emas.
Beres penyerahan piala dan medali untuk juara satu, dilanjutkan dengan juara dua dan tiga yang dilakukan oleh ketua Koni Kabupaten, diselingi tepukan-tepukan penonton. Akhirnya Bapak Bupati berdiri di depan podium untuk mengucapkan kata perpisahan.
“.....Anak-anakku sekalian. Bapak benar-benar gembira dan bangga, karena hari ini kita telah memperoleh tim pilihan, yang untuk pertama kalinya akan mewakili daerah kita dalam Pekan Olahraga Antar Daerah Tingkat II di Ibukota Provinsi dua pekan mendatang. Dari pertandingan terakhir tadi, Bapak melihat sendiri kemampuan para finalis. Bapak yakin, meskipun baru yang pertama kalinya daerah kita ikut dalam pertandingan di tingkat provinsi, tim kita bukan sekedar anak bawang, melainkan akan menjadi salah satu tim yang harus diperhitungkan lawan”.
Terdengar sorakan gemuruh menyambut pidato Kepala Daerah mereka, sehingga Bapak Bupati harus menghentikan dulu pembicaraannya sampai sorakan mereda.
“Pesanku kepada tim yang akan berangkat nanti. Berjuanglah dengan sekemampuan daya kalian. Jangan silau oleh keadaan lahiriah tim-tim daerah lain yang telah banyak pengalaman dan punya perlengkapan lebih baik, di samping para pelatihnya yang profesional. Bapak sudah beberapa kali melihat mereka bertanding, dan Bapak melihat tadi, penampilan kalian pun tidak jauh berbeda dengan mereka. Karena itulah Bapak yakin, kalian akan dapat mengimbangi mereka. Yang kurang dari kalian adalah mental dan pengalaman dibandingkan dengan mereka. Dua kekurangan itu memang pada akhirnya merupakan segi yang menentukan. Oleh adanya dua kekurangan itulah, Bapak tidak mentargetkan daerah kita akan memperoleh medali. Dengan demikian, kalian tidak dibebani perasaan bersalah kalau sampai tidak memperoleh apa-apa, kecuali pengalaman. Tetapi jika ternyata perjuangan kalian berhasil sampai memperoleh medali, maka kepercayaan diri kalian akan semakin kuat. Itu sangat penting artinya bagi tim-tim lain di daerah kita yang mungkin di waktu yang akan datang, akan mendapat kesempatan pula untuk mempertahankan nama daerah kita. Karena itu berjuanglah semaksimal mungkin, jangan menjadi tim hayam lisung”.
Sekali lagi sorakan meledak gemuruh memberi semangat kepada tim yang akan berangkat mewakili daerah mereka.
“Kepada tim-tim lainnya yang belum memperoleh kesempatan mendapat kepercayaan untuk mewakili daerah kita, Bapak berpesan, berlatihlah lebih keras. Bapak berjanji akan membantu perlengkapan latihan kepada semua tim yang ikut bertanding di sini. Bapak juga berjanji akan memberikan pelatih profesional bagi tim yang sudah memperlihatkan kesungguhan dalam berlatih”.
Kembali sorakan bergemuruh, terutama dari para peserta, karena mereka akan mendapat bantuan fasilitas dari kepala daerahnya.
“Nah anak-anakku sekalian. Pesan Bapak kali ini dicukupkan sampai sekian dulu. Pesan-pesan lainnya kepada tim yang akan mewakili daerah kita ke Provinsi, akan Bapak sampaikan pada saatnya pemberangkatan nanti. Selamat jalan, dan selamat berlatih lebih tekun lagi untuk bertemu kembali di arena porda yang sama kelak”.
Begitu upacara selesai, semua ketua tim peserta menyempatkan diri menyalami ketua tim yang akan menjadi wakil mereka ke Provinsi.
“Selamat berjuang kawan-kawan. Kami doakan, agar kalian dapat menaikkan nama daerah kita”, kata salah seorang di antara mereka yang menyalami Darmawan.
“Terimakasih. Insya Alloh kami akan berusaha sekemampuan daya kami”, sahut Darmawan.
“Sebuah beban yang sangat berat”, ujar Susana kapten tim puteri yang mempertahankan nama daerah mereka, “tetapi kami akan berusaha sekuat-kuatnya”.
Di jalan seputar alun-alun tampak belasan bus telah siap untuk mengantar semua rombongan tim pemain ke daerah masing-masing. Karena itu setelah saling berjabatan tangan, mereka semua bergerak ke kendaraan masing-masing. Demikian pula rombongan tim sekolah Pertiwi. Hari sudah jam lima sore. Tetapi perjalanan pulang ke daerah mereka hanya sekitar satu jam, sehingga tidak akan kemalaman.
Kemenangan yang diperoleh telah membuat hati mereka melambung, sehingga sejak bus mulai berangkat, mereka bernyanyi-nyanyi gembira. Kebetulan di antara mereka ada yang membawa gitar, sehingga suasana riang menyertai sepanjang perjalanan pulang itu.
Tetapi di tengah riuhnya kegembiraan tersebut, ternyata ada yang tidak sejalan. Itu terdengar dari percakapan antara kapten tim dengan kawannya yang duduk di sampingnya.
“Nas. Aku minta maaf kapadamu dan kawan-kawan”, kata Darmawan membuka percakapan.
“Lho kok tiba-tiba minta maaf. Ada apa rupanya?”, tanya Nasrul keheranan.
“Nampaknya aku tidak akan bisa ikut memperkuat tim kita ke Provinsi nanti”.
“He? Apa katamu?”. Nasrul terkejut dan tanpa disadarinya suaranya meninggi, sehingga terdengar oleh dua kawan mereka yang duduk di kursi belakangnya.
“Aku tidak mungkin bisa ikut ke Provinsi”, ujar Darmawan mengulangi.
“Ah, jangan bergurau Wan”.
“Tidak Nas. Aku tidak bergurau. Aku benar-benar tidak dapat ikut”.
Nasrul memandang kawannya beberapa lamanya, seolah tidak yakin pada apa yang didengar telinganya meski sudah dikatakan tiga kali.
“Bukankah sejak hari pertama pertandingan aku telah mengatakan ayahku sedang sakit? Bukankah kau juga tahu, setiap hari sehabis bertanding, aku selalu pulang ke kampung meski harus bolak-balik ke Kabupaten? Ayahku sakit keras Nas. Aku tidak mungkin meninggalkan beliau lebih dari sehari, padahal di Provinsi kita harus tinggal seminggu. Aku tidak mungkin bolak-balik tiap hari karena jaraknya terlalu jauh”, kata Darmawan menjelaskan persoalannya.
“Tetapi itu tidak mungkin Wan. Kau telah diserahi tanggung jawab oleh Pak Bupati. Selain itu kau adalah penanggung jawab tim kita. Tanpa kau, tim kita akan berantakan seperti anak ayam kehilangan induk”.
“Kau salah. Keberhasilan tim kita tidak terletak pada aku seorang, tetapi pada kekompakan semua anggota tim. Siapapun yang memegang pimpinan di antara kita, asal kita tetap menjaga kekompakan, hasilnya akan tetap sama”.
“Benar, kekompakan adalah faktor utama. Tetapi kau adalah puncak kemampuan kami. Selama ini kawan-kawan, bahkan aku sendiri menyangka, sikapmu yang agak menjauhi kami adalah karena kau angkuh. Tetapi setelah kau mengatakan tidak akan ikut, aku baru menyadari. Ternyata dengan ada jarak itu kami menyeganimu, sehingga kau berhasil membina kami. Kalau kau terlalu akrab, mungkin kami akan menganggap sepele segala peraturan yang kau terapkan. Sedangkan aku sudah terlanjur terlalu akrab dengan kawan-kawan, sehingga mereka tidak akan menyeganiku”, sahut Nasrul.
“Kau salah lagi. Kalau aku lebih akrab dengan kalian, tentu hasilnya akan lebih baik. Tetapi aku memang manusia angkuh. Karena itu sebenarnya kaulah yang lebih tepat memimpin tim ini. Aku yakin, kau akan lebih berhasil meningkatkan kemampuan kawan-kawan secara keseluruhan.
“Tidak. Aku merasa belum mampu. Aku tidak akan bisa bertindak tegas sepertimu”. Nasrul menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Perasaan itulah yang harus kau buang Nas. Kau harus berjiwa optimis, jangan pesimis, dan kau pasti berhasil. Sudahlah. Walau bagaimana pun aku lebih memberatkan orangtuaku daripada tim ini. Karena itu, sejak besok kau harus bersiap menggantikanku memimpin kawan-kawan. Sebagai pengganti dirimu, ambil saja salah seorang dari pemain cadangan”, kata Darmawan memutuskan percakapan.
Nasrul jadi terdiam. Dia sendiri mungkin akan mengambil sikap yang sama kalau orangtuanya sakit keras. Apalagi Darmawan sendiri pernah memberitahukan bahwa ibunya sudah tidak ada, sehingga ayahnya adalah satu-satunya orangtuanya.
Ketika pembicaraan kedua orang itu terputus, dua kawannya yang turut mendengarkan percakapan itu di belakang, saling berpandangan sejenak. Tiba-tiba Sumarna berbisik kepada kawan di sampingnya.
“Kita harus minta bantuan kawan-kawan gadis. Kukira hanya itu satu-satunya jalan yang masih bisa kita tempuh. Coba kau hubungi Marni, Dod”, katanya.
Dodi mengangguk. Dengan diam-diam dia bangkit dari duduknya.Lalu berjalan ke sebelah depan di mana tim puteri mereka berkumpul. Begitu tiba di samping kursi tempat duduk Marni, dia berjongkok sambil menggamit lengan baju gadis itu.
“Mar”, bisiknya.
Marni berpaling. “He, kau Dod. Ada apa?”, tanya si gadis.
“Dengar Mar. Si Wawan memutuskan tidak akan ikut memperkuat tim kita ke Provinsi”.
“Ha? Kenapa?”.
“Katanya, ayahnya sakit keras, dan tidak bisa ditinggalkan jauh-jauh”, sahut Dodi.
“Itu tidak mungkin. Bukankah dia penanggung jawab tim? Lagi pula dia adalah kemampuan puncak tim. Tanpa dia, kalian tidak akan punya smasher yang dapat diandalkan”.
“Si Nasrul juga mengemukakan hal itu. Bahkan dia telah menekannya dengan tanggung jawab kepada Pak Bupati. Tetapi Wawan tetap pada keputusannya”.
Marni mengerutkan keningnya. “Hmm, lalu apa maksudmu memberitahukan kepadaku?”, tanyanya.
“Kami minta bantuan kalian agar dia mau merubah keputusannya. Biasanya wanita lebih berhasil”.
“Jadi aku harus merayunya?”.
“Kalau perlu”, sahut Dodi sambil tersenyum. Lalu, “tetapi yang melakukannya sebaiknya yang paten sekali. Maksudku, itu tuh yang duduk di sampingmu”.
Dodi tidak menunggu jawabannya. Dia segera kembali ke tempat duduknya. Tetapi bisik-bisik kedua orang itu rupanya membuat kawan-kawan Marni menjadi penasaran. Susi adalah yang paling tidak bisa menahan keingintahuannya.
“”Asprak ni ye”, celetuk Susi, “ajak gue dong”.
“Jangan Mar, nanti indehoymu terganggu”. Henni menimpali.
“Ajak saja Mar, biar dia ngebet sendiri. Biar tahu rasa”, tukas Maryanti.
“Nah Sus. Sebaiknya kau cepat batalkan keinginanmu. Aku tidak dapat membayangkan, apa yang akan kau lakukan kalau sudah tidak tahan lagi”, kata Yayu turut menimbrung.
“Tidak. Aku tetap akan ikut”, sahut Susi dengan kalem. Lalu sambungnya: “Kalau tidak tahan mudah saja. Toh di sana banyak pepohonan. Aku tinggal memilih menurut seleraku, mau yang gemuk atau yang kurus. Kan beres”.
Kontan para gadis itu tertawa riuh. Bahkan supir bus juga turut tertawa mendengar gurauan mereka. Hanya Pertiwi yang duduk di samping Marni yang tidak terdengar tawanya, tetapi dia juga tersenyum, bahkan berkomentar: “Ada-ada saja si Susi”, katanya.
Tetapi setelah tawa mereda, Pertiwi bertanya kepada Marni.
“Ada apa sebenarnya dengan si Dodi tadi Mar? Kulihat kalian begitu serius”.
Marni tidak langsung menjawab. Malahan dia balik bertanya. “Wiwi”, bisiknya, “maukah kau berkorban demi sekolah kita?”.
“Berkorban? Berkorban apa?”, tanya Pertiwi.
“Tentu berkorban diri”, sahut Marni sambil tersenyum.
“Aku tak mengerti”. Pertiwi mengerutkan keningnya.
“Berkorban itu kemungkinan paling pahitnya. Dodi dan kawan-kawan pria meminta bantuanmu. Kukira juga hanya kau yang paling bisa diandalkan untuk merubah keputusannya”.
“Ah kau masih berteka-teki juga. Merubah keputusan siapa dan keputusan apa?”, tanya Pertiwi.
“Mereka minta agar kau mau merayu Wawan”, kata Susi.
Tampak keheranan di wajah gadis itu. “Kenapa dengan dia?”, tanyanya.
“Dia memutuskan tidak akan ikut memperkuat tim kita ke Provinsi”.
“He?!”.
“Itulah yang dibisikkan Dodi tadi. Nasrul sudah berusaha, tetapi tidak berhasil mengubah pendirian Wawan”, ujar Marni.
“Alasannya tidak ikut apa?”, tanya Pertiwi.
“Katanya ayahnya sakit keras. Dia tidak bisa meninggalkan terlalu lama”.
“Hmm, kalau begitu aku juga tidak akan bisa mengubah pendiriannya. Kalau aku dalam kedudukan dia, aku sendiri akan berbuat sama kalau orangtuaku sakit”, kata Pertiwi.
“Tetapi dengan kecantikanmu, mungkin kau bisa merubah pendiriannya. Karena itu aku minta kau merayunya. Kau bisa minta demi dirimu. Itu berarti kau harus bersedia jadi pacarnya. Itulah yang kumaksud dengan berkorban diri tadi. Kau tidak akan terlalu rugi, bukankah Wawan itu orangnya ganteng? Kalau saja tidak angkuh, tentu sudah banyak gadis yang mendekatinya. Tetapi kalau kau yang menjadi pacarnya, aku yakin, kau bisa meredam keangkuhannya itu”.
“Hmm, kalau bukan kau yang mengatakannya, aku akan tersinggung Mar. Karena kau begitu menggampangkan soal pacar. Tetapi tak apalah. Hanya yang kusayangkan, ternyata kau dan kawan-kawan bukan kawan yang baik bagi Wawan. Kalian hanya ingin mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari Wawan, dan tidak mau tahu kesusahannya. Kini malah kalian memintaku melakukan perbuatan yang salah. Kalau sampai dia merubah keputusannya karena kurayu, lalu ayahnya meninggal ketika Wawan sedang bertanding di Provinsi, pasti aku akan menyesali diriku sepanjang hidup, karena akulah yang telah membujuknya. Apa kau tidak berpikir sampai ke sana?”, tanya Pertiwi.
Marni terkejut. Dia baru menyadari kemungkinan akibat itu setelah Pertiwi menjelaskannya. Karena itu dia jadi terdiam. Sementara Pertiwi melanjutkan kata-katanya.
“Kalau hanya soal berkorban seperti yang kau katakan tadi, bagiku soal kecil. Sebab kalau dia yang kalian sebut manusia angkuh itu memang telah jadi jodohku, aku tidak akan bisa menolaknya. Karena itu demi nama sekolah kita, aku tidak berkeberatan menjadi pacarnya, walaupun sebenarnya aku belum berniat untuk punya pacar. Tetapi hal itu akan kulakukan sejauh tidak menyangkut alasan yang dikemukakan Wawan. Artinya, aku harus mengunjungi rumahnya untuk meyakinkan, apa alasan Wawan itu bukan bohong? Kalau ayahnya benar-benar sakit keras, aku justru akan membela dia agar jangan turut ke Provinsi. Kau mengerti maksudku Mar?”.
Marni mengangguk lemah.
“Baiklah aku berjanji. Nanti aku akan minta dia mengantarku pulang untuk merayunya. Mudah-mudahan saja alasan dia tidak benar, sehingga dia mau merobah keputusannya. Dan aku menyediakan diri untuk menjadi pacarnya. Aku juga mengakui, dia pemuda tampan yang angkuh”.
“Jadi, kau benar-benar mau berkorban Wiwi?”, tanya Marni ingin meyakinkan.
Pertiwi balik bertanya: “Apa aku pernah berkata bohong?”.
“Tidak. Kau tentu akan melakukan sebagaimana yang kau katakan. Untuk itu, aku dan kawan-kawan mengucapkan terimakasih kepadamu”.
Mereka tidak bicara lagi. Sementara itu bus yang mereka tumpangi sudah memasuki kota kecamatan tempat tinggal mereka. Beberapa menit kemudian bus itu telah berhenti di depan sekolah. Para gadis pun pada turun diikuti para pria yang ditentukan untuk mengantarnya, yang kebetulan rumahnya berdekatan atau yang sejurusan.
Darmawan dan Nasrul tidak mengantar seorang pun, karena tidak ada yang sejurusan dengan mereka. Apalagi Darmawan yang rumahnya paling jauh. Tetapi ketika dua anak muda itu sedang berjalan sambil mengobrol, mereka mendengar langkah-langkah kaki yang mengejarnya. Mereka berpaling. Dalam keremangan senja mereka masih mengenali, yang mengejar mereka adalah Pertiwi.
“Kenapa kau tidak bersama Endang, Wiwi?”, tanya Nasrul.
“Aku ada sedikit keperluan kepada Wawan. Apa kau tidak berkeberatan mengantarku pulang Wan?”, tanya Pertiwi.
Darmawan mengangguk. “Marilah”, sahutnya.
“Aku minta maaf karena telah merepotkanmu”, kata Pertiwi.
“Tidak apa”.
“Kalau begitu kita bertemu lagi senin lusa Wan”, kata Nasrul, dan kepada Pertiwi: “Aku duluan Wiwi”, ujarnya sambil memisahkan diri mengambil jalan lain.
“Silahkan”.
Beberapa lamanya Darmawan dan Pertiwi berjalan tanpa bicara. Darmawan sendiri tidak menanyakan keperluan gadis itu. Dia menunggu saja sampai si gadis mengatakan sendiri urusannya. Akhirnya Pertiwi bicara juga.
“Wan”, katanya, “kudengar kau tidak akan turut memperkuat tim kita ke Provinsi. Apa benar?”.
Darmawan nampak sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Karena dia baru membicarakan dengan Nasrul. Bagaimana mungkin gadis yang duduknya jauh di depan bisa mengetahui. Tetapi nampaknya keangkuhannya telah mencegah dia menyatakan keheranannya, dan dia hanya mengiyakan.
“Ya Wiwi”.
“Apa ayahmu benar-benar sakit keras?”.
Darmawan tidak langsung menjawab. Kepada yang lain dia berani berbohong. Tetapi kepada gadis itu yang dikenalnya tidak suka dusta, dia merasa ragu, sehingga untuk beberapa lamanya dia tidak menjawab. Bagi Pertiwi, kediaman itu menumbuhkan harapan untuk dapat merubah keputusannya.
“Wan”, katanya pula, “kalau bukan karena ayahmu sakit, mengapa kau buang kesempatan yang sangat baik itu? Aku yakin, dengan bakatmu yang menonjol, kau akan cepat mendapat perhatian orang-orang Provinsi. Jalanmu akan licin menjadi pemain nasional. Dengan demikian, di samping masa depanmu cerah, kau juga akan jadi kebanggan daerah kita. Apa kau tidak tertarik?”.
Darmawan menghela nafas. “Tertarik sih tertarik. Tetapi aku benar-benar tidak dapat meninggalkan ayahku yang sudah tua”, sahutnya.
“Tetapi kalau ayahmu dalam keadaan sehat, dan kalau ditinggalkan hanya seminggu saja, kukira tidak akan banyak pengaruhnya”.
“Kata-katamu yang terakhir bertolak belakang dengan yang pertama. Kalau aku sampai ditarik ke Provinsi, apalagi kalau sampai ke tingkat nasional, aku tidak akan bisa menunggui lagi ayahku seterusnya”.
“Kau belum bicara dengan ayahmu. Tidak mustahil ayahmu justru bergembira jika kau berhasil”.
“Aku kira juga begitu. Sebab tidak ada orangtua yang akan menghalangi anaknya maju. Tetapi justru aku sendiri yang tidak ingin meninggalkannya”.
Pertiwi masih belum kehabisan akal. Masih ada beberapa peluang yang dapat ditempuhnya, setelah dia mengetahui ayah anak muda itu sehat-sehat saja.
“Lalu bagaimana dengan janjimu di depan Bapak Bupati tadi? Bukankah kau telah diserahi tanggung jawab, mengemban tugas mengharumkan nama daerah kita? Kau tidak perlu memikirkan kemungkinan peluang lebih jauh. Kalau nanti Provinsi hendak menarik dirimu, kau bisa menolaknya, karena itu hakmu. Tetapi kedudukanmu sekarang lain. Kau sendiri yang telah berusaha memperoleh kepercayaan Bapak Bupati”.
“Bukan aku, tetapi tim sekolahku. Aku secara pribadi tidak akan berarti apa-apa tanpa semua anggota tim. Karena itu secara pribadi, setiap saat aku dapat digantikan orang lain”, sahut Darmawan cepat-cepat.
Suatu keheranan terbersit di hati si gadis. Jawaban-jawaban yang diberikan Darmawan, dan apalagi yang terakhir, sungguh bertolak belakang dengan sifat yang dikenalnya dan dikenal semua kawan-kawannya, sifat seorang yang angkuh. Sebaliknya, jawaban-jawaban itu menunjukkan sifat seorang anak muda yang baik, yang sangat menyayangi orangtua, dan terakhir sebagai anak muda yang rendah hati.
Kesimpulan yang terbersit di hatinya itu membuat si gadis berpendapat lain. “Apa penampilannya yang angkuh itu bukan merupakan kompensasi dari perasaan rendah diri?”, pikirnya. Tetapi yang diucapkan mulutnya samasekali tidak menyiratkan kata hatinya.
“Jadi benar-benar kau tidak akan ikut karena ingin menjaga ayahmu, begitu?”, tanya Pertiwi.
“Ya Wiwi”.
“Bagaimana kalau aku menyediakan diri mewakilimu mengurus ayahmu selama kau pergi ke Provinsi? Hanya ke Provinsi. Soal selanjutnya terserah pendirianmu sendiri nanti. Tetapi kalau kau mujur sampai ditarik oleh Provinsi, lalu kau berminat, aku bersedia meneruskan mewakilimu mengurus ayahmu”.
Pernyataan kesediaan Pertiwi mengurus ayahnya itu benar-benar mengejutkan Darmawan, sampai langkahnya tertegun. Matanya menatap wajah si gadis yang samar-samar oleh kegelapan senja, seolah ingin mengorek apa yang yang ada dalam benaknya. Tetapi akhirnya dia menggelengkan kepala.
“Itu tidak mungkin Wiwi. Kau punya orangtua sendiri. Selain itu rumahmu di sini di kota. Sedangkan rumahku di gunung di Pasirpanjang. Padahal yang paling penting adalah menungguinya di malam hari, dan kau seorang gadis”.
“Kenapa dengan status gadisku? Kalau kau mau merubah keputusanmu, soal mengurus ayahmu serahkan kepadaku. Aku bisa mengaturnya. Di belakang rumahku ada pondok kosong bekas pegawai ayahku mengurus kuda dulu. Aku bisa menempatkan ayahmu di sana, kau tidak perlu khawatir. Nah, bagaimana?”, tanya Pertiwi dengan penuh harapan.
“Apa sebenarnya maksud ucapanmu itu Wiwi? Aku tidak percaya kau akan berbuat sampai sejauh itu kalau sekedar demi menjaga nama sekolah kita”.
“Kita bukan anak ingusan lagi. Kukira kau sudah cukup dewasa untuk dapat menyimpulkannya”, sahut Pertiwi tidak langsung.
“Tidak. Itu tidak mungkin”, desis Darmawan hampir kepada dirinya sendiri.
“Kenapa tidak mungkin?”, tanya Pertiwi dalam nada gelisah. Soalnya ada rasa malu oleh pernyataan hatinya yang ditolak, karena justru dia perempuan. Tetapi di saat berikutnya terbersit kemungkinan lain, dan itu langsung dikatakannya: “Atau apa kau sudah punya pacar? Kalau begitu aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud mengganggu hubungan kalian”.
Darmawan menggeleng lagi. “Bukan itu. Aku sungguh seperti anak burung yang tiba-tiba tumbuh sayap mendengar kesediaanmu menjadi pacarku. Sudah sejak lama aku mengagumimu. Sampai pernah timbul dalam angan-anganku, alangkah bahagianya andaikata Tuhan memberiku isteri secantikmu kelak. Ketika tadi kau menjelaskan hal itu, aku sungguh seperti kejatuhan bintang. Apalagi belum apa-apa kau sudah bersedia mengurus ayahku. Masih adakah di dunia ini calon isteri yang lebih baik darimu? Tidak Wiwi. Aku yakin, tidak ada. Sayang, impian yang hampir jadi kenyataan ini, dengan sangat menyesal dan terpaksa, aku harus menolaknya. Bukan karena aku sudah punya pacar, sebab aku belum punya pacar kok”.
“Lalu karena apa?”. Tetapi pertanyaan dihatinya itu tidak keluar dari mulut Pertiwi, sementara kepala gadis itu tertunduk. Gadis itu benar-benar tidak mampu menebak apa yang jadi alasan begitu kuatnya yang menyebabkan anak muda itu menolak turut ke Provinsi. “Apa karena aku sebagai perempuan dianggap tidak pada tempatnya berani menyatakan cinta lebih dulu? Apa hal itu dinilainya merupakan kesalahan yang sangat besar?”, pikirnya.
Tetapi hati gadis itu menyangkal sendiri. Dari ungkapan kata-kata Darmawan barusan, dia merasa yakin, pandangan anak muda itu tidak akan demikian cupat. Satu hal yang dapat dia temukan, anak muda itu ternyata berwawasan sangat luas. Dengan penjelasannya barusan, dia dapat menangkap kebijaksanaan hatinya, seolah pemuda itu dapat menangkap perasaan malu hatinya karena pernyataan cintanya ditolak. Dalam keadaan demikian, kembali Darmawan seperti dapat membaca apa yang tengah berkecamuk dalam pikiran gadis itu.
“Mungkin kau ingin mengetahui alasanku yang sebenarnya Wiwi. Tetapi untuk yang satu ini aku minta maaf, karena tidak dapat memenuhi keinginanmu. Pokoknya aku tidak akan merubah keputusanku. Aku tidak akan turut ke Provinsi. Itu saja. Aku mengucapkan terimakasih atas maksudmu yang mulia itu. Aku junjung tinggi itikad baikmu, dan aku akan menyimpannya baik-baik di dalam hati bahwa, ternyata dibalik kecantikan lahiri yang mempesona ini aku memperoleh sahabat sejati yang hatinya lebih cantik lagi”.
Darmawan meneruskan langkahnya. Sejenak Pertiwi menatap punggungnya yang samar oleh kegelapan senja. Hati gadis itu demikian tersentuh oleh kata-kata pujian si pemuda. Saat itu dia baru benar-benar meyakini bahwa, anggapan semua kawannya terhadap Darmawan sebagai orang angkuh sangat bertolak belakang. Tetapi dengan demikian justru hati gadis itulah yang kini merasa sangat penasaran, ingin mengetahui sedalam-dalamnya tentang kehidupan pemuda itu.
“Satu-satunya jalan, aku harus mengunjungi rumahnya. Kebetulan besok hari minggu”, kata Pertiwi dalam hatinya. Maka dia pun melangkah lagi mengikuti Darmawan.
Jarak ke rumah Pertiwi memang tidak terlalu jauh. Karena itu tidak terlalu lama lagi berjalan, mereka telah sampai di depan kantor kecamatan yang di bagian belakangnya bersatu dengan rumah Pertiwi. Di depan kantor kecamatan sendiri terdapat pendopo yang cukup luas, menghadap ke lapangan alun-alun kecamatan. Di seberang alun-alun adalah Masjid Agung kecamatan yang saat itu tengah mengumandangkan adzan magrib.
“Aku tidak akan mengundangmu menginap di rumahku Wan. Karena kau pasti akan menolaknya”, ujar Pertiwi sebelum mereka berpisah.
“Terimakasih atas pengertianmu”, sahut Darmawan.
“Tetapi rumahmu sangat jauh. Mungkin kau baru akan sampai sekitar pukul sembilan atau sepuluh nanti”.
“Tidak jadi soal. Yang penting malam ini aku harus ada di rumah. Mari Wiwi”, sahut Darmawan pula sambil berlalu.
“Apa jalan ke sana malam-malam begini tidak berbahaya Wan?”, tanya Pertiwi.

--0--

Dua
Membuka Waris
“Kukira tidak berbahaya”, jawab Raden Angga, pemuda berusia 18 tahun sambil menginjakkan kakinya pada sanggurdi. Dan duduk di punggung kudanya. “Kau jangan khawatir, duri cangkring itu tidak berbahaya, Paling-paling juga hanya mengejutkan sesaat. Aku hanya ingin tahu, apa dalam keadaan terkejut kakakmu yang sok dewasa itu tidak akan memekik-mekik kayak anak kecil?”, sambungnya.
“Tetapi aku takut kuda itu menjadi gila”, kata Purwanti, gadis remaja cantik yang sedang mekar, yang juga duduk di punggung kudanya di samping kuda Raden Angga. Sementara matanya memandang kuda ketiga yang tengah merumput tidak begitu jauh di pinggir jalan desa.
Purwanti gadis bongsor. Dalam usianya yang baru 14 tahun, tubuhnya sudah hampir menyamai kakaknya Pertiwi.Mungkin hal itu karena pembawaannya yang manja, lincah, dan hidup dalam keluarga yang berkecukupan. Sementara Pertiwi, kakaknya, yang saat itu tengah berdiri di bawah pohon rindang menikmati pemandangan pesawahan yang padinya sedang menghijau rampak, adalah gadis pendiam dan serius. Dia samasekali tidak mengetahui bahwa kedua kawan seperjalanannya telah merencanakan permainan yang berbahaya. Silir angin pedesaan yang menggelombangkan daun-daun padi itu telah melenakannya, sehingga dia hampir lupa kepada dua kawan perjalanannya.
“Sudahlah, jangan takut. Lebih baik kau panggil kakakmu untuk melanjutkan perjalanan. Aku mulai dongkol, karena dia seperti sedang berjalan-jalan sendiri. Apa dia menganggap kita ini pekatiknya?”, sahut Raden Angga dengan nada meninggi.
“Sttt, jangan keras-keras, nanti Kak Wiwi mendengarnya”, desis Purwanti memperingatkan.
“Biar saja, agar dia tahu bahwa aku sebenarnya paling tidak senang berjalan-jalan dengannya, gadis sok alim. Mungkin karena merasa dirinya paling cantik di daerah ini, dia jadi angkuh. Dia tidak menyadari bahwa sebenarnya kau lebih cantik dari dirinya”, kata Raden Angga tanpa menurunkan suaranya, karena jaraknya dengan gadis itu memang cukup jauh.
Sebenarnya hati Purwanti mulai tidak enak mendengar kakaknya dikata-katai. Tetapi ketidakenakan itu langsung sirna ketika dirinya dikatakan lebih cantik dari kakaknya. Hati Purwanti jadi mekar. Tetapi dia juga tahu sifat kakaknya yang keras dan suka blak-blakan. Karena itu dia tetap memberi peringatan kepada pemuda itu.
“Baiklah. Aku juga sebenarnya kurang senang pada sifatnya yang suka menasihati. Tapi aku minta Kak Angga jangan keras-keras bicaranya. Sebab kalau Kak Wiwi mendengar dan sampai tersinggung, aku yang berabe. Soalnya Kak Wiwi tidak mengajak Kak Angga, tetapi aku yang diajaknya. Aku yang mengajak Kak Angga menemaniku. Jadi dalam hal ini Kak Angga tidak bisa menyalahkan Kak Wiwi”.
“Tapi seharusnya dia mengerti bahwa selain adiknya, ada orang lain bersamanya”, sahut Raden Angga. Namun kini suaranya agak menurun mendengar alasan Purwanti yang memang benar itu. Walaupun begitu hatinya belum puas oleh sikap Pertiwi, dan itu nampak pada lanjutan kata-katanya: “Kalau dia suka menasihatimu, seharusnya dia tahu menghargai orang lain. Rupanya keangkuhannya itulah yang menyebabkan sampai sekarang belum ada pemuda yang mau bergaul rapat dengannya”.
“Tapi bukankah tempo hari Kak Angga selalu datang ke rumah untuk bertemu dengan Kak Wiwi?”.
“Memang. Tetapi setelah tahu sifatnya, aku jadi tidak senang. Mana ada laki-laki yang mau mendekati gadis yang suka jual mahal, mau menang sendiri, dan ingin disembah-sembah. Betapa pun cantiknya dia, mungkin sampai nenek-nenek tidak akan ada yang mau mengawininya”.
“Itu berarti Kak Wiwi sangat cantik kan?”, kata Purwanti memancing.
“Menurutku, kau lebih cantik Dik Wanti, dan sifatmu sangat menyenangkan. Sebentar lagi kau akan jadi gadis yang sempurna. Dan aku akan sangat cemburu jika ada pemuda lain yang mendekatimu”.
“Maksud Kak Angga?”, tanya Purwanti dengan hati berdebar-debar.
“Raden Angga tersenyum sambil mengedipkan matanya. Lalu katanya: “Sudahlah, sebaiknya kau panggil kakakmu. Kalau kita terlalu lama berhenti, kita baru akan sampai di Pasirpanjang tengah hari nanti. Bukankah kakakmu mengajak kita ke Pasirpanjang?”.
Sebenarnya Purwanti ingin mendengar langsung dari mulut pemuda itu apa yang diduganya. Tetapi rupanya Raden Angga belum hendak mengatakannya. Namun demikian, hati remaja itu sudah merasa bangga, karena ternyata pemuda itu menilai dirinya lebih cantik dari kakaknya yang kecantikannya sudah jadi buah bibir. Yang lebih mendebarkan hatinya lagi, secara tidak langsung pemuda itu telah mengisyaratkan cinta kepada dirinya, sehingga Purwanti merasa dirinya sudah bukan anak kecil lagi, setidak-tidaknya menurut penilaian pemuda itu. Dengan nada ringan karena hatinya berbunga, Purwanti segera memenuhi kinginan anak muda itu.
“Kak Wiwi, ayolah! Jangan terlalu lama di sini, nanti kita kepanasan di jalan!”, teriaknya.
Pertiwi tidak menyahut, tetapi dia membalikkan tubuhnya dan melangkah menuju kudanya. Tanpa menaruh curiga apa-apa, dia menaiki kudanya. Tetapi begitu menduduki pelana, tiba-tiba kudanya meringkik keras sambil mengangkatkan kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Andaikata kedua tangan Pertiwi tidak segera mendekap leher kuda, pasti tubuhnya terpelanting jatuh. Tetapi kejadiannya tidak hanya sampai di situ. Disaat lainnya kuda itu melesat kabur sambil meringkik tak henti-hentinya.
Oleh rasa kejut yang sangat, mulut gadis itu terbungkam, kecuali kedua lengannya yang mengeratkan pelukannya di leher kuda. Tetapi begitu kesadarannya datang kembali, dia berteriak-teriak meminta tolong karena ketakutan.
Menyaksikan peristiwa itu Raden Angga dan Purwanti terpaku di punggung kuda masing-masing dengan mata membelalak. Mereka juga demikian terkejut, sehingga untuk beberapa lamanya mematung dengan otak kosong, sementara pandangannya tidak lepas dari kuda yang kabur itu, yang meninggalkan kepulan debu di belakangnya. Dalam tempo sebentar saja, kuda yang menjadi gila itu telah kabur jauh. Yang pertama tersadar dari pukaunya adalah Purwanti ketika telinganya mendengar jeritan Pertiwi.
“Kita kejar! Cepat!”, teriaknya sambil mengedut kendali, dan kuda yang ditungganginya segera berlari mengejar meskipun tidak sekencang lari kuda gila itu.
Raden Angga pun mengedut les kudanya. Sejenak kemudian dia juga telah melarikan kudanya mengikuti kuda Purwanti yang sudah berlari cukup jauh.
Sementara itu kuda gila yang membawa Pertiwi berlari semakin kencang. Ringkiknya yang panjang dibarengi teriakan minta tolong penunggangnya, mengejutkan orang-orang yang berada di sepanjang jalan itu. Seorang tukang mangga yang terlambat menyadari kedatangan kuda gila itu, hampir saja terlanggar. Untungah dia sempat menloncat ke pinggir. Tetapi pikulannya masih terserempet, sehingga isinya berhamburan, dan orangnya sendiri sempat terputar terbawa dorongan tenaga pikulannya. Akhirnya orang itu terjatuh juga dengan pikulan dagangannya terlempar beberapa meter.
Sebentar kemudian kuda gila itu memasuki sebuah kampung yang terdiri dari belasan rumah berjajar di sebelah-menyebelah jalan. Seorang lelaki yang tengah berjalan sambil memikul cangkul di pundaknya, terkejut melihat kemunculan kuda gila yang berlari cepat itu. Dengan tergesa-gesa dia meloncat ke sawah sambil melemparkan cangkulnya. Ketika kuda itu lewat di bekas berdirinya, dia telah terhenyak menimpa gerumbul rumpun padi dengan hati berdesir dan wajah pucat. Dari arah kampung terdengar teriakan ribut sahut-menyahut.
“Kuda gila! Awas kuda gila!”.
Para penghuni kampung berserabutan berloncatan masuk ke halaman rumah di dekat tempatnya berada. Seorang ibu meraih anaknya yang belum mengerti samasekali akan bahaya itu dan matanya yang kecil hanya memandang heran kepada oranga-orang yang berlari berserabutan. Lalu ibu itu dengan tergesa-gesa berlari masuk rumah dengan menggendong anaknya.
Sesaat saja jalan kampung itu telah lengang ketika kuda itu lewat cepat sambil memperdengarkan ringkikannya yang keras dan panjang berbaur dengan suara jeritan minta tolong penunggangnya. Hanya beberapa detik saja kampung kecil itu telah dilewati. Kemudian kuda itu berderap sepanjang jalan desa yang membujur lengang membelah pesawahan luas. Mulut kuda itu mulai berbusa.
Wajah Pertiwi sudah seputih kapas. Keringat telah membanjiri seluruh tubuhnya. Bahkan jari-jari tangan kanan Pertiwi yang mencengkeram pergelangan tangan kirinya melingkari leher kuda juga sudah mulai licin oleh keringat. Namun gadis itu sadar betul, kalau sampai cengheramannya terlepas, tentu tubuhnya akan langsung terlempar dari tempat duduknya. Karena itu saat-saat selanjutnya dia telah memusatkan pikirannya pada pelukannya.
Harapan untuk mendapatkan pertolongan dari orang lain sudah semakin luntur ketika kuda itu telah berderap di jalan desa yang membujur membelah pesawahan luas dan lengang. Satu-satunya harapan yang masih tersangkut di hatinya adalah kelelahan kuda itu dan berhenti dengan sendirinya. Karena itu dia tidak berteriak-teriak lagi. Tetapi apakah dirinya akan mampu bertahan sampai kuda itu lelah? Pertanyaan itu muncul dalam benaknya. Dia sudah tidak punya kepercayaan lagi akan kemampuannya, karena sejak tadi sudah merasakan kelelahan yang semakin memuncak. Sementara lari kudanya rasa-rasanya tidak pernah berkurang kecepatannya, bahkan seperti bertambah kencang juga.
Saat itu, di puncak kedataran anak bukit Pasirpanjang tampak seorang penyabit rumput tengah tekun bekerja menyabit rumput. Di dekatnya ada pikulan rumput yang sudah hampir penuh. Sebuah topi pandan butut menutup kepalanya dan ditekan dalam-dalam untuk menghalangi teriknya sinar matahari. Baju dan celananya yang berwarna hitam sudah bercampur dengan warna lumpur tanah kekuningan dan sudah compang-camping. Ujung celananya yang hanya sampai sebatas lutut, terpotong tidak rapi. Rupanya celana itu bekas celana panjang. Karena sudah robek di bagian lututnya, sekalian saja disempurnakan robekannya jadi buntung. Kedua kakinya tidak mengenakan alas. Secara keseluruhan, penampilan penyabit rumput itu jauh lebih buruk dari pengemis yang biasa berkeliaran di kota-kota.
Di tengah ketekunannya menyabit rumput, tiba-tiba dia mengangkat wajahnya, karena telinganya mendengar ringkik kuda sayup-sayup. Segera dia berdiri tegak, memandang ke arah datangnya suara ringkikan itu. Nun di bawah sana, di tengah bulak panjang tampak kepulan debu yang ditimbulkan kaki-kaki kuda yang berlari kencang menuju ke arahnya. Sejenak dia mempertajam penglihatannya, dan di saat lainnya dia melihat sesosok tubuh di punggung kuda itu.
Dengan tergesa-gesa dia mengumpulkan rumput yang telah disabitnya terakhir dan ditaruh dalam beberapa tumpukan., lalu semuanya dibawa dan dimasukkan pada pikulan rumputnya yang menjadi penuh. Arit penyabitnya pun diselipkan pada pikulan. Lalu topinya juga dibuka dan diletakkan pada pikulan. Kemudian kembali dia memperhatikan kuda gila yang sudah semakin dekat ke jalan pendakian di bawahnya. Nampaknya dia sedang menimbang-nimbang apa yang harus dilakukannya.
Ketika kuda kabur itu semakin mendekati jalan pendakian, si penyabit rumput berlari turun menyongsongnya. Rupanya dia memperhitungkan jalan mendaki itu dalam melaksanakan maksudnya. Dia tiba di ujung jalan pendakian di lurusan dangau Juragan Sukarta, hampir bersamaan dengan kuda yang tengah kabur itu. Beberapa langkah dia membarengi lari kuda sambil menyusupkan tangannya di antara leher kuda dan tubuh penunggangnya. Di saat lainnya, dengan menghentak tenaga dia menggayutkan tubuhnya pada leher kuda itu.
Sejenak lari kuda itu menegunoleh tambahan beban yang menggayuti lehernya. Tetapi tidak sampai menghentikannya, melainkan sekedar memperlambatnya. Ternyata perhitungan tukang rumput itu sangat menentukan. Ketika mulai mencapai pendakian, kecepatan lari kuda semakin menurun. Semakin ke atas semakin melambat oleh beban yang terasa semakin berat menggayutinya. Ketika sampai di kedataran puncak Pasirpanjang, si penyabit rumput menggelusurkan kedua kakinya di atas rumput dengan memperbesar tenaga tekanan pada leher kuda tersebut.
Dalam pada itu, ketika si penyabit rumput menggayutkan badannya di leher kuda, Pertiwi sudah sampai pada puncak kelelahannya. Kedua lengannya yang memeluk leher kuda pun sudah semakin licin oleh keringat yang membanjir. Karena itu, ketika kudanya tersentak oleh hentakan tenaga si penyabit rumput, pelukan Pertiwi pada leher kudanya terlepas tanpa dikehendakinya. Mujur tangannya yang terlepas itu jatuh ke pundak si penyabit rumput. Segera dia mengalihkan pelukannya ke leher orang itu, dan tubuhnya menggemblok di punggung si penyabit rumput.
Beban dua tubuh yang menggayuti leher kuda, menyebabkan binatang yang sudah mulai lelah itu berlari semakin lambat. Akhirnya hewan itu berdiri diam dengan kaki gemetar. Si penyabit rumput melepaskan pelukannya dari leher kuda, dan terduduk di tanah. Tubuh Pertiwi terguling di sampingnya dengan lemas. Beberapa lamanya hewan dan kedua orang itu tidak ada yang bergerak. Baru kemudian Pertiwi berusaha bangkit meskipun tubuhnya masih sangat lemah. Tetapi kebangkitannya itu hanya untuk rasa terkejut yang kedua kalinya.
“Ya Alloh”, desahnya dengan mata membelalak menghadap ke depan.
Sesungguhnyalah, apa yang dilihat gadis itu adalah pemandangan yang mengerikan, yang membuat jantungnya seolah hendak copot. Sekitar satu setengah meter dihadapannya adalah bibir jurang dalam. Itu terlihat dari pucuk pepohonan besar di bawanya yang tumbuh tidak begitu jauh dari bibir jurang.
“Bersyukurlah kepada Tuhan, karena Dia masih menyelamatkan kita. Kalau tidak, saat ini tiga nyawa telah terkapar di dasar ju...”, kata si penyabit rumput kepada orang yang ditolongnya. Tetapi kata-katanya terputus, dan kini mata si penyabit rumput itulah yang membelalak tak berkedip memandang Pertiwi.
Pertiwi yang merasa kata-kata si penyabit rumput tiba-tiba terputus, jadi keheranan dan berpaling. Tetapi untuk ketiga kalinya hati gadis itu terkejut meski dalam bentuk lain, dan kedua orang itu untuk beberapa lamanya saling pandang dengan mata membelalak.
“Kau?!”.
Hanya itu yang keluar dari mulut Pertiwi. Tetapi seruan setengah pertanyaan singkat itu seolah vonish hakim yang berhasil mengorek kesalahan dirinya. Tiba-tiba saja si penyabit rumput menunduk, dan tanpa disadarinya, dalam keadaan menunduk itu sepasang matanya menyelusuri tubuhnya, mulai dari ujung kakinya yang kotor tak beralas, lalu pada celananya yang compang-camping sebatas lutut, hingga pada bajunya yang kumal tak jauh berbeda dengan celananya. Suatu kenyataan diri yang selama ini ditutupinya. Tetapi kini tiba-tiba saja telah terbuka, justru dihadapan gadis yang sebenarnya paling dia tidak inginkan mengetahuinya. Namun hal itu sudah terjadi.
Satu helaan nafas berat yang mengandung keluhan mendesah dari maulutnaya. Tiba-tiba saja dia bangkit berdiri melangkah menghampiri kuda dan memegang kendalinya, serta menuntunnya menjauh dari bibir jurang. Seolah ingin menghindarkan diri dari kejatuhan yang paling dalam, dari tatapan mata gadis itu yang penuh cemooh. Sesungguhnyalah Pertiwi tidak pernah melepaskan pandangannya terhadap gerak-gerik si penyabit rumput itu, tetapi bukan tatapan cemooh, melainkan dengan perasaan bersalah.
Nampaknya si penyabit rumput tidak ingin lama-lama dekat dengan Pertiwi. Setelah berada jauh dari bibir jurang, dia langsung menaiki kuda itu untuk mencobanya. Tetapi begitu dia duduk di pelana, kuda berjingkrak kembali dengan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, sehingga tubuh si penyabit rumput terlempar dari tempat duduknya.
“Wawan!”, jerit Pertiwi sambil berlari menghampiri si penyabit rumput. Namun gadis itu tertegun dari larinya sebelum sampai ke tempat orang terlempar itu. Karena ternyata si penyabit rumput yang tidak lain dari Darmawan, kawan sekolahnya, tidak terbanting jatuh, tetapi berdiri tegak dengan kaki mengangkang. Sementara kuda yang melemparkannya sempat berlari beberapa langkah, baru berdiri tenang lagi.
Meski mendengar namanya dipanggil, Darmawan tidak berpaling kepada Pertiwi. Dia melangkah kembali menghampiri kuda yang melemparkannya. Begitu sampai, dia menepuk-nepuk pelananya, sampai tiba-tiba kuda itu meringkik lagi dengan gelisah. Darmawan menyingkapkan pelana di bagian yang membuat hewan itu gelisah. Ternyata dia menemukan penyebabnya, sebuah duri cangkring yang menancap melukainya.
Dengan hati-hati dia mencabut duri tersebut. Untungalah tidak ada patahannya yang tertinggal. Rupanya bagian yang sangat tajamnya telah dipotes atau patah sendiri pada waktu kuda itu ditunggangi pertama kali oleh Pertiwi. Darmawan meludahi luka bekas duri cangring itu dan meratakannya dengan diusap-usap oleh jarinya.Ternyata kuda itu tidak bertingkah lagi, nampanya hewan itu tahu kalau orang bermaksud baik.
Sebelum dicoba lagi, Darmawan memeriksa seluruh bagian di bawah pelana kuda itu dengan teliti, sementara Pertiwi pun telah berdiri di sampingnya. Gadis itu tidak berkata sepatah pun, tetapi hanya memperhatikan saja segala gerak-gerik Darmawan. Nampaknya si gadis tahu gejolak hati Darmawan, dan dia khawatir kata-katanya justru akan memperparah keadaan.
Setelah melihat tidak ada lagi hal yang tidak pada tempatnya pada tubuh kuda itu, sekali lagi Darmawan menungganginya. Ternyata kuda itu tidak berjungkrak seperti sebelumnya. Beberapa lamanya Darmawan masih mematung di punggung kuda. Baru kemudian dia mengedut kendalinya perlahan-lahan, dan kuda itu pun melangkah tenang. Selanjutnya Darmawan menjalankan kuda itu lebih cepat dan semakin cepat mengelilingi kedataran puncak anak bukit tersebut. Ternyata tidak terjadi hal yang mencemaskan lagi. Akhirnya Darmawan menghentikan tunggangannya di dekat Pertiwi berdiri. Dia menyerahkan kendali kuda itu kepada si gadis, dan menyerahkan duri cangkring yang telah membuat kuda itu menjadi gila.
“Duri inilah yang menyebabkan kuda menjadi gila Nden”, ujar Darmawan, “saya kira...”.
“Wawan? Apa kau bilang?!”, tanya Pertiwi memotong, dan sepasang matanya menatap tajam kepada pemuda itu, karena Darmawan memanggil dirinya Nden, satu sebutan yang hanya dia dengar dari para pembantu rumah dan pekerja ayahnya.
Tetapi Darmawan tidak mengacuhkan pertanyaan si gadis. Dia meneruskan kata-katanya yang terputus barusan: “...ada orang yang sengaja menyelipkan duri cangkring di bawah pelana. Seharusnya orang itu tahu permainannya sangat membahayakan orang lain dan menyakiti sesama makhluk meski hanya seekor kuda. Karena itu untuk selanjutnya Nden harus berhati-hati. Mungkin pendapat saya salah. Tetapi saya menduga orang itu punya dendam kepada Nden”.
Pertiwi menghela nafas, lalu sahutnya: “Terimakasih atas peringatanmu. Aku kira dugaanmu sangat beralasan. Karena itu aku pasti memperhatikan”, katanya dengan sungguh-sungguh. Namun kemudian sambungnya: “Tetapi aku minta kau jangan memanggilku dengan sebutan Nden. Kau adalah kawan sekolahku, bagaimana pun keadaanmu”.
“Tidak apa Nden, karena memang seharusnya saya menyebut demikian. Kalau selama ini saya berlaku lain, karena Nden dan kawan-kawan tidak mengetahui siapa saya sebenarnya”.
“Jangan merendahkan diri begitu. Sudah kukatakan, kau kawan sekolahku. Sekalipun sekarang aku tahu keadaanmu, aku tetap menganggapmu sebagai kawan. Bahkan tawaranku kemarin tetap berlaku. Karena sekarang aku tahu pasti, kenyataan dirimu inilah yang membuatmu tidak bisa turut ke Provinsi dan terpaksa menolak tawaranku”.
Darmawan memandang Pertiwi dengan lekat, seolah ingin meyakinkan kesungguhan kata-kata si gadis. Namun kemudian kepalanya menunduk lagi, dan dia menghela nafas berat.
“Sungguh mulia hati Nden. Saya seperti pungguk yang bisa terbang. Tetapi Bulan itu terlalu tinggi untuk dijangkau. Maka dengan sangat menyesal saya terpaksa menolaknya”, ujar Darmawan dengan nada berat dan parau.
Tiba-tiba saja suatu perasaan iba yang dalam melanda dada Pertiwi. Ucapan anak muda dalam nada berat dan parau itu menyentuh dasar hatinya. Kata “terpaksa” yang diucapkannya bukan basa-basi apalagi sindiran, tetapi bermakna hakiki dari rasa rendah diri yang parah. Terlihat jelas dari tatapannya tadi sebelum menundukkan kepala. Tetapi Pertiwi pura-pura tidak tahu gejolak hati si anak muda.
“Apa boleh buat”, katanya setelah menghela nafas, “dengan demikian kau benar-benar tidak dapat turut ke Provinsi kan?”.
“Ya Nden”.
“Baiklah. Tetapi tentunya kau tidak berkeberatan mengajakku ke rumahmu. Aku ingin berkenalan dengan orangtuamu”.
Darmawan tidak segera menjawab. Dia menerawangkan matanya ke jalan desa yang membujur membelah pesawahan di bawahnya. Matanya terpaku sejenak pada kepulan debu di kejauhan yang bergerak maju ke arah anak bukit itu.
“Sebaiknya jangan sekarang Nden. Saya tidak ingin ada orang lain lagi yang mengetahui keadaan saya. Nampaknya dua penunggang kuda itu tengah mencari Nden”.
Pertiwi berpaling ke arah pandangan Darmawan. Memang dia melihat kepulan debu, tetapi jaraknya terlalu jauh, sehingga dia belum bisa menentukan apa pendatang itu terdiri dari dua atau satu orang. Karena itu dia jadi keheranan, bagaimana mungkin anak muda itu bisa menyebutkan dengan pasti bahwa yang datang dua penunggang kuda. Namun kemudian dia teringat kepada dua kawan seperjalanannya, sehingga kemudian dia pun seolah bisa melihatnya meski samar-samar, pendatang itu memang dua penunggang kuda yang melarikan tunggangannya dengan cepat. Sebentar saja tampak makin jelas.
“Baiklah Wan. Kapan-kapan aku datang lagi. Tetapi aku ingin tahu, di mana rumahmu, agar nanti tidak susah lagi mencarinya.”, kata Pertiwi sambil menginjakkan kakinya pada sanggurdi.
“Tidak susah Nden. Saya tinggal di dangau di bawah bukit ini. Kalau Nden turun nanti, pasti akan melewatinya”, sahut Darmawan. Dia menepuk-nepuk leher kuda itu, sementara mulutnya bicara perlahan di dekat telinga kuda: “Jangan nakal lagi ya. Kau harus membawa majikanmu sampai tiba di rumah dengan selamat. Awas, kalau sampai majikanmu cedera sekalipun hanya lecet kulitnya, aku tidak mau kenal lagi denganmu. Nah, hati-hatilah”.
Pertiwi tersenyum mendengarnya. “Hmm, ternyata kau pandai juga merayu Wan. Aku jadi cemburu pada kuda”, katanya. Lalu: “Aku pergi dulu Wan. Sampai jumpa lagi besok di sekolah”.
Darmawan tidak menyahut. Pertiwi mengedut kendali kudanya, dan binatang itupun mulai bergerak. Sejenak Darmawan memperhatikan kepergian si gadis, tetapi kemudian dia melangkah menghampiri pikulan rumputnya yang tidak jauh dari tempat berdirinya barusan. Tak lama kemudian dia telah memanggul pikulan rumputnya dan meninggalkan tempat itu, tetapi justru ke arah yang berlawanan dari yang ditempuh Pertiwi, menyusuri punggung Pasirpanjang ke arah kampung di pinggang bukit.
Dalam pada itu Pertiwi yang menuruni anak bukit tersebut telah tiba di ujung jalan pendakian. Sejenak dia menghentikan kudanya memperhatikan rumah panggung bertepas luas yang oleh Darmawan disebut dangau tempat tinggalnya. Dari bentuk rumah dan halamannya yang luas ditembok, memang dapat disimpulkan rumah itu merupakan dangau induk tempat menimbun dan menjemur padi hasil panen. Karena itu Pertiwi hampir yakin, Darmawan dan ayahnya adalah buruh dari seorang tuan tanah. Mungkin penunggu sawah merangkap berbagai pekerjaan lain, diantaranya penyabit rumput.
Pertiwi tidak terlalu lama menghentikan kudanya, karena dua penunggang kuda yang tak lain dari Purwanti dan Raden Angga telah datang mendekat. Raden Angga dan Purwanti menarik atali kekang kudanya ketika Pertiwi telah berada dekat di hadapan mereka. Tiba-tiba saja Pertiwi teringat kepada kata-kata Darmawan tentang orang yang hendak mencelakakan dirinya melalui duri cangkring karena dendam. Dia hampir yakin, dugaan pemuda itu benar. Soalnya dia pernah menolak cinta Raden Angga, sepupu jauhnya. Karena itu timbul kemarahan di hati si gadis, membuat wajahnya semburat merah. Meski dia berusaha mengendapkan kemarahannya, namun tidak seluruhnya dapat dikendalikan. Itu terlihat dari sikapnya yang langsung menegur Raden Angga setelah mereka berhadapan, dan suaranya pun terdengar agak gemetar.
“Apa maksudmu menyusulku Angga? Apa ingin meyakinkan keberhasilan rencanamu? Kalau itu maksudmu, sesungguhnya kau hampir berhasil Angga. Kalau saja tidak ada yang menolongku, tentu sekarang kau akan menyaksikan tubuhku terkapar di jurang sana. Kau sudah gagal Angga. Selanjutnya aku akan selalu ingat bahwa kau menginginkan kematianku”, kata Pertiwi menghujani anak muda itu dengan blak-blakan sesuai dengan sifatnya yang terbuka.
Tentu saja Raden Angga jadi terpaku dengan wajah semburat merah. Rupanya gadis itu sudah menduga kalau kegilaan kudanya sengaja dibuat orang, dan orang itu adalah dirinya. Tetapi dia tidak yakin kalau Pertiwi benar-benar mengetahui permainannya. Karena itu dia masih berani mungkir.
“Apa maksudmu Wiwi? Aku benar-benar tidak mengerti, dan kau langsung menuduh aku. Justru aku dan adikmu menyusul karena mengkhawatirkan dirimu”, sahut Raden Angga.
“Hmm, kau masih berani menyangkal ya?. Kau kira aku tidak punya bukti?”, desis Pertiwi dengan nada meninggi karena geram. Lalu dia berpaling kepada adiknya: “Apa kau juga akan mengatakan tidak tahu Wanti?”.
Wajah Purwanti berubah. Sejenak dia bingung oleh dua pilihan. Tetapi nampaknya dia belum punya keberanian untuk membohongi kakaknya. Karena itu tanpa berani memandang Raden Angga, akhirnya dia menyahut dengan nada ragu-ragu.
“Aku juga sudah menyatakan kekhawatiran kepada Kak Angga”, katanya tidak langsung, “tetapi kak Angga bilang tidak akan terjadi apa-apa. Paling-paling kuda itu hanya terkejut sesaat”.
“Hmm, ternyata sampai saat ini kau masih tetap adikku”, gumam Pertiwi. Lalu: “Sebenarnya aku tidak memerlukan kesaksianmu. Kalau aku bertanya juga, aku hanya ingin mengetahui hatimu. Apa kau lebih berat kepada dia atau kepadaku, kakak kandungmu?”.
Darah Purwanti berdesir, sementara Pertiwi tiba-tiba mengayunkan tangannya ke arah Raden Angga, dan sebuah benda kecil meluncur tepat mengenai pipi Raden Angga yang berdesis, karena benda kecil itu telah melukai pipinya meski hanya segores kecil.
“Duri cangkring itu pasti kau selipkan di bawah pelana kudaku ketika aku sedang memperhatikan pemandangan sawah. Karena ketika berangkat dari rumah, kuda itu tidak apa-apa. Apa kau masih berani menyangkal Angga?”, tanya Pertiwi sementara matanya menatap geram pada si pemuda.
Raden Angga menunduk, lalu sahutnya hampir tidak terdengar: “Aku minta maaf Wiwi. Aku benar-benar tidak mengira kalau kuda itu akan menjadi gila. Aku hanya ingin bergurau”.
“Sekarang kau baru mengatakan begitu, karena tidak bisa menyangkal lagi. Padahal kau pasti tahu, kuda itu akan menjadi gila. Hatimu memang beracun”.
“Demi Tuhan Wiwi. Aku sungguh hanya bermaksud main-main”, sanggah Raden Angga.
“Sumpahmu dengan nama Tuhan hanya untuk menutupi hatimu yang culas Angga. Bukankah kau tidak pernah mengakui adanya Tuhan selain dirimu sendiri? Kau manusia atheis Angga. Aku tahu itu. Sekarang kuberitahukan kepadamu, itulah alasan utamaku menolak permintaanmu tempo hari”.
Pertiwi mengedut kendali kudanya. Maka binatang itupun bergerak melanjutkan langkahnya yang terhenti selama majikannya mengobrol. Raden Angga dan Purwanti masih mematung di punggung kuda masing-masing. Hanya mata mereka yang mengikuti berlalunya gadis itu. Namun kemudian Purwanti pun mengedut les kudanya, membalikan tunggangannya mengikuti Pertiwi. Tapi baru beberapa langkah, dia menghentikannya lagi oleh teguran Raden Angga.
“Mau ke mana Dik Wanti?”.
“Pulang”, sahut Purwanti tanpa berpaling, “bukankah kakakku juga akan pulang?”.
“Biarkan saja dia pulang sendiri. Bukankah dia tidak mengajak kita? Itu artinya, dia tidak mau ditemani lagi oleh kita”.
“Tetapi kita berangkat bersama-sama”, sahut Purwanti agak bimbang.
“Kau sudah besar Dik Wanti. Kau sudah bisa menentukan langkah sendiri. Apa kau takut pada kakakmu?”.
Purwanti menggeleng. “Tidak”, jawabnya, “Kak Wiwi tidak pernah memarahiku”.
“Kalau begitu kita teruskan saja perjalanan ini berdua. Kita akan menyelesaikan dulu perjalanan ini sampai ke tujuan. Kita akan menikmati pemandangan dari atas Pasirpanjang sejenak, baru nanti kita pulang”, kata Raden Angga.
Sejenak Purwanti bimbang lagi. Tetapi akhirnya dia menggeleng. “Lain kali saja Kak Angga, kalau kita berangkat hanya berdua”.
“Ternyata kau takut pada kakakmu”, kata Raden Angga dalam nada kurang senang, “kalau tahu bakal begini jadinya, tentu aku tidak akan bercapai lelah mengantarmu”.
“Kak Angga salah. Aku bukan takut pada Kak Wiwi, tetapi pada Ayah dan Ibu. Karena kami berangkat bersama, mereka pasti akan marah kalau tidak pulang sama-sama pula”, sahut Purwanti memberi penjelasan, karena khawatir pemuda itu akan menjauhi dirinya. Lalu sambungnya, “aku harap Kak Angga dapat mengerti kesulitanku”.
Nampaknya pemuda itu merasa tidak mungkin merubah keputusan Purwanti, karena yang jadi alasan si gadis justru orangtuanya. Dia juga merasa khawatir kalau gadis itu sampai lepas lagi dari pengaruhnya. Karena itu akhirnya dia juga membalikkan kudanya. Namun demikian dia masih pura-pura marah.
“Sebenarnya kau dapat memberikan alasan kepada orangtuamu kenapa sampai tidak pulang bersama kakakmu. Kalau orangtuamu masih juga memarahimu, mereka sudah berlaku tidak adil. Seharusnya mereka menyalahkan kakakmu yang meninggalkanmu di perjalanan”.
“Aku tidak berani. Ayah pasti lebih mempercayai omongan Kak Wiwi”.
“Hmm, ternyata kau masih belum menyadari bahwa dirimu sudah cukup dewasa Wanti. Kalau orangtuamu berbuat begitu, kau bisa menentangnya. Kalau tidak, sampai kapanpun kau akan dianggap masih kanak-kanak. Dan aku tidak mau berkawan dengan gadis yang tidak mau bersikap dewasa”.
Hati Purwanti berdesir mendengar kata-kata terakhir Raden Angga. Gadis yang bertubuh bongsor itu masih terlalu muda untuk mengenal jebakan halus orang, dan usia pancarobanya belum mampu mengungkap maksud dibalik ucapan beracun itu. Oleh kekhawatiran dijauhi pemuda itu, maka Purwanti memberikan janji harapan kepada Raden Angga.
“Aku mengerti Kak Angga. Lain kali pasti aku akan berusaha memperlihatkan kepada orangtuaku bahwa aku sudah dewasa. Tetapi untuk kali ini aku masih akan mengalah. Hanya untuk kali ini”, kata Purwanti.
“Baiklah Dik Wanti. Aku mengerti alasanmu. Sudah tentu kakakmu akan menyinggung soal perbuatanku tadi. Dari sini aku bisa menilai, sesungguhnya kau benar-benar telah menjadi gadis dewasa yang mengagumkan. Bukankah kau mengalah agar ayahmu tidak terlalu menyalahkan perbuatanku?’.
“Ya Kak Angga. Kalau Ayah menjadi terlalu marah, mungkin Kak Angga tidak diperbolehkan lagi datang ke rumah”, sahut Purwanti.
“Terimakasih Dik Wanti. Ternyata pacar Kak Angga adalah gadis yang setia”, kata Raden Angga mendorongkan harapan lebih jauh, sehingga Purwanti benar-benar telah terjerat oleh perangkap itu. Sementara Raden Angga masih menambahkan tekanan perangkapnya, agar gadis itu melakukan apa yang dikehendakinya: “Tetapi Dik Wanti harus benar-benar berusaha meyakinkan orangtuamu bahwa Dik Wanti benar-benar bukan anak kecil lagi”.

--0--


“Aku akan berusaha sungguh-sungguh”, sahut Pertiwi kepada kawan-kawan wanitanya ketika mereka berkumpul di lapangan volley esok harinya, “aku benar-benar akan merayunya sebagaimana permintaanmu Mar”, sambungnya kepada Marni, “sayang hari ini dia tidak masuk sekolah”.
“Nampaknya kau jadi penasaran Wiwi”, kata Marni mendengar janji gadis yang tidak pernah bohong itu.
“Benar Mar. Dia telah menolakku meskipun tidak secara langsung. Itu membuat hatiku benar-benar penasaran. Jadi atau tidak jadi dia ikut memperkuat tim sekolah ke Provinsi, sekarang bukan soal pokok lagi. Yang penting dia harus jadi pacarku”.
“Ah, itu persoalannya sudah bergeser”, timbrung Herlina.
“Memang. Soalnya sekarang harga diriku telah tersinggung. Ternyata dia benar-benar manusia angkuh. Aku bermaksud menundukkan keangkuhannya. Lihat saja nanti”, sahut Pertiwi.
“Aku jadi menyesal minta bantuan kepadamu”, kata Marni.
“Jangan berkecil hati dulu Mar. Aku tetap akan berusaha agar dia bisa ikut ke Provinsi. Sebab justru hal itulah yang jadi alasan utamaku menundukkan keangkuhannya. Kalaupun sampai tidak berhasil, setelah dia jadi pacaraku, untuk selanjutnya kalian bisa mengharapkan lebih banyak. Aku akan minta dia bukan hanya memperkuat tim putera, tetapi juga meningkatkan kemampuan tim puteri. Itu janjiku”.
“Benar juga”, kata Susi, “dan aku percaya pada janjimu Wiwi”.
“Aku setuju dengan rencanamu Wiwi. Mudah-mudahan kau bisa menundukkan keangkuhannya”, Henni ikut bicara.
“Asal jangan sebaliknya saja. Kalau sampai itu yang terjadi, berarti di sekolah ini akan ada sepasang manusia angkuh”, kata Herlina yang paling tidak senang pada keangkuhan Darmawan.
“Tentu tidak”, sahut Marni yang paling akrab dengan Pertiwi, “soalnya Wiwi berangkat bukan dari rasa cinta, meskipun mungkin nantinya akan timbul rasa cinta itu”.
“Kita bertaruh”.
“Apa taruhanmu?”, tanya Maryanti, “aku akan layani taruhanmu. Aku sependapat dengan Marni”, sambungnaya.
“Sudahlah. Tidak baik main taruhan. Kita lihat saja nanti. Aku sendiri belum tahu, apa aku akan berhasil”, ujar Pertiwi menengahi.
Tetapi Herlina masih menggerutu. “Aku benar-benar tidak setuju pada rencanamu Wiwi. Mungkin dia sengaja berbuat begitu agar kau jadi penasaran dan masuk ke dalam perangkapnya. Kalau sampai demikian, aku benar-benar kasihan kepadamu. Padahal kau punya bakat jadi isteri pejabat tinggi”.
“Terimakasih Lina. Satu peringatan buatku untuk berhati-hati, agar tidak terjerat kepenasarananku”.
“Asal kau tahu saja”, kata Herlina.
Percakapan mereka berhenti sampai di situ. Perhatian mereka tertuju pada tim putera yang tampak melakukan latihan dipimpin oleh Nasrul. Karena mereka telah mendengar dari Nasrul bahwa Darmawan sangat mungkin tidak akan turut memperkuat tim mereka ke Provinsi, maka mereka latihan dengan sungguh-sungguh untuk menutupi kekurangan yang berat itu. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah memperkuat kekompakan. Mereka sadar, tidak memiliki smasher yang mematikan. Karena itu Nasrul yang jadi orang kedua dalam tim mereka, berusaha keras meningkatkan kemampuannya. Mereka memperpanjang waktu latihan dari biasanya. Namun akhirnya latihan pun selesai ketika matahari telah sangat rendah di ufuk barat.
Begitu bubaran, Dodi langsung menghampiri Marni yang tengah bicara dengan Pertiwi.
“Bagaimana Mar. Apa sudah diusahakan?”, tanyanya setelah berada di hadapan gadis itu.
Yang menjawab justru Pertiwi. “Aku sudah mencoba menjajaginya Dod, tetapi dia tetap menolak”.
“Jadi artinya, dia sudah pasti tidak akan ikut?”.
“Aku khawatir itulah yang akan terjadi. Tetapi aku masih akan berusaha meski harapannya kecil sekali. Aku masih punya jalan terakhir. Tapi aku harap kalian jangan mendekat kalau aku sedang bicara dengannya. Sebenarnya hari ini aku telah siap melakukannya. Sayang dia tidak masuk”.
“Baik Wiwi. Tentang usahamu itu aku akan memberitahukan kepada kawan-kawan, agar mereka juga tidak mengganggu. Aku percaya, kau tentu akan berusaha sebaik-baiknya”, kata Dodi.
“Terimakasih atas kepercayaanmu. Doakan saja usahaku dapat berhasil”.
“Tentu Wiwi. Nah, aku pulang duluan”, kata Dodi sambil berlalu.
“Silahkan”, sahut Pertiwi dan Marni serempak.
Tak lama kemudian lapangan volley itu pun jadi lengang. Pertiwi dan Marni adalah orang terakhir yang meninggalkan tempat itu.
“Apa kau tidak akan dijemput tukang delmanmu Wiwi?”, tanya Marni sementara mereka berjalan.
“Hari ini Mang Sarju tidak narik. Kata Ayah, hari Sabtu juga dia tidak datang. Mungkin kurang enak badan atau ada keperluan lain”.
Mereka tidak bicara lagi sampai kemudian berpisah di simpang jalan. Mereka saling melambaikan tangan sebelum berpisah. Tetapi begitu berjalan sendiri, pikiran Pertiwi langsung dipenuhi oleh masalah Darmawan. “Apa dia merasa malu karena aku mempergoki keadaan yang sebenarnya?”.
Dugaan itu semakin kuat ketika besoknya Darmawan tidak masuk sekolah lagi. Ternyata keadaan terus berlarut sampai seminggu, Darmawan tidak masuk sekolah dan tanpa berita apa-apa. Hati Pertiwi jadi sangat rusuh. Ketika hari Sabtu Darmawan tidak masuk juga, Pertiwi memutuskan besoknya dia akan mengunjungi rumah Darmawan di Pasirpanjang.
Nasrul dan kawan-kawannya sudah tidak punya harapan samasekali. Begitu pula kawan-kawan gadis Pertiwi. Mereka samasekali tidak tahu perjumpaan Pertiwi dengan Darmawan di Pasirpanjang, karena Pertiwi tidak memberitahukannya.
“Habislah harapan kita”, kata Marni ketika mereka bubaran sekolah siang itu, “mungkin ayahnya benar-benar sakit keras dan tidak bisa ditinggalkan samasekali”, sambungnya.
Pertiwi yang berjalan di sampingnya menganggukkan kepala. “Mungkin dugaanmu benar Mar. Rasanya belum pernah dia tidak masuk sampai sekian lama, dan tanpa berita pula”, sahutnya, “kupikir, aku harus datang ke rumahnya untuk mengetahui kepastiannya”.
“Sungguh Wiwi?”, tanya Marni.
“Ya Mar. Tapi kau jangan bilang-bilang dulu sama kawan-kawan. Kau tunggu saja hasilnya Senin lusa”.
“Baik Wiwi. Aku turut berdoa, mudah-mudahan kau berhasil”.
“Ya, doakan saja”, sahut Pertiwi.
Seperti biasa, mereka berpisah di simpang jalan. Pertiwi melanjutkan langkahnya dengan pikiran semakin tidak tenteram. Bahkan kini dia merasa turut bersalah.
“Benar-benarkah dia merasa malu karena aku telah memergoki keadaannya? Apa dia menyangka aku akan menceritakan keadaan dirinya kepada kawan-kawan? Wawan...Wawan. Ternyata kau belum mengenal diriku samasekali. Kau anggap aku ini gadis macam apa?”.
Pertiwi benar-benar tenggelam dalam pikirannya, sehingga dia baru tersadar ketika langkahnya telah memasuki halaman kantor kecamatan. Kantor telah sepi, karena pada hari Sabtu semua karyawan hanya bekerja setengah hari. Dia menghela nafas untuk menenteramkan hatinya. Sebab dia tidak ingin masalahnya diketahui oleh orangtuanya.
Dengan menyusuri jalan di samping kantor, dia tiba di rumahnya. Dia langsung masuk ke kamarnya untuk menyimpan tas. Baru kemudian menuju ruang makan. Ternyata ibunya dan Purwanti sudah ada di sana. Tetapi ayahnya, Raden Danudirja tidak ada di antara mereka.
Sudah menjadi kebiasaan keluarga Juragan Camat, mereka selalu berkumpul pada waktu makan kalau tidak pergi ke sekolah. Kecuali jika telah memberi pesan lebih dulu karena ada urusan. Pertiwi mengambil tempat duduk di samping adiknya. Dia agak heran karena ayahnya belum hadir, padahal biasanya justru Juragan Danu yang hadir paling dulu menunggu kedua puterinya pulang dari sekolah.
“Ayah ke mana Bu? Kulihat kantor sudah sepi”, kata Pertiwi.
“Tidak ke mana-mana. Belum lama ada tamu urusan dinas. Tetapi Ayahmu mengatakan tidak akan lama. Kita tunggu saja. Sebentar lagi juga tentu urusannya selesai”, sahut ibunya.
Sesungguhnyalah, sebentar kemudian terdengar langkah-langkah kaki yang datang dari pintu depan. Juragan Danu muncul di ruang makan dengan kening berkerut. Rupanya tamu yang datang membawa masalah yang mempengaruhi pikirannya. Dengan lesu dia duduk di kursinya. Dalam keadaan demikian, tak seorang pun yang berani mengganggu, sehingga untuk beberapa lamanya keadaan hening. Akhirnya Juragan Danu menghela nafas.
Juragan Danu menyeduk nasi, diikuti isterinya, dan kemudian kedua anaknya. Mereka makan tanpa bicara. Tetapi setelah selesai makan, sementara tangannya mengupas pisang, Juragan Danu bertanya kepada kedua anaknya.
“Wiwi dan kau Wanti, bukankah minggu lalu kalian pergi ke Pasirpanjang?”.
“Ya Ayah”, sahut Pertiwi dan Purwanti hampir serempak.
“Apa di sepanjang perjalanan kalian tidak berpapasan dengan seorang lelaki setua Ayah yang menunggang kuda?”.
Pertiwi dan Purwanti mengerutkan keningnya. Mereka mengingat-ingat sejenak. Tetapi Pertiwi akhirnya menggeleng.
“Waktu perginya Wiwi tidak tahu. Karena seperti telah Wiwi ceritakan, saat itu kudaku jadi liar. Tetapi di sepanjang perjalanan pulang, Wiwi rasa tidak ada penunggang kuda lain kecuali kami bertiga. Entah kalau Wanti dan Angga”, sahut Pertiwi.
“Wanti juga tidak melihat, baik waktu perginya maupun waktu pulangnya, tidak pernah berpapasan dengan penunggang kuda lain. Ada apa rupanya Ayah?”.
“Ada orang hilang, seorang kenalan Ayah. Namanya Sukarta, Juragan Sukarta. Dia petani terkaya di Pasirpanjang. Menurut laporan, hari Sabtu minggu lalu dia meninggalkan rumahnya dengan naik kuda, tetapi tidak pernah kembali lagi. Yang mengherankan, dia menghilang sehari setelah menghibahkan seluruh miliknya untuk perjuangan kaum buruh-tani di daerah ini. Penghibahan miliknya disaksikan fihak Kelurahan. Ini Ayah ketahui dari arsip yang dikirim kelurahan ke kecamatan tiga hari yang lalu. Ayah tahu betul, Sukarta bukan orang sefaham dengan partai yang memperjuangkan samarata-samarasa itu. Tetapi bukti dalam segel itu sukar dibantah”.
“Mungkin dia sudah berubah pendirian Ayah”, kata Purwanti.
“Tidak. Ayah yakin akan hal itu”, sahut Juragan Danu dengan tegas. Lalu: “Ah, sudahlah. Kau masih terlalu kecil untuk mengetahui soal politik. Kalau memang kalian tidak berpapasan dengannya, mungkin waktu itu dia mengambil jalan lain”.
Purwanti hampir saja mendebat anggapan Ayahnya bahwa dirinya masih kecil. Sebab dia teringat kepada pesan Raden Angga. Tetapi karena memang dia belum mengerti soal politik, maka maksudnya diurungkan lagi.
“Tentu yang dimaksud Kak Angga bukan soal politik, tetapi soal pacaran”, pikir Purwanti.
Juragan Danu bangkit dari duduknya, diikuti oleh isterinya masuk kamar untuk beristirahat. Begitu pula Pertiwi dan Purwanti. Berbeda dari Purwanti yang begitu selesai pembicaraannya tadi, dia sudah langsung melupakannya, tetapi tanggapan Pertiwi lain.
Gadis itu memang sudah mengerti politik. Cerita Ayahnya sangat menarik perhatian, terutama karena Juragan Karta tinggal di Pasirpanjang, dan Darmawan tinggal di dangau tuan tanah Pasirpanjang.
“Apa Juragan Karta itu majikan Wawan? Kalau benar, sangat mungkin Wawan tidak masuk sekolah karena majikannya yang hilang, bukan karena aku telah memergoki kenyataan hidupnya. Tetapi kalau benar, mengapa aku tidak melihat hal istimewa pada sikapnya? Apa waktu itu dia belum tahu atau memang belum terjadi? Atau mungkin juga Juragan Sukarta itu bukan majikan Wawan. Tetapi kalau begitu, dangau besar itu milik siapa? Bukankah Ayah mengatakan bahwa Juragan Sukarta adalah petani terkaya di Pasirpanjang?”.
Pikiran itu terus berkecamuk di benak Pertiwi. Gais itu telah menganyam berbagai kemungkinan hubungan antara kawan sekolahnya yang punya kehidupan unik dengan hilangnya Juragan Sukarta, sampai akhirnya diperoleh satu kesimpulan.
“Wawan adalah sumber pokoknya. Aku harus bertemu dia”, gumamnya, dan dia memejamkan matanya di pembaringan setelah memperoleh kesimpulan itu.
Seperti yang terjadi setiap hari, pagi itu pun keluarga Juragan Danu berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Pertiwi menghabiskan makanannya lebih cepat, sehingga paling dulu selesai.
“Makanmu begitu tergesa-gesa Wiwi. Apa kau mau bepergian lagi?”, tanya Ayahnya.
”Ya Ayah. Wiwi sudah berjanji akan ke rumah kawan. Mungkin tidak akan sempat makan siang bersama, karena tempat tinggalnya jauh di luar kota”.
“Jadi mau pakai kuda lagi?”.
Pertiwi mengangguk. “Ya, Ayah”, sahutnya.
“Kalau begitu hati-hati, jangan sampai terjadi lagi seperti minggu lalu”, kata ibunya turut bicara.
“Tentu Ibu. Minggu lalu juga tidak akan terjadi kalau bukan disengaja orang”.
“Sebaiknya ajak adikmu untuk teman di jalan”.
“Maaf Ibu. Kali ini Wiwi bukan hendak jalan-jalan”, sahut Pertiwi.
“Diajak juga aku tidak akan mau”, kata Purwanti dengan tegas. Lalu: “Wanti sudah besar untuk membuat rencana sendiri Ibu, dan hari ini Wanti juga sudah punya rencana”.
“Wanti! Apa kau bilang?”, tanya Juragan Danu dengan nada tinggi.
“Kenapa Ayah? Apa Ayah juga menganggap Wanti masih anak kecil?”.
“Tidak. Kau memang sudah cukup besar. Bahkan tubuhmu jauh lebih besar dari usiamu. Tetapi kau tidak perlu berkata begitu kepada Ibumu”, sahut Juragan Danu dengan nada kurang senang.
“Supaya Ibu tahu saja, dan juga supaya semua yang ada di rumah ini tahu bahwa Wanti bukan anak kecil lagi. Wanti tidak ingin terus-terusan diatur”.
“Siapa yang mengaturmu? Coba kau ingat-ingat, apa yang dikatakan Ibumu tadi? Bukankah Ibumu hanya menganjurkan kepada Kakakmu agar membawamu untuk teman di jalan? Kalau kau tidak mau, kau bisa menolaknya tanpa harus menyakiti hati Ibumu. Kau seharusnya meniru kakakmu. Bukankah dia juga tadi menolak saran Ibumu? Tetapi dia menolak dengan cara yang sopan dan alasan yang kuat”.
“Ayah dan Ibu memang selalu memenangkan Kak Wiwi, dan aku tetap akan selalu dianggap anak kecil”. Purwanti masih melawan.
“Sebab selama ini dia memperlihatkan sikap yang dewasa, bukan sekedar ingin disebut dewasa. Bantahanmu barusan menunjukkan bahwa kau memang belum dewasa”.
“Tidak! Aku sudah besar. Aku sudah dewasa. Aku tidak mau diatur lagi oleh siapa pun di rumah ini”, pekiknya. Dan dia bangkit sambil menghentak kaki. Lalu pergi meninggalkan ruang makan dengan bersungut-sungut.
Sejenak Juragan Danu, isterinya, dan Pertiwi terpaku. Mereka tidak mengira gadis itu akan bersikap begitu keras. Padahal selama ini tidak melihat tanda-tandanya. Pertiwi yang tidak ingin mempengaruhi sikap orangtuanya, segera berpamitan.
“Ayah, Ibu, Wiwi pergi dulu”, katanya.
“Hati-hati di jalan”. Ibunya menasihati.
“Baik Ibu”.
“”Tunggu Wiwi”, kata Ayahnya, lalu: “Kalau sempat, tolong kau pergi ke rumah Mang Sarju. Sudah sepuluh hari dia tidak bekerja. Barangkali dia sakit. Juga Mang Gomar. Berikan sekedar uang obat. Kalau benar-benar sakit, tentu mereka perlu membeli obat”.
Juragan Danu masuk ke kamarnya. Tak lama kemudian telah keluar lagi dan menyerahkan uang kepada Pertiwi. Pertiwi langsung ke kandang kuda. Karena sejak sebelum makan tadi sudah mengenakan pakaian khusus untuk berkuda. Tak lama kemudian dia telah berada di punggung kudanya, keluar dari halaman kantor kecamatan. Adalah kebetulan, rumah Mang Sarju dan Mang Gomar searah dengan tujuan yang akan ditempouhnya, sehingga dia tidak perlu membuang waktu lagi untuk mencapai rumah mereka.
Ketika Pertiwi tiba di depan rumah Mang Sarju, dia tertegun sejenak. Di halaman rumah itu terdapat tumpukan bata dan kayu. Rumah lama yang kecil hampir tertutup oleh dinding batu yang baru dibuat di sebelah luarnya. Rupanya Mang Sarju sedang kuriak membuat rumah baru yang lebih besar dari tembok. Sedangkan yang lama rumah panggung. Dua orang tukang kayu sedang membuat kusen pintu dan jendela. Tukang tembok dan ladennya sedang memasang bata dinding. Seorang wanita yang sebaya dengan dirinya tengah berdiri bertolak pinggang mengawasi mereka yang sedang bekerja. Melihat ada penunggang kuda yang datang dan turun dari kudanya di pintu halaman, wanita itu menghampiri.
“Nona mencari siapa?”, tanyanya setelah berhadapan dengan Pertiwi.
“Saya ingin menengok Mang Sarju. Apa dia ada di rumah?”.
“Kebetulan sedang pergi. Kalau ada apa-apa katakan saja kepadaku. Aku isterinya. Tetapi Nona ini siapa?”.
Pertiwi tidak segera menjawab, karena heran mendengar bahwa perempuan itu isteri Mang Sarju. Padahal setahu dia, Mang Sarju belum kawin. Tetapi Pertiwi cepat menyadari dirinya.
“Saya dari kecamatan. Saya disuruh Ayah untuk melihat keadaan Mang Sarju karena sudah sepuluh hari dia tidak masuk kerja”, sahut Pertiwi.
“O, jadi Nona ini anak gadis Pak Camat?”, kata si perempuan dan sikapnya langsung berubah. Dengan menengadahkan dagunya dia meneruskan kata-katanya: “Katakan pada ayahmu Nona, suamiku tidak akan bekerja lagi pada ayahmu. Gaji yang diberikan ayahmu terlalu kecil. Tanpa kerja pun uang suamiku tidak akan habis dalam setahun. Belum lagi sawah kami yang cukup. Sekarang pun suamiku sedang melihat-lihat sawahnya”.
Melihat sikap perempuan itu dan mendengar jawabannya, Pertiwi jadi termangu. Namun dia tidak ingin lebih lama lagi berada di situ. Karena sudah jelas, Mang Sarju tidak akan bekerja lagi.
“Baiklah kalu begitu. Pesan Bibi akan saya sampaikan kepada Ayah”, sahut Pertiwi sambil naik ke punggung kudanya.
“Ya katakan, suamiku keluar dari pekerjaannya”, kata perempuan itu sambil bertolak pinggang, “dan kau Nona, jangan panggil Bibi kepadaku. Aku bukan Bibimu, juga bukan pembantu rumahmu”.
“Baik Bibi”, sahut Pertiwi sambil menjalankan kudanya.
“He?! Kau masih memanggil Bibi juga?”. Perempuan itu berteriak dengan nada tersinggung.
Pertiwi tidak meladeni lagi. Dia mempercepat lari kudanya. Sebentar saja dia telah meninggalkan perempuan yang bertolak pinggang itu cukup jauh.
“Bukan main”, desis Pertiwi, “rupanya Mang Sarju sudah jadi OKB dan telah kawin pula”.
Pertiwi meneruskan perjalanannya menuju rumah Mang Gomar yang tidak terlalu jauh dari rumah Mang Sarju, masih sekampung. Maka tak lama kemudian dia telah tiba di depan rumah yang ditujunya. Keadaan rumah Mang Gomar tidak ada perubahan. Tetap masih seperti yang diketahuinya terakhir. Dia melihat seorang perempuan yang masih cukup muda sedang memangku anak kecil di golodog rumah, dan Pertiwi mengenalnya sebagai isteri Mang Gomar.
Pertiwi baru saja menghentikan kudanya dan hendak turun. Tetapi tidak jadi ketika dia mendengar perempuan itu menyambut kehadirannya dengan kata-kata senada seperti diucapkan isteri Mang Sarju.
“Tolong sampaikan pada ayahmu Nona. Suamiku tidak akan bekerja pada ayahmu lagi. Suamiku sudah punya usaha lain yang lebih baik”, ujarnya sambil bangkit berdiri.
“Baik Bibi. Saya akan sampaikan”, sahut Pertiwi.
“Sekarang Nona tidak perlu menyebut Bibi lagi kepadaku. Sebab suamiku bukan pegawai ayahmu lagi”, kata si perempuan sambil masuk ke dalam rumahnya, dan menutup pintu.
Kali ini Pertiwi tidak terkejut lagi mendapat sambutan seperti itu. Dia langsung mengedut kendali kudanya meneruskan maksud perjalanannya. Dari balik tirai jendela, isteri Mang Gomar memperhatikan kepergiannya.
Begitu keluar dari perkampungan dan setelah berada di bentangan sawah yang luas, Pertiwi menderapkan kudanya agar tidak terlalu siang sampai di tempat yang ditujunya. Sekitar setengah jam kemudian dia telah mendekati Pasirpanjang. Karena itu dia mulai memperlambat lari kudanya. Bahkan tiba-tiba dia menarik tali kekang kuda itu ketika matanya menangkap kilatan cahaya di kaki anak bukit tempat beradanya dangau yang ditinggali Darmawan.
Ternyata kilatan cahaya itu dipantulkan kaca mobil sedan yang diparkir di pinggir halaman dangau. Pertiwi bisa melihatnya dengan jelas, karena jalan itu memang lurus, meski masih cukup jauh.
“Siapakah yang punya mobil itu? Apa Juragan Sukarta sudah kembali?”, tanyanya pada dirinya.
Dengan hadirnya mobil itu, Pertiwi jadi ragu-ragu. Tetapi kemudian dia menjalankan lagi kudanya. “Hmm, sebaiknya aku melhat situasi dulu”, gumamnya. Dengan keputusan itu dia menjalankan kudanya dalam langkah-langkah biasa, seperti orang tengah berjalan-jalan menikmati pemandangan alam. Tetapi memang Pertiwi sungguh-sungguh melakukannya, karena gadis itu menyenangi hijaunya dedaunan padi yang berombak-ombak tertiup angin.
Ketika telah cukup dekat dengan dangau itu, Pertiwi melihat beberapa orang di halaman dangau. Seorang diantaranya perempuan, empat lainnya laki-laki. Dua diantaranya berbaju hitam-hitam berbadan besar. Pertiwi menajamkan pandangannya, dan hatinya agak terkejut sewaktu samar-samar mengenali tiga di antara lelaki itu serta melihat sikap mereka.
Seorang di antara lelaki yang dikenalnya duduk bersila sambil menundukkan kepala. Dia adalah Darmawan. Dua yang lainnya, Mang Sarju yang mengenakan baju seragam dinas pegawai negeri dan Mang Gomar yang mengenakan pakaian jawara sebagaimana yang selalu dipakainya setiap hari kalau bekerja di kebun Ayahnya dengan tugas sebagai mandor. Yang perempuan mengenakan pakaian mode terakhir dan memakai kacamata hitam. Laki-laki yang terakhir berkepala gundul mengenakan pakaian seperti Mang Gomar. Pertiwi melihat si wanita tengah menunjuk-nunjuk ke arah Darmawan, sementara tangan kirinya bertolak pingggang. Dari sikap itu Pertiwi menyimpulkan, Darmawan sedang dimarahi oleh perempuan tersebut.
Ketika jarak ke dangau semakin dekat, Pertiwi melihat Darmawan bangkit berdiri dari duduknya. Penalarannya yang tajam dapat menyimpulka, orang-orang di depan dangau telah melihat kehadirannya. Mereka sedang berusaha menghapus kesan yang menarik perhatian.
Sesungguhnyalah, ketika Pertiwi sampai di pinggir halaman dangau, Darmawan tampak berusaha bersikap wajar, tentunya di bawah ancaman orang yang berdiri membelakangi jalan. Rupanya Mang Sarju dan Mang Gomar sengaja mengatur diri berdiri membelakangi jalan, sehingga yang menghadap ke jalan adalah si wanita yang ternyata berwajah cantik dan masih muda, sedikit lebih tua dari Pertiwi, usianya sekitar 20-an. Darmawan yang menghadap ke jalan memandang Pertiwi, sementara gadis itu mendengar si wanita cantik bicara agak keras.
“Aku harap kau mau menerima saranku”, ujarnya.
Pertiwi hanya menengok sejenak, dan dia berpaling lagi ke arah yang ditempuh kudanya ke jalan pendakian, seolah tidak punya perhatian khusus kepada mereka. Tetapi dari pandangannya sekilas tadi, dia melihat dua buah ransel di hadapan Darmawan.
“Saran Agan saya terima”. Terdengar Darmawan menyahut sayup-sayup ketika kuda gadis itu mulai menginjak jalan mendaki.
Pertiwi menghentikan kudanya di lapangan rumput pada kedataran anak bukit, dan membiarkan kudanya merumput. Dia sendiri berdiri di di bawah pohon di bibir tebing memperhatikan pemandangan sekelilingnya membelakangi jalan. Dari tempat itu dia tidak dapat melihat dangau, karena terhalang oleh bibir tebing.
Tiba-tiba telinga Pertiwi mendengar bunyi mesin mobil dinyalakan. Lalu bunyi mobil itu terdengar semakin keras, dan muncul di kedataran anak bukit, menyusuri jalan di sepanjang punggungnya menuju ke perkampungan di pinggang bukit. Pertiwi dapat melihat supirnya adalah si wanita muda. Mang Sarju duduk di sampingnya, yang memalingkan wajahnya ke arah berlawanan dengan tempat Pertiwi berdiri. Di tempat duduk belakang Mang Gomar dan orang berkepala gundul. Pertiwi memperhatikan mobil itu sampai menghilang di balik pepohonan pinggir jalan, baru dia memperhatikan pemandangan lagi.
Deru mesin mobil terdengar semakin jauh, sekali-sekali tampak di tempat terbuka, lalu lenyap lagi di balik belukar. Terakhir muncul di pinggang bukit dengan suara derum sayup-sayup, dan lenyap di balik belukar yang jadi mulut kampung. Pertiwi mengalihkan pandangannya ke jalan yang membelah pesawahan di bawahnya. Tampak Darmawan sudah berjalan cukup jauh sambil memanggul ransel. Dia mengenakan pakaian tukang rumput seperti yang dilihat Pertiwi minggu lalu dan topi pandan butut menaungi kepalanya dari terpaan sinar matahari.
Pertiwi menghampiri kudanya dan menungganginya kembali, lalu menjalankan tunggangannya turun dari bukit itu ke arah pulang. Dari kejauhan terlihat Darmawan duduk di bawah pohon kayu, maka Pertiwi pun menghampirinya. Setelah sampai, Pertiwi hndak turun, tetapi Darmawan mencegahnya.
“Sebaiknya Nden jangan turun dari kuda. Kalau Nden punya keperluan kepada saya, katakan saja. Tetapi sebelumnya saya mengucapkan terimakasih kepada Nden atas pengertian tadi”, katanya.
“Apa kau diusir dari rumahmu Wan?”, tanya Pertiwi sambil tetap duduk di punggung kudanya mengikuti saran Darmawan.
“Kenapa Nden menyimpulkan begitu?”. Darmawan balik bertanya.
“Aku sudah melihatnya sejak dari jauh. Dari sikapmu yang duduk bersila dengan menundukkan kepala, dan dari sikap mereka yang berdiri mengelilingimu”.
“Dugaan Nden tidak salah”.
“Mana Ayahmu? Aku datang untuk berkunjung kepadanya”.
“Jangan berdusta. Tentu Nden ingin menemui saya karena tidak masuk sekolah”, sahut Darmawan.
“Tapi memang aku ingin berkenalan dengan Ayahmu”.
Darmawan menunduk. “Maaf Nden. Sebenarnya saya hanya sendiri di dangau itu. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Itulah alasan sebenarnya mengapa saya tidak bisa ikut ke Provinsi. Saya tidak mungkin meninggalkan pekerjaan sehari-hari, apalagi sampai berhari-hari”.
Pertiwi menatap kepala yang menunduk itu dengan iba. Kini dia mengerti sepenuhnya alasan anak muda itu. Dia jadi teringat kembali pada pertandingan di Kabupaten. Anak muda itu tiap hari selesai bertanding harus pulang. Dia dapat membayangkan, di gelapnya malam yang dingin harus menyabit rumput dan pekerjaan-pekerjaan lain yang ditugaskan majikannya, karena subuh-subuh dia harus pergi lagi. Lalu kapan waktunya istirahat selama seminggu itu? Sesuatu menyenak di kerongkongan Pertiwi.
Dalam pada itu Darmawan bangkit dari duduknya. Sambil memanggul ranselnya dia berkata: “Saya kira semuanya sudah jelas, sehingga tidak ada yang perlu ditanyakan lagi. Saya mohon maaf, karena tidak dapat menemani Nden lebih lama”.
“Tunggu”.
Darmawan terhenti pada langkahnya yang pertama.
“Sekarang kau mau pergi ke mana?”, tanya Pertiwi.
“Saya belum tahu Nden. Untuk sementara saya hanya akan mengikuti ke mana kaki melangkah”.
“Baiklah. Tetapi aku harap kau mau memberikan beberapa keterangan tentang hilangnya Juragan Sukarta kepadaku sebelum kau pergi. Bukankah dia itu majikanmu?”.
Darmawan berpaling. Rupanya dia sangat tertarik mendengar gadis itu tahu hilangnya Juragan Sukarta tersebut.
“Benar Nden, dia majikan saya. Tetapi dari mana Nden tahu tentang hilangnya beliau?”.
“Itu tidak penting. Yang jelas ada sesuatu yang mencurigakan dari kejadian itu, karena aku punya informasi lain yang tidak pada tempatnya”, sahut Pertiwi untuk memancing perhatian Darmawan.
Sesungguhnyalah Darmawan tampak sangat tertarik. “Nden”, katanya, “bolehkah saya mengetahui informasi yang Nden ketahui itu?”.
“Tentu, asal kau juga bersedia memberikan keterangan yang kau ketahui. Bagaimana?”.
Darmawan mengangguk. Lalu katanya: “Baiklah Nden. Tetapi sebaiknya kita tidak bicara di sini. Saya takut kalau-kalau mereka yang mengusir saya tadi balik lagi ke sini”.
“Jadi di mana sebaiknya kita bicara?”.
Darmawan tampak berpikir sejenak. “Di tempat latihan volley saja. Saya kira di sana tidak akan ada yang mengganggu”, katanya memutuskan.
“Kalau begitu kau naik saja di belakangku. Kita sama-sama berangkat ke sana”, ajak Pertiwi.
“Tidak usah Nden. Saya akan jalan memintas sawah ini supaya tidak menarik perhatian orang”.
“Baiklah, kalau kau sampai pasti aku sudah menunggu di sana. Nah, sampai bertemu nanti”.
Pertiwi mengedut kendali kudanya, sehingga kuda itu berderap sepanjang bulak menuju pulang ke rumahnya. Sedang Darmawan meloncat ke pematang menyusurinya di antara batang-batang padi. Ternyata sampai tiba di rumahnya, mobil yang dikemudikan wanita muda itu tidak menyusulnya.
Ketika Pertiwi masuk ke rumah setelah menyimpan kudanya, Juragan danu, isterinya, dan Purwanti tengah makan siang. Pertiwi langsung mengambil tempat duduk di kursi yang biasa dipakai olehnya setiap makan bersama-sama. Tetapi gadis itu tidak membuka piringnya.
“Kau tidak makan Wiwi?”, tanya Ibunya melihat sikap anaknya itu.
“Maaf Ibu, Ayah. Kali ini Wiwi harus segera pergi ke lapangan volley. Wiwi akan membawa bekal roti saja. Boleh kan Bu?”.
“Boleh saja. Tetapi kenapa kau harus pulang dulu segala?”, tanya Ibunya lagi.
“Menyimpan kuda dulu. Sekalian melaporkan tentang Mang Sarju dan Mang Gomar”.
“Bagaimana tentang mereka?”, tanya Ayahnya.
“Mereka menyatakan berhenti bekerja Ayah, dan Mang Sarju sekarang sudah punya isteri. Rupanya dia tidak masuk kerja karena menikah”.
“He kawin? Kenapa tidak mengundang kita? Kenapa pula terus berhenti bekerja?”, tanya Juragan Danu keheranan.
“Wiwi juga kurang tahu Ayah. Tetapi kalau soal berhenti bekerja, katanya mereka sudah punya usaha lain”.
“Tapi kenapa tidak langsung memberitahukan kepadaku?”, tanya Juragan Danu tersinggung.
“Entahlah Ayah”.
“Hmm, dengan demikian kita harus segera mencari penggantinya. Kalau tidak, kalian selamanya harus jalan kaki ke sekolah”.
Tiba-tiba Pertiwi teringat sesuatu. Maka katanya: “Ayah, di jalan tadi Wiwi bertemu orang yang sedang mencari pekerjaan. Wiwi lihat dia itu mengerti tentang kuda. Kalau Ayah tidak berkebaratan, Wiwi akan cari dia. Tentu belum pergi jauh. Siapa tahu dia mau bekerja menggantikan Mang Sarju”.
“Ah, kalau begitu kebetulan sekali. Panggil saja dia kemari. Biar nanti Ayah yang memintanya. Kalau memang bisa mengurus kuda, itu lebih bagus. Biar sekalian dia jadi pengurus kuda-kuda kita”.
“Baik Ayah. Tetapi Wiwi tidak bisa memastikan apa dia mau jadi kusir atau tidak?”.
“Kau tidak usah mengatakan dulu kepadanya. Biar Ayah sendiri nanti yang memberitahukannya”.
“Kalau begitu baik Ayah”, sahut Pertiwi sambil bangkit dari duduknya. Lalu dia pergi ke kamarnya.
Tak lama kemudian dia keluar lagi mengenakan celana panjang dan kemeja berlengan panjang.
“Rotinya minta saja kepada Bi Isah di dapur Wiwi”, kata ibunya ketika melihat Pertiwi keluar dari kamarnya.
“Terimakasih Ibu. Wiwi pergi dulu Ayah”.
Juragan Danu mengangguk. Purwanti tidak bicara apa-apa. Dia hanya memperhatikan saja apa yang dilakukan kakaknya. Nampaknya Ayahnya tidak berhasil menasihati gadis itu.
Setibanya di dapur, Pertiwi membuka lemari makanan, mengambil beberapa gepok roti berikut botol bumbunya dan dimasukkan ke dalam kantong belanja yang terbuat dari kain. Juga memasukan botol air putih. Bi Isah sedang menyiapkan makanan untuk para pekerja Juragan Danu. Melihat Pertiwi sibuk sendiri, Bi Isah agak keheranan.
“Nampaknya Nden mau pergi lagi. Bukankah baru saja pulang?”, tanyanya.
“Ya Bi. Aku mau pergi ke lapangan volley, ditunggu kawan sekarang juga”.
“Jadi Nden tidak makan dulu?”.
“Tidak Bi, aku bawa roti saja”, sahut Pertiwi, “Mari Bi, aku pergi dulu”.
“Mangga Nden, silahkan”.
Pertiwi berlalu melalui jalan belakang. Dia tidak mau terlambat datang di lapangan volley. Maka dia berjalan cepat langsung ke tempat yang dituju. Tetapi ketika tiba di sana, dia jadi sangat heran. Sebab ternyata Darmawan telah tiba lebih dulu. Anak muda itu sedang duduk di bawah pohon besar yang rindang tempat berteduh mereka bila berlatih volley.
“Kau sudah sampai duluan?”, tanya Pertiwi.
“Belum lama Nden”.
“Tapi bagaimana mungkin? Dengan berjalan biasa, jarak dari Pasirpanjang ke sini setidak-tidaknya akan memakan waktu tiga jam”.
“Saya jalan memintas Nden. Nden tentu pulang ke rumah dulu, selain tentu Nden tidak melarikan kuda terlalu cepat”, sahut Darmawan.
“Tidak. Aku justru membalapkan kudaku, karena harus pulang dulu. Di rumah juga tidak lama, hanya berganti pakaian”.
“Sudahlah Nden. Perjalanan saya tidak penting. Lebih baik kita bicara tentang majikan saya”.
Meskipun wajahnya masih menampilkan keheranan, Pertiwi tidak memperpanjang soal itu. Dia duduk di samping Darmawan yang berpakaian seperti pengemis tanpa canggung-canggung, langsung membuka kantong bekalnya.
“Aku tidak sempat makan di rumah. Karena itu aku membekalnya ke sini. Kita makan sama-sama”, katanya sambil mulai mengiris-iris roti bawannya.
Darmawan cukup arif. Sebenarnya gadis itu bisa makan dulu tanpa perlu tergesa-gesa. Rupanya gadis itu sengaja membawa makanan untuknya. Tetapi dengan cara bijaksana, Pertiwi justru berbuat wajar seperti untuk dirinya sendiri yang tergesa-gesa, agar orang yang diajaknya tidak tersinggung. Sesungguhnyalah, kalau Pertiwi langsung mengatakan makanan itu sengaja dia bawa untuk kawannya, pasti Darmawan menolaknya, sekalipun saat itu memang dia sudah merasa lapar.
Pertiwi membumbui seluruh rotinya dengan tiga macam, bumbu kacang, selai, dan coklat susu.
“Informasi apa yang Nden ketahui tentang majikan saya itu Nden?”, tanya Darmawan sementara Pertiwi bekerja membumbui roti.
“Aku minta kau dulu yang bercerita sementara aku menyelesaikan pekerjaan ini”, sahut Pertiwi.
Darmawan mengangguk. “Baiklah Nden”, katanya, dan dia mulai dengan ceritanya: “Nden, Juragan Sukarta sudah tidak ada sejak seminggu yang lalu. Beliau sudah meninggal”.
“He?!”. Pertiwi terkejut sehingga tangannya yang sedang bekerja terhenti.
“Beliau dianiaya orang”, sambung Darmawan menjelaskan lebih lanjut, “saya menemukan mayat beliau di balik rumpun semak di belakang dangau, pagi-pagi sebelum Nden datang minggu lalu. Pagi itu saya curiga, karena pada palupuh tepas dangau ada percikan darah. Saya mencari sekeliling dangau. Saya menemukannya karena mencium bau sengit. Kemudian mayat itu saya kuburkan diam-diam di hutan agak jauh di belakang dangau”.
“Inna lillahi wa inna ilaihi roojiuun”, gumam Pertiwi,: “karena itu kau diusir dari rumahmu”.
Darmawan menggeleng. “Tidak. Bukan karena mayat itu. Saya telah menyeret tubuh Agan Karta sampai hutan untuk mengaburkan dugaan seolah diseret binatang buas. Ternyata para pembunuh itu menduga demikian. Karena memang di dalam hutan itu masih ada harimau meskipun sudah langka”.
“Kau sudah tahu pembunuhnya?”.
“Ya Nden. Pembunuhnya adalah mereka yang mengusir saya tadi. Mulanya mereka mencurigai saya telah mengetahui perbuatan mereka, meski tidak mereka katakan. Tetapi setelah dua jawara itu pergi cukup lama, mereka berempat berbisik-bisik merundingkan hasil pemeriksaanmya, dan kecurigaan terhadap saya hilang di wajah mereka”.
“Kalau begitu kau bisa menyeret mereka ke pengadilan”, kata Pertiwi.
“Saya tidak punya bukti dan saksi Nden. Mereka bisa membalikkan tuduhan kepada saya”.
Pertiwi mengerutkan keningnaya, tetapi kemudian dia mengangguk-anggukkan kepala. “Memang berat dan sulit”, katanya.
“Karena itulah, ketika Nden mengatakan mengetahui informasi lain yang menimbulkan kecurigaan di hati Nden, saya tertarik. Siapa tahu dari informasi itu saya bisa menemukan jalan untuk membongkar kejahatan mereka”.
Pertiwi sudah selesai dengan pekerjaannya, dan mengabil setangkup roti. “Kau ambil sendiri. Aku tidak tahu bumbu mana yang kau sukai”, katanya dan mulai memakan roti yang diambilnya. Lalu: “Sekarang aku yang bercerita”.
Darmawan pun mengambil setangkup tanpa memilih, lalu memakannya. Semntara Pertiwi mulai dengan informasinya.
“Aku mendengar hilangnya Juragan Sukarta kemarin dari Ayah. Ayah juga merasa curiga, karena Juragan Sukarta menghilang setelah beliau membuat segel penyerahan seluruh harta miliknya kepada partai yang memperjuangkan buruh-tani yang disebut samarata-samarasa. Salinan segel itu dilaporkan ke kecamatan tiga hari sebelum ada tamu yang melaporkan hilangnya Juragan Sukarta”, kata Pertiwi.
“Sayalah tamu yang melaporkan hilangnya Gan Karta itu Nden”.
“He, jadi kemarin kau datang ke kantor Ayah? Kenapa tidak sekalian menemui aku?”, tanya Pertiwi dengan nada menyesalkan.
“Maaf Nden. Saya tidak ingin Ayah Nden mengetahui saya kawan sekolah Nden. Salah satu alasannya, Nden sudah tahu. Sedangkan alasan lainnya, saya tidak ingin Nden terlibat dalam masalah yang saya sendiri belum dapat membayangkan perkembangannya. Tetapi setelah mendengar penjelasan Nden barusan, ternyata persoalannya lebih rumit, sebab berkaitan dengan politik. Saya tahu betul, Gan Karta sangat tidak sefaham dengan perjuangan golongan itu, karena buruh tani hanya dijadikan kedok. Lalu siapa yang mengirim salinan segel itu kepada Pak Camat?”.
“Menurut Ayah dari kelurahan. Bahkan pembuatan segel itu juga salah satu saksinya adalah Lurah. Lalu kau sendiri, siapa yang menyuruhmu melaporkan hilangnya Juragan Sukarta?”.
“Pantas saya mendapat pesan jangan melaporkan ke kelurahan, tetapi harus kepada Pak Camat”.
“Siapa yang memesanmu begitu?”, tanya Pertiwi.
“Gan Karta sendiri”, sahut Darmawan.
“He?! Bagaimana mungkin? Bukankah justru dia telah meninggal?”. Pertiwi bertanya heran.
“Ya Nden. Tetapi pesan itu saya terima 10 hari sebelum beliau meninggal. Saya menerima pesan itu justru bersama segel pewarisan harta milik beliau yang berlainan isinya dari segel yang ditembuskan kelurahan kepada Pak Camat”.
“Maksudmu?”, tanya Pertiwi dengan terkejut, “artinya segel pewarisan itu ada dua?”.
“Ya Nden. Saya mendapat titipan segel itu dari beliau, asli dan langsung dari tangan beliau sendiri, dibuat oleh beliau di depan notaris”, sahut Darmawan. Sementara bicara tangannya membuka ransel yang dibawanya, ransel butut dan kumal.
Darmawan mengeluarkan semua isinya yang terdiri dari sebuah kopiah hitam, sebuah kampret, sebuah sarung, dan seperangkat baju salin yang cukup baik dan bersih meskipun sudah tua, berikut sebuah Al-Qur’an. Di dasar ransel terdapat lapis kain hitam belel yang dijahit ke sekeliling sisi dasar ransel. Darmawan membuka kain lapis itu dengan menyobeknya. Dari bawah lapisan itu terdapat lipatan kertas dan diambilnya, lalu diserahkan kepada Pertiwi.
“Sebenarnya Gan Karta orang yang patut dikasihani Nden. Beliau tidak punya sanak kadang. Karena itulah seluruh harta miliknya dihibahkan kepada beberapa masjid dan rumah yatim piatu, kecuali sepuluh petak seputar dangau”, kata Darmawan sementara Pertiwi mulai membaca surat waris tersebut.
“Ah”. Tiba-tiba Pertiwi berdesah, namun matanya masih terus menyusuri surat akte itu baris demi baris sampai selesai. Sambil menyerahkan kembali akte itu Pertiwi berkata: “Jadi, kau anak pungut Juragan Sukarta?”.
“Ya Nden”.
“Tapi kenapa kau tinggal di dangai itu dan kerjamu tidak sesuai dengan kedudukanmu sebagai anak pungut?” Sebaliknya keadaanmu tidak lebih sebagai, maaf, kacung penunggu sawah”.
“Karena tidak seorang pun yang tahu”.
“Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?”.
“Ceritanya panjang Nden”, sahut Darmawan.
“Hmm”. Pertiwi menggumam, “apa aku boleh mengetahuinya?”.
“Mengapa Nden menanyakan yang tidak penting? Mengapa bukan yang lain? Misalnya, mengapa Juragan Sukarta tidak memberikan warisan apa-apa kepada isterinya?”.
“Karena isteri Juragan Sukarta aku sudah dapat menebaknya. Bukankah wanita yang mengusirmu tadi itu isteri Juragan Sukjarta? Nah dari sikapnya yang bekerja sama dengan ketiga lelaki itu, aku yakin, Juragan Sukarta sudah tahu siapa sebenarnya isterinya itu. Isteri dalam lahirnya, tetapi musuh dalam batinnya. Ini dapat disimpulkan pula dari pesan dia dalam surat wasiatnya kepadamu. Surat itu dia buat hanya beberapa hari sebelum surat hibah yang disaksikan kepala kelurahan. Artinya Juragan Sukarta sudah mencium maksud jahat mereka. Dari pesannya agar melaporkan langsung kepada Ayahku bila terjadi sesuatu pada dirinya, jelas dia sudah memperhitungkan kemungkinan paling pahit pada dirinya. Meski mungkin dia tidak menyangka akan secepat itu”, sahut Pertiwi menjelaskan kajiannya.
“Bukan main”, desis Darmawan, “sungguh mengacumkan. Ternyata selain pintar, Nden juga gadis yang cerdas”.
“Alhamdulillah”, sahut Pertiwi mendengar pujian itu. Tetapi dia tidak ingin terlena oleh pujian tersebut. Maka dia membelokkan kepada hal yang ingin diketahuinya. “karena itu aku lebih tertarik kepada cerita dirimu”.
“Baiklah Nden”. Akhirnya Darmawan mengalah, dan dia mulai berkisah: “Ceritanya bermula enam tahun yang lalu. Hari itu Juragan Karta pulang dari Bank di Kabupaten kemalaman di jalan. Kebetulan satu kendaraan dengan Ayah dan saya. Di kursi depan tempat duduk saya dan Ayah, ada tiga orang berpakaian jawara yang seringkali berbisik-bisik. Ketika turun di terminal, Ayah tidak langsung pulang ke rumah. Beliau mengatakan, ada orang yang terancam bahaya dan bermaksud menolongnya. Ternyata yang terancam bahaya itu Juragan Karta. Di suatu tempat sunyi ketiga orang jahat itu mencegatnya. Ayah saya menolongnya. Sejak itulah Ayah dan Juragan Karta bersahabat”.
Darmawan menghentikan ceritanya. Dia meneguk minuman yang dibawa Pertiwi, baru meneruskan.
“Kira-kira setengah tahun kemudian, suatu malam rumah kami diserang lima orang penjahat. Ayah bertarung melawan keroyokan. Sebenarnya Ayah berhasil mengalahkan tiga pengeroyok yang tak lain dari yang pernah mencegat Juragan Karta. Tetapi dua orang yang menyertai mereka punya kemampuan sangat tinggi, sehingga akhirnya Ayah meninggal. Menyaksikan itu, Ibu dan saya yang bersembunyi berusaha kabur. Tetapi kedua orang itu mengejar kami. Akhirnya Ibu menyuruh saya kabur sendiri. Beliau berusaha menghambat mereka dengan kemampuan yang jauh di bawah Ayah, sehingga beliau pun mengalami nasib yang sama”.
Untuk kedua kalinya Darmawan menghentikan ceritanya. Tetapi kali ini bukan untuk minum. Dia menundukkan kepala karena terkenang pada kedua orangtuanya yang telah tidak ada. Pertiwi merasa dialah yang telah membuat anak muda itu teringat lagi pada peristiwa yang sangat menyedihkannya itu.
“Aku minta maaf Wan. Aku telah mengungkit ingatanmu yang menyedihkan itu”, kata Pertiwi.
Darmawan menghela nafas, baru menyahut: “Tidak apa Nden. Masa lalu yang tidak menyenangkan ada baiknya diingat kembali. Dengan demikian saya akan selalu menyadari siapa diri saya”.
Sejenak tidak ada yang bicara. Tetapi akhirnya Darmawan melanjutkan lagi ceritanya.
“Saya tidak berani pulang ke rumah. Saya meneruskan kabur tanpa tujuan. Di tengah perjalanan tanpa disadari saya melewati tempat Juragan Karta dicegat, sehingga saya teringat kepadanya. Saya tahu tempat tinggalnya, karena pernah dibawa Ayah berkunjung ke rumahnya. Dalam keadaan lemah karena kelaparan saya pergi ke Pasirpanjang. Di depan dangau itulah saya bertemu dengannya. Saya ceritakan kenapa sampai ke situ. Sejak itulah saya meninggali dangau itu. .Juragan Karta tidak pernah mengatakan bahwa saya diangkat jadi anak pungut. Beliau menempatkan saya di dangau justru untuk menghindari kemungkinan terulangnya peristiwa yang terjadi pada oragtua saya. Dengan ditempatkan di dangau sebagai penunggu sawah, tukang cangkul, dan penyabit rumput, bila terjadi apa-apa dengan Gan Karta, saya tidak akan terbawa jadi sasaran dendam. Tetapi Gan Karta memberi keleluasan kepada saya. Saya disekolahkan sejak masuk SMP, tanpa ada orang yang mengetahuinya. Beliau mengatakan bahwa saya akan dibiayai sampai sekolah tertinggi untuk bekal hidup. Juragan Karta tidak punya anak seorang pun. Empat tahun yang lalu isteri Gan Karta meninggal mendadak di rumah sakit sehabis belanja di kota. Jururawat yang mengantar jenazahnya mengatakan, kematiannya akibat racun dalam makanan sehabis makan di restoran. Jururawat itu kebetulan adik almarhumah. Beberapa bulan kemudian Juragan Karta menikahi jururawat itu. Dialah wanita muda yang Nden lihat tadi....”.
“Mungkinkah justru dia yang meracuni kakaknya sendiri?”, tanya Pertiwi memotong cerita.
“Entahlah Nden. Almarhumah belanja ke kota sendiri. Ketika pulang diangkut dengan ambulan dalam keadaan sudah meninggal”.
“Hmm, sungguh mencurigakan”, gumam Pertiwi.
Darmawan tidak menanggapi gumaman gadis itu. Dia meneruskan ceritanya: “Saya tidak tahu kalau Juragan Karta memungut saya sebagai anaknya. Saya baru tahu ketika beliau memberikan surat wasiat itu. Saat itu beliau mengatakan bahwa saya tidak akan diberi warisan harta, karena masih terlalu muda. Beliau mengkhawatirkan saya akan jadi manusia tak berguna akibat harta itu. Sebagaimana Nden baca sendiri, beliau hanya mewariskan sepuluh petak sawah seputar dangau untuk biaya hidup selanjutnya. Sedangkan biaya sekolah saya dibebankan kepada Yayasan Yatim-Piatu yang mendapat hibah harta paling banyak dari Juragan Karta....”.
“Wan”, potong Pertiwi, “ternyata Juragan Sukarta sangat menyayangimu. Dia tidak mewariskan harta yang sifatnya tidak kekal, tetapi bermaksud mewariskan ilmu yang sifatnya kekal”.
“Ya Nden. Saya pun menyadari itu. Beliau juga mengatakan bahwa yang sepuluh petak itu hanya untuk berjaga-jaga bila sesuatu yang buruk terjadi tiba-tiba pada beliau. Beliau malah berpesan, sawah itu bukan untuk dijual tetapi untuk digarap. Kalau tidak dapat menggarap sendiri lebih baik dihibahkan. Saya tahu maksudnya. Beliau menyuruh saya agar berprihatin dan tidak malas. Saya sungguh berhutang budi kepada beliau. Karena itu saya akan berusaha memenuhi semua wasiatnya. Amanatnya akan saya laksanakan, meski sekarang ada wasiat lain di tangan yang punya wewenang resmi. Sebab saya yakin, wasiat yang kedua itu bukan atas kehendak beliau”.
“Aku setuju sekali pada rencanamu Wan. Tetapi kukira saat ini harta itu sudah mulai dibagi-bagikan dan menjadi milik pribadi orang-orang tertentu”, kata Pertiwi.
“Mudah-mudahan dugaan Nden belum terjadi”.
“Aku khawatir sudah terjadi”.
Darmawan memandang Pertiwi dengan mengerenyitkan alisnya.
“Aku sudah kenal dengan dua di antara empat orang yang mengusirmu tadi. Karena kedua orang itu bekas pekerja Ayahku”, kata Pertiwi menjelaskan. Lalu: “Yang memakai seragam pegawai negeri namanya Mang Sarju, dan jawara yang berambut gondrong adalah Mang Gomar”.
“Lalu dari mana Nden menyimpulkan bahwa mereka telah memperoleh pembagian harta itu?”.
“Sebelum pergi ke Pasirpanjang tadi, aku lewat ke rumah mereka, karena sudah sepuluh hari tidak masuk kerja. Ayah menyuruhku menengoknya. Menurut keterangan isteri mereka, Mang Sarju dan Mang Gomar tidak akan bekerja pada Ayahku lagi, karena mereka telah punya usaha lain. Mereka telah punya sawah garapan. Bahkan saat ini Mang Sarju sedang kuriak membuat rumah besar”.
“Ah kalau begitu dugaan Nden tidak salah”, desah Darmawan. Dia tertunduk sambil menghela nafas berat, “sungguh cepat mereka bertindak”, sambungnya.
“Walaupun begitu kau harus tetap berusaha. Setidak-tidaknya, harta yang berbentuk tanah masih mungkin untuk diselamatkan”, ujar Pertiwi memberi semangat.
“Ya Nden. Saya mengerti”.
“Aku bersedia membantumu Wan. Kalau perlu bantuanku, kapan saja, aku akan melakukannya”.
“Terimakasih Nden. Tentu suatu saat saya akan memerlukan bantuan itu. Untuk sementara ini saya akan mencari cara untuk memotong mereka menggunakan lebih banyak harta bergeraknya dulu”, sahut Darmawan.
“Baiklah soal itu terserah kepadamu. Sekarang aku hanya ingin mengetahui, di mana selanjutnya kau akan tinggal?”.
“Saya belum tahu Nden. Yang paling utama bagi saya adalah soal pekerjaan, karena saya perlu makan. Soal tidur masih bisa diatasi. Banyak mesjid yang bisa saya gunakan”.
“Hmm”, Pertiwi menggumam, lalu katanya, “bagaimana kalau bekerja di rumahku, mau?”.
Darmawan menggeleng. “Terimakasih atas kebaikan Nden. Tetapi sebaiknya Nden tidak bersusah-payah. Saya akan mencari pekerjaan di pasar saja”.
“Aku tidak bersusah payah samasekali Wan. Ayahku sendiri yang memerlukan pekerja itu, untuk menggantikan tugas Mang Sarju. Tugas utama Mang Sarju antar-jemput aku dan adikku ke sekolah dengan delman. Di luar itu, dia pergunakan untuk menambah penghasilan, yang justru jauh lebih besar dari gaji bulanan pemberian Ayah. Kau juga dapat melakukan hal yang sama kalau mau”.
“Jadi bukan kehendak Nden semata karena belas kasihan kepada saya?”, tanya Darmawan dengan suara hampir tak terdengar.
Sesungguhnya hati Pertiwi berdesir mendengar pertanyaan anak muda itu. Kini dia tahu pasti, dibalik keadaannya yang rudin, Darmawan punya harga diri lelaki yang tinggi. Untunglah dia sudah memikirkan kemungkinan tersebut. Maka dia dapat menjawab dengan mantap.
“Kau bisa buktikan sendiri di depan Ayahku nanti”, sahutnya. “Ayah benar-benar menyuruhku mencarikan orang yang dapat menggantikan tugas Mang Sarju. Bahkan Ayah meminta, kalau mungkin sekaligus yang mampu mengurus kuda. Itu berarti, yang dikehendaki Ayah adalah yang bisa tinggal di rumah, bukan yang punya rumah sendiri dan pulang sehabis kerja. Untuk pengurus kuda itu ada pondok kecil di belakang rumah. Apa kau bisa mengurus kuda?”.
“Kalau begitu baiklah Nden. Saya mampu mengurus kuda, karena kuda-kuda di rumah Agan Karta juga saya yang mengurusnya”.
“Syukurlah. Dengan demikian aku tidak perlu mencari-cari orang lain lagi”, kata Pertiwi sambil membereskan barang-barang yang dibawanya ke dalam kantongnya.
Tak lama kemudian mereka telah berada di perjalanan pulang ke kecamatan. Mula-mula Darmawan berjalan mengikuti di belakang Pertiwi. Tetapi kemudian gadis itu menjajarinya karena ada yang ingin dikatakannya.
“Kau harus masuk sekolah lagi Wan. Kalau keluar berarti kau menyia-nyiakan harapan almarhum majikanmu”, kata Pertiwi.
“Ya Nden”.
“Tadi aku tidak melihat pakaian seragam sekolahmu. Di mana kau titipkan pakaian dan tas sekolah itu?”.
“Pada seseorang yang baik hati Nden. Dan saya akan tetap membiarkannya di sana”.
“Hmm, aku tahu. Tentu kau akan tetap jadi bunglon sebagaimana yang kau lakukan selama ini”.
“Ya Nden. Saya tidak ingin Juragan Camat dan yang lainnya mengetahui saya kawan sekolah Nden”.
“Aku tahu, dan aku mengerti alasanmu. Tapi aku harap kau tidak melepaskan samasekali tanggung jawabmu atas tim volley kita yang akan berangkat ke Provinsi akhir pekan ini”, kata Pertiwi.


--0--

Tiga
Menganyam Jaring
“Baiklah. Aku bersedia melatih tim puteri, tetapi dengan syarat”, sahut Darmawan kepada Marni dan kawan-kawannya.
“Apa persyaratannya?”, tanya Marni.
Kalian harus berjanji akan berlatih sungguh-sungguh dan disiplin pada peraturan yang ditentukan. Setiap pelanggaran terhadap peraturan itu akan mendapat hukuman. Kalau kalian tidak bersedia, aku juga tidak bersedia melatih kalian”.
Percakapan itu terjadi di halaman sekolah ketika rombongan tim volley pria tengah bersiap-siap naik bus untuk berangkat ke Bandung mengikuti Porda Provinsi sebagai utusan dari Kabupaten.
“Apa peraturannya?”, tanya Maryanti.
“Diantaranya harus hadir tepat waktu, tidak boleh ngaret. Setiap yang datang terlambat akan dihukum. Setiap kesalahan dalam latihan akan mendapat hukuman”, sahut Darmawan.
“Wah berat kalau begitu”, kata Herlina.
“Terserah kalian. Persyaratanku tidak bisa ditawar-tawa”.
“Masa sampai begitu kerasnya? Ini kan bukan organisasi bayaran”, timpal Farah.
“Justru karena bukan organisasi bayaran, aku membuat disiplin itu. Kalau kalian membayarku, makin lama aku melatih kalian berarti makin banyak aku dapat duit, sehingga aku akan membiarkan kehendak kalian sendiri. Kalau mau maju, kalian akan bersungguh-sungguh. Kalau tidak bersungguh-sungguh, kalian akan merugi sendiri. Tetapi karena aku tidak dibayar, maka aku tidak mau membuang-buang waktuku yang berharga dengan percuma”.
“Kok terbalik?”, kata Herlina.
“Tentu saja terbalik, karena aku bukan orang profesional. Profesiku bukan pelatih volley tetapi mengurus sawah, sehingga setiap detik waktuku lebih diperlukan untuk mengurus sawah. Kalau dipakai melatih volley, maka sawahku akan terbengkalai. Semakin banyak waktu kupakai untuk melatih kalian, berarti sawahku akan semakin terbengkalai, dan itu kerugian bagiku. Karena itu kalianlah yang harus menghargai waktuku dengan memenuhi persyaratanku. Pelanggaran terhadap persyaratan itu berarti merugikan waktuku, dan harus dipacu dengan hukuman untuk menutupi target waktuku yang terbuang”.
Mendengar penjelasan Darmawan itu, Marni dan kawan-kawannya pada mengerutkan kening. Mereka membayangkan beratnya latihan yang akan dijalani. Juga beratnya hukuman setiap kesalahan yang mereka lakukan, sehingga untuk beberapa lamanya mereka bingung mengambil keputusan.
“Nas”, kata Marni, “apakah waktu mula-mula dilatih kalian juga harus memenuhi syarat itu?”.
Nasrul menjawab: “Tentu saja Mar. Kalau tidak, mana mungkin Wawan mau melatih kami”.
“Dan kalian sering mendapat marah?”.
“Hampir setiap hari, dan tidak jarang mendapat hukuman berlipat”.
“Maksudmu?”.
“Aku yang sering mengalami Mar. Ketika sedang menjalani hukuman, aku melakukan kesalahan lagi, sehingga hukumanku ditambah lagi jadi berlipat”, sahut Nasrul. “Aku bukan menakut-nakuti kalian, tetapi memang begitu yang terjadi. Kukira kalian juga akan mengalaminya”.
Apa yang dikatakan Nasrul dapat didengar oleh sebagian kawan-kawan Pertiwi, sehingga mereka termangu-mangu. Dalam keadaan demikian terdengar guru sejarah memberi komentar.
“Kalau kalian punya kemauan ingin maju, kenapa harus cemas dan ragu-ragu? Adalah wajar, di dalam mencapai cita-cita ada konsekuensinya. Tanpa berani menghadapi resiko kalian tidak akan pernah bisa maju. Dengan adanya syarat itu kalian akan sungguh-sungguh berlatih dan berusaha menghindari hukuman. Artinya kalian akan disiplin berusaha mematuhi segala ketentuan yang ada. Tanpa ada sanksi demikian, kalian tidak akan bersungguh-sungguh. Dan setiap hukuman yang kalian terima, akan menjadi cambuk yang sangat berharga”.
Marni dan kawan-kawannya saling pandang. Sementara itu Nasrul menyalami Darmawan, karena semua kawannya sudah naik ke dalam bus.
“Selamat berjuang Nas. Semoga kalian berhasil. Paling tidak lolos ke perempat final, berarti kalian tim yang harus diperhitungkan lawan”, ujar Darmawan, dan dia pun menyalami Pak Guru sejarah.
“Kami minta doa kalian semua”, kata Nasrul pula.
Tak lama kemudian bus rombongan tim volley bergerak meninggalkan sekolah. Yang berangkat dan yang mengantar saling melambaikan tangan diiringi doa.
“Bagaimana dengan kita?”, tanya Maryanti setelah bus itu menjauh.
“Apa yang dikatakan Pak Guru tadi kukira benar sekali. Tanpa berani menghadapi risiko, kita tidak akan maju-maju. Buktinya dalam pertandingan di Kabupaten tempo hari, lolos perempat final pun tidak”, sahut Marni.
“Jadi?”, tanya Susi.
“Aku terima syarat itu”, kata Marni.
“Apa boleh buat, aku juga ingin maju”, ujar Susi.
Akhirnya mereka semua menyatakan menerima syarat itu, meskipun beberapa orang diantaranya terpaksa menyetujui sebelum hatinya mantap.
“Baiklah, kalau kalian sudah setuju, kita akan berlatih seminggu tiga kali tiap hari Senin, Rabu, dan Sabtu, dimulai hari Senin lusa”, kata Darmawan membuat rencana. Lalu: “Latihan dimulai pukul empat tepat, tidak ada yang ngaret. Yang terlambat akan mendapat hukuman. Ada pertanyaan?”.
“Bagaimana kalau menengok yang sakit atau yang meninggal?”, tanya Susi.
“Telat karena ada musibah akan mendapat pertimbangan. Alasan lain tidak bisa diterima. Itu ketentuan pertama”.
“Kok keras amat?”, komentar Herlina.
“Tanpa disiplin yang keras, kalian tidak akan maju. Dengan datang terlambat, berarti ketinggalan dari yang lain. Dengan hukuman, kemampuan yang tertinggal itu akan tertutupi. Lebih lama telatnya, hukumannya lebih berat. Dengan cara itu kalian akan maju rampak. Nah untuk sementara penjelasan ini kuanggap cukup. Maaf, aku akan ke belakang dulu. Selamat sore”, kata Darmawan mengakhiri pembicaraannya, dan berlalu.
“Huh lagaknya”, desis Herlina sambil mencibirkan bibirnya setelah Darmawan berlalu cukup jauh. “Aku pulang duluan”, sambungnya sambil berlalu meninggalkan kawan-kawannya. Yang lainnya pun mulai bergerak. Sebaliknya Pertiwi malah duduk di bangku di bawah pohon di halaman sekolah itu.
“He, kanapa kau malah duduk di situ? Ayo kita pulang Wiwi”, ajak Marni.
“Aku menunggu Wawan. Silahkan kalian duluan”, sahut Pertiwi.
Kawan-kawan lainnya yang hampir sampai di pintu halaman pada berpaling. Susi yang bermulut usil langsung berkomentar.
“Jangan ganggu dia Mar. Bukankah kau masih akan melampiaskan kepenasarananmu Wiwi?”, tanyanya.
“Tidak lagi Sus. Kepenasarananku sudah impas”, sahut Pertiwi dengan mengulum senyum.
“He? Apa dia sudah menerima cintamu?”, tanyanya lagi dengan terkejut dalam nada tak yakin.
“Tidak salah Sus. Sekarang dia sudah jadi pacarku”.
“Wiwi?!!”, seru kawan-kawannya hampir serempak. Kini mereka benar-benar kaget.
“Kenapa? Bukankah hal yang wajar kalau gadis sebayaku punya pacar?”, tanya Pertiwi kalem.
“Tapi Wiwi, apa kau tidak menyadari siapa dirimu? Alangkah gampangnya kau menentukan pilihan. Padahal kalau kau mau sabar menunggu, mungkin besok atau lusa akan dijemput seorang pejabat, jenderal, atau pengusaha muda yang kaya. Kemungkinan itu bagimu sangat besar, karena ayahmu pejabat tertinggi di kecamatan ini”, kata Maryanti dalam nada menyesalkan.
“Aku bukan orang yang suka bermimpi muluk-muluk Yanti.
Percakapan mereka terhenti karena dari jauh tampak Darmawan telah kembali. Semua gadis itu pun berlalu berpencaran ke arah tujuan masing-masing. Tetapi Marni masih sempat memberi pesan.
“Aku mendukung pendapat si Yanti, Wiwi. Sebaiknya kau mundur lagi mumpung baru mulai. Seharusnya kau tahu, permintaanku tempo hari sekedar gurauan”.
Pertiwi tersenyum. “Tetapi harusnya kau juga tahu Mar, aku bukan orang yang suka bergurau”.
“Aku menyesal Wiwi, sungguh”, kata Marni sambil berlalu.
Ketika Darmawan sampai di tempat Pertiwi menunggu, Marni yang paling akhir berlalu telah menghilang diluar halaman sekolah, terhalang pagar hidup halaman. Pertiwi pun bangkit dari duduknya.
“Ada apa dengan mereka Nden? Begitu melihat saya nampaknya mereka berserabutan seperti lebah yang diganggu sarangnya”, tanya Darmawan sementara mereka melangkah keluar halaman.
“Bukan seperti lebah, tetapi seperti tikus-tikus dihampiri kucing. Mereka takut diterkam olehmu”.
“Hmm kalau begitu saya jadi sangsi, apa mereka akan mampu bertahan oleh hukuman-hukuman yang akan diterapkan nanti?.
“Harus mampu. Sejak tadi aku sudah memikirkan cara supaya mereka mau terus bertahan. Dan aku sudah menemukan cara itu”, sahut Pertiwi.
“Apa yang akan Nden lakukan?”.
“Nanti juga kau akan tahu. Yang jelas, aku sudah menjerat pikiran mereka pada suatu tanggapan bahwa hukuman yang mereka terima tidak terlalu berat”.
Darmawan mengerutkan keningnya. “Saya tidak dapat menebak, jerat apa yang telah Nden jejalkan ke dalam pikiran mereka”, ujarnya.
“Itu lebih baik. Karena kalau kau tahu, mungkin sekali caramu dalam melatih akan terpengaruh dan jadi tidak sesuai dengan sifatmu”, sahut Pertiwi, “sudahlah, soal latihan volley biar berjalan menurut kemauanmu. Kalau tidak keberatan, aku justru ingin menambah bebanmu, khusus melatihku”.
“Maksud Nden, Nden ingin lebih cepat bisa dari mereka?”, tanya Darmawan.
“Bukan soal volley, tetapi aku ingin belajar silat. Bukankah kau bisa silat?”.
Darmawan berpaling cepat menatap Pertiwi dengan wajah berubah. “Siapa bilang saya bisa silat?”, tanyanya.
“Kau sendiri?”.
“Saya?”.
Pertiwi tersenyum dan sahutnya: “Secara tidak langsung. Tidak sulit menyimpulkannya. Kau pernah menangkap kuda gila untuk menyelamatkan diriku. Tanpa punya kemampuan, kau tidak akan berani melakukannya. Kau juga pernah mencoba kuda gila tanpa takut dilemparkan dari punggungnya, dan ketika terjadi, dengan mudah kau mampu menyelamatkan diri. Kemudian kau juga pernah bercerita bahwa ayah dan ibumu orang persilatan. Sementara yang paling sering kau perlihatkan adalah waktu volley. Gerakanmu terlalu lincah, dan pukulan smesmu terlalu keras. Apa masih mau menyangkal?”.
Mendengar jawaban itu Darmawan jadi tersenyum pula. “Ternyata bukan saya, tetapi Nden sendiri yang pandai bermain silat, silat berpikir”, kata Darmawan. Namun begitu dia juga tidak menyangkal kesimpulan si gadis, “sebenarnya saya hanya mengenal dasar-dasarnya saja, karena kedua orangtua saya tidak sempat membimbing lebih jauh”, sambungnya.
“Dasar-dasarnya itulah yang ingin kupelajari. Setidak-tidaknya aku akan dapat menolong diri bila terjadi lagi dibawa kabur kuda gila. Bukankah kini kau telah mengembangkan sendiri dasar-dasar itu semenjak orangtuamu tidak ada?”.
Darmawan tidak menjawab pertanyaan terakhir si gadis, karena mereka telah sampai di simpang jalan, dan Pertiwi tidak mengikuti terus langkah-langkah anak muda itu. Dia berhenti di simpang jalan memperhatikan Darmawan sampai lenyap di balik tikungan.
Tidak lama kemudian muncul delman dari arah lenyapnya Darmawan tadi. Delman itu langsung berhenti di dekat Pertiwi menunggu. Pertiwi naik ke atasnya dan duduk di samping kusir yang berbaju kampret putih, bercelana panjang batik, sarung pelekat yang bergantung pada bahu kanannya menyilang ke pinggang kiri, serta topi pandan bersisi lebar yang ditekan dalam-dalam pada kepalanya. Dengan demikian, tukang delman yang tak lain dari Darmawan itu benar-benar telah berubah penampilan. Tak seorang pun akan menyangka bahwa kusir delman itu orang yang sama yang belum lama berselang berjalan dengan gadis berdarah biru yang sangat cantik itu. Tempat duduk di belakang dimuati dua karung goni besar berisi rumput.
”Bagaimana mengenai permintaanku tadi Wan?”, tanya Pertiwi setelah delman bergerak lagi.
“Nden”, sahut Darmawan, “sebenarnya saya tidak berkeberatan. Tetaspi perlu Nden ketahui, latihan itu bukan pekerjaan musiman. Sekali mulai berarti Nden harus melakukannya setiap hari. Itu yang harus Nden perhitungkan. Saya tidak mau membuang waktu sia-sia. Dengan kesanggupan melatih volley tim puteri saja, waktu saya tersita terlalu banyak. Karena itu kalau keinginan Nden hanya bersifat musiman, sebaiknya tidak usah saja. Sebab sekali Nden mulai, Nden harus melakukan selamanya. Tanpa bersedia memenuhi janji itu, saya juga tidak bersedia memenuhi keinginan Nden”, kata Darmawan.
“Hmm, kau kira keinginan itu baru muncul kemarin? Tidak Wan. Aku sudah lama ingin memiliki tata bela diri. Kalau saja aku tinggal di kota besar, tentu sudah sejak dulu belajar karate. Sayang di sini tidak ada cabang perguruannya. Karena itu jika kau bersedia melatihku, aku berjanji akan mematuhi semua ketentuannya, termasuk kewajiban seorang murid untuk membayarmu sebagai guru silat”.
“Soal terakhir tidak perlu. Yang penting, jerih payah dan waktu saya tidak sia-sia. Artinya, Nden harus berjanji untuk berlatih dengan tekun”.
“Baik, aku janji. Tetapi kewajiban materinya juga akan kupenuhi, dan kau tidak boleh menolaknya”.
Darmawan tidak menyanggah lagi, sebab dia tahu akan percuma saja. Karena itu untuk beberapa lamanya percakapan mereka terhenti. Hanya suara ketoplak kaki-kaki kuda yang terdengar, sekali-kali diselingi bunyi keliningannya bila ada orang yang berjalan di depan. Namun kemudian Pertiwi bertanya.
“Kapan aku mulai bisa latihan?”.
“Besok pagi Nden. Nden harus bangun sekitar satu jam sebelum subuh. Saya biasa berlatih sebelum subuh di kebun belakang. Usahakan jangan sampai ada orang lain yang tahu. Dan nanti malam sebelum tidur, Nden harus mulai belajar mengatur pernafasan”.
Pertiwi tidak menyahut, tetapi dia menganggukkan kepala. Maka Darmawan pun menjelaskan cara-cara mengatur nafas yang harus dilakukan si gadis. Pertiwi mendengarkan dengan cermat.
Dalam pada itu delman yang mereka tumpangi telah sampai di pintu kantor kecamatan. Darmawan membelokkan delmannya ke jalan samping kantor, terus ke belakang, dan menghentikannya di depan pondok kecil yang berhadap-hadapan dengan dapur rumah besar Juragan Camat. Pondok tempat tinggal Darmawan itu bersisian dengan kandang kuda.
Setelah Pertiwi turun dan masuk ke rumah besar lewat pintu dapur, Darmawan melepaskan kuda penarik delmannya dan menuntunnya masuk ke kandang. Selanjutnya dia melakukan tugas sehari-hari mengurus kuda-kuda peliharaan Juragan Camat, memanggul kedua karung rumput, lalu membagikannya ke setiap kandang untuk makanan kuda-kuda tersebut. Haripun berlalu sebagaimana terjadi setiap hari tanpa menghiraukan berbagai peristiwa yang berlangsung di dalamnya.
Hari-hari selanjutnya merupkan hari yang lebih sibuk bagi Pertiwi. Dia harus bangun sebelum subuh untuk berlatih silat. Pagi sampai siang berlatih di sekolah. Sore pergi ke lapangan untuk latihan volley. Meski latihan resminya hanya 3 kali seminggu, tetapi kawan-kawan Pertiwi melakukan latihan tiap hari, karena takut membuat kesalahan.
Di dalam latihan resmi, ternyata Pertiwi yang paling sering melakukan kesalahan, sehingga berkali-kali dia harus mendapat hukuman, bahkan hukuman ganda karena membuat kesalahan dua kali. Tetapi dengan tabah gadis itu menjalani setiap hukuman yang dikenakan kepadanya. Karena itu setiap habis latihan, dialah yang paling merasa kelelahan karena memeras tenaga paling banyak. Kawan-kawannya sering merasa kasihan terhadap gadis itu, karena ternyata Darmawan telah memperlakukan ‘pacarnya’ sama dengan gadis-gadis lain yang melakukan kesalahan.
“Kalau aku yang jadi pacarnya, sudah kuputuskan lagi hubungan itu”, kata Herlina suatu kali ketika Pertiwi sedang menjalani hukuman push-up 20 kali karena melakukan kesalahan ganda. “Buat apa jadi pacar kalau tidak diistimewakan samasekali?”, sambungnya.
“Benar. Seharusnya si Wawan memberi kelonggaran-kelonggaran kepadanya. Toh kita semua sudah tahu kalau dia itu pacarnya, sehingga wajar saja kalau agak dibedakan dari yang lain”, timpal Farah.
“Mungkin si Wawan takut disebut tidak adil. Kalau penilaian itu tumbuh di antara kita, maka kedisiplinan yang sedang dibangunnya akan berantakan. Sekarang kalian bisa bicara begitu. Sedangkan kalau dia benar-benar membedakan si Wiwi dari yang lain, mungkin kalian akan bicara lain”, kata Marni sementara matanya memperhatikan Pertiwi yang sedang melakukan push-up dengan susah payah karena kelelahan.
“Kalau melihat kepatuhan si Wiwi, aku jadi bercuriga”, timpal Susi.
“Curiga apa?”, tanya Maryanti cepat-cepat.
“Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Apa artinya capai dahulu, dibandingkan dengan kenikmatan yang bakal diperoleh dalam pelukan sang pacar ketika berduaan. Makin berat hukuman yang diterima, makin besar kesenangan yang bakal diperolehnya nanti”, sahut Susi sambil mengedipkan sebelah matanya, sementara bibirnya tersenyum penuh arti.
“Ah kau. Otakmu memang selalu ngeres”, desis Marni.
Apapun tanggapan yang berlangsung di antara kawan-kawan Pertiwi, namun suatu kenyataan telah terjadi. Tanpa disadari, hukuman-hukuman berat yang lebih sering dijalani Pertiwi merupakan kunci keberhasilan pembinaan disiplin di lingkungan tim puteri. Hukuman-hukuman yang dikenakan kepada setiap pemain yang melakukan kesalahan, telah dilaksanakan dengan patuh tanpa protes. Hal itu telah mencambuk mereka untuk tidak melakukan kesalahan-kesalahan lagi, meski kesalahan-kesalahan masih selalu terjadi. Yang mengherankan, justru Pertiwilah yang selalu paling banyak melakukan kesalahan. Namun dengan demikian kemajuan tim puteri meningkat cepat. Dalam beberapa hari saja sudah tampak permainan mereka yang semakin baik.
Tetapi sejalan dengan itu berita tentang hubungan khusus Pertiwi dan Darmawan menyebar semakin luas di sekolah mereka. Berita itu menjalar dari mulut ke mulut bahwa, gadis kembangnya kecamatan telah punya sangkutan hati, justru dengan orang yang kurang disenangi karena sikap angkuhnya. Rata-rata komentar menyayangkan pilihan gadis yang hampir dalam segala halnya paling menonjol itu.
Mula-mula berita itu terbatas di luar pengetahuan kedua orang yang jadi pokok persoalannya. Tetapi akhirnya muncul juga ke permukaan. Tiap Pertiwi dan Darmawan berjalan bersama melewati kelompok-kelompok para pelajar, ada saja yang nyeletuk menyindirnya.
“Duaan wae yeuh?”.
“Indehoy ni ye”.
“Pacaran memang asyik”.
Pertiwi menanggapi sindiran-sindiran itu hanya dengan senyum. Bahkan sekali-sekali dia menyahut dengan gurauan pula: “Mau ikut?”, katanya.
Tetapi bagi Darmawan justru sebaliknya. Bisik-bisik dan sindiran-sindiran itu telah membuat wajah dan telinganya jadi merah. Dia tidak mengerti kenapa Pertiwi justru mendukung sindiran tersebut. Akhirnya Darmawan tidak tahan mendiamkan terus desas-desus itu. Karena itu, setelah Pertiwi duduk di sampingnya di atas delman sehabis bubaran sekolah, Darmawan mulai membicarakannya.
“Nden”, kata Darmawan, “nampaknya Nden tidak acuh samasekali pada desas-desus yang tidak benar itu. Malahan saya lihat Nden seperti turut mendukungnya”.
“Desas-desus apa?”, tanya Petiwi pura-pura tidak mengerti.
“Jangan berpura-pura juga. Saya yakin, Nden tahu apa yang saya maksudkan. Dengan membiarkan masalah itu terus berkembang, orang akan mengira sungguh-sungguh bahwa Nden adalah pacar saya”.
“O itu”, kata Pertiwi, “biar saja apa maunya mereka. Disangkal juga percuma. Semakin kita menyangkal justru mereka akan semakin tidak percaya”.
“Tapi Nden. Tanpa sanggahan samasekali, berarti kita membenarkan anggapan mereka”.
“Aku tidak berkeberatan”.
“Nden?!”. Darmawan terkejut mendengar jawaban gadis itu, sehingga tanpa disadar tangannya menarik kekang kuda, membuat kuda delmannya sedikit berjingkrak dan menghentikan larinya. Tetapi di saat lainnya Darmawan mengedutkan lagi kendali kudanya dan mulutnya berdecak-decak agar kuda itu berjalan lagi.
“Kenapa? Apa kau keberatan?”, tanya Pertiwi setelah kuda itu berlari lagi.
“Tentu saja Nden. Karena anggapan mereka itu tidak benar samasekali”.
“Jadi kau benar-benar berkeberatan?”, tanya Pertiwi lagi dengan nada meninggi, “kau benar-benar berkeberatan berpacaran denganku? Kalau begitu, silahkan kau sanggah komentar mereka”.
“Bukan saya, tetapi Nden yang harus menyanggahnya”.
“Knapa harus aku? Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak berkeberatan?”.
“Tetapi Nden. Bagaimana mungkin Nden menyetujui tanggapan yang tidak benar itu? Padahal Nden tahu benar, siapa diri saya dan siapa diri Nden”.
“Siapa diriku?”, tanya si gadis.
“Nden puteri Juragan Camat, gadis ningrat berdarah biru, gadis terpandai di sekolah, gadis tercantik yang pernah saya lihat, dan Nden adalah majikan saya”.
“Terimakasih atas pujianmu bahwa aku gadis tercantik. Lalu siapa dirimu?”.
“Tukang rumput, tukang cangkul sawah yang diangkat jadi kusir delman atas kebaikan Nden”, sahut Darmawan cepat-cepat.
“Tetapi sejak lama aku mengenalmu sebagai kawan sekolahku. Kemudian ternyata kau juga anak Juragan Sukarta yang disyahkan secara hukum, anak ningrat asli. Bahkan sekarang kau guruku. Dengan demikian kedudukanmu jauh lebih tinggi dariku. Kau juga pemuda tertampan menurut penilaianku. Karena itu wajar kalau aku merasa tertarik padamu. Tentu saja aku tidak berkeberatan mendengarkan desas-desus tersebut. Sebaliknya justru aku benar-benar senang, karena dengan demikian harapan hatiku jadi terwujud. Dalam beberapa hari ini angan-anganku telah melambung tinggi. Aku berpengharapan, suatu saat nanti, bila sampai waktunya, aku ingin mendampingi hidupmu, menjadi isterimu”.
“Nden!!!”. Kali ini Darmawan benar-benar terkejut, dan kekang kuda yang dipegangnya ditarik keras, sehingga kuda itu berjingkrak sambil meringkik. Untung Darmawan segera dapat mengatasinya. Namun untuk beberapa lamanya dia terpaku membiarkan delman berhenti. Sementara itu Pertiwi tidak mengacuhkan samasekali keterkejutan Darmawan. Sebaliknya dia justru menekannya kepada pilihan yang paling sulit diputuskan.
”Nah, sekarang aku mau tanya. Apa kau masih berkeberatan atas anggapan mereka?”.
“Derajat saya yang Nden sebutkan semuanya semu. Saya hanya diangkat sebagai anak pungut oleh Juragan Sukarta tanpa diketahui orang lain. Sedangkan jabatan guru lebih tidak resmi lagi, karena Nden sendiri yang mengangkatnya, juga tidak diketahui orang lain”, sahut Darmawan. Tetapi Pertiwi tidak mengacuhkannya. Sebaliknya dia mengulangi desakannya.
“Aku tanya, apa kau keberatan?”.
“Dalam soal ini bukan keberatan atau tidak keberatan Nden. Sebab masalahnya menyangkut...”.
“Bilang saja, apa kau keberatan?”, potong Pertiwi sebelum Darmawan menyelesaikan kata-katanya.
“Nden terlalu menganggap enteng masalah darah ketur...”.
“Bilang kataku. Apa kau keberatan?”.
“Tidak!”, sahut Darmawan akhirnya dengan nada tinggi karena didesak terus-menerus.
“Tidak berkeberatan?”, tanya Pertiwi menegaskan.
“Ya Nden”, sahutnya lagi. Tetapi kini suaranya sudah menurun jauh, bahkan hampir tak terdengar. Sementara tangannya mengedut kendali kuda, dan delman pun berjalan lagi. Dia tidak melihat Pertiwi tersenyum, karena perhatiannya tertuju ke jalan di depannya. “Nden terlalu mendesak saya, dan saya tidak dapat menipu diri sendiri, karena sesungguhnya sejak pertama kali melihat Nden, hati saya sudah sangat tertarik”, sambungnya menjelaskan isi hatinya.
“Sejak pertama kali melihat? Jadi sejak masuk SMA ini dulu?”, tanya Pertiwi dengan hati berdebar.
“Tidak salah Nden, dan hati saya jadi semakin mengagumi Nden ketika bersedia mengurus Ayah saya yang sebenarnya sudah tidak ada. Waktu itulah saya mengenal diri Nden seutuhnya, gadis cantik lahir-batin yang sukar dicari”.
“Alhamdulillah. Mudah-mudahan aku tidak terus terlena oleh pujianmu”, kata Pertiwi. Lalu: “Tapi kenapa waktu itu kau bersikap sebaliknya?”.
“Seharusnya Nden sendiri sudah tahu jawabannya. Saya menyadari siapa diri saya, dan siapa pula diri Nden. Dan kesasdaran itu masih tetap berlaku hingga sekarang. Meski saya tidak menolak anggapan kawan-kawan bahwa Nden adalah pacar saya, dan saya merasa sangat beruntung mendapat pacar yang sangat saya idam-idamkan, tetapi saya masih tetap berharap agar Nden mengurungkannya lagi”.
“Jadi, itukah sebabnya kau menyuruh aku menyangkal desas-desus itu?”.
“Ya Nden. Saya tahu, pujian Nden bahwa saya pemuda tertampan adalah sekedar pengajuk hati”.
“Lalu bagaimana mungkin aku akan menyangkal desas-desus yang kutimbulkan sendiri?”.
“Maksud Nden?”, tanya Darmawan dengan mata membelalak menatap Pertiwi..
Pertiwi membalas tatapan dengan senyum dan menyahut: “Tentu kau masih ingat percakapan kita tempo hari mengenai caraku agar mereka dapat bertahan dari disiplin yang akan kau terapkan dalam latihan volley. Kukatakan kepada mereka bahwa kau telah menjadi pacarku. Karena aku yakin, kau akan menerapkan disiplin tanpa pilih bulu, sekalipun kepada pacarmu sendiri”.
“Dan Nden sengaja melakukan kesalahan-kesalahan, sehingga Nden yang paling sering mendapat hukuman”, kata Darmawan menimpali.
Kembali Pertiwi tersenyum. “Dengan hukuman-hukuman yang kuterima, secara tidak langsung kau telah memberi tambahan latihan ketahanan tubuh dalam pelajaran silat yang sedang kutuntut. Bukankah itu bagus?”.
Darmawan jadi terlongong. Ternyata gadis di sampingnya ini pandai memanfaatkan situasi. Lebih jauh, dia bisa menangkap kesungguhan pada setiap langkah yang ditempuhnya melalui perhitungan yang cukup matang. Tapi dia belum yakin, karena dalam satu segi nampaknya gadis itu tidak berperhitungan samasekali, selain karena desakan emosinya saja. Karena itu dia merasa wajib menyadarkannya, meski hatinya sendiri sebenarnya menentangnya.
“Nden”, katanya dalam nada berat, “saya semakin bangga punya pacar yang begini mengagumkan. Tetapi justru karena itu, saya akan jadi sangat sedih jika hidup Nden kelak menderita”.
“Ramalanmu tanpa dasar yang kuat. Bagaimana mungkin kau meramalkan hidupku bakal menderita jika jadi isterimu kelak. Padahal sekarang kita sedang berusaha, bersekolah untuk memperoleh tingkat hidup yang baik. Bukankah dengan surat wasiat almarhum ayah pungutmu itu, kau dapat mengharapkan masa depan lebih baik?”.
“Soal surat wasiat tidak termasuk dalam perhitungan saya Nden. Nden sendiri tahu, masalah wasiat itu sangat rawan. Saya tidak tahu, apa saya akan berhasil memenuhi segala pesan almarhum atau tidak, melihat kenyataan sekarang ada surat wasiat lain yang justru sudah mulai dilaksanakan pembagiannya. Yang saya perhitungkan kenyataan sekarang. Kalau sampai bisa lulus SMA saja, saya sudah cukup tenteram, apalagi kalau dapat mencapai sarjana”.
“Nah apalagi yang kau khawatirkan? Dengan ijazahmu, meski hanya SMA, kau bisa mendapat penghasilan memadai. Aku juga bisa bekerja untuk menambah penghasilan kita. Percayalah Wan, aku bukan orang yang kemaruk harta. Aku bisa menjalani hidup sederhana”.
“Saya percaya Nden. Karena itu saya tidak mengkhawatirkannya. Yang saya khawatirkan adalah perbedaan derajat kita, darah keturunan. Nden gadis berdarah biru. Apa Nden tidak memperhitungkan perbedaan darah itu?”.
“Aku lebih berpegang kepada ajaran Qur’an yang tidak membedakan darah atau etnis”.
“Itu pandangan Nden sendiri. Orangtua Nden belum tentu demikian. Saya pernah mendengar cerita, betapa seorang tua tega mengusir anaknya karena bercintaan dengan orang kebanyakan, padahal orang kebanyakan itu hidupnya berkecukupan”.
“Mudah-mudahan orangtuaku tidak. Tetapi kalaupun sampai demikian, apa boleh buat. Aku tidak akan menyesal, karena aku lebih percaya pada ajaran Qur’an”.
“Jadi Nden akan menentang orangtua hanya karena saya?”.
“Jangan disamakan antara menentang orangrua dengan menentang pandangan orangtua yang salah. Aku hanya akan menentang pandangannya yang salah menurut ajaran Qur’an. Kalau orangtua patuh kepada ajaran Qur’an, tentu dia tidak akan melarang aku memilih pasangan hidupku sendiri yang tidak berlandas pada darah keturunan, tetapi pada moral perilaku”.
“Sulit untuk meyakinkan perbedaan itu. Sebab dalam kenyataannya, Nden akan danggap menentang orangtua”, kata Darmawan.
“Apaboleh buat, asal tidak menentang ajaran Qur’an”.
“Tetapi Qur’an pun melarang kita menentang orangtua”.
“Hmm aku mengerti maksudmu. Aku berterimakasih atas peringatanmu. Tetapi sayang aku tidak akan pernah merubah keputusan karena satu alasan. Sekarang aku ingin tanya, apa orangtuaku bisa memaksakan kehendaknya jika aku sudah mati?”.
Darmawan terkejut lagi. “Apa kalau orangtua Nden memaksakan kehendaknya, Nden akan bunuh diri?”, tanyanya dengan nada khawatir.
“Bunuh diri menurut Qur’an perbuatan dosa. Bagaimana mungkin aku berani melakukannya? Aku hanya bermaksud mengatakan, tanpa pertolonganmu tempo hari, tentu saat ini aku sudah tidak ada lagi di dunia. Maka sangat wajar kalau hidupku selanjutnya kuabdikan kepada penyelamat diriku. Apalagi setelah kuketahui, penyelamat diriku itu ternyata menginginkan aku jadi pendamping hidupnya”.
“Yang menyelamatkan Nden bukan saya tetapi Tuhan. Saya hanya titahnya yang melaksanakan kewajiban. Saya hanya lantaran”.
“Aku tahu. Karena itu aku telah bersyukur kepada Tuhan. Sementara sebagai tanda terimakasih kepada titahnya, aku sudah memutuskan untuk mendampingi hidupnya”.
“Tetapi Nden...”.
“Sudahlah. Aku sudah memberikan alasan paling kuat. Alasan itu telah timbul semenjak di pinggir jurang tempo hari. Tak seorang pun lagi yang bisa merubah niatku, kecuali Tuhan menghendaki lain”.
“Nden telah membuat saya seperti pungguk yang bisa terbang ke bulan”.
“Jangan berendah diri terus. Qur’an mengajarkan tidak ada perbedaan di antara setiap manusia, kecuali ketaatannya kepada Tuhan”.
Tidak ada yang bicara lagi. Tetapi dari pembicaraan itu tercermin kasih-sayang yang terlimpahkan dalam sikap saling ingin membahagiakan. Sebab dalam hati Pertiwi sendiri sebenarnya masih ada alasan lain yang tidak dikemukakannya karena khawatir pemuda itu akan jadi tersinggung. Justru alasan yang tidak dikemukakan itulah sebenarnya yang paling awal mendorong hatinya mengambil keputusan itu. Yaitu ketika melihat wujud Darmawan dalam pakaian compang-camping dan kumal tanpa alas kaki. Saat itu di hatinya tumbuh perasaan iba yang dalam. Ingin rasanya dia mengajak tinggal di rumahnya.
Sebaliknya Darmawan. Pernyataan gadis itu demikian mendebarkan hatinya. Dia tidak mengira kalau keadaan dirinya yang begitu rudin, jauh lebih rudin dari orang kebanyakan, samasekali tidak masuk penilaian. Karena itu sosok Pertiwi yang berderajat tinggi semakin mengecilkan harkat dirinya sendiri. Sekalipun hatinya ingin sekali memiliki gadis itu, namun timbul kekhawatiran besar kalau-kalau dia tidak dapat menyenangkan hidupnya, bahkan menjerumuskan ke lembah penderitaan. Dia tidak tega menjerumuskan gadis yang dinilainya sangat baik itu ke dalam hidup menderita. Itu sebabnya berkali-kali dia memperingatkan Pertiwi agar mengurungkan lagi niatnya yang dianggapnya tidak berdasarkan pemikiran matang. Namun akhirnya dia menyimpulkan. Gadis itu telah melakukan pilihan yang jauh lebih dewasa dari usianya. Dalam keadaan demikian, dia hanya bisa berjanji dalam hatinya sendiri untuk berusaha membahagiakan gadis itu sejauh kemampuannya agar terhindar dari penderitaan.
Dalam pada itu delman mereka telah tiba di sekolah Purwanti. Gadis bongsor yang cantik itu sudah menunggu di pintu halaman sekolah bersama beberapa kawannya. Ketika delman berhenti, Purwanti tidak langsung naik seperti biasanya, tetapi dia mendekati Pertiwi.
“Kak Wiwi, tolong sampaikan kepada Ayah, aku tidak akan makan siang di rumah”, katanya.
“Kau mau ke mana dulu?”, tanya Pertiwi.
“Mau latihan kesenian. Mulai hari ini seminggu dua kali aku harus latihan, untuk persiapan acara kesenian dalam perpisahan dengan kelas tiga nanti”.
“Benar Kak. Kami akan latihan drama dan tari”, timbrung salah seorang kawan Purwanti dari jauh untuk menguatkan.
“Baiklah kalau begitu, nanti kusampaikan pada Ayah”, ujar Pertiwi.
“Pukul berapa Emang harus menjemput Nden?”, tanya Darmawan yang oleh keluarga Juragan Camat dikenal sebagai Mang Darma.

--0--


“Pukul empat saja. Karena menurut Pak Guru sejarah yang pulang lebih dulu, rombongan akan berangkat dari Bandung sekitar pukul 12 setelah upacara penutupan selesai”, sahut Pertiwi.
“Baiklah. Kalau begitu aku akan ke rumahmu sekitar pukul tiga agar persiapan cepat selesai”, sahut Marni, “sementara kalian yang lainnya tunggu saja di sekolah”.
“Oke kami sudah akan ada di sini sebelum pukul empat”, kata Susi mewakili kawan-kawannya.
Percakapan itu terjadi di depan sekolah Pertiwi sehabis bubaran sekolah.
“Kalau kau telat datang, jangan salahkan aku jika nanti kutinggalkan Mar”, kata Pertiwi yang telah duduk di atas delman memperingatkan Marni.
“Nah kau dengar sendiri Mar. Si Wiwi sekarang sudah ketularan penyakit pacarnya. Mulai sekarang kita harus hati-hati kalau berjanji padanya”, komentar Herlina mendahului.
“Ya Lina. Ternyata disiplin itu banyak manfaatnya. Bukti yang tidak bisa dibantah, baru seminggu saja latihan volley, kemampuan tim kita sudah meningkat jauh dibandingkan dengan latihan sekian lama tanpa disiplin”, sahut Pertiwi.
“Asal jangan segalanya saja ketularan, agar tidak di cap sebagai gadis sombong”, balas Herlina.
“Aku ingin jadi kapten tim Lina. Karena itu aku harus ketularan segalanya”, sahut Pertiwi sambil tersenyum.
“Sialan”, desis Herlina. Lalu sambil menarik tangan Maryanti mulutnya masih menggerutu: “Mari Yanti, ternyata keangkuhan si Wawan sudah menular. Jangan-jangan kita semua juga akan ditularinya”.
Pertiwi pun menyuruh kusir delmannya untuk berlalu. Tetapi dia masih sempat berpesan kepada Marni.
“Kalau kau mau membantu, jangan telat datangnya Mar”, ujarnya, dan kepada Mang Darma: “Mari Mang”.
“Baik Nden”, sahut Mang Darma sambil mengedut les kudanya. Kemudian kepada kawan-kawan Pertiwi dia berpamitan: “Mari Nden-Nden semua”.
“Silahkan Mang”, sahut Marni, dan Pertiwi masih sempat mendengar pesan Marni, “Wiwi, sebaiknya pacarmu kau suruh belajar tatakrama kepada Mang Kusir, supaya akrab dengan kami”.
“Tidak Mar. Kalau dia terlalu akrab dengan kalian, bisa-bisa aku cemburu”, sahut Pertiwi yang telah berada cukup jauh.
“Apa benar Nden bisa cemburu?”, tanya Darmawan dengan suara perlahan.
“Tentu. Setiap orang yang sedang bercinta, tentu akan merasa cemburu kalau kecintaannya terlalu dekat dengan perempuan lain”.
“Tetapi Nden memilih saya bukan karena cinta”.
“Siapa bilang?”, tanya Pertiwi, “kalau aku tidak mencintaimu, rasa terimakasih atas pertolonganmu tempo hari bisa aku lakukan dalam bentuk lain”, sambungnya.
“Kalau begitu, saya tidak boleh akrab dengan mereka. Begitukah kemauan Nden?”.
“Sebaliknya Wan. Aku justru akan senang sekali kalau kau bisa akrab dengan mereka. Tadi aku hanya bergurau, karena aku tahu si Marni juga hanya bergurau. Masa aku disuruh belajar tatakrama kepada Mang Darma, meski sebenarnya mereka memang ingin akrab denganmu”.
“Tetapi dengan demikian Nden bisa cemburu. Bukankah Nden sendiri yang mengatakan tadi bahwa Nden mencintai saya, dan orang bercinta mudah cemburu?”.
“Jangan khawatir. Aku tidak akan cemburu. Meski cintaku sangat besar, tapi aku mempercayaimu. Aku percaya, kau tidak akan mengkhianatiku. Karena itu aku tidak akan mengekangmu dengan cintaku. Aku hanya ingin meminta kau juga mempercayai diriku, bahwa aku tidak akan mengkhianati cintamu”, kata Pertiwi.
“Saya percaya Nden, percaya penuh”, sahut Darmawan. Lalu sambungnya, “ tetapi tentang saran Nden agar saya lebih akrab dengan mereka, mungkin tidak akan pernah terpenuhi. Sebab saya kawatir, kedok saya akan terbuka”.
“Hmm, jadi kau tetap akan bersikap angkuh?”.
“Mungkin hanya itu yang akan saya kurangi, agar mereka tidak menyangka Nden ketularan. Sebaliknya, saya yang harus tampak ketularan oleh sifat Nden”.
“Itu berarti, mereka akan menyangka kau kalah olehku”.
“Saya akan senang sekali jika mereka menyangka begitu”, kata Darmawan.
“Tidak. Aku tidak mau orang menilai dirimu kalah olehku. Aku tidak mau disebut perempuan yang ingin menguasai laki-laki. Aku bukan manusia egois. Aku ingin, semua orang menilaimu sebagai panutan berwibawa”.
“Mengalahkan dengan cara mengubah sifat jelek jadi baik, tidak akan dinilai ingin menguasai. Karena dalam segi-segi lain, misalnya dalam latihan volley, Nden tetap harus patuh kepada peraturan saya. Dengan demikian, sementara kewibawaan saya di mata mereka tetap, mereka juga akan melihat Nden mampu memperbaiki cacat diri saya, Bukankah penilaian terhadap kita akan jadi lebih baik?”.
Pertiwi tersenyum dan mengangguk. “Terimakasih Wan. Jawaban itulah yang kuinginkan darimu. Ternyata pacar pilihanku sesuai dengan dugaan dan harapanku. Aku benar-benar puas memperoleh pacar yang penuh pengertian dan bijaksana”, ujarnya.
“Ah, kiranya Nden telah menjebak saya”, desah Darmawan dengan suara sedikit bergetar, sebab dia menyadari bahwa dirinya baru terlolos dari lubang jarum. Andaikata di dalam hatinya dinodai sifat jelek sedikit saja, tentu akan tercermin dalam jawabannya tadi.
“Maafkan aku Wan. Aku hanya ingin mengenal dirimu lebih jauh”.
“Sekarang Nden sudah tahu. Saya buakan orang yang bisa memanjakan pacar, meski pacar saya itu puteri pejabat tertinggi dan gadis tercantik di daerah ini, yang seharusnya memperoleh perlakuan itu”.
“Itulah yang menarik hatiku. Selama ini sudah lima pemuda termasuk si Angga yang mendekatiku dan menginginkanku jadi pacarnya. Tapi semuanya bersikap seperti yang kau katakan, menyanjung, merayuku setinggi langit, bahkan belum apa-apa sudah memberi janji muluk-muluk. Mereka tidak tahu kalau aku paling tidak senang pada sikap pura-pura”.
“Kata-kata Nden bertentangan dengan kenyataan. Bukankah selama ini saya telah berbuat pura-pura angkuh? Bukankah Nden telah mendorongkan diri sendiri sebelum Nden mengetahui keadaan saya yang sebenarnya?”.
“Karena kepura-puraanmu kebalikan dari yang umum. Umumnya orang berpura-pura baik, sedang kau berpura-pura jelek agar dijauhi orang. Ketika kau menolak turut ke Provinsi dengan alasan ayahmu sakit, aku mulai melihat hal aneh. Keangkuhan yang asli berlandas pada ambisi besar. Demi mencapai ambisinya, tidak mungkin melepaskan setiap kesempatan yang akan membawa dirinya ke jenjang lebih tinggi, dan akan mengabaikan kasih-sayang yang dianggapnya cengeng. Sebaliknya, kau justru demikian besar menilai kasih-sayang tersebut. Bahkan ketika kudorongkan kasih-sayang itu lebih jauh dengan menyediakan diriku menggantikan dirimu mengurus ayahmu, kau tetap pada sikapmu. Waktu itulah aku yakin, sikap angkuhmu hanya pura-pura, karena kau hampir tidak punya ambisi samasekali. Aku mulai melihat, keangkuhanmu adalah untuk menutupi kenyataan dirimu yang penuh rahasia. Karena itu aku bermaksud menyelidiki kehidupanmu yang sebenarnya dengan berkunjung ke tempat tinggalmu”.
Darmawan tidak dapat mendebat lagi. Sebab ternyata langkah-langkah yang ditempuh gadis itu dalam mencari pasangan dilandasi perhitungan yang matang hasil ketajaman penalarannya. Darmawan dan setiap orang yang mengenal Pertiwi sudah pada tahu, dia gadis pendiam dan serius. Tetapi anak muda itu baru menyadari kalau pendiamnya gadis itu, karena sebagian besar waktunya digunakan untuk mencerna setiap masalah yang ditemuinya.
Dalam pada itu delman mereka telah sampai di kecamatan. Darmawan langsung mengendarainya sampai ke belakang. Dia tidak melepas kuda itu dari delmannya, karena delman itu masih akan dipakai untuk membawa konsumsi ke sekolah.
Tenyata Marni datang sesuai janjinya. Dia langsung membantu Pertiwi mempersiapkan konsumsi di dapur. Kemudian mengangkutinya bersama Pertiwi ke atas delman. Darmawan tidak membantu kedua gadis itu karena harus mengurus kuda-kuda, di samping untuk menghindarkan diri dikenali oleh Marni. Baru setelah semuanya selesai, Pertiwi memanggilnya.
Tidak ada persoalan penting yang dipercakapkan di perjalanan ke sekolah. Tetapi ketika rombongan tim volley masuk halaman sekolah dengan bus dari Kabupaten, kegembiraan pun meledak. Nasrul dan kawan-kawannya sangat terkejut melihat sambutan yang tidak disangkanya itu. Pertiwi dan kawan-kawan yang tergabung dalam tim puteri telah menyambut kedatangan mereka dengan meriah.
“Selamat datang para pahlawanku”, kata Susi sambil menyalami rombongan tim putera yang turun dari mobil, diikuti oleh kawan-kawannya.
”Pahlawan apa? Pahlawan keok?”, sahut Sumarana yang merasa malu oleh sambutan tersebut.
“Justru karena keok berarti mati dalam peperangan, maka kusebut pahlawan. Kalau masih hidup bukan pahlawan namanya tetapi patriot”, timpal Susi yang lincah berdebat.
“Sialan kukira kau memuji”.
“Jangan mengumpat”, timpal Pertiwi, “kami benar-benar bangga. Dengan berhasil ke semifinal, betapa pun kalian telah menunjukkan usaha maksimal. Kukira Bapak Bupati juga tidak akan kecewa”.
“Dugaanmu tak salah Wiwi. Jangan iri kalau kuberitahu. Selain dalam bulan ini akan dikirim peralatan volley lengkap, juga iuran sekolah kami termasuk Wawan, sampai tamat sekolah nanti jadi tanggungan Kabupaten”, kata Nasrul.
“Asyiiik”, seru kawan-kawan Pertiwi hampir serempak.
”Syukurlah. Itu menandakan Bapak Bupati sangat menghargai usaha kalian”, ujar Pertiwi pula. Lalu: “Tetapi kenapa Wawan terbawa? Bukankah dia tidak ikut?”.
“Kami semua merasa bersalah kepadanya. Bukankah ayahnya benar-benar akhirnya meninggal? Meski begitu dia masih mengikhlaskan diri melatih kami sungguh-sungguh, sehingga keberhasilan kami berkat usaha Wawan juga. Ketika kami menceritakan kepada Bapak Bupati tentang alasan tidak dapat turut sertanya Wawan, beliau pun menyatakan turut berduka cita”.
“Atas nama Wawan, aku mengucapkan terimakasih Nas. Nanti aku akan menyampaikan kepadanya. Tentu dia akan sangat gembira mendengarnya”, kata Pertiwi.
“Tidak usah repot-repot Wiwi. Biar aku sendiri yang akan menyampaikannya. Sekalian...”.
“Biarkan saja Nas. Dia lebih berhak menyampaikan kabar itu kepada Wawan”, potong Susi sebelum Nasrul menyelesaikan perkataannya.
“Lebih berhak apa? Kamilah yang lebih berhak, karena kami yang mengusahakannya”, timbrung Dodi.
“Tanpa permintaan si Wiwi, mana mau Wawan yang sedang berkabung melatih kalian. Karena itu kalian harus memberi kesempatan kepadanya, agar dia memperoleh hadiah sun dari sang pacar”, sahut Susi sambil mengedipkan matanya kepada Pertiwi, dan bibirnya menyungging senyum kecil.
“Ah kau, kalau bergurau lihat-lihat dulu orangnya Sus”, kata Nasrul.
“Kali ini dia tidak bergurau Nas”, timbrung Herlina, “memang si Wawan itu pacarnya kok”.
“Apa?!!!”. Pertanyaan terkejut itu serempak keluar dari mulut Nasrul dan kawan-kawannya. Mereka semua berpaling kepada Pertiwi menyiratkan pandangan tidak percaya. Pertiwi tidak menjawab, tetapi hanya tersenyum. Sikapnya itu secara tidak langsung merupakan jawaban pasti. Sebab bila tidak benar, mereka tahu, gadis itu akan langsung menyangkalnya.
“Ah kalau begitu akulah penyebabnya”, desah Dodi tiba-tiba.
“Ya Dod, dan aku yang mendorongnya”, timpal Marni.
Tentu saja pernyataan kedua orang itu menimbulkan pertanyaan dalam hati kawan-kawannya.
“Aku hampir yakin, permulaannya tentu waktu pulang dari Kabupaten. Bukan begitu Wiwi?”, tanya Nasrul menambahkan.
“Tak salah Nas”, sahut Marni. “Karena itu dia mengambil kesempatan kedatangan kalian sekarang untuk meresmikan pacarannya dengan makan-makan”, katanya sambil tersenyum menggoda Pertiwi.
“Bukan begitu kawan-kawan. Memang aku menyiapkan makanan ala kadarnya. Sebagai syukuran atas keberhasilan kalian mencapai semifinal, dan peresmian mulainya tim kami berlatih sungguh-sungguh. Meski aku mengharapkan juga doa kalian agar pacaranku dengan Wawan kelak bisa terwujud dalam perkawinan”, kata Pertiwi meluruskan jawaban Marni. Namun bibirnya menyungging senyum, sehingga tawa pun meledak. Rupanya dalam sifatnya yang serius, Pertiwi bisa juga memancing humor.
Setelah mendapat jawaban pasti dari mulut Pertiwi sendiri, Nasrul langsung mengulurkan tangannya menyalami gadis itu, diikuti semua kawan-kawan tim putera.
“Selamat indehoy Wiwi. Tentu kami akan mendoakan agar harapanmu dikabulkan Tuhan. Bukan begitu kawan-kawan?”.
Semua kawannya bersorak mengiyakan. Bahkan banyak yang menambah dengan kata-kata godaan terhadap gadis itu, sementara Pertiwi menyambutnya dengan sunggingan senyum.
“Sayang Wawannya tidak ada. Kalau sekarang ada, wah...”, ujar Sumarna tanpa menyelesaikan kata-katanya.
“Apa kau berani menggoda dia Marna?”, tanya Maman dengan nada mengejek.
“Kau sendiri bagaimana? Apa kau berani menggoda dia?”. Sumarna balik bertanya.
“Aku tidak mengatakan apa-apa. Tapi kau sudah mengatakan ‘wah’, wah apa coba?”.
“Wah sepi. Soalnya tak ada di antara kita yang akan berani menyinggungnya. Nah apa katamu?”.
Maman terdiam, dan semua kawannya jadi tertawa.
“Makanya jangan cepat memojokkan kawan Man. Jadinya kau sendiri yang kena batunya”, ujar Marni. Lalu: “Sekarang kalian semua kuundang mencicipi makanan ala kadarnya. Sebelum makan nanti, kuminta ajengan kita Abdullah untuk berdoa dulu, terutama untuk harapan primadona kita”.
“Setujuuuu!”, seru semua anggota tim volley putera-puteri serempak, dan semuanya menuju kelas.
Acara makan-makan itu berlangsung meriah. Dengan adanya acara gagasan Pertiwi itu, ikatan persaudaraan di antara mereka jadi bertambah erat.
Hari-hari mereka selanjutanya penuh dengan kesibukan. Latihan volley pun ditingkatkan. Karena mereka harus mempertahankan keberhasilan sebagai juara Kabupaten. Sementara tim puteri pun berusaha keras untuk dapat merebut juara dalam porda Kabupaten di masa datang.
Di antara mereka Darmawanlah yang paling sibuk. Karena selain pekerjaannya sebagai pengurus kuda dan kusir delman keluarga Juragan Camat, juga harus memberikan latihan khusus kepada Pertiwi setiap menjelang subuh. Di hari-hari kosong latihan volley, dia juga menarik delman untuk tambahan penghasilan. Tak jarang dia pulang larut malam. Untunglah dia tidak harus menyabit rumput untuk makanan kuda-kuda majikannya. Tugas itu telah diserahkan Darmawan kepada penarik delman pagi, ketika dia sedang belajar di sekolah, sebagai pengganti sewaan delmannya.
Dalam latihan volley, ternyata tim puteri mendapat kemajuan pesat. Darmawan telah mengatur latihan itu sedemikian rupa. Pada saat-saat tertentu, dia mempertandingkan tim puteri dengan tim putera cadangan. Namun mendekati akhir tahun ajaran sekolah, kemampuan tim puteri utama telah menjajari tim putera cadangan, sehingga mampu pula melawan tim putera utama dengan gigih tanpa ketinggalan angka terlalu jauh.
Yang paling mengherankan adalah kemampuan Pertiwi. Keinginan gadis itu jadi kapten tim ternyata dapat diwujudkannya. Pukulannya yang keras dan terarah seringkali sulit ditahan lawan. Tidak jarang pula pemain tim putera utama yang berusaha menahan pukulan smes Pertiwi, jatuh terguling guling oleh kekuatan smes gadis tersebut.
“Gila! Bagaimana mungkin si Wiwi punya pukulan begitu kuat?”, umpat Dodi sambil menepuk-nepuk debu tanah yang melekat ditubuhnya sehabis terguling-guling karena terdorong tenaga bola pukulan smes Pertiwi.
Sebaliknya di pihak tim puteri, tiap kali salah seorang dari mereka memberi umpan kepada Pertiwi, beberapa kawannya berseru memberi semangat.
“Sikaaaat!”.
Tetapi sering pula gadis itu melakukan gerakan tipuan. Ketika semua lawannya bersiap menahan pukulan smesnya, tiba-tiba saja Pertiwi menyentuh bola itu dengan pukulan ringan dan jatuh mulus di tempat kosong. Akhirnya dia benar-benar menjadi kekuatan puncak tim puteri.
Daramawan sendiri sudah tidak turut dalam tim. Kapten tim putera utama telah dipegang Nasrul. Darmawan khusus menjadi pelatih. Semua kawan-kawannya tidak berkeberatan lagi, karena alasan yang dikemukakan Darmawan cukuap kuat. Di samping rumahnya paling jauh, juga dia harus bekerja di sawah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya setelah orangtuanya tidak ada.
Tentang kemampuan Pertiwi yang meningkat pesat, tak seorangpun yang merasa heran. Mereka semua beranggapan wajar. Peningkatan kemampuan Pertiwi disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang dibuatnya, sehingga sering menerima hukuman. Tetapi dengan demikian, dia telah berlatih berlipat kali lebih berat dari kawan-kawannya. Namun ada dua hal yang tidak pernah diketahui mereka, kecuali Darmawan. Pertiwi seringkali melakukan kesalahan dengan sengaja, sebagai cara agar semangat timnya tidak mudah luntur karena menerima hukuman-hukuman keras. Kedua, latihan silat yang dilakukannya tiap menjelang subuh dan latihan pernafasan tiap menjelang tidur, telah merambah ke arah penggunaan tenga cadangan bila diperlukan, melampaui tenaga kebanyakan orang.
Manfaat lain yang diperoleh Pertiwi dengan latihan pernafasan itu, dia mampu memusatkan pikiran lebih baik pada setiap masalah yang diperhatikan dan dipelajarinya, termasuk pelajaran sekolah. Dengan demikian, sekalipun waktu belajarnya lebih sempit, namun nilai pelajarannya tidak pernah menurun.
Ketika saatnya kenaikan kelas tiba, Pertiwi tetap jadi bintangnya sebagaimana tahun sebelumnya. Bahkan Darmawanpun yang waktu belajarnya lebih sempit, dapat mempertahankan prestasinya sebagai peringkat kedua terbaik. Bagi kawan-kawannya, prestasi Darmawan itu tidak mengejutkan samasekali. Tetapi bagi Pertiwi yang tahu kesibukan anak muda itu tiap harinya, ditambah kegiatan khususnya di malam hari dalam upaya penyelamatan surat wasiat bekas majikannya, justru sangat mengherankan. Hal itu pun dikemukakan Pertiwi kepada Darmawan dalam perjalanan pulang.
“Sebenarnya semenjak kau bekerja pada Ayahku, aku selalu mengkhawatirkan pelajaranmu Wan. Apalagi sejak aku tahu kau sering keluar rumah lepas isya. Tetapi setelah melihat hasil-hasil ulanganmu, justru aku jadi heran. Kau hampir tidak punya waktu belajar atau menghafal”, kata Pertiwi sementara matanya memperhatikan angka-angka pada buku rapor kenaikan kelas Darawan yang dipegangnya.
“Karena itu Nden berlatih keras hampir berlebihan agar secepatnya dapat membantu tugas malam saya, kan?”.
“Hmm”. Pertiwi hanya menggumam. Dia menyimpan kembali rapor Darmawan yang dipegangnya ke dalam laci peralatan delman di depan tempat duduknya.
“Sesungguhnya Nden tidak perlu khawatir. Sejak bekerja di sini, saya sudah memindahkan waktu belajar habis sholat subuh. Di samping lain, saya selalu memanfaatkan waktu menarik delman sementara menunggu penumpang. Dengan demikian, justru waktu belajar saya sebenarnya lebih banyak dari waktu belajar Nden sendiri. Karena saya tahu, pada saat-saat saya menarik delman, Nden sendiri tentu sedang bekerja membantu pekerjaan Juragan Isteri di rumah”.
“Syukurlah kalau begitu. Tetapi walau bagaimana pun aku tetap ingin membantu tugas khususmu. Karena itu jangan kau larang jika aku berlatih semakin keras”.
“Jangan terlalu memaksakan diri. Itu tidak baik bagi kesehatan Nden sendiri”, sahut Darmawan. Lalu sambungnaya: “Saya justru sedang memikirkan untuk memperbanyak waktu belajar Nden dan kawan-kawan lain, mengingat tahun depan kita akan menghadapi ujian penghabisan”.
“Maksudmu?”, tanya Pertiwi dalam nada tertarik.
“Saya ingin menyarankan, Nden dan kawan-kawan membentuk kelompok belajar bersama, untuk memecahkan soal-soal pelajaran yang sulit atau yang belum dimengerti”.
“Wah gagasan yang bagus sekali Wan”, kata Pertiwi dengan mata bersinar, “nanti aku akan menghubungi kawan-kawan. Paling tidaknya tim volley kita harus bisa lulus semua”.
“Mudah-mudahan saja Nden. Meskipun saya sendiri tidak dapat ikut, tapi saya akan memperoleh keuntungan yang sama melalui Nden”.
“Pasti kau akan mengemukakan alasan rumahmu terlalu jauh kan?”, kata Pertiwi dengan tersenyum. Darmawan pun tersenyum pula tanpa menyahut.
“Baiklah. Kukira kawan-kawan pun akan mengerti alasanmu itu. Tetapi selama liburan panjang ini aku akan memusatkan pada latihan silatku, agar secepatnya dapat membantu tugas khususmu”, kata Pertiwi pula.
“Kenapa harus tergesa-gesa Nden? Menurut pengamatan saya, kemampuan Nden telah meningkat melebihi kewajaran kebanyakan orang yang berguru dalam waktu yang sama”.

--0--


Empat
Kuda Mas dan Pesta Harum
“Tergesa-gesa?”, sahut lelaki bertubuh kurus dan berwajah kepucatan, sementara delman yang ditumpanginya mencongklang di jalan desa yang sudah disirtu tetapi belum diaspal, “aku justru merasa terlalu lamban”.
Kawan bercakapnya pemuda hampir sebaya berusia 25-an, menatap dengan kening berkerut. “Bung Ari bilang terlalu lamban? Bukankah latihan itu baru akan dimulai minggu depan?Apa waktu seminggu tidak cukup untuk beristirahat?”.
Cukup, lebih dari cukup, kalau saja tidak harus mencoba tiga kuda pacu dulu. Tadi Bung Lili sendiri mengatakan, di antara kuda pacu di daerah ini, ada yang kemampuannya luarbiasa. Salah satu tugas utamaku meyakinkan keistimewaannya. Untuk itu diperlukan waktu seminggu paling sedikit. Belum lagi kuda Bung Sarju dan Bung Gomar yang paling sedikitnya memerlukan waktu masing-masing dua hari. Lalu kapan aku harus ist...uh setan!”.
“Keparat!”.
Bung Ari dan Bung Lili memaki dengan nada tinggi, sementara tangan mereka berpegang kuat-kuat pada sisi delman yang berguncang keras, karena kuda delman itu berjingkrak terkejut oleh bunyi klakson mobil yang tiba-tiba dan keras sekali, tepat di belakang delman.
Dengan mulut berdecak-decak kusir delman membujuk kudanya. Rupanya kuda itu cukup terlatih dan tidak cepat liar. Karena dengan sedikit bujukan, binatang itu segera tenang kembali. Sementara Mang Kusir meminggirkan delmannya untuk memberi kesempatan kepada mobil itu lewat, kedua penumpangnya menatap sedan Impala yang lewat cepat dengan pandangan geram. Mereka mengepalkan tinjunya kepada orang dalam mobil itu.
“Borjuis keparat!”, teriak Bung Lili..
Karena kejadian itu, untuk beberapa lamanya percakapan mereka terhenti. Mereka seperti sedang menikmati bunyi ketoplak kaki-kaki kuda yang berlari dalam irama tetap. Dalam keadaan demikian, pandangan Bung Ari jatuh pada tubuh kuda delman yang ditumpanginya, kuda yang gemuk dan sehat. Itu menumbuhkan bahan percakapan baginya.
“Nampaknya kuda Mang Kusir ini cukup terlatih. Apa kuda-kuda di daerah ini rata-rata seperti kudamu Mang?”, tanyanya kemudian.
“”Tidak tahu Den. Emang mah tidak pernah memperhatikan kuda orang lain”, sahut Mang Kusir yang mengenakan baju kampret putih dengan sarung pelekat diselendangkan pada bahunya, dan sebuah topi pandan lebar menutupi kepalanya. “Apa Aden berdua ini joki dari kota?”, tanya kemudian.
“Kok Mang Kusir tahu?”. Bung Ari balik bertanya.
“Bukankah tadi Aden sendiri yang berkata akan melatih kuda pacu di sini?”.
“Benar Mang. Apa Mang Kusir tahu di sini banyak kuda pacu?”.
“Tidak Den. Setahu Emang mah di daerah ini tidak pernah ada pacuan kuda. Kalau di Bandung, Emang dengar memang sering ada pacuan kuda”.
“Tak salah pendengaran Mang Kusir. Aku datang dari Bandung, ditugaskan ke sini untuk mencari kuda pacu yang bagus. Katanya di sini ada kuda istimewa”, kata Bung Ari.
“Bisa jadi Den. Sebab di sini ada beberapa juragan yang memelihara kuda khusus tunggangan, bukan untuk penarik delman”.
“Hmmm, ya pasti salah satu di antara kuda-kuda itu”, gumam Bung Ari. Kemudian dia beralih bertanya kepada kawannya: “Bung Lili, apa tempat latihan itu tidak akan terganggu orang banyak?”.
“Jangan khawatir. Tempat itu jauh dari perkampungan, dan letaknya terpencil. Kampung terdekat berada di pinggang bukit, jaraknya lebih satu kilometer dari tempat latihan. Juga semua penduduknya sudah menyetujui kegiatan kita. Satu-satunya orang yang tidak setuju, sudah diselesaikan Bung Sarju. Bahkan tempat latihannya pun berada di lingkungan tanah miliknya yang telah disumbangkan kepada Desa dan dalam pengawasan Kades. Bung Sarjulah yang mengusahakan semua itu”, sahut Bung Lili.
“Ya, aku juga sudah mendengar laporannya. Bung Sarju memang punya potensi besar dan dedikasi tinggi. Karena itu pimpinan pusat menentukan proyek latihan percobaan di daerah ini. Mereka menilai, Bung Sarju adalah kader yang paling baik dalam usahanya. Dia berhasil besar tanpa menumbuhkan akibat negatif samasekali dari masyarakat, sehingga dia telah disebut-sebut sebagai salah satu kader yang berhak menerima bintang jasa”.
“Berita itu pun telah sampai ke mari. Dia telah memanfaatkan demikian baiknya, sehingga kawan-kawan lainnya berusaha meneladaninya”.
“Bagus. Itu pertanda usaha kita akan berhasil”, kata Bung Ari.
Mereka tidak bicara lagi, dan bunyi ketoplak kaki-kaki kuda diselingi keliningan delman telah menggantikan pembicaraan. Tak lama kemudian delman mencapai mulut desa yang dituju. Keliningan delman semakin sering berbunyi karena makin banyaknya orang berlalu lalang di jalanan. Sampai akhirnya delman berhenti di depan kantor desa. Kedua penumpangnya turun.
Karena hari minggu, kantor desa tutup. Tetapi di depan kantor tampak dua orang piket berpakaian Hanra, dan kedua orang itu menghampiri mereka. Sementara delman yang ditumpanginya sudah balik ke arah datangnya. Nasib mujur bagi Mang Kusir yang tak lain dari Darmawan. Karena belum terlalu jauh berjalan, sudah ada penumpang lain mencegatnya, yang akan pergi ke kota kecamatan. Mereka adalah tiga pedagang kebutuhan sehari-hari, yang dalam obrolannya di sepanjang jalan bertemakan masalah ekonomi dan kebutuhan sehari-hari yang makin dirasakan sulit.
Baru saja para penumpang itu turun di tempat parkir delman di pasar kecamatan, dan Darmawan sedang menghapus keringat di lehernya dengan handuk kecil, seorang laki-laki berusia 50-an berwajah bersih dan berpakaian bagus datang menghampirinya, lalu naik delman dan duduk di sampingnya.
“Ke mana Gan?”, tanya Mang Kusir sambil menekan topi pandannya lebih dalam di kepalanya.
“Tidak ke mana-mana. Bapak ingin melemaskan kaki yang pegal, boleh kan?”, sahutnya.
“Oo silahkan. Kebetulan saya juga perlu mengistirahatkan kuda dulu”.
“Bagus kalau begitu. Memang perjalanan jauh selalu melelahkan, bukan hanya kita manusia, kuda pun perlu diberi istirahat. Itulah sebabnya Bapak memilih beristirahat pada delman ini, karena Bapak melihat tadi Mang Kusir di batas kota”.
Darmawan berpaling memandang orang itu. Sejenak mereka berpandangan. Sementara Darmawan bertanya: “Oo Agan juga dari luar kota?”.
“Ya, berolah raga. Sebagai orang sudah tua, Bapak harus banyak berolahraga. O iya, sebaiknya Mang Kusir jangan memanggil Agan kepadaku, panggil saja Bapak. Bukankah sekarang kita sudah merdeka? Panggilan Agan sudah tidak cocok untuk zaman sekarang”.
Darmawan tidak menjawab, tetapi kepalanya mengangguk kecil. Beberapa lamanya tidak ada yang bicara. Orang itu asyik mengurut-urut betisnya yang pegal. Sebenarnya Darmawan mulai berpikir-pikir tentang maksud orang di sampingnya ini. Sebab dari pertemuan pandangan tadi dia teringat, orang ini pengemudi sedan Impala yang mengejutkan kudanya di tengah perjalanan ke Desa Pasawahan tadi. Dia bisa mengenalnya, karena ketika mobil itu melewatinya, orang ini menengok ke arahnya sesaat seperti ingin mengenali wajahnya. Dalam keadaan demikian orang itu bertanya.
“Apa Mang Kusir tinggal di Desa Pasawahan?”.
“Tidak Agan...eh Bapak. Saya tinggal di sini. Hanya tadi kebetulan ada dua penumpang yang minta di antar ke Kantor Desa Pasawahan”, sahut Darmawan.
“Ke Kantor Desa? Bukankah hari Munggu kantor Desa biasanya tutup? Apa mereka datang dari jauh?”, tanyanya dengan nada heran.
“Ya Bapak. Menurut pengakuannya yang seorang joki dari Bandung untuk melatih kuda pacu”.
“O, jadi di sini banyak kuda pacu ya Mang?”.
“Sepengetahuan saya tidak ada. Entah kalau di antara tuan tanah ada yang memeliharanya. Yang saya herankan, justru mereka menyebut Mang Sarju dan Mang Gomar mempunyai kuda pacu”.
“Kenapa Mang Kusir heran?”, tanyanya.
“Sebab saya mengenal mereka sebagai bekas pekerja Juragan Camat tempat saya bekerja sekarang. Malah delman ini pun bekas pegangan Mang Sarju”.
“O, jadi Mang Kusir bekerja pada Juragan Camat?”.
“Ya Bapak”.
“Bapak percaya. Tadinya Bapak justru merasa ragu, karena bicara Mang Kusir sangat terpelajar. Rupanya Juragan Camat seorang menak asli yang sangat memperhatikan anggah-ungguh”, ujarnya sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Darmawan agak terkejut mendengar komentar orang itu atas dirinyas. Dia sendiri tidak menyadari kalau dirinya telah terpukau oleh pribadi orang itu, sehingga lupa bahwa dirinya sedang berperan sebagai tukang delman. Untunglah orang itu menafsirkannya sebagai pendidikan dari Juragan Camat. Tapi rasa terkejut itu ternyata tidak terlepas dari pengamatan orang tersebut, yang ketika bicara lagi telah merubah panggilannya terhadap Darmawan.
“Nak”, katanya, “berapa usiamu sekarang?”.
“19 tahun Bapak”, sahut Darmawan terus terang.
“Sejak kapan kau jadi kusir delman?”.
“Sekitar setengah tahun yang lalu”.
“Masih sekolah?”.
Darmawan mengangguk.
“Tentu di SMA”, katanya pula. Lalu, “kelas berapa?”.
”Baru naik ke kelas tiga Bapak”.
“Bapak yakin, tak seorang pun teman sekolahmu tahu kau bekerja jadi kusir delman. Benar kan?”
Darmawan menatap orang itu, lalu tanyanya: “Bagaimana Bapak dapat mengetahui?”.
Orang itu tersenyum, baru menyahut: “Kau selalu berusaha menyembunyikan wajahmu dengan menekankan topimu dalam-dalam. Apa karena malu?”.
Darmawan menggeleng. Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya, dan tidak menanyakan alasannya.
“Bagus, asal bukan dilandasi rasa malu, Bapak setuju kau bersembunyi dari pengetahuan teman-temanmu. Bapak juga tahu, kau sengaja memberi informasi tentang kedua penumpang delmanmu itu kepada Bapak. Kau anak yang cerdas. Terimakasih atas informasinya. Sesungguhnyalah Bapak sedang mengawasi kedua orang itu”, ujarnya pula sambil bangkit dari duduknya.
Ketika dia turun dari delman, dia menyelipkan uang ribuan dua lembar di tangan Darmawan. Darmawan terkejut dan menyodorkan kembali uang itu.
“Jangan Pak”.
“Ambil saja. Bapak sudah menghalangi orang lain yang akan menumpang delmanmu”, ujarnya tanpa menoleh lagi.
Darmawan menatap langkah-langkah orang tersebut yang menyeberangi halaman parkir.
“Siapa orang itu Wan?”, tanya suara seorang gadis yang muncul dari arah belakangnya, Pertiwi. Gadis itu langsung naik di sebelah Darmawan.
“Ah Nden mengejutkan saya”.
“Habis kau begitu asyik ngobrol, sementara kakiku sudah pegal karena lama sekali harus berdiri di depan warung”, kata Pertiwi.
”Mana saya tahu Nden berada di sini. Nden dari mana?”.
“Sengaja dari rumah ke sini. Aku ingin mencoba baju latihan yang baru. Aku tidak sabar lagi menunggu dijemput, maka aku menyusul ke sini. Bukankah kita akan berlatih di tempat khusus?”.
Darmawan tidak menyahut, tetapi dia menganggukkan kepalanya. Lalu tangannya mengedut les kuda, sementara mulutnya berdecak-decak agar kudanya berangkat. Beberapa lamanya tidak ada yang bicara, dan delman itu keluar dari pasar menyusuri jalan besar menuju ke luar kota.
“Kau belum menjawab pertanyaanku”, kata Pertiwi mmbuka percakapan.
“Pertanyaan yang mana?”.
“Orang laki-laki yang ngobrol denganmu tadi”.
“O, saya sendiri tidak mengenalnya. Tetapi saya menduga dia itu seorang intel”.
“Intel?”, tanya Pertiwi heran, “bagaimana kau bisa menduga begitu?”.
“Mulanya dia tidak berterus terang. Tetapi setelah saya sengaja memberi informasi tanpa diminta, akhirnya dia mengaku. Kalau benar apa yang dia katakan, saya punya rencana untuk meminta bantuan tentang urusan warisan almarhum bapak pungut saya”.
“Apa kau sudah tahu alamat dia?”.
“Sekarang belum. Lagi pula saya harus meyakinkan dulu, apa pengakuannya benar atau tidak?”.
“Bagaimana kau dapat mencari kepastiannya?”.
“Kalau benar, saya yakin, dalam beberapa hari mendatang akan bertemu lagi dengannya”, sahut Darmawan.
“Hamm, mudah-mudahan tidak benar”, ujar Pertiwi setengah menggumam.
Darmawan berpaling memandang Pertiwi dengan heran. “Kok Nden mendoakan jelek”, katanya.
“Sebab kalau kau bertemu lagi dengannya, maka janjimu mengizinkan aku membantu pekerjaanmu bila dalam ujian nanti kemampuanku sudah meningkat lagi, dengan sendirinya jadi batal”, sahut Pertiwi dengan nada kalem.
“Tentu tidak Nden. Yang saya perlukan dari dia adalah penyelesaiannya nanti. Sedangkan pekerjaan mengumpulkan salinan surat-surat wasiat dari tangan para pemegangnya tetap jadi tugas kita”.
“Kalau begitu, aku akan turut berdoa agar kau secepatnya bertemu lagi dengan dia”.
Darmawan tersenyum. “Ternyata niat Nden membantu saya begitu besar. Saya sungguh berterimakasih. Tetapi seperti telah saya katakan, saya baru akan mengizinkan jika kemampuan Nden sudah meningkat dari latihan dua minggu yang lalu”.
“Kau lihat saja nanti”, sahut Pertiwi dengan yakin, “dalam dua minggu ini aku telah berlatih lebih keras. Tadi malam aku mencoba berlari sepanjang pematang sawah ke bekas gubukmu di Pasirpanjang, sehingga dapat membuktikan mengapa dulu kau datang lebih dulu di tempat latihan volley dari aku yang naik kuda. Dan tadi pagi aku mencoba meloncat dari atas kuda yang sedang berlari cukup kencang”.
“Ah Nden terlalu tergesa-gesa. Pebuatan itu sangat berbahaya”.
“Jangan khawatir. Latihan itu sudah berkali-kali kulakukan secara bertahap. Kenyataannya aku berhasil tanpa cedera sedikit pun”, sahut Pertiwi.
Darmawan tidak mengomentari lagi. Sebab dia tahu, gadis itu punya perhitungan yang panjang dan juga kemauan yang sangat keras. Percuma saja dia melarangnya.
Dalam pada itu delman mereka telah bertoplak di bulak panjang di luar kota kecamatan. Tak berapa jauh dihadapan mereka tampak sebuah bukit batu yang diseputarnya ditumbuhi hutan kecil.
Sekitar setengah jam kemudian delman mereka telah sampai di pinggir hutan kecil itu. Darmawan membelokkan delmannya memasuki hutan tersebut. Ternyata di dalam hutan itu terdapat sebuah sungai yang airnya dangkal dan penuh dengan batu-batu besar. Darmawan menjalankan delmannya menyusuri pinggiran sungai, sampai akhirnya tiba di sebuah palung air terjun yang airnya tidak terlalu besar. Darmawan menghentikan delmannya di pinggir rumpun semak.
Sementara Pertiwi pergi ke balik semak untuk berganti pakaian, Darmawan mengumpulkan batu-batu sebesar telur atau lebih kecil lagi yang berserakan di sekitar tempat itu. Dalam waktu sebentar saja telah bertumpuk cukup banyak. Setelah itu dia mematahkan dua batang ranting pohon hampir sebesar pergelangan tangan sengan panjang satu meteran lebih. Pertiwi muncul dengan pakaian latihannya yang baru berwarna merah kecoklatan yang begitu serasi dengan kulitnya yang putih.
“Bagaimana?”, tanyanya sambil mengembangkan kedua tangannya.
Darmawan berpaling, dan sejenak matanya menatap gadis itu tanpa berkedip. Dia begitu terpesona, sehingga Pertiwi jadi tersenyum. Tetapi gadis itu tidak menggodanya. Dia langsung meloncat menuruni tebing sungai dengan tangan mengembang. Kain lengannya yang longgar berkibar-kibar tertiup angin, seperti sayap burung yang sedang terbang. Dalam tiga kali lompatan saja dia telah berdiri tegak di atas batu lebar pada palung sungai itu. Darmawan telah berjongkok di dekat tumpukan batu. Baru saja Pertiwi berbalik menghadap ke arah Darmawan, pemuda itu sudah mulai mengayunkan tangannya.
“Awas!”, teriaknya. Bersamaan dengan itu, tiga butir batu berturut-turut meluncur ke arah tubuh Pertiwi.
Dengan lincah Pertiwi menangkapi ketiga batu tersebut. Bahkan dia berhasil menangkap tiga batu lagi yang meluncur lebih cepat. Tiga batu berikutnya meluncur ke sebelah kiri tubuh Pertiwi, sehingga gadis itu harus meloncat menjangkaunya. Juga berhasil ditangkap semuanya. Tetapi ketika lontaran batu-batu semakin jauh dari tempatnya, ada yang tidak tertangkap, karena kurang cepat bergerak.
Tahap kedua menangkapi batu-batu yang meluncur beruntun lebih cepat dan tidak teratur arah datangnya, sehingga Pertiwi harus bergerak lebih gesit ke kiri, ke kanan, atau melambung tinggi karena batu-batunya meluncur jauh di atas kepalanya. Pada tahap ini Pertiwi benar-benar harus menguras tenaga. Hampir tak ada waktu untuk mengatur nafas, sehingga ketika selesai, dia berdiri terengah-engah dengan keringat membanjir di seluruh tubuhnya. Ada beberapa batu yang lolos dari tangkapannya.
Belum lagi nafasnya teratur baik, Darmawan meloncat turun dan langsung menyerang gadis itu dengan cepat. Maka sejenak kemudian terjadi pertarungan yang cukup seru. Berkali-kali Pertiwi harus berdesis ketika dia kurang cepat mengelak, sehingga serangan Darmawan mengenai tubuhnya, meski tidak terlalu keras. Tetapi ketika keadaan gadis itu semakin terdesak dan semakin banyak serangan yang tidak dapat dielakkannya, Darmawan meloncat balik ke tempatnya semula di atas bibir palung. Beberapa lamanya dia membiarkan gadis itu mengatur nafas.
Setelah Pertiwi tampak tenang kembali, Darmawan meloncat turun lagi sambil membawa dua tongkat yang dipersiapkannya tadi.
“Siap?”, tanyanya.
Pertiwi mengangguk. Maka Darmawan pun menyodorkan satu tongkat yang dibawanya. Pertiwi memasang kuda-kuda. Darmawan memulai serangannya dengan gerakan lamban, sehingga setiap serangannya dapat ditangkis Pertiwi. Bahkan gadis itu dapat berbalik melakukan serangan. Ketika serangan dipercepat, Pertiwi mulai mengalami kesulitan, namun sekali-sekali dia masih mampu membalas menyerang. Tetapi ketika serangan semakin cepat, dia hanya mampu bertahan.
“Awas pinggang!”, kata Darmawan memberi peringatan.
“Pertiwi berusaha menutup tempat yang diperingatkan dengan rapat. Tetapi dengan gerak tipu, Darmawan berhasil menyentuhkan tongkatnya pada sasaran itu.
“Awas pundak!”, kata Darmawan lagi. Namun dalam dua gerakan saja, sasaran itu pun dapat disentuh tongkat Darmawan.
“Awas kaki....awas tangan....awas kepala....awas leher...lepas tongkat”.
Semua yang disebutkan oleh Darmawan benar-benar dapat dikenainya, dan ketika dia mengatakan ‘lepas tongkat’, sebelum Pertiwi sempat mengeraskan genggamannya pada tongkat itu, tangannya telah kosong karena tongkatnya telah berpindah ke tangan Darmawan. Pertiwi jadi mematung, dan dalam gerakan berikutnya tubuh gadis itu telah berada dalam pelukan Darmawan dari belakang. Pertiwi menyandarkan kepalanya ke bahu si pemuda. Beberapa lamanya mereka berdiri diam tanpa bicara. Mata gadis itu mengawasi pucuk pepohonan dengan sayu, sampai akhirnya terdengar helaan nafasnya.
“Ternyata nasihatmu benar Wan”, desahnya.
“Nasihat yang mana?”, tanya Darmawan di sisi telinganya.
“Aku terlalu memforsir tenaga, sehingga hasilnya bukan lebih baik, malah menurun”.
“Mengapa Nden berpendapat begitu?”.
“Dua minggu lalu aku masih mampu mempertahankan tongkatku. Tetapi sekarang....”. Pertiwi tidak meneruskan kata-katanya.
Darmawan mengelus rambutnya dengan lembut. Lalu ujarnya: “Tidak Nden. Saya kira kemampuan Nden dalam dua minggu ini telah meningkat jauh di luar dugaan saya. Saya sendiri hampir tak percaya”.
Pertiwi melepaskan pelukan Darmawan dan membalikkan tubuhnya sehingga berhadapan dengan pemuda itu, sementara matanya memandang heran.
“Apa kau bilang? Kemampuanku telah meningkat?”, tanyanya dalam nada tak percaya.
“Tak salah Nden. Apa Nden tidak dapat merasakan samasekali peningkatan itu?”.
“Tidak”, sahutnya tegas, “baik dalam menangkap batu maupun bertarung dengan tangan kosong dan apalagi dengan tongkat, aku merasa tidak ada kemajuan. Batu yang lolos dari tangkapan lebih banyak dari dua minggu lalu. Dalam bertarung tangan kosong juga lebih banyak dikenai. Apalagi dalam bertarung dengan tongkat, sebagaimana kau lihat, aku tidak dapat mempertahankannya”.
Darmawan tersenyum, lalu katanya: “Soalnya sederhana. Dalam latihan barusan, saya mengerahkan hampir seluruh kemampuan. Dalam melemparkan batu-batu tahap akhir, saya menggunakan tenaga cadangan jauh lebih besar dan gerakan jauh lebih cepat. Juga dalam pertarungan tangan kosong dan dengan tongkat. Kalau Nden tidak merasakan peningkatan, alasannya hanya satu, kemampuan Nden itu sudah mendaging oleh seringnya dilatih, sehingga Nden tidak menyadari peningkatannya karena biasa”.
“Ah kau sengaja membesarkan hatiku”, kata Pertiwi sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Tidak Nden. Sungguh, saya berkata sebenarnya”.
“Tapi...”.
“Percayalah”, ujar Darmawan. Lalu: “Karena itu saya tidak berkeberatan lagi jika Nden bermaksud membantu meringankan beban tugas khusus saya. Sekarang saya percaya untuk melepas Nden”.
“O Wan, benarkah?”, tanya Pertiwi dengan mata bersinar.
Darmawan mengangguk. Tiba-tiba saja Pertiwi merangkul pemuda itu dengan kegembiraan yang meluap, seperti gadis kecil mendapat mainan boneka yang sangat disenanginya. Darmawan mengelus-elus rambut gadis itu dengan lembut.
“Tetapi Nden jangan berhenti berlatih. Sebab apa yang telah Nden capai sekarang baru tingkat dasar. Dalam rimba persilatan masih begitu banyaknya jenjang yang harus didaki. Apa yang saya lakukan tadi sekedar memperlihatkan bahwa, ketika kemampuan Nden sudah meningkat, kemampuan orang lain pun bahkan mungkin telah meningkat lebih jauh, sehingga peningkatan kemampuan Nden jadi lebih tidak berarti sebagaimana Nden rasakan sendiri, bukan?”, kata Darmawan menjelaskan.
“Satu pelajaran yang sangat berharga bagiku Wan. Aku pasti akan selalu mengingatnya”.
“Marilah kita pulang, agar tidak kemalaman di perjalanan”, ajak Darmawan.
Pertiwi melepaskan rangkulannya. Lalu dengan bergandengan mereka berdua menaiki tebing palung itu. Setibanya di atas, ketika gadis itu hendak berganti pakaian, Darmawan melarangnya.
“Tidak usah ganti pakaian lagi Nden”, katanya.
“Masa aku harus memakai pakaian latihan. Apa kau tidak takut rahasia kita diketahui orang?”.
“Bukan begitu Nden. Baju yang Nden pakai itu lebih mirip pakaian mode baru daripada baju silat, dan saya sangat senang melihatnya. Dengan baju itu Nden tampak semakin cantik seperti peragawati”, kata Darmawan terus terang, sehingga mata gadis itu bersinar. Karena itu dia tidak jadi berganti baju, tetapi langsung naik ke atas delman.
Tak lama kemudian delman mereka telah keluar dari belukar, mencongklang di sepanjang bulak dalam sorotan sinar matahari sore yang hangat. Tidak tampak seorang pun di sawah atau di sepanjang jalan desa itu. Nampaknya pada waktu sore demikian, orang-orang kampung telah berada di rumah masing-masing. Bulak yang membentang panjang itu keadaannya sunyi dan lengang. Satu-satunya gerakan adalah delman yang ditumpangi Pertiwi dan Darmawan.
Tetapi sekitar seperempat jam kemudian, jauh di hadapan mereka tampak dua lelaki berjalan dari arah berlawanan. Pada mulanya Darmawan tidak menaruh perhatian khusus, karena mengira mereka penduduk yang baru pulang dari kota. Namun ketika telah cukup dekat, anak muda itu melihat sikap yang kurang wajar. Langkah-langkah mereka sangat ayal-ayalan, tidak seperti orang yang pulang dari bepergian. Mereka seringkali menengok ke belakang seperti takut ada orang lain hadir di sekitar tempat itu. Pada pinggang mereka bergantung golok panjang. Darmawan menengok ke belakang, lengang.
“Nden”, katanya perlahan kepada si gadis, “nampaknya hari ini Nden harus menghadapi pendadaran yang sesungguhnya, untuk menguji tingkat kemampuan yang telah dicapai Nden tadi”.
“Pendadaran? Apa maksudmu? Apa kau akan mengujiku lagi di rumah nanti?”, tanya Pertiwi yang belum melihat gelagat jelek dari dua pendatang itu, karena jaraknya memang masih cukup jauh.
Darmawan tidak segera menyahuti pertanyaan si gadis. Dia membungkuk, membuka laci panjang di bawah tempat duduknya. Lalu mengeluarkan dua potong pipa besi berukuran setengah meteran, dan diletakkan di samping tempat duduknya, baru dia menyahut.
“Saya kira, dua orang di depan itu bermaksud mencegat perjalanan kita”.
Mendengar kata-kata itu wajah Pertiwi agak berubah. Matanya langsung memperhatikan kedua orang yang berjarak semakin dekat. Pertiwi langsung dapat melihat gelagat jelek tersebut, karena salah seorang di antara mereka berkali-kali berpaling ke bentangan bulak di belakangnya. Sedangkan yang seorang lagi melayangkan pandangannya ke sekitar tempat mereka berada. Tangan mereka bertumpu pada gagang golok.
“Bersiaplah Nden, jangan gugup. Bersikaplah sebagaimana Nden sedang menghadapi saya dalam latihan. Jangan lupa tongkatnya, karena mereka memegang golok”, bisik Darmawan.
Pertiwi mengangguk tanpa menyahut. Sementara hatinya berdebar, karena baru pertama kali itu dia menghadapi pertarungan yang sebenarnya.
“Berhenti!!!”, teriak salah seorang di antara mereka dari jarak sekitar 15 meter, sementara di tangan masing-masing teracung golok telanjang.
Darmawan menarik tali kekang kudanya agak menyentak, sehingga kuda itu agak berjingkrak. Delman berhenti dalam jarak lima meter dari kedua penghadangnya.
“Lemparkan dompet uangmu atau perhiasan apapun yang kau bawa Nona. Juga uangmu Mang Kusir, kalau kalian ingin selamat!”, teriak orang itu lagi.
Sejenak Darmawan dan Pertiwi tidak bergerak dari duduknya. Melihat sikap itu, mereka mengira kedua mangsanya ketakutan setengah mati.
“Cepaat!!”, teriaknya lagi dengan nada menakutkan.
Hampir bersamaan, Pertiwi dan Darmawan turun dari delman sambil masiin-masing memegang tongkat besi yang telah dipersiapkan tadi. Mulanya kedua penghadang itu mengira karena ketakutan, kedua mangsanya lupa bahwa mereka hanya disuruh melemparkan uang dan perhiasan, bukan disuruh turun. Tetapi di saat lainnya, ketika di tangan kedua mangsanya memegang tongkat besi, mereka baru menyadari bahwa mangsanya bermaksud melawan. Kesadaran akan hal itu membuat keduanya jadi terkejut, sehingga untuk sejenak mereka terpaku.
“Aku tidak punya uang atau perhiasan, kecuali tongkat ini”, desis Pertiwi sambil megacungkan tongkat yang dipegangnya, “kau mau?”, sambungnya pula.
“Setan! Kalian berani melawan ya?!”, bentak penghadang yang menghadapi Pertiwi dengan wajah semburat merah karena marahnya. Mampuskan keduanya!”.
Bersamaan dengan kata terakhir, dia menerjang Pertiwi dengan golok teracung. Sedang kawannya juga serempak menerjang Darmawan yang sudah berada di dekatnya. Terdengar dentangan besi beradu keras hampir serempak. Darmawan tidak balas menyerang. Dia hanya bergeser-geser mempertahankan diri, sementara perhatiannya lebih tertuju kepada pertarungan Pertiwi. Sebab dia ingin melihat, cara gadis itu menghadapi pertarungan yang sesungguhnya.
Hasil dari latihan yang sungguh-sungguh dan keras selama beberapa bulan yang dilakukan Pertiwi, ternyata membuahkan kemampuan yang mengejutkan lawannya. Karena gadis itu samasekali belum mengalami pertarungan yang sesungguhnya, begitu pertarungan dimulai, dia telah mengerahkan segenap kemampuannya. Lawannya demikian terkejut karena merasakan tenaga gadis itu demikian besarnya, sehingga hampir saja golok yang dipegangnya terlepas.
Karena rasa terkejutnya, orang itu jadi lengah sesaat. Kelengahan lawannya telah dimanfaatkan Pertiwi sebaik-baiknya. Dia mengayunkan tongkatnya mendatar menghantam lambung lawan dengan telak, diiringi pekikan kesakitan. Orang itu membungkuk oleh rasa sakit yang hampir tak tertahankan dengan mulut menyeringai, dan tangannya menekap lambungnya yang terhantam. Dalam keadaan membungkuk demikian, benar-benar merupakan sasaran empuk bagi Pertiwi yang bergerak gesit. Detik berikutnya, tongkat besi Pertiwi menghantam tengkuk lawan dengan keras, sehingga terdengar bunyi berdetak dari beradunya besi dengan tulang. Sekali lagi terdengar pekik kesakitan lebih keras, dan tubuh lawan Pertiwi ambruk di tanah.
Pertiwi berdiri mengangkang kakidalam keadaan siaga penuh. Matanya mengawasi tubuh lawannya dengan tajam. Namun sampai sekian lama tubuh itu tetap membujur di tanah, dari mulutnya terdengar erangan kesakitan, menandakan orang itu masih hidup namun tidak mampu atau tidak ada kehendak untuk melawan lagi. Barulah Pertiwi berani mengalihkan perhatiannya pada pertarungan Darmawan.
Dalam pada itu, ketika lawan Darmawan mendengar pekik kesakitan kawannya, hatinya benar-benar terkejut, sehingga dia tertegun sejenak. Darmawan yang telah mengetahui pertarungan Pertiwi berakhir, menggunakan kesempatan itu untuk merampas golok lawannya, sambil menyelipkan tongkat besinya di pinggangnya. Sebelum lawannya menyadari goloknya telah berpindah tangan, sisi telapak tangan Darmawan telah menghantam pelipisnya dengan telak. Sedetik kemudian dengan mengaduh pendek, tubuh orang itu pun ambruk di tanah tanpa bergerak lagi, pingsan.
Tanpa membuang waktu lagi, Darmawan menyeret tubuh lawannya ke pinggir jalan. Selesai itu, dia menghampiri lawan Pertiwi yang masih mengerang-erang, dan menyeretnya pula, dibaringkan di sisi kawannya bersama dua golok mereka. Pertiwi masih mematung di tempatnya. Hanya matanya saja yang mengikuti segala gerak-gerik Darmawan sampai selesai. Gadis itu terlalu terkejut oleh hasil pertarungan pertamanya yang berlangsung demikian cepat tanpa kesukaran.
“Mari Nden. Kita lanjutkan lagi perjalanan kita”, ajak Daramawan sambil melangkah ke delmannya.
Tanpa berkata Pertiwi melangkah perlahan dan naik ke atas delman. Sampai delman itu bergerak meninggalkan tempat perkelahian, Pertiwi masih duduk mematung. Beberapa lamanya Darmawan masih membiarkan gadis itu sibuk berdialog dalam hatinya sendiri. Tetapi seperti mendengar apa yang sedang didialogkan hati si gadis, akhirnya Darmawan berkata.
“Sesungguhnya Nden, mereka hampir tidak punya kemampuan silat atau kemampuannya masih amat rendah. Mereka hanya garang di luarnya, karena berbadan besar dan memegang golok, sehingga bila berhadapan dengan orang yang punya kemampuan silat, mereka pasti dapat dikalahkan. Apalagi menghadapi orang yang punya kemampuan setingkat Nden. Tetapi bagi orang kebanyakan, sikap garang mereka sudah cukup membuat mangsanya ketakutan setengah mati, sehingga mereka akan memperoleh apa yang dimintanya tanpa kesukaran”.
“Ya, akupun tadi demikian takutnya. Kalau tidak ditemani olehmu, mungkin aku akan mengikuti kemauannya, memberikan apa yang dimintanya, tanpa berani mencoba melawannya”, sahut Pertiwi.
“Karena itu, begitu bertarung Nden langsung menyerang dengan segenap kemampuan agar tidak didahului olehnya, bukan?”.
Pertiwi mengangguk. Darmawan tersenyum.
“Nden”, katanya dengan nada lembut, “andaikata Nden tidak dirusuhkan oleh ketakutan, sebenarnya perkelahian tadi dapat dijadikan latihan untuk mencari pengalaman. Meski saya sedang menghadapi lawan, saya akan berusaha agar Nden tidak mengalami cedera. Karena itu seharusnya Nden menjajagi dulu sampai di mana tingkat kmampuan lawan, tidak langsung menyerang dengan tenaga penuh. Sebab, jika lawan Nden kebetulan orang berkemampuan, serangan-serangan Nden akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menguras tenaga Nden. Sehingga sekalipun kemampuan sebenarnya berada di bawah kemampuan Nden, ada kemungkinan dia akan berhasil mengalahkan Nden”.
“Tadi aku benar-benar ketakutan melihat kegarangan dan goloknya, sehingga pikiranku beku samasekali”, sahut Pertiwi.
“Saya mengerti. Tetapi kalau saja perhatian Nden tidak terpusat pada golok dan kegarangannya, tentu Nden akan melihat perubahan wajahnya ketika melihat kenyataan mangsanya berani melawan. Dari perubahan wajah itu kita bisa menilai bahwa sebenarnya hati mereka dijalari rasa takut. Ini mengandung arti, mereka sudah meragukan kemampuan dirinya. Keraguan itu menunjukkan bahwa sebenarnya kemampuan yang dimilikinya tidak meyakinkan atau rendah. Dengan demikian kita dapat memperhitungkan langkah yang dapat kita tempuh”.
“Terimakasih atas nasihatmu Wan”.
“Tetapi meskipun kita sudah menduga ketidakmantapan lawan, sekali-kali jangan timbul anggapan sepele. Kita harus tetap hati-hati dan bersungguh-sungguh. Sebab perkiraan kita tentang kemampuan lawan itu sifatnya nisbi. Bisa saja lawan kita merasa kemampuannya lebih rendah karena melihat sikap kita lebih mantap, padahal mungkin memiliki kemampuan lebih tinggi dari kita”.
“Aku mengerti”.
Darmawan tidak bicara lagi, sehingga untuk beberapa lamanya yang terdengar hanya bunyi toplak kaki-kaki kuda yang berirama. Matahari masih memancarkan sinarnya yang mulai mendingin ketika mereka memasuki batas kota, karena telah rendah di ufuk barat.
“Kapan aku akan mulai dapat tugas Wan?”, tanya Pertiwi memulai percakapannya lagi setelah tidak terlalu jauh lagi dari kantor kecamatan.
“Tunggulah beberapa hari lagi Nden. Sementara ini saya akan melepaskan dulu soal surat wasiat itu, karena ada masalah baru yang perlu dijejaki”.
“Apa bukan soal tamu dari Bandung yang datang tadi pagi?”.
“Benar Nden. Saya tertarik karena orang itu mempunyai hubungan dengan Mang Sarju dan Mang Gomar”, sahut Darmawan.
“Kalau begitu, bukankah kau bisa memberi tugas kepadaku untuk mengawasi Mang Sarju dan Mang Gomar? Sementara kau dapat menyelusuri yang lainnya”.
Darmawan tidak segera menjawab. Sebenarnya dia belum berani melepaskan gadis itu seorang diri, sebab belum punya pengalaman samasekali. Karena itu akhirnya dia memutuskan untuk mengajaknya bersama-sama.
“Begini saja Nden”, kata Darmawan, “lepas isya tunggu saya di ujung jalan besar ke arah rumah Mang Sarju. Saya yakin, malam ini akan ada pertemuan sehubungan dengan kedatangan tamu itu. Tetapi saya belum tahu, di rumah siapa pertemuan diadakan. Jadi kita akan memulai dari rumah Mang Sarju”.
“Baik”, sahutnya dengan gembira, “aku akan menunggumu di pematang dekat pohon muncang”.
“Ya di situ saja. Jangan lupa, Nden harus memakai penutup wajah, dan hati-hati, jangan sampai ada orang rumah yang tahu”.
Pertiwi mengangguk. “Jangan khawatir, aku akan memperhatikan semua nasihatmu. Soal penutup kepala, aku sudah beberapa hari menyimpan kupluk, karena aku pernah melihatmu memakai kupluk ketika keluar rumah diam-diam”.
Mereka tidak bicara lagi, karena sudah sampai di depan kantor kecamatan. Seperti biasa, delman itu melalui samping kantor dan berhenti di depan pondok Darmawan. Setelah Pertiwi turun, Darmawan langsung melepas kuda delmannya, dan memasukkannya ke kandang. Dia langsung bekerja mengurus kuda dan makanannya. Sementara hari terus merambat semakin gelap. Pertiwi berdiri di depan jendela kamarnya memperhatikan Darmawan yang keluar kandang kuda dan berjalan ke arah pondoknya. Begitu Darmawan masuk ke pondoknya, dia pun menjangkau daun jendela kamarnya dan menutupnya perlahan-lahan.

--0--


Dengan perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara, tangan Pertiwi mendorong daun jendela kamar-nya. Keadaan diluar sangat gelap. Sejenak tubuh gadis itu mematung di depan jendela memperhatikan keadaan sekitar. Telinganya dipertajam untuk mendengarkan. Setelah yakin tidak ada gerakan yang mencurigakan, dengan lincah tubuhnya meloncat ke luar, dan menutupkan kembali daun jendela itu.
Dia berjalan perlahan sepanjang bagian samping kantor kecamatan. Tetapi sebelum sampai ke ujung depan, dia meloncati pagar samping berupa tetumbuhan yang tingginya hampir satu meter. Jalan yang dilaluinya adalah yang selalu dilalui dia dan Darmawan sejak pertama kali dirinya diberi kesempatan turut bertualang malam seminggu yang lalu. Karena itu tanpa kesulitan samasekali, dia dapat bergerak cepat pergi ke tempat menunggunya tempo hari di ujung jalan kota, meski keadaan cukup gelap.
Setibanya di pematang dekat pohon muncang, Pertiwi berhenti. Ternyata Darmawan belum ada. maka dia mencari tempat duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah untuk menunggu. Malam ini mereka akan pergi ke Pasirpanjang untuk menyaksikan pembukaan latihan yang telah direncanakan Mang Sarju dan kawan-kawannya, sebagaimana didengarnya pada rapat mereka seminggu yang lalu. Tanpa harus menanti terlalu lama, orang yang dinantinya pun telah muncul.
“Mari Nden”, ajak Darmawan tanpa menghentikan langkahnya langsung menyusuri pematang sawah dengan gerakan cepat. Tanpa menyahut Pertiwi pun mengikutinya.
Setelah berlatih keras sekian bulan, Pertiwi dapat mengikuti langkah-langkah Darmawan tanpa mengalami kesulitan. Setengah jam kemudian mereka telah mendekati gubuk dangau bekas tempat tinggal Darmawan. Sejak dari jauh mereka telah melihat cahaya senter yang sekali-sekali disorotkan dari arah dangau. Karena itu, ketika telah semakin dekat ke dangau, Darmawan dan Pertiwi menundukkan tubuhnya lebih rendah dari juluran tegaknya pohon padi yang sudah mulai menguning.
Ketika sampai di ujung pematang di pinggir jalan. Tiba-tiba orang yang berada di tepas dangau menyorotkan senternya tepat ke arah Darmawan dan Pertiwi. Darmawan yang bergerak di depan langsung menjatuhkan tubuhnya menelungkup di pematang dengan hati berdebar, Pertiwi yang masih terhalang oleh rumpun pohon padi pun berhenti sambil berjongkok. Beberapa lamanya sorotan senter itu tetap mengarah ke tempat Darmawan menelungkup. Tetapi kemudian sorotannya bergeser menjauh. Darmawan menghela nafas. Terlambat sedetik saja menjatuhkan diri, pasti kehadirannya diketahui.
“Hati-hati Nden. Mereka selalu mengawasi sekitar tempat ini”, bisik Darmawan. Lalu dia meloncat ke balik pohon di pinggir jalan. Tak lama kemudian Pertiwi pun telah berada di sampingnya.
Beberapa lamanya mereka tidak bergerak sementara matanya memperhatikan tepas dangau. Di pertengahan tepas tampak tiga laki-laki melingkari sebuah lampu. Nampaknya mereka sedang ngobrol, terlihat dari gerakan tangannya yang kadang-kadang diangkat. Tapi karena jaraknya cukup jauh, mereka tidak dapat mendengar apa yang sedang dibicarakan.
Darmawan merogohkan tangan ke balik bajunya, mengambil kupluk dan langsung dipakai, sehingga wajahnya tidak terlihat lagi, kecuali sepasang matanya. Melihat itu Pertiwi juga merogoh kupluknya dan mengenakannya pula.
“Nden tunggu sebentar di sini. Saya ingin tahu apa yang mereka percakapkan. Siapa tahu ada hal yang penting”, katanya sambil bergeser di sepanjang kemiringan pinggir jalan.
“Hati-hati Wan”, bisik Pertiwi.
Setelah terhalang dinding dangau dari pandangan ketiga orang di tepas dangau, Darmawan merayap menyeberangi jalan. Dia mengendap-endap di antara rumpun semak dan tiba di pojok dinding belakang dapur. Darmawan terkejut ketika telinganya mendengar dengus nafas cukup keras dari dalam kamar bekas tempat tidurnya ketika dia meninggali dangau itu.
“Nyai...Nyai...o Nyai...”, terdengar suara lelaki di antara dengus nafasnya.
“Kang...aih...kang, kenapa cepat amat?”, balas suara lirih perempuan, “kok akang ini loyo banget. Katanya akang joki kawakan. Mana buktinya?”.
Darmawan yang berjongkok di luar bilik hatinya berdesir dan sesuatu menyemburat di wajahnya. Sementara itu terdengar pula suara desah yang lelaki.
“Loyo apa? Masa setengah jam dikatakan loyo? Sungguh baru sekarang aku menemui kuda binal seperti Nyai”.
“Jadi bagaimana? Apa aku bisa dibawa ke Provinsi?”.
“Pasti Nyai. Kau sudah pasti akan kubawa jika aku pulang nanti. Malah aku yakin, kau akan segera dikirim ke Pusat untuk memperoleh kuda emas”.
“Ng...aku jadi tidak sabar. Kapan kita berangkat?”.
“Empat hari lagi. Akang ingin melihat dulu ketahanan Nyai dalam pesta harum nanti”.
“O...menyenangkan sekali. Akang lihat saja nanti. Akan kujatuhkan semua joki penunggangku”.
“Baiklah. Kalau begitu panggilkan Bung Yeye kemari”, ujar si lelaki.
“Terdengar suara deritan palupuh, lalu bunyi pintu dibuka, diikuti suara perempuan memanggil salah seorang lelaki yang berada di tepas.
“Kang Yeye”, panggilnya, “Kang Ari memanggilmu”.
Langkah-langkah berat menghampiri sampai di dekat tempat Darmawan berjongkok.
“Ada apa Bung Ari”, tanya suara lelaki yang baru datang.
“Bagaimana persiapan di tempat latihan sudah selesai?”.
“Kukira belum. Kalau sudah selesai pasti Bung Sarju mengirim orang kemari”, sahut suara lelaki yang dipanggil Bung Yeye.
“Ngng...kalau begitu suruh saja seorang kawan di sini agar Bung Sarju mempercepat persiapannya”.
“Baiklah. Aku akan kirim Bung Adam ke sana”, sahutnya sambil berlalu.
Darmawan tidak menunggu lagi, karena ternyata tidak ada pembicaraan yang penting, kecuali pembukaan latihan akan segera dilaksanakan. Karena itu dia menyelinap menjauhi dangau dengan cara seperti datangnya tadi. Dia menghampiri Pertiwi yang tetap menunggu di tempatnya di balik pohon.
“Ada yang penting?”, tanya Pertiwi.
“Ya. Nampaknya kita tengah berurusan dengan orang-orang yang hidupnya lebih mirip binatang”.
“Apa maksudmu Wan?”.
“Mari kita segera mengintai tempat latihan mereka. Saya kira di sana Nden akan mengerti sendiri”, sahutnya sambil terus merayap ke arah yang berlawanan dari datangnya barusan, dan makin menjauhi dangau. Dengan penuh pertanyaan Pertiwi pun mengikutinya.
Keadaan malam itu tidak terlalu gelap, karena di langit menggantung Bulan yang hampir sebelah. Karena itu Darmawan tidak berani menyeberang terlalu dekat ke dangau. Untung padi di sawah sekitar dangau sedang menguning, menghalangi gerakan mereka dari pandangan orang di dangau.
Setelah berada cukup jauh, Darmawan baru menyeberang jalan dengan merayap diikuti Pertiwi, lalu meloncat ke pematang. Untuk mencapai hutan kecil di belakang dangau mereka mengambil jalan melambung. Ketika telah berada sejajar dengan hutan, mereka melihat kobaran unggun api dari dalam hutan. Tetapi Darmawan tidak langsung menghampiri. Mereka masih terus menjajari hutan beberapa lamanya sampai kobaran unggun lenyap dari pandangan terhalang hutan, baru mereka mendekati hutan. Dengan cara demikian, mereka datang ke unggun dari arah yang berlawanan dengan letak dangau.
Dari jarak 50 meter, mereka sudah dapat melihat tempat latihan. Sebuah lapangan luas yang sengaja dibuat dengan cara menebangi beberapa pohon. Di dua pinggir lapangan tampak bangunan barak panjang. Di tengah lapangan adalah unggun besar. Di dua pinggir lapangan yang tidak ada baraknya tampak beberapa gelondong pohon yang dijadikan tempat duduk tidak kurang dari 40 orang, semuanya anak-anak muda berusia rata-rata antara 20 hingga 30-an tahun. Di depan barak juga ada gelondong batang pohon yang diduduki tidak kurang dari 10 wanita muda. Sungguh sayang, Darmawan dan Pertiwi tidak dapat melihat wajah orang-orang yang duduk membelakangi tempat mereka mengintai. Sedangkan wajah orang-orang yang duduk menghadap ke arah mereka, tak seorang pun yang dikenalnya.
“Kita mendekat sedikit lagi agar bisa mendengar jelas yang mereka percakapkan”, bisik Darmawan.
Pertiwi mengangguk. Mereka merayap lagi di balik bayang-bayang pohon sampai jarak sekitar 15 meter dari lingkaran orang-orang itu. Mereka tidak dapat lebih dekat lagi, karena pada jarak 10 meter dari lingkaran itu sudah tidak ada pohon untuk dijadikan tempat berlindung.
Tiba-tiba dari salah satu di antara dua gubuk di samping barak muncul empat lelaki. Yang dua orang sudah dikenal Darmawan, yaitu Mang Sarju dan Bung Ari, tamu dari Bandung. Tetapi yang dua orang lagi baru dilihatnya. Keempat orang itu maju ke tengah lapangan. Mang Sarju memperkenalkan ketiga kawannya.
“Kawan-kawan”, katanya memulai, “sebelum membuka acara pokok, baiklah kuperkenalkan dulu tiga tamu penting kita yang akan menjadi pengarah latihan sebulan ini. Ketiga Bung ini adalah Bung Ari dari Bandung”, katanya sambil menunjuk orang yang dikenalkannya. Lalu sambungnaya: “Bung Ingi, juga dari Bandung, dan Bung Sukri dari Jakarta”.
Sejenak Mang Sarju berhenti bicara. Tak seorang pun dari para hadirin yang membuka suara. Mang Sarju meneruskan kata-katanya.
“Baiklah, untuk mempercepat waktu, kita akan langsung membuka acara ini yang akan dijelaskan Bung Ari dari Partai”.
Bung Ari mengepalkan tinjunya dan diangkat tinggi-tinggi.
“Hidup PKI!”, teriaknya.
“Hiduuup!!!”, sambut para hadirin serempak sambil mengacungkan tinjunya.
“Hidup Pemuda Rakyat!”.
“Hiduuup!!!”.
“Hidup Gerwani!”.
“Hiduuup!!!”.
“Terimakasih”, kata Bung Ari. “Kawan-kawan! Aku mengucapkan selamat pada kalian semua. Karena kalian diberi kepercayaan oleh pimpinan di pusat sebagai kader-kader terpercaya menjadi ujung tombak pelaksana rencana besar partai di Kabupaten ini. Pimpinan pusat telah menunjuk kalian sebagai pelopor. Keberhasilan latihan sebulan yang akan dilakukan, akan dijadikan contoh untuk latihan yang sama di tempat lain. Karena itu kalian harus sungguh-sungguh berlatih. Sanggup?!!!”.
“Sangguuuup!!!”.
“Bagus! Dalam beberapa hari ini kami telah menyusun rencana latihan yang mungkin akan dijadikan tradisi latihan di tempat-tempat lain, hingga saatnya rencana besar partai dilaksanakan. Kita harus mendukung kelanggengan Pembesar Revolusi kita Bung Karno. Hidup Pembesrev!”.
“Hiduuup!!!”.
“Pemuda Rakyat adalah pejuang-pejuang tak kenal takut dalam membela nasib rakyat kecil, kaum buruh-tani. Pemuda Rakyat berani berjuang sampai titik darah yang penghabisan”.
“Hidup Pemuda Rakyat!!!”.
“Tetapi jangan lupa pengorbanan para srikandi kita dalam mendukung perjuangan kalian. Coba perhatikan wajah-wajah cantik yang tegar itu”.
Serentak semua hadirin berpaling ke arah para wanita yang duduk berderet dengan wajah tengadah. Sementara Bung Ari melanjutkan kata-katanya”.
“Mereka hadir di sini, sejak malam ini hingga latihan berakhir, bukan untuk bermanja-manja, tetapi untuk turut berlatih. Di samping lain, mereka juga telah merelakan dirinya demi keberhasilan perjuangan ini dengan segala miliknya. Mereka telah merelakan dirinya untuk menghibur kalian kapan saja kalian membutuhkan. Mereka sudah bukan milik perorangan lagi, tetapi milik kita bersama, milik setiap orang yang hadir di sini. Mereka telah menghayati arti perjuangan samarata-samarasa yang sesungguhnya. Setiap saat sejak malam ini mereka siap melayani kebutuhan setiap diri kalian pada saat-saat istirahat latihan. Mereka adalah srikandi-srikandi kita”.
“Hidup Gerwani!!!”.
“Partai telah memberi kepercayaan penuh kepada Bung Sarju dan kawan-kawan yang melatih kalian dalam menilai pengabdian kalian terhadap Partai. Untuk tahap pertama, tiga orang terbaik dari kalian akan mendapat bagian tanah garapan. Sementara bagi para srikandi, tiga yang terbaik akan mendapat piala kuda emas, dan akan dibawa ke pusat untuk jadi kuda pacu terhormat. Bila rencana besar berhasil, kalian semua akan menduduki jabatan sesuai dengan tingkat pengabdiannya terhadap partai. Karena itu berlatihlah dengan sungguh-sungguh agar perjuangan kita behasil. Hidup PKI!!!”.
“Hiduuup!!!”.
“Hidup Pemuda Rakyat!!!”.
“Hiduuup!!!”.
“Hidup Gerwani!!!”.
“Hiduuup!!!”.
“Terimakasih”, kata Bung Ari. “Sebagai tanda resminya latihan ini dibuka, kita akan mengadakan upacara khusus tari harum, diteruskan dengan pesta harum semalam suntuk. Untuk itu pelaksanaannya kuserahkan kepada Bun Sarju”.
Semua hadirin bersorak riuh. Darmawan menyentuh pundak Pertiwi untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mengendap-endap mereka menjauhi melalui jalan yang dilewatinya ketika datang tadi.
“Mengertikah Nden, apa yang disebut tari harum dan pesta harum tadi?”, tanya Darmawan sementara mereka berjalan di pematang.
“Aku yakin, tari harum adalah tari bugil, sedangkan pesta harum...hmm perzinahan masal”.
“Itu sebabnya saya katakan hidup mereka mirip binatang. Mereka sudah tidak menghargai moral samasekali yang menjadi ciri utama manusia. Ternyata dangau bekas tempat tinggal saya juga telah digunakan mereka sebagai tempat maksiat itu. Tadi saya memergoki orang yang bernama Bung Ari tengan melakukannya dengan Nyi Icih, bekas isteri Juragan Sukarta. Sungguh laknat perbuatan mereka. Nyi Icih adalah perempuan yang duduk paling sisi di dekat pintu barak tadi”.
“Dia memang perempuan cantik”, sahut Pertiwi, “aku juga mengenali dua perempuan lainnya, isteri Mang Sarju dan isteri Mang Gomar. Aku tidak mengerti pandangan mereka tentang hidup berumah tangga”.
“Saya kira kita baru akan mengerti kalau kita sendiri telah berubah jadi binatang”.
“Ngng...”. Pertiwi hanya menggumam. Ruapanya dia hendak mengomentari perkataan Darmawan, tetapi tidak jadi.
“Apa Nden tidak sependapat?”.
“Pada akhirnya kukira pendapatmu benar”, sahut Pertiwi.
“Kenapa pada akhirnya?”.
“Sebab apa yang kita lihat hanya cara untuk mencapai tujuan sistem. Tujuan itu sangat bergantung pada hasil pemikiran para penggeraknya. Sebagaimana yang dikatakan Bung Ari bahwa mereka yang membuat rencana itu, yang akan dijadikan contoh tradisi di tempat-tempat lain. Pemikiran itu timbul karena dasar sistemnya yang menghalalkan cara dalam mencapai tujuan, yang tidak punya batasan moral sebagai satu-satunya ciri pembeda manusia dengan hewan. Dengan dibuangnya ciri itu dari sistem, akhirnya memang, kita tidak akan beda dengan binatang”.
“Bukan main”, ujar Darmawan dengan kagum, “saya harus takluk pada Nden, karena pemikiran saya tidak sampai sejauh itu”.
“Ah kau”, desah Pertiwi.
“Sungguh Nden. Penjelasan Nden barusan menunjukkan bakat ahli debat atau politikus. Nden dapat menyimpulkan masalah dari pembicaraan orang yang dalam selintas seperti kurang bernilai”.
“Sudahlah. Yang mengejutkanku justru hadirnya orang yang seperti telah kukenal”.
“Siapa?”.
“Aku tak begitu yakin. Soalnya dia duduk memunggungiku. Aku hanya melihat sekilas wajahnya ketika dia berpaling ke arah deretan perempuan. Dia mirip si Angga”.
“Maksud Nden, Den Angga putera...”.
“Ya”, sahut Pertiwi sebelum Darmawan menyelesaikan kata-katanya.
Darmawan tidak berani mengomentari dugaan gadis itu, karena dia tahu, Raden Angga itu masih keluarga Pertiwi meski jauh. Pertiwi pun nampaknya tidak ingin membicarakan lebih jauh, sehingga percakapan mereka berhenti. Sementara itu langkah mereka sudah hampir sampai di jalan.
“Nden, percepat jalannya. Rasanya saya seperti mendengar suara orang mengikuti kita”, tiba-tiba Darmawan berbisik sambil menyentuh punggung Pertiwi yang berjalan di depan.
Hati Pertiwi berdesir. Dia sendiri tidak mendengar suara itu. Tetapi dia percaya pada ketajaman pendengaran Darmawan. Karena itu dia mempercepat langkahnya.
“Mungkinkah dia mendengar percakapan kita?”, tanya Pertiwi.
“Mudah-mudahan tidak”, sahut Darmawan, “suara itu baru saja terdengar dan datang dari pematang lain. Begitu tiba di jalan, kita sembunyi di balik pohon terdekat”.
Begitu tiba di pinggir jalan, Pertiwi dan Darmawan berlari ke arah pohon dan bersembunyi di baliknya. Mereka menanti sambil memperhatikan arah dari mana mereka datang. Dalam keremangan cahaya bulan, muncul sosok hitam di antara batang-batang padi, dan meloncat ke jalan. Orang itu melihat ke kanan-kiri seperti ada yang tengah dicarinya.
“Saudara berdua”, tiba-tiba orang itu bicara sendiri tanpa melihat ke arah persembunyian mereka, “siapapun adanya kalian, aku yakin, kita di pihak yang sejalan, karena saudara hadir bersembunyi di sekitar api unggun. Karena itu silahkan Anda berdua keluar dari persembunyian”.
Darmawan dan Pertiwi tidak bergerak samasekali. Sebenarnya Darmawan sudah percaya kepada orang itu. Sebab kalau dari pihak mereka, tentu akan mengerahkan orang-orangnya. Tetapi dia ingin meyakinkan dulu.
“Aku yakin, saudara berdua masih ada di sini. Marilah saudara-saudara, kita berkenalan. Siapa tahu kita dapat memadukan informasi yang diperoleh masing-masing”, ujar orang itu lagi.
“Nden. Dia adalah orang yang menemui saya di pasar minggu lalu. Saya kenal suaranya”, bisik Darmawan, “Baiklah kita menemuinya. Tapi Nden jangan mendekat”.
Darmawan dan Pertiwi keluar dari balik pohon. Darmawan menghampiri sambil membuka kupluk, sehingga orang itu dapat mengenalinya. Tetapi Pertiwi hanya berdiri di dekat pohon.
“Selamat malam Bapak”, sapa Darmawan.
“Ah kiranya kamu Nak. Selamat malam”, sahutnya, “sungguh tak sangka kita akan bertemu lagi. Apa tadi kamu hadir sejak upacara dimulai?”.
“Ya Bapak”.
“Hmm, ternyata kau lebih gesit dari Bapak dalam menyusuri jejak mereka. Bapak baru saja datang ketika upacara hampir selesai. Maka Bapak mengejar kalian untuk mendapat informasi lebih lengkap. Bagaimana?”.
“Baiklah Pak. Sesungguhnya memang saya mengharapkan bertemu lagi dengan Bapak, karena saya mempunyai masalah yang tidak tahu bagaimana menanganinya”, sahut Darmawan.
“Jadi tempo hari itu kau sengaja memberi informasi, begitu?”.
“Ya Pak”.
“Bagaimana kau mengetahui Bapak sedang mengawasi penumpang delmanmu?”, tanyanya heran.
“Sebab Bapak pengemudi sedan yang mengejutkan penumpang saya”, sahut Darmawan.
“Bukan main”, gumamnya kagum, “ternyata kau anak yang sangat cerdas”.
“Ah bukan begitu Pak. Soalnya...”.
“Sudahlah, Bapak mengerti”, ujarnya sambil tersenyum, “nah, apa yang bisa Bapak bantu?”.
“Maaf Pak. Sebaiknya tidak di sini karena masalahnya cukup banyak dan rumit”.
“Maksudmu punya kaitan dengan yang kita lihat tadi?”.
Darmawan mengangguk. “Benar Pak”.
“Bagus”, kata orang itu dengan gembira, “kalau begitu kalian Bapak tunggu di penginapan Betah kamar 5, besok pukul 11. Nama Bapak Abdurrakhman. Setuju?”.
“Baik Pak. Sekarang kami permisi dulu karena sudah terlalu larut”.
“Silahkan”.
Darmawan berbalik menghampiri Pertiwi. Mereka berlalu menyeberang jalan, meloncat ke pematang menerobos sawah, diawasi oleh orang itu yang hampir tak mempercayainya bahwa di zaman sesulit ini masih ada anak-anak muda yang tanpa ikatan apapun selain dorongan kebajikan moralnya, menerjunkan diri berjuang tanpa pamrih di antara cakar-cakar raksasa yang saling jegal. Tapi kemudian dia mengangguk-anggukkan kepala, seolah menemukan hal yang amat berharga.
“Aku harus mendapat keyakinan dulu. Siapa tahu yang muncul itu hanya tipuan”, gumamnya.

--0--


Lima
Darah Keturunan
“Mengapa harus meyakinkan dulu Nden? Saya sudah yakin benar kok. Alasan paling kuat ialah kenyataan diri saya. Apa untungnya dia menipu seorang kusir delman yang miskin seperti saya?”, sahut Darmawan sementara delmannya mencongklang di jalan menuju pasar kecamatan.
“Mulanya memang tidak. Tetapi setelah melihat surat wasiat itu, bisa saja pikirannya berubah. Dia bisa berjanji didepan kita akan membantu melaksanakan amanat itu. Tetapi siapa tahu dia menguruskan untuk dimiliki dirinya sendiri”.
“Tidak mungkin Nden. Bukankah surat itu dibuat didepan Notaris? Tentu di Notaris ada salinannya.
“Ngng...benar juga. Sewaktu-waktu kita dapat mengeceknya ke Badan-Badan sosial yang berhak”, kata Pertiwi seperti merencanakan pengawasan pelaksanaan surat wasiat itu. Darmawan mengangguk.
Tak lama kemudian delman mereka telah sampai di pasar. Darmawan memparkirnya di antara deretan delman-delman lain.
“Nden”, kata Darmawan sambil turun dari delman membawa bungkusan baju, “silahkan tunggu di penginapan, saya akan berganti pakaian dulu”.
Pertiwi mengangguk tanpa menyahut. Darmawan masuk ke pasar, sedangkan Pertiwi menuju jalan raya dan menyeberang. Penginapan Betah satu-satunaya penginapan di kota kecamatan itu. Letaknya tidak jauh dari terminal di sisi pasar. Pertiwi langsung masuk penginapan. Beberapa tamu penginapan tampak sedang duduk-duduk di ruang tamu, ada yang sedang ngobrol, sedang membaca buku, ada pula yang sedang main catur.
Sejenak Pertiwi mematung di ruang tamu. Dia baru menyadari kalau dirinya tidak berkepentingan langsung dengan orang yang akan ditemuinya, sehingga jadi ragu untuk menanyakan kepada petugas informasi. Akhirnya dia duduk di kursi tamu yang kosong untuk menunggu Darmawan.
Mulanya Pertiwi tidak menyadari kalau kehadirannya telah menarik perhatian semua orang yang ada di situ. Wajah mereka semua menyiratkan kekaguman pada kecantikan gadis itu. Tingkahnya yang nampak ragu-ragu menimbulkan berbagai dugaan yang tidak pada tempatnya. Yang punya kawan menanggapinya dengan saling berbisik. Dia baru sadar jadi perhatian semua orang, ketika matanya menyapu seluruh ruangan. Orang yang membaca buku dengan cepat menunduk pada bukunya ketika mereka bertemu pandang. Begitu pula yang lainnya. Tetapi ketika pandangan Pertiwi telah berpindah ke arah lain, mereka kembali memperhatikannya. Hal itu membuat wajah Pertiwi berona merah.
Untunglah keadaan tertolong petugas penerima tamu penginapan yang datang menghampirinya. Pertiwi sendiri tidak kenal petugas itu, tetapi sebagai gadis kembangnaya kecamatan, ternyata petugas itu mengenalnya. Rupanya dia menangkap tingkah serba salah Pertiwi, dan bermaksud menolongnya. Setelah berada didekat Pertiwi, orang itu membungkukkan badannya sedikit sambil tersenyum ramah.
“Selamat siang Nona”, sapanya dengan suara agak dikeraskan. “Maaf, bukankah Nona ini Nden Wiwi, puteri Pak Camat?”, tanyanya.
Mendengar pertanyaan itu semua orang yang ada di ruangan tampak terkejut. Pertiwi mengangguk membalas senyum si petugas dengan hati bersyukur.
“Ya. Saya menunggu kawan”, sahut Pertiwi, “dia ada keperluan dulu di pasar”.
“O, kalau begitu silahkan Nden menunggu”.
“Terimakasih”.
Setelah jelas masalahnya, tanggapan yang tidak pada tempatnya dari semua orang itu sirna kembali. Namun demikian, kecantikan gadis itu tetap jadi perhatian. Apalagi setelah mengetahui siapa gadis itu.
“Bukan main”, gumam seorang pemain catur, “ternyata berita yang kudengar tidak berlebihan”.
“Berita apa?”, tanya kawannya.
“Puteri Pak Camat adalah kembangnya kecamatan. Kalau saja aku belum beristeri...hmmm”.
“Shak!”, kata kawan bermainnya sambil menggeser bidak Menteri, sehingga orang itu terkejut.
“Licik”, desisnya, “kau memanfaatkan kelengahanku”.
“Jangan berdalih. Pokoknya kau kalah”, sahut kawannya.
“Tidak mungkin. Rasanya kedudukan pion ini tadi tidak di sini. Pasti kau telah menggeserkannya ketika aku lengah”.
“Memang bukan di situ. Tetapi tadi kau sendiri yang menggeserkan ke situ setelah aku menggeser benteng dari sini ke sini”.
Terjadi sedikit ribut, sehingga perhatian tamu-tamu lainnya termasuk Pertiwi beberapa lamanya terpusat kepada dua pemain catur itu. Saat itulah Darmawan muncul di pintu dan menghampiri Pertiwi.
“Mari Nden”, ajaknya, “apa Nden sudah menanyakan letak kamar beliau?”.
“Belum”, sahut Pertiwi sambil bangkit.
“Ternyata percakapan mereka telah menghentikan pertengkaran kedua pemain catur itu. Mereka menengok kepada Darmawan dengan pandangan seperti ingin menilai kesepadanan muda-mudi itu.
“Maaf Pak. Saya bermaksud menjumpai Pak Abdurrakhman di kamar 5. Di sebelah mana?”, tanya Darmawan setelah tiba di meja petugas penerima tamu.
“Silahkan di gang sebelah kiri”, sahutnya sambil menunjuk ke arah yang dimaksudnya. “Memang tadi saya mendapat pesan bahwa beliau akan menerima tamu di kamarnya”, sambungnya sambil mengangguk kepada Pertiwi, “sejak tadi saya sudah menduga Nden Wiwi salah satu tamunya”.
Petiwi membalas anggukan petugas itu sambil tersenyum. Mereka berlalu diikuti mata semua tamu sampai hilang dibalik pintu gang. Sesampainya di depan kamar yang dituju Darmawan mengetuk pintu. Sejenak mereka menunggu, dan pintu pun dibuka dari dalam. Pak Abdurrakhman menyambut muda-mudi itu. Seulas keheranan bercampur kagum tersirat di wajahnya ketika melihat Pertiwi. Namun siratan itu cepat menghilang lagi. Dengan senyum ramah Pak Abdurrakhman mempersilahkan kedua tamunya.
“Maaf Nak. Sampai saat ini Bapak belum mengetahui namamu. Padahal kita sudah bertemu dua kali”, ujar Pak Abdurrakhman setelah mereka bertiga duduk.
“Nama saya Darmawan. Kawan-kawan biasa memanggil saya Wawan. Dan ini Nd...”.
“Saya Pertiwi atau Wiwi”, kata Pertiwi memotong cepat-cepat.
Pak Abdurrakhman tersenyum. “Hmm...Wawan-Wiwi, pasangan nama yang serasi”, komentarnya, membuat kedua anak muda itu menunduk. Lalu, “kenapa Nak Wawan tidak membawa kawan yang tadi malam sekalian, supaya Bapak mengenalnya?”.
Darmawan dan Pertiwi saling pandang. “Nden inilah kawan saya tadi malam itu”, sahut Darmawan.
“Apa?!”. Mata Pak Abdurrakhman membelalak menatap Pertiwi dengan wajah terkejut.
“Sesungguhnya Bapak. Nden ini...”.
“Wan!”. Pertiwi memotong perkataan Darmawan, tetapi nampaknya Darmawan tidak sepaham.
“Kenapa Nden? Apa salahnya saya berterus terang tentang siapa Nden sebenarnya”.
“Memang tidak salah. Tetapi tidak perlu”, sahut Pertiwi.
“Nden”, kata Darmawan sareh, “kita datang ke sini untuk memohon bantuan. Taruhannya bukti diri dan kejujuran. Sebab bantuan yang kita perlukan juga bantuan yang jujur. Bagaimana orang akan membantu dengan jujur kalau kita tidak berterus terang?”.
“Bapak sependapat. Sebaiknya kita bicara secara terbuka”, ujar Pak Abdurrakhman.
Pertiwi terdiam. Darmawan meneruskan kata-katanya yang terputus tadi: “Nden Pertiwi adalah puteri Juragan Camat”, kata Darmawan.
“Apa? Puteri Pak Camat?”. Untuk kedua kalinya Pak Abdurrakhman terkejut lagi, “bagaimana mungkin?”, sambungnya. Namun tiba-tiba saja dia menuntut keterusterangan sebagai persyaratan: “Bapak berjanji akan menyelesaikan persoalanmu dengan satu syarat, mau menceritakan riwayat hidupmu sejujurnya, dan Nak Wiwi mau menjelaskan asal-usul hubunganmu dengan Nak Wawan sejujurnya pula. Kalau tidak, Bapak tidak bersedia membantumu”.
“Nah, salahmu sendiri Wan”, kata Pertiwi.
“Demi keselamatan wasiat almarhum Juragan Sukarta, saya tidak berkeberatan samasekali”.
“Tetapi aku berkeberatan, karena menyangkut rahasia diriku”, sahut Pertiwi.
‘Tidak apa, nanti juga keluar dari cerita saya”.
“O, jangan Wan. Untuk yang satu ini aku mohon”, kata Pertiwi dengan memelas, sehingga Darmawan jadi terkejut.
“Tentu Nden, tentu. Sayalah yang harus mohon maaf karena telah melukai perasaan Nden”, ujar Darmawan. Lalu katanya kepada Pak Abdurrakhman: “saya tidak dapat memenuhi syarat yang Bapak minta, sehingga persoalan yang saya bawa terpaksa dibatalkan. Dengan demikian hanya tinggal janji saya yang harus dipenuhi”.
Sejenak Darmawan berpikir karena harus memisahkan informasi yang tidak menyinggung surat wasiat. Baru kemudian katanya: “Belum banyak informasi yang saya peroleh. Tetapi satu hal penting perlu Bapak ketahui. Untuk menjaga rahasia kegiatan yang baru mulai tadi malam, Mang Sarju telah mengamankan tempat itu dengan membunuh Juragan Sukarta, pemilik sawah dan dangau yang sekarang mereka pergunakan sebagai pos penjagaan”.
“Ah begitu kiranya”, desah Pak Abdurrakhman. Kini dia tahu bahwa persoalan yang dibawa anak muda itu sangat penting. Karena itu katanya: “Terimakasih Nak Wawan. Informasi yang kau berikan penting sekali. Sekarang apa yang bisa Bapak berikan sebagai pengganti informasi itu?”.
“Tidak ada Pak. Tanpa Bapak minta pun, saya akan laporkan. Saya akan terus membayangi kegiatan mereka, sehingga kapan saja Bapak memerlukan informasinya, Bapak dapat menghubungi saya di pasar. Dengan demikian capai lelah saya tidak akan sia-sia”.
“Tetapi bukankah Nak Wawan punya masalah yang mungkin dapat Bapak bantu?”.
“Betul Pak. Tetapi sudah batal karena saya tidak dapat memenuhi syaratnya”, sahut Darmawan.
“Bagaimana kalau syarat itu Bapak cabut lagi?”.
“Jangan Pak. Syarat adalah hukum. Kalau syarat mudah dibuat dan dibuang, maka hukum tidak akan amburadul, sehingga kepercayaan saya kepada Bapak akan jadi goyah. Bagaimana mungkin saya akan mempercayakan amanat orang kalau Bapak gampang merubah hukum?”.
Mendengar jawaban itu untuk ketiga kalinya Pak Abdurrakhman terkejut, juga Pertiwi. Mereka tidak mengira, anak muda itu demikian lugu tapi konsekuen. Bahkan Pertiwi yang telah mengetahui bagaimana anak muda itu menerapkan persyaratan dalam pelaksanaan terhadap dirinya dan kawan-kawannya, baru menyadari bahwa sanksi hukuman itu bukan dipaksakan tetapi sewajarnya. Karena itu dia merasa, penolakan terhadap permintaan anak muda itu adalah salah.
Di sebelah lain, Pak Abdurrakhman juga merasa salah ucap, karena terdorong rasa ingin tahunya akan rahasia kedua anak muda itu. Keluguan Darmawan membuat Pak Abdurrakhman harus memperbaiki kesalahannya sendiri.
“Nak Wawan”, ujarnya dalam nada lemah, “Bapak minta maaf. Sesungguhnya syarat itu tidak ada samasekali dalam rencana Bapak, tetapi muncul begitu saja karena tertarik pada hubungan kalian yang luarbiasa dan sangat langka. Soalnya, sungguh sulit dipercaya, seorang gadis begini cantik anak pimpinan daerah pula dan berdarah biru yang punya kesempatan besar dan mudah untuk disunting orang kaya berpangkat tinggi atau sesama ningrat, mau bergaul intim dengan seorang kusir delman. Sehingga Bapak yakin, dibalik hubungan itu pasti ada hal yang istimewa”.
“Tidak salah Bapak. Karena gadis itu merasa berutang nyawa pada kusir delman tersebut. Karena itu wajar saja jika dia mengabdikan sisa hidupnya kepadanya”, kata Pertiwi tiba-tiba. Malah dia masih menyambungnya: “Karena tahu kusir delman itu mustahil berani mengemukakan hasrat hatinya, maka dengan melupakan sifat kewanitaannya dia....”.
“Nden, jangan...”. Darmawan menukas cepat.
“Kenapa Wan? Apa salahnya aku berterus terang bahwa akulah yang mendorongkan terjadinya hubungan kita”.
“Tetapi saya tidak bermaksud sampai ke situ”.
“Tanpa diberitahukan juga Pak Abdurrakhman akan berkesimpulan demikian. Sebab mustahil seorang kusir delman berani mengemukakan hasrat hatinya terhadap gadis ningrat anak majikannya. Kalaupun berani mengemukakan, mustahil gadis ningrat itu mau melayaninya. Sementara permintaan beberapa anak ningrat dan anak pejabat tinggi ditolaknya?”, kata Pertiwi.
“Sudahlah Nden. Saya tidak ingin orang menilai Nden sebagai gadis yang tidak punya harga diri”.
“Peduli amat dengan pandangan orang lain. Asal bukan kau yang berpendapat begitu, bagiku sudah cukup”.
Darmawan menunduk, namun dia masih berucap: “Tetapi Nden mendorongkan cinta sebelum peristiwa itu, ketika saya masih seorang kacung penunggu dangau dan penyabit rumput yang compang-camping, bukan karena merasa berutang nyawa. Itu berarti Nden mempunyai hati...”.
“Wan!”.
“Tidak apa Nden. Kalau Nden saja tidak takut pada penilaian orang, kenapa saya harus kukuh menutupi kenyataan diri dengan pura-pura jadi pahlawan? Padahal Nden sudah begitu merendahkan diri sendiri karena dorongan kemuliaan hati, bukan diawali rasa cinta”.
“Siapa bilang tidak diawali cinta”, sanggah Pertiwi, “kalau saja kau tidak angkuh, kukira semua gadis kawan sekolahmu akan mengerumunimu, termasuk aku”.
“Persyaratan sudah terpenuhi”. Tiba-tiba Pak Abdurrakhman menghentikan perdebatan mereka dengan mata berseri-seri. Lalu sambungnaya: “Bapak sangat berterimakasih. Kalian telah mempercayai Bapak sebagai orang pertama yang mengetahui rahasia kalian yang mengagumkan. Jangan khawatir, Bapak akan memegang teguh rahasia kalian tetap tertutup. Dengan kepercayaan yang kalian limpahkan kepada Bapak, untuk pertama kalinya sepanjang hidup, Bapak merasa bahagia dalam arti kata bahagia yang sebenarnya. Karena itu dengan tulus, sekali lagi Bapak mengucapkan terimakasih”.
Darmawan dan Pertiwi memandang Pak Abdurrakhman beberapa lamanya. Kemudian kedua anak muda itu saling pandang dengan menyiratkan tanda tanya. Sebab mereka melihat jelas, wajah orangtua itu demikian berseri-seri seolah mendapat kepuasan besar.
“Pak, seharusnya bukan Bapak yang berterimakasih kepada kami. Sebaliknya kamilah yang harus berterimakasih kepada Bapak, karena Bapak telah berjanji akan memegang teguh rahasia kami berdua”, kata Daramawan.
“Hidup memang seringkali aneh Nak. Contoh yang paling jelas telah kalian lakukan sendiri barusan. Melalui perdebatan, kalian telah menceritakan rahasia hubungan yang tidak biasa di hadapan orang yang belum kalian kenal samasekali. Sedangkan kepada orang-orang yang telah kalian kenal lama, bahkan kepada orangtua sendiri, sengaja disembunyikan. Apa itu bukan aneh? Mengapa sampai bisa begitu? Karena dibalik hubungan kalian terdapat hal-hal tidak wajar menurut pandangan umum. Demikian pula yang terjadi pada diri Bapak. Ada hal-hal yang tidak wajar menurut pandangan umum, yang sayangnya belum waktunya Bapak ceritakan kepada kalian. Satu hal yang jelas. Rupanya pertemuan kalian dengan Bapak yang aneh ini bukan pertemuan biasa, tetapi merupakan proses dari peristiwa yang punya arti khusus. Dan kita bertiga termasuk titah yang dipercayai Tuhan untuk memegang peran dalam peristiwa khusus tersebut”.
Pertiwi dan Darmawan mengerutkan keningnya. Rasa-rasanya mereka dapat menangkap makna yang dikatakan Pak Abdurrakhman itu, namun ketika akan diurai, sulit sekali. Pak Abdurrakhman tersenyum.
“Jangan dicari maknanya, sebab kita tak akan mampu memperhitungkannya. Mungkin kita bisa memperhitungkan sampai batas tertentu dari gejala-gejala yang tampak sekarang. Itupun tidak akan mencakup keseluruhan kaitannya. Karena itu biarlah proses alam tersebut berlangsung. Yang wajib kita lakukan sekarang, bagaimana cara kita bertindak agar proses itu tidak mengarah kepada bencana besar bagi umat manusia”, sambung Pak Abdurrakhman.
“Saya mengerti Pak”, kata Darmawan, “itulah sebabnya mengapa saya menghadap Bapak dan mengharap bantuan Bapak”.
“Yang belum Bapak mengerti, mengapa Nak Wawan meminta bantuan Bapak? Bukankah persoalan ini terlepas dari hubungan pribadi kalian? Dengan demikian kalian dapat minta bantuan kepada pejabat setempat, misalnya Pak Camat, ayah Nak Wiwi sendiri? Atau maaf, apakah ayah Nak Wiwi...ngng...”. Pak Abdurrakhman nampaknya ragu-ragu untuk menyelesaikan kata-katanya.
“Saya mengerti maksud Bapak. Bukankah Bapak menduga ayah saya turut terlibat?”, kata Pertiwi terus terang. Lalu: “Tidak Pak. Bahkan beliau juga menaruh kecurigaan pada masalah ini”.
“Ya, lalu kenapa?”.
“Soalnya ada pejabat pemerintah bawahan Pak Camat yang terlibat langsung, yaitu kepala Desa Pesawahan. Sekalipun saya percaya kepada Pak Camat, namun saya meragukan orang-orang di atas dan di bawah beliau, sehingga jalur itu tidak berani saya tempuh”, sahut Darmawan.
“Bagus”, kata Pak Abdurrakhman, “ternyata kalian punya wawasan jauh. Sesungguhnyalah, jalur resmi telah ternodai. Bukan berarti kita menuduh mereka semua tidak bisa dipercaya. Tetapi bila jalur itu ditempuh, bukan mustahil laporan kita akan jatuh ke tangan yang salah. Sehingga jerih payah kita bukannya menghasilkan situasi lebih baik, sebaliknya justru jadi bumerang”.
“Ya Pak”.
“Ngng...baiklah. Nampaknya Nak Wawan dan Nak Wiwi telah lama menyelusuri jejak ini. Nah, ceritakan apa yang ingin kalian sampaikan, dan pertolongan apa yang kalian harapkan dari Bapak. Kita mengobrol santai saja, sambil minum”.
“Sesungguhnya dangau yang dijadikan pos pengawasan di dekat tempat latihan yang Bapak lihat tadi malam adalah milik Juragan Sukarta, bekas majikan saya”, kata Darmawan memulai ceritanya. Kemudian dia bercerita lengkap bagaimana tanah milik Juragan Sukarta telah diambil alih oleh Pemuda Rakyat yang bekerja sama dengan kepala desa. Tentang adanya dua surat wasiat. Tentang orang-orang yang terlibat dalam pengambilalihan itu, hingga tentang usahanya ‘mencuri kembali’ bagian-bagian surat wasiat dari tangan-tangan yang memegangnya.
“Surat wasiat aslinya yang dibuat kepala desa, belum saya ambil, karena pembagian itu belum selesai. Mungkin Bapak juga mendengar pada pembukaan latihan tadi malam, tiga di antara peserta latihan terbaik akan memperoleh bagian tanah garapan. Di samping lain, saya belum tahu, kepada siapa persoalan ini dapat saya percayakan”, kata Darmawan mengakhiri ceritanya. Lalu dia mengeluarkan sebundel surat-surat termasuk surat wasiat yang diterimanya langsung dari Juragan Sukarta yang dibuat di depan Notaris, dan diserahkan kepada Pak Abdurrakhman.
“Sungguh beruntung Bapak bertemu dengan kalian. Dalam satu jam saja Bapak telah memperoleh semua yang diperlukan, yang tidak mungkin didapat oleh detektif paling kawakan sekalipun”, kata Pak Abdurrakhman dengan gembira sambil menelaah semua surat yang diperolehnya dengan cermat.
Sementara menunggu Pak Abdurrakhman selesai menelaah surat-surat itu, Darmawan dan Pertiwi makan buah-buahan yang terhidang di atas meja.
“Apa bersama surat wasiat yang diserahkan kepada Nak Wawan, Juragan Sukarta menyerahkan harta berbentuk uang kepadamu?”, tanya Pak Abdurrakhman tiba-tiba.
“Tidak Pak”.
“Lalu dari mana Nak Wawan memperoleh uang 450.000 rupiah yang disumbangkan kepada panti asuhan ini?”, tanyanya lagi sambil memperlihatkan kwitansi yang terselip di antara surat-surat itu.
Saya curi dari rumah isteri Juragan Sukarta sehari setelah penjualan ternak. Sebenarnya harga ternak yang dijualnya 750.000 rupiah, tetapi sebagiannya telah dibelanjakan oleh isteri Juragan Sukarta, dan saya hanya menemukan sejumlah itu”.
“Tentu dia marah besar mengetahui uangnya hilang”, kata Pak Abdurrakhman sambil tersenyum.
“Benar Pak. Sampai semua tetangganya berkerumun di depan rumahnya. Mang Sarju, Mang Gomar, dan jawara yang bernama Baran jadi sasaran tuduhan, karena kebetulan malam itu mereka tidur di rumahnya. Tapi akhirnya Mang Sarju berhasil meredakan kemarahannya”, sahut Darmawan sambil tersenyum pula. Pertiwi pun turut tersenyum.
“Lalu bagaimana maksud Nak Wawan dengan surat-surat ini?”.
“Saya serahkan kepada Bapak”.
“Hmm...baiklah. Bapak akan berusaha membantu menangani wasiat ini. Bila berhasil, Bapak akan menyerahkan pelaksanaan wasiatnya kepada Nak Wawan. Karena Nak Wawanlah yang diamanati almarhum. Sepulangnya dari sini Bapak akan membuat fotokopinya untuk pegangan Nak Wawan. Bukankah Nak Wawan sendiri memperoleh tanah garapan itu?”.
“Ya Pak. Tetapi bagian saya sendiri akan saya sumbangkan pula, karena dangau itu telah ternoda. Mereka telah menggunakannya sebagai tempat perbuatan maksiat. Itu saya ketahui tadi malam”.
“Bapak sungguh kagum kepadamu Nak. Kau benar-benar seorang pejuang tanpa pamrih. Terimalah salam persahabatan yang tulus dari Bapak”, ujar Pak Abdurrakhman sambil menjulurkan tangannya. Dengan agak malu Darmawan menerima uluran tangan orangtua itu.
“Bapak minta, sejak saat ini Nak Wawan hentikan dulu ‘mencuri’ surat-surat pembagian tanah itu sampai ada pemberitahuan dari Bapak, agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak kita kehendaki sebelum semuanya siap”.
“Baik Pak”.
“Tetapi Bapak akan minta kalian meneruskan mengikuti perkembangan langkah-langkah mereka, dan melaporkan semuanya kepada Bapak. Bila ada hal yang sangat penting dan mendesak, sebaiknya salah seorang dari kalian langsung menghubungi Bapak di Jakarta”, kata Pak Abdurrakhman sementara tangannya merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Sebelum kartu itu diserahkan, dia mengambil spidol dan membuat tanda lingkaran di belakangnya, didalam diberi tanda ‘x’.
“Bila kartu nama bertanda ‘x’ ini kalian perlihatkan kepada orang di rumah, meski Bapak sedang tidak ada, mereka akan mengetahui siapa kalian, dan mereka pasti akan segera menghubungi Bapak”, sambungnya sambil menyerahkan kartu tersebut kepada Darmawan.
“Baiklah Pak, dan terimakasih atas bantuan Bapak”, sahut Darmawan. Lalu dia menyerahkan kartu itu kepada Pertiwi: “Sebaiknya Nden yang menyimpan, karena kalau di pondok saya takut hilang”.
Pak Abdurrakhman bangkit dari duduknya. Dia menghampiri tas echolac miliknya. Dari dalamnya dia mengambil sebuah tustel. “Bapak perlu foto kalian untuk laporan kepada atasan bahwa di daerah ini Bapak punya informan. Bila terjadi kekacauan, dalam situasi gawat, foto kalian akan jadi sangat penting untuk keselamatan kalian sendiri dari kesalahan penangkapan yang berwajib”, ujarnya, “nah, Nak Wawan dulu berdiri di sana”.
Selesai memotret kedua anak muda itu, mereka duduk kembali di kursi masing-masing. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar. Pak Abdurrakhman bangkit dan membuka pintu. Yang datang adalah pelayan hotel yang mendorong meja berisi makanan. Sementara pelayan mempersiapkan makanan itu, Pak Abdurrakhman menyimpan kembali tustelnya ke dalam echolacnya.
“Bapak sengaja memesan makanan ini untuk merayakan pertemuan kita”, ujar Pak Abdurrakhman setelah pelayan pergi. “mari kita makan dulu”,
Darmawan dan Pertiwi hanya dapat mengiyakan. Mereka tidak menyangka samasekali kalau orang tua yang baru dikenalnya itu demikian menghargai mereka berdua, khususnya Darmawan yang dalam perkenalannya diketahui sebagai kusir delman. Dari ucap taindaknya yang terbuka dan ramah, apalagi setelah memberikan kartu namanya, mau tidak mau Pertiwi harus membuang segala kecurigaannya dan harus mengakui bahwa penilaian Darmawanlah yang benar.
“Sekarang kita bicara masalah lain”, ujar Pak Abdurrakhman. “Nak Wiwi, perkenankan Bapak menyampaikan kekaguman kepadamu. Dari perdebatan kalian tadi, Bapak harus memuji Nak Wiwi sebagai gadis yang berhati mulia”.
“Ah”. Pertiwi berdesah dan menundukkan kepalanya karena merasa malu oleh pujian yang terang-terangan itu.
“Bapak bukan bermaksud menyanjungmu Nak, tetapi benar-benar keluar dari dasar hati Bapak”.
“Alhamdulillah. Bapak membuat saya jadi malu hati”.
“Sungguh Nak. Selama hidup, baru kali ini Bapak bertemu dengan gadis ningrat yang begini cantik lahir dan batinnya. Kalau saja di dunia ini ada yang sempurna, Nak Wiwi adalah salah satu diantaranya. Kau adalah teladannya gadis-gadis”.
Sesuatu menyenak di kerongkongan Pertiwi. “Terimakasih Bapak”, sahutnya dalam nada serak dan matanya tampak memerah basah, “tetapi saya mohon Bapak tidak melanjutkan lagi. Saya khawatir pujian Bapak akan mendorong saya jadi manusia lepas kendali dan lupa diri. Tolonglah Bapak”.
Darmawan hampir saja bangkit. Kalau saja tidak ada orang lain, ingin rasanya dia mengelus rambut gadis itu untuk menenteramkan hatinya. Sebab jelas sekali hati gadis itu mengalami tekanan berat. Bukannya gembira mendapat pujian itu, sebaliknya lebih mengarah kepada ketakutan.
Yang mengherankan sikap Pak Abdurrakhman. Mendengar kata-kata gadis itu dan menyaksikan ketakutan yang membayang di wajahnya, wajah Pak Abdurrakhman tidak menyiratkan rasa terkejut. Sebaliknya wajah orangtua itu membayangkan kepuasan, seolah memperoleh apa yang diingininya, dan seulas senyum membayang di bibirnya. Darmawanlah yang jadi berdebar-debar. Dia merasakan sikap orangtua itu sangat aneh membingungkan. Dalam keadaan demikian Pak Abdurrakhman berkata lagi.
“Baiklah Nak. Bapak mengerti perasaanmu, dan Bapak bersyukur karena ternyata kau tidak terlena oleh sanjungan yang menyesatkan, yang bisa menjadikan orang lupa daratan. Dari sikapmu itu Bapak dapat menyimpulkan, kau tidak menilai darah keturunan dan kekayaan sebagai yang patut dibanggakan. Kau lebih condong berpegang pada ajaran Qur’an. Apa sikap hidupmu ini sejalan dengan sikap hidup orangtua Nak Wiwi?”.
Mendengar pertanyaan itu Darmawan dan Pertiwi baru menyadari kalau sanjungan Pak Abdurrakhman itu merupakan jebakan halus untuk mengorek pribadi mereka. Mengingat itu, mau tidak mau mereka harus mengakui Pak Abdurrakhman seorang cerdik. Karena itu mereka dapat menduga arah pertanyaan orangtua tersebut.
“Saya khawatir tidak sejalan Pak”, sahut Darmawan mendahului Pertiwi, “saya juga telah beberaa kali mengingatkan tentang hal itu”.
“Kalau begitu kalian sudah menyadari betul kemungkinan akibat hubungan kalian”.
“Ya Pak”, kata kedua anak muda itu hampir serempak.
“Nak Wawan dan Nak Wiwi”, kata Pak Abdurrakhman dalam nada berat, “Bapak ingin memperingatkan. Bagi sebagian menak, darah keturunan punya nilai tertinggi. Mereka menilai kemurnian darah biru di atas segalanya, sehingga tidak jarang mengalahkan hubungan orangatua dan anak. Apa Nak Wiwi sudah memikirkan kemungkinannya hingga ke situ?”.
“Apaboleh buat Pak. Nurani saya lebih condong kepada ajaran Qur’an”, sahut Pertiwi.
“Dari Perdebatan kalian tadi, Bapak juga menyimpulkan demikian. Bapak hanya ingin meyakinkan dan sekaligus mengingatkan kemungkinan paling pahit yang bisa terjadi pada Nak Wiwi. Mudah-mudahan sikap hidup Pak Camat tidak termasuk di antara menak yang Bapak sebutkan tadi. Tetapi bila akibat paling pahit itu sampai terjadi, Bapak akan mencoba membantu sebatas kemampuan Bapak. Karena itu, jagalah kartu nama yang Bapak berikan, jangan sampai hilang. Kapan saja Nak Wiwi atau Nak Wawan memerlukan bantuan, jangan segan-segan temui Bapak”, kata Pak Abdurrakhman.
“Terimakasih Pak”, sahut kedua anak muda itu dengan nada haru.
“Hmm...ya begitu saja”. Pak Abdurrakhman menggumam sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Darmawan dan Pertiwi saling pandang. Mereka melihat orangtua itu sepeti baru memperoleh pemecahan yang bagus terlepas dari masalah yang dibicarakan. Tentu saja mereka tidak berani bertanya, sekalipun mereka melihat keanehan pada wajah Pak Abdurrakhman yang seperti anak kecil memperoleh mainan menyenangkan hatinya. Namun dia cepat tersadar dari lepas kontrol dirinya, dan nampaknya dia berusaha menutupinya dengan alasan yang wajar.
“Begini saja Nak Wawan”, ujarnya kemudian. “Sebenarnya untuk mengawasi kegiatan orang yang Bapak buntuti itu, Bapak telah merencanakan tinggal beberapa hari lagi di daerah ini, dan telah menunda beberapa urusan di Bandung. Tetapi berkat bantuan kalian berdua, Bapak tidak perlu tinggal di sini lebih lama. Sebab ternyata pekerjaan kalian jauh lebih baik dari yang Bapak lakukan sendiri. Karena itu, untuk selanjutnya Bapak akan mempercayakan tugas di sini kepada kalian berdua. Kalian harus mengirim laporan setiap perkembangan yang terjadi. Lebih baik jika laporan itu kalian bawa sendiri ke Jakarta, terutama jika ada hal mendesak dan perlu penanganan secepatnya. Bapak minta, kalian mengumpulkan semua nama orang yang latihan di hutan itu berikut alamat lengkapnya. Juga orang-orang lainnya yang berhubungan dengan mereka, meski tidak turut latihan. Bagaimana sanggup?”.
“Akan kami usahakan Pak”.
“Bagus. Bapak benar-benar gembira”, ujarnya sambil menjangkau tas echolacnya yang ditaruh di pembaringan. Tas itu ditaruh di atas meja dihadapannya dan dibuka. Dia mengambil segepok uang satu ribuan dari dalamnya, lalu diletakkan dihadapan Darmawan. “Itu sekedar pengganti informasi yang telah Bapak terima”, sambungnya.
“O, jangan Pak. Saya sudah sangat gembira karena Bapak bersedia membantu menguruskan surat wasiat almarhum Juragan Sukarta”, sahutnya sambil menyorongkan kembali gepokan uang itu.
“Jangan ditolak”, kata Pak Abdurrakhman sambil menutupkan tasnya. “Untuk mengumpulkan informasi begini lengkap, jika Bapak sendiri yang melakukannya, pasti menghabiskan waktu lama dan uang lebih banyak. Di samping lain, dengan dapat menguruskan pekerjaan di Bandung lebih cepat, Bapak akan mendapat keuntungan sekian kali lipat dari jumlah itu. Bahkan Bapak masih menjanjikan, kapan saja kalian memerlukan biaya dalam rangka tugas yang diberikan, Bapak akan mengirimkannya”.
Darmawan tidak bisa menolak lagi. “Kalau begitu saya hanya dapat mengucapkan terimakasih”.
Pak Abdurrakhman tersenyum. Beberapa lamanya lagi mereka masih berbincang-bincang, terutama riwayat hidup Darmawan yang ingin diketahui Pak Abdurrakhman. Darmawan terpaksa menceritakan, sehingga akhirnya Pak Abdurrakhman mengetahui pula bahwa kedua anak muda itu punya kemampuan silat. Akhirnya pertemuan mereka berakhir dan kedua anak muda itu berpamitan.
“Seumur hidup, baru sekarang saya mendapat uang begini besar. 50.000 bagian Nden, dan 50.000 bagian saya. Bukan main”, kata Darmawan sementara mereka keluar dari penginapan.
“Tidak Wan. Uang itu semua milikmu. Masukkan saja seluruhnya ke dalam tabunganmu agar cepat besar. Mudah-mudahan kekukuhan darah biru Ayah tidak separah yang diperkirakan Pak Abdurrakhman, dan dapat dicairkan oleh gepokan uang, agar aku tidak harus menentang beliau dalam urusan calon suami. Saat ini tabunganku sendiri sudah lumayan. Bila perlu, kau dapat menggunakannya untuk menutupi kekurangannya”, kata Pertiwi.
“Baiklah Nden. Demi memperoleh Nden, saya akan lebih giat menabung”.
“Bukan keinginanku Wan. Bagikku, sekalipun berlangsung dalam upacara paling sederhana, bukan masalah. Kalau aku nanti mengajukan permintaan sejumlah uang, berarti karena desakan orangtua”.
“Saya mengerti Nden. Karena itu saya tidak menolak tawaran Nden jika terpaksa harus menggunakan uang Nden untuk memenuhi jumlah yang diminta Juragan Camat”.
“Kalau masih kurang juga, aku akan minta bantuan kepada Pak Abdurrakhman sebagaimana yang ditawarkannya tadi. Soal perhitungannya, urusan belakangan. Yang penting, aku ingin jadi milikmu”.

--0--


“Ternyata demikian besarnya cinta dan kesetiaanmu padaku Dik Wanti. Tadinya Kak Angga khawatir kau telah melupakanku karena kutinggalkan lebih dari sebulan. Sebenarnya Kak Angga sendiri tidak mau meninggalkanmu sekalipun hanya sehari. Tapi ayah Kak Angga telah mempercayakan usaha keluarga kepadaku. Sebab nantinya Kak Anggalah yang akan menggantikan tugas ayah sepenuhnya. Karena itulah begitu tiba di rumah, Kak Angga langsung menemuimu. Sebab Kak Angga sudah benar-benar rindu. Dik Wanti semakin cantik”, kata Raden Angga kepada Purwanti sementara mereka duduk berhadapan di teras rumah. “Kalau saja di tepas tidak ada prangtua Dik Wanti memperhatikan kita, Kak Angga ingin sekali memelukmu”, sambungnya dengan suara lebih perlahan.
“Wanti juga sama Kak Angga”, kata Purwanti dengan mata meredup.
“Jadi kapan kita dapat melepaskan kerinduan kita?”.
“Wanti tidak tahu kapan Ayah pergi ke luar kota. Kalau Kak Wiwi sudah punya waktu tetap. Seminggu tiga kali dia latihan volley. Coba saja Kak Angga lusa datang ke sini. Wanti akan bertanya kepada Ayah, kapan dia dinas luar”, kata Purwanti.
“Tapi Dik Wanti harus hati-hati, jangan sampai ayah Dik Wanti curiga”.
“Wanti sudah besar kok. Wanti juga tahu”.
“Ya, ya, memang Dik Wanti sudah besar. Kang Angga percaya”, kata Raden Angga, “kalau begitu sekarang Kak Angga pulang dulu”.
Ketika Raden Angga masuk ke tepas untuk berpamitan kepada Juragan Danu dan isterinya, Darmawan dengan delmannya muncul dari belakang.
“Tunggu Mang Darma”, kata Purwanti sambil menghampiri kusir delman itu.
Darmawan menghentikan delmannya. “Ada apa Nden?”.
“Mang Darma mau ke mana?”.
“Menjemput Nden Wiwi di lapang volley”, sahutnya sambil menekan topi pandannya ketika melihat Raden Angga keluar dari tepas.
“Bisa kan Mang Darma mengantar Kak Angga dulu?”.
“Tentu Nden. Apalagi rumah Den Angga se arah dengan tujuan Emang”.
Purwanti mengangguk. Lalu kepada Raden Angga: “Nah, Kak Angga bisa membonceng delman Mang Darma”.
“Terimakasih Dik Wanti. Kak Angga pulang dulu ya”.
Purwanti mengangguk. “Jangan lupa lusa”, katanya.
“Pasti”, sahut Raden Angga sambil naik ke atas delman.
Sejenak kemudian delman itu bergerak meninggalkan kecamatan. Beberapa lamanya tidak ada yang bicara. Tetapi kemudian Darmawan membuka percakapan.
“Rasanya lama sekali Aden tidak berkunjung ke Juragan”.
“Sibuk Mang. Tugas ke Bandung sebulan”.
“Apa di Bandung itu ramai Den? Emang mah belum pernah ke sana seumur hidup”.
“Ramai sekali Mang. Segala ada. Kalau Emang ke sana pasti bengong.Apalagi Jakarta”.
“O, Aden pernah ke Jakarta juga?”.
“Tentu saja. Namanya juga pedagang. Sering malah”.
“Wah pengalaman Aden luas sekali. Mungkin Emang mah tidak akan pernah mengalaminya”.
“Sayang kalau sampai tidak datang ke sana Mang. Di sana sekarang orang bisa nonton film di rumah sendiri. Tidak perlu ke bisokop”, kata Raden Angga dengan bangga.
“Ah apa benar? Bagaimana caranya Den?”.
“Ya beli pesawatnya, namanya televisi. Filmnya diputar di Jakarta, kita bisa nonton di Bandung”.
“Film di Jakarta bisa ditonton di Bandung? Ah yang bener Den”, kata Mang Darma bengong.
“Bener kok. Masa aku membohongi Emang”.
“Tapi...tapi mana mungkin Den? Bagaimana caranya?”.
Raden Angga tersenyum mendengar pertanyaan itu. Lalu sahutnya: “Sama seperti radio. Bedanya, kalau yang keluar dari radio adalah suara, sedang dari televisi adalah film”.
“Kok aneh sekali. Ke mana lewatnya gambar-gambar itu?”.
“Seperti suara radio, melalui kawat listrik”, sahut Raden Angga.
“Hmm, gambar lewat kawat listrik”, gumam Mang Darma hampir tak terdengar. Lalu: “Maksud Aden, apa gambar-gambar itu antri berlarian sepanjang kawat listrik dari Jakarta ke Bandung?”.
Raden Angga tertawa keras. Setelah reda baru menjawab. “Tentu saja tidak”, sahutnya.
“Jadi bagaimana caranya?”.
“Aku juga tidak tahu. Yang jelas, tiap orang yang punya pesawat televisi bisa nonton di rumah masing-masing tiap malam tanpa bayar”.
“Wah enak sekali ya Den. Kalau saja ada di sini, Emang mah mau nonton terus tiap malam”.
“Memang selama di Bandung aku juga nonton tiap malam. Karena itu aku kerasan di sana”.
Mang Darma mengangguk-anggukkan kepala.
“Eh ngomong-ngomong, apa hari Kamis Juragan Camat tugas luar?”, tanya Raden Angga.
“Hari Kamis? Ah iya, memang Juragan telah minta Emang menyiapkan kuda pagi-pagi. Habis ada apa Den?”.
“Aku sendiri belum tahu. Mungkin akan diajak Juraganmu mengawal Nden Wanti. Bukankah tadi Emang sendiri mendengar pesan Nden Wanti?”.
“Tapi Nden Wanti kan Sekolah Den. Apa dia akan bolos sekolah?”, tanya Mang Darma.
“Tentu tidak Mang. Kau juga pasti tahu, Juraganmu sangat keras kalau tentang urusan sekolah”.
“Iya Den. Karena itu tadi Emang menanyakan”.
“Kami akan berangkat sehabis Nden Wanti pulang sekolah”, kata Raden Angga, “sayang Nden Wiwi tidak ikut”.
“Nden Wiwi mah banyak kegiatannya di sekolah Den. Hari Kamis latihan volley”.
“Hmm...apa tidak pernah pulang dulu ke rumah?”, tanya Raden Angga.

--0--


“Tidak. Kita langsung saja ke lapangan”, sahut Darmawan sehabis bubaran sekolah.
“Kenapa Wan? Apa kau akan merubah jadwal waktu yang kau tentukan sendiri?”, tanya Marni.
“Hanya hari ini. Aku harus cepat-cepat pulang. Aku punya urusan penting di rumah”.
“He, ada apa ribut-ribut?”, tanya Pertiwi yang baru keluar dari kelas bersama Susi.
“Pacarmu minta kita latihan langsung”, sahut Herlina mendahului.
“Apa benar Wan?”, tanya Pertiwi.
“Ya Wiwi, aku ada urusan penting di rumah”, sahutnya. Lalu, “nah, kutunggu kalian di lapangan. Kalau seperempat jam dari sekarang belum muncul, aku akan terus pulang”.
“Kalau begitu kita batalkan saja latihan hari ini”, kata Herlina.
“Kenapa?”, tanya Daramawan.
“Aku lapar. Aku harus makan dulu. Kalau tidak, aku bisa semaput”.
“Jangan kawatir. Soal makan sudah kupikirkan. Pokoknya datang saja ke lapangan, tanggung kalian kenyang. Aku sudah pesan nasi bungkus buat semua”, sahut Darmawan sambil berlalu.
“He, apa benar Wiwi?”, tanya Marni.
“Mana aku tahu?”, kata Pertiwi dalam tanda tanya. Karena sesungguhnya Darmawan tidak memberitahu samasekali ketika berangkat sekolah tadi pagi.
Dalam pada itu tim putera muncul dari gudang dengan membawa peralatan volley.
“He, kenapa kalian belum siap-siap?”, teriak Dodi yang melihat tim puteri masih berkerumun, “apa kalian tidak takut kehabisan?”.
“Kejutan teman-teman”, kata Herlina tiba-tiba, dan dia berlari ke gudang.
Serempak yang lainnya mengikuti, sementara mulut mereka ribut mengomentari tindakan pelatih volley mereka yang tidak biasa itu. Rupanya Darmawan hanya memberitahukan kepada tim putera, sengaja untuk membuat kejutan kepada tim puteri.
Sebenarnyalah ketika Pertiwi dan kawan-kawannya tiba di lapangan, di bawah pohon beringin mereka melihat tim putera sedang mengerumuni tampah besar yang penuh dengan nasi bungkus. Maka mereka pun langsung menyerbu. Pertiwi dan Darmawan mengambil paling akhir.
“Kejutan apa ini Wan? Apa kau dapat rejeki besar?”, tanya Maryanti ketika mulai makan.
“Syukuran. Panenku tahun ini sangat baik”, sahut Darmawan.
“Kudoakan panenmu terus meningkat, supaya sering-sering syukuran begini”, kata Sumarna.
“Akuuur!”, teriak kawan-kawan lainnya serempak.
“Juga supaya cepat-cepat ehm”, celetuk Susi sambil melirik Pertiwi yang duduk bersama Marni.
“Akur juga!”, teriak serempak lagi.
“Terimakasih atas doa kalian. Mudah-mudahan saja Tuhan mengabulkan”.
“Amiiin!”.
Dalam pada itu Marni berbisik kepada Pertiwi: “Nampaknya pacarmu sudah berubah banyak. Ternyata sifatmu telah kau tularkan kepadanya”.
“Apa benar Mar? Rasanya aku tidak pernah mempengaruhinya”.
“Kalau begitu, dia telah ketularan olehmu”, timbrung Susi, “dan yang beruntung kita semua”.
“Jangan cepat menyimpulkan”, kata Herlina, “masa hanya dengan sogokan sebungkus nasi kau katakan untung?”.
Susi berpaling, lalu katanya: “Apa kau tidak merasakan kemampuan volleymu meningkat? Lalu inisiatif siapa pula belajar bersama itu sehingga pengetahuan dan kepandaian kita lebih baik dibanding kawan-kawan lain?”.
“Benar juga ya”, kata Herlina mengakui.
“Makanya...”. Maryanti menimbrung dengan kata-kata menggantung.
“Makanya apa?”, tanya Herlina.
“Makanmu cepat habiskan, supaya tidak dihukum karena ketinggalan latihan”.
“Sialan, kukira apa”, rutuknya. Tetapi dia mengikuti saran temannya itu, karena dia memang yang paling takut dihukum. Pertiwi dan yang lainnya tersenyum.
Tak lama kemudian latihan pun dimulai, tetapi tidak selama seperti biasanya. Selesai latihan mereka langsung bubar. Seperti biasanya, Darmawan dan Pertiwi pulang paling akhir.
“Tolong kembalikan tampah dan kompan air itu kepada Bi Unah, Nden. Saya akan mengambil delman dulu”, kata Darmawan.
Pertiwi mengangguk. Dia membereskan bekas makan-makan itu, dan membuang sampahnya ke tempatnya. Baru dia membawa tampah dan tempat air minum berikut cangkirnya ke salah satu rumah yang tidak jauh dari lapangan volley. Darmawan dengan delmannya muncul tak lama setelah Pertiwi tiba di jalan.
“Kenapa hari ini kau melakukan hal yang aneh Wan?”, tanya Pertiwi setelah delman berjalan.
”Apanya yang aneh Nden? Saya mengadakan syukuran, karena telah berhasil mengumpulkan nama dan alamat orang-orang yang berlatih di hutan itu lebih dari setengahnya hanya dalam waktu satu bulan, sekaligus karena kita mendapat rejeki tidak kecil dari Pak Abdurrakhman tempo hari. Apa nama-nama itu telah Nden kirimkan semua?”.
“Sudah. Lima yang terakhir kukirim kemarin”.
“Nampaknya dua desa lagi tidak dapat diselidiki dengan berpencar karena letaknya paling jauh”.
“Hmm”. Pertiwi hanya menggumam.
“Kenapa Nden?”.
“Apa dengan mempercepat latihan tadi kau hendak mengajakku ke salah satu desa itu sekarang?”.
“Belum sekarang Nden”.
“Lalu?”.
“Dua hari yang lalu saya melihat Den Angga datang ke rumah”.
“Tentu menemani si Wanti setelah sebulan tidak bertemu”, kata Pertiwi.
“Benar Nden. Malah pulangnya saya yang mengantarkan. Saya dengar hari ini dia diajak tugas keliling oleh Juragan”.
“Ayah mengajak dia dalam tugas dinas? Kok aneh. Apa dia itu pegawai kecamatan?”.
“Bukan kata Juragan, tapi kata Den Angga. Katanya diminta mengawal Nden Wanti yang ingin ikut dengan Juragan”.
“O, jadi itukah alasan sakit si Wanti tidak masuk sekolah?”, kata Pertiwi sambil mengerut kening. Lalu: “Aneh pula. Sejak kapan Ayah mengajar anaknya berbohong karena hendak diajak tugas? Ah, itulah alasanmu mempercepat latihan tadi Wan? Bukankah Ayah berangkat tadi pagi, dan sekarang mereka bebas berduaan?”.
“Ya Nden”.
“Lalu kenapa tadi tidak kau batalkan saja latihannya? Bahaya Wan. Mungkin sekarang...o, Wan percepat kudanya. Aku khawatir sekarang telah terjadi sesuatu dengan si Wanti”, kata Pertiwi rusuh.
“Sabar Nden. Saya tidak dapat membatalkana latihan tanpa alasan jelas. Karena itu saya telah berusaha mengulur waktu pertemuan mereka. Mudah-mudahan sekarang belum terjadi apa-apa”.
“Apa yang telah kau lakukan?”, tanya Pertiwi agak tenteram lagi.
“Saya katakan. Pagi-pagi Nden Wanti sekolah. Den Angga sendiri membenarakan disiplin Juragan sangat keras. Dia juga mengatakan Juragan akan berangkat sepulang sekolah Nden Wanti. Ketika menanyakan Nden, saya katakan latihan volley pukul tiga, dan Nden selalu pulang dulu untuk makan. Menurut perhitungan saya, dia akan datang pukul dua lebih, karena tidak ingin bertemu Nden”.
Pertiwi melihat arlojinya: “Sekarang pukul setengah tiga”, katanya.
“Mungkin saat ini dia baru datang”.
“Wan”.
Darmawan berpaling: “Ada apa Nden?”.
“Terimakasih”, ujar Pertiwi.
“Sudah kewajiban kita menjaganya Nden. Bukankah saya calon kakak iparnya?”.
Pertiwi tersenyum cerah. Betapa manisnya kata-kata itu terasa di telinga Pertiwi. Begitu delman berhenti di depan rumah, Pertiwi meloncat turun dan bergegas masuk. Di tepas tidak ada siapa-siapa. Dia langsung masuk ke kamarnya untuk menyimpan tas sekolahnya. Tetapi segera keluar lagi. Dia menghampiri kamar Purwanti, langsung membuka pintunya, kosong. Dia menghampiri kamar ibunya dan mengetuk pintunya.
“Siapa?”, tanya suara wanita dari dalam.
“Wiwi Bu”.
“Masuk saja, tidak dikunci. Kau baru pulang?”, tanya Ibunya setelah Pertiwi masuk dan duduk di sisi pembaringan di samping Ibunya yang sedang menjahit renda.
“Ya Bu, latihan volleynya langsung setelah bubaran sekolah, karena pelatihnya ada keperluan lain”.
“Makanlah dulu, nanti kau sakit. Aku dan adikmu sudah duluan, karena kau tidak datang juga”.
“Apa sakit Wanti sudah sembuh?”, tanya Pertiwi.
“Sudah agak baikan. Tapi katanya badannya masih lemah. Dia hanya keluar kamar untuk makan, lalu masuk lagi”.
“Baiklah Bu. Wiwi akan istirahat dulu sebentar”, ujar Pertiwi dan dia keluar kamar ibunya.
Ternyata Ibunya tidak tahu Purwanti tidak ada di kamarnya. Maka Pertiwi pergi ke dapur. Tampak Bi Acah sedang menanak nasi.
“Bi, apa Bibi melihat Wanti?”.
“Belum terlalu lama Nden Wanti keluar. Katanya mah mau ngajagjagkeun sampean di kebun”.
“Baiklah aku akan mencarinya. Terimakasih Bi”.
“Silahkan Nden”.
Tiba di kebun belakang Pertiwi menyapukan pandangannya ke semua sudut. Tidak ada gerakan, hening. Akhirnya dia melangkah menghampiri ranggon di pinggir kolam, tempat ayahnya bersantai sambil mancing kalau ada waktu luang atau hari libur. Ranggon itu berdinding bilik hampir satu meter, di bagian atasnya terbuka. Yang tidak berdinding adalah yang menghadap kolam.
Semakin dekat ke ranggon, Pertiwi berjalan semakin lambat tanpa menimbulkan suara. Ketika jaraknya sudah sangat dekat, dia mendengar bisikan-bisikan perlahan dan dengusan nafas dibarengi desahan lirih perempuan. Wajah Pertiwi menyemburat. Dengan beberapa loncatan dia telah berdiri tegak mengangkang kaki di atas palupuh ranggon. Tangan kanannya langsung menjambret kerah baju Raden Angga, dan menyeret dengan kasar tubuh pemuda itu turun dari ranggon. Telinganya masih mendengar pekikan terkejut Purwanti yang baju di bagian dadanya terbuka lebar.
“Berdiri Angga!”, bentak Pertiwi dengan pandangan menyala.
Dengan wajah memutih dan siratan ketakutan, Raden Angga bangun dan berdiri di depan Pertiwi. Begitu tegak, tangan Pertiwi menampari pipi anak muda itu dengan keras. Lalu kedua tinjunya menggocoh wajah pucat itu secara beruntun. Raden Angga mengerang-erang oleh rasa sakit yang hampir tak tertahankan. Dari hidung dan bibirnya keluar cairan merah. Kedua mata dan pipinya bengkak biru sembam.
“Laknat kau Angga! Kau telah merusak masa depan adikku tahu?! Kau bujuk-bujuk adikku dengan rayuan buayamu. Ayo lawan aku!”, bentaknya lagi sambil memasang kuda-kuda.
Selama Pertiwi bicara, tubuh Raden Angga terhuyung-huyung karena hentakan pukulan-pukulan tadi dan oleh rasa pening. Tapi akhirnya dia bisa berdiri tegak lagi dengan mulut menyeringai.
“Ayo lawan aku! Bukankah kau laki-laki?”.
Raden Angga tidak bergerak, bahkan kedua lengannya tergantung lemas.
“Pengecut!”, desis Pertiwi.
Kemudian secara beruntun Pertiwi kembali menggocoh anak muda itu, bukan hanya wajahnya, namun juga tubuhnya. Raden Angga terdongak dan terbungkuk berulang kali dengan mulut merintih-rintih. Bahkan kemudian kaki gadis itu pun turut bekerja, sampai akhirnya tubuh Raden Angga ambruk di tanah. Pertiwi berdiri bertolak pinggang sambil mengangkang kaki.
“Bangun Angga!”.
Tetapi Raden Angga hanya merintih-rintih karena seluruh tubuhnya dirasakan demikian sakit.
“Dengar Angga”, kata Pertiwi, “sejak hari ini kau kularang menginjak rumahku lagi. Bila kau lakukan juga, akan kuberitahukan perbuatan laknatmu terhadap adikku pada Ayah. Aku juga akan menghajarmu jauh lebih parah dari saat ini, sehingga kau tidak akan mampu lagi merusak kehormatan perempuan yang paling lemah sekalipun. Camkan Angga! Sekarang angkat kaki dari sini!”.
Raden Angga bangkit dengan susah payah. Nampaknya dia terlalu lemah untuk berdiri.
“Cepat!!!”, bentak Pertiwi, “atau apa kau ingin kuhancurkan sekarang?!”.
Melihat Pertiwi bersiap menyerang lagi, Raden Angga bangkit dengan menahan sakit luarbiasa dan mulutnya menyeringai. Namun karena sangat takut, ternyata dia dapat berjalan meskipun limbung. Dia tidak mengambil jalan ke depan, tetapi melewati pagar kebun. Pertiwi memperhatikan sampai anak muda itu lenyap di antara pohon-pohon ladang milik tetangga sebelah. Baru gadis itu berbalik menghampiri Purwanti yang masih duduk di ranggon.
Ketika Pertiwi menghajar Raden Angga, Purwanti juga melihatnya. Gadis itu baru tahu kalau kakaknya punya kemampuan berkelahi yang mendebarkan. Karena itu ketika Pertiwi datang menghampirinya, ada rasa takut di hatinyadan terbayang jelas di wajahnya. Waktu mata mereka bertemu pandang, Purwanti menundukkan kepala dengan hati berdebar-debar. Tetapi ternyata Pertiwi tidak bersikap keras sebagaimana terhadap Raden Angga. Dia berjongkok di depan Purwanti beberapa lamanya tanpa bicara. Rupanya dia sedang menenangkan hatinya yang bergejolak karena kemarahan yang menghentak. Setelah menghela nafas panjang, akhirnya keluar juga kata-kata dari mulutnya.
“Wanti, apa kau tidak menyadari kalau perbuatan kalian barusan hampir mencemarkan nama keluarga kita, nama Ayah dan Ibu kita? Badanmu memang sudah seperti gadis dewasa, dan kau sendiri tidak mau disebut anak kecil. Tetapi dari kenyataan yang terjadi barusan, dengan terbujuk oleh rayuan gombal si Angga, merupakan bukti yang tidak bisa dibantah bahwa kau sebenarnya masih gadis kecil yang belum mengerti arti hidup. Kau belum mengerti bahwa perjalanan hidupmu masih sangat panjang. Kau tidak mengerti bahwa jika sampai kegadisanmu hilang barusan, maka kau telah memperpendek jalan hidupmu sendiri”.
Sejenak Pertiwi berhenti. Dia tahu kalau nasihatnaya itu tidak akan ada artinya. Sebab orang yang sedang dibutakan nafsu, akan menganggap setiap penghambatnya musuh. Pertiwi juga menyadari kalau dirinya telah memotong gejolak nafsu yang sedang menguasai pikiran dan perasaan adiknya.
“Aku yakin”, lanjut Pertiwi, “saat ini di hatimu terbersit rasa benci kepadaku, karena aku telah menghalangi perbuatanmu. Bagiku tidak jadi soal. Kau boleh membenciku, itu hakmu. Tetapi aku akan tetap memotong keinginanmu yang jelek dan berdosa itu sejauh aku dapat melakukannya. Karena aku tidak mau nama keluarga kita tercemar dan wajah orangtua kita tercoreng. Aku melakukan itu karena aku menyayangimu dan menyayangi perjalanan hidupmu yang masih sangat panjang. Karena kau adalah satu-satunya adikku, satu-satunya saudaraku. Kali ini aku tidak akan melaporkan kepada Ayah, karena aku masih berharap kau menyadari kekeliruan langkahmu. Sekarang sebaiknya kau segera masuk ke kamarmu, sebelum Ibu mengetahui kepura-puraan sakitmu dan sebelum Ayah pulang dari tugas kelilingnya. Kalau mereka sampai melihat bajumu bagian dada robek, kau akan mendapat marah besar, dan aku tidak akan dapat menutupi rahasia ini”.
Mendengar kata-kata Pertiwi, Purwanti ketakutan. Dia segera bangkit dan berlalu meninggalkan Pertiwi dengan kepala tunduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pertiwi mengikutinya dari belakang. Tetapi ketika sampai di dekat pondok Mang Darma, Pertiwi membelok ke pondok itu. Nampaknya Darmawan baru selesai sembahyang asar, karena tengah menggulung sajadah. Pertiwi menjatuhkan tubuhnya pada kursi tamu dan memejamkan matanya seolah ingin menghilangkan semua pandangan yang terjadi di ranggon itu.
“Nden nampaknya begitu tertekan. Bukankah yang kita khawatirkan belum terjadi?”, kata Daramawan melihat gadis itu bersandar lemah dengan wajah kepucatan. Darmawan menuangkan air putih dari kendi ke dalam gelas dan disodorkan kepada Pertiwi. “Sebaiknya Nden minum dulu”, ujarnya.
Pertiwi meneguk air dingin dengan aroma khas kendi sampai habis. Rasanya air itu menyiram kepalanya yang berdenyut, meresap dan menyejukkan pikirannya.
“Aku tahu, kau tentu melihat kejadian tadi”, ujar Pertiwi, “memang keadaannya belum kuyup tetapi sudah basah. Mandinya yang kepalang karena terganggu olehku, akan membuatnya jadi penasaran. Itu akan mendorongnya jadi lebih pintar pura-pura. Akulah yang jadi pendorongnya”.
“Jangan menyalahkan diri sendiri. Kebohongan dan sikap pura-pura itu sudah terjadi sebelum Nden menghalanginya. Kita telah berusaha menghentikan keterlanjurannya. Kita akan tetap melakukannya sejauh kemampuan kita. Ancaman Nden pada Den Angga adalah satu cara pencegahan keterlanjuran itu. Tetapi dengan demikian Nden harus mempersiapkan penjagaan diri, karena telah menanam bibit kebencian terhadap sumber pembuat kerusakannya”, kata Darmawan.
“Aku juga menyadari. Bahkan aku telah merencanakan memotong setiap usaha balas dendam yang mungkin akan dilakukan olehnya”.
“Artinya, hari-hari Nden selanjutnya akan semakin sibuk. Karena itu Nden harus segera mengatur jadwal waktu yang lebih baik, agar tidak banyak mempengaruhi pelajaran dan kesehatan sendiri”.
“Aku tahu, dan aku sangat berterimakasih kepadamu. Karena kau telah memberi kesempatan yang semakin besar kepadaku untuk mengatasi sendiri persoalan-persoalan yang kuhadapi tanpa harus selalu mengharapkan bantuan orang lain”.
“Jangan ber...”. Daramawan tidak melanjutkan kata-katanya. Perhatiannya beralih. Kepala anak muda itu sedikit dimiringkan untuk memusatkan pendengaran. Baru kemudian katanya, “Nden, saya mendengar langkah-langkah kuda menginjak kerikil. Nampaknya Juragan baru datang”.
Pertiwi bangkit. Dia tahu, telinga anak muda itu sangat tajam. Karena itu segera dia keluar pondok. Pertiwi mencoba mempertajam pendengarannya sebagaimana yang dilakukan Darmawan. Ternyata sejenak kemudian telinganya mendengar bunyi langkah-langkah yang menginjak kerikil. Tetapi dia belum bisa membedakan apa itu langkah kuda atau kaki orang.

--0--

Enam
Ekses
Langkah-langkah itu semakin jelas terdengar. Pertiwi yang mengenakan baju dinas malamnya dengan topi kupluk menyelubungi kepala semakin merundukkan tubuhnya. Tetapi pandangannya tidak lepas ke arah pintu pagar halaman. Kemudian dalam kegelapan malam itu muncul tiga sosok tubuh menghintam di depan pintu pagar halaman. Mereka langsung masuk dan menghampiri pintu depan rumah beriringan, dan mengetuk pintunya.
Tak lama kemudian pintu terbuka, dan berkas cahaya listrik menerpa wajah ketiga tamu itu. Tiga pemuda berusia 20-an. Yang membuka pintu adalah lelaki yang usianya hampir seusia ayah Pertiwi.
“Maaf Juragan”, kata salah seorang tamu itu, “kami teman Den Angga dan diminta datang, katanya Aden sedang sakit”.
“Ya, dia juga mengatakan kalian akan datang. Masuklah”, jawab si orangtua.
Ketiga pemuda itu menganggukkan kepala. Setelah ketiganya masuk, pintu pun ditutup lagi. Pertiwi menanti beberapa saat. Baru kemudian mengendap-endap menyusuri dinding rumah, yang dituju adalah kamar Raden Angga. Sebagai yang punya hubungan keluarga, Pertiwi mengetahui letak kamar itu, karena pernah berkunjung beberapa kali. Dia memasang telinga mendengarkan pembicaraan dari dalam.
Tetapi sampai sekian lama dia tidak mendengar suara apa-apa. Padahal jika Raden Angga dan kawan-kawannya berada di kamar itu, sekalipun mereka bicara perlahan, pasti akan terengar melalui celah-celah jendela. Karena itu dia bergerak lagi menyusuri dinding ke kamar berikutnya. Namun seperti yang sebelumnya, di situ juga dia tidak mendengar apa-apa. Sampai tiga kamar dalam rumah itu yang diintip, tidak ada hasil apa-apa. Akhirnya dia kembali ke tempat persembunyiannya semula untuk menanti pulangnya ketiga tamu tersebut. Ternyata ketiga tamu itu tidak terlalu lama di dalam.
Setelah ketiga orang itu lenyap di balik pagar pintu halaman, Pertiwi keluar dari persembunyiannya. Dia mengikuti mereka dalam jarak yang tidak terlalu dekat, namun masih terlihat pada kelamnya malam. Sekitar setengah jam kemudian mereka telah melewati perbatasan kota. Namun ketiga orang itu masih melanjutkan perjalanannya di bulak panjang. Untunglah di sepanjang pinggir jalan ada pohon-pohon besar yang biasa digunakan para pejalan untuk berteduh dari teriknya matahari, sehingga Pertiwi tidak mengalami kesulitan mengikutinya.
Sekitar setengah jam berikutnya mereka memasuki mulut desa. Karena itu Pertiwi memperpendek jarak dengan mereka. Sebab setelah berada di dalam desa, setiap saat orang yang diikutinya dapat menghilang di cabang jalan atau masuk ke salah satu rumah. Tetapi Pertiwi jadi kebingungan ketika di sebuah jalan cabang ketiga orang itu berpisah. Sejenak Pertiwi berpikir. Akhirnya dia memutuskan mengikuti yang seorang. Sebab ketika bertamu di rumah Raden Angga, orang itulah yang berbicara mewakili dua kawannya.
Tidak terlalu jauh dari jalan cabang tadi, orang itu memasuki halaman sebuah rumah. Pertiwi melihat orang itu memasuki rumah dengan membuka pintu menggunakan kunci yang dibawanya sendiri, berarti itu rumahnya sendiri. Gadis itu mengambil bloknot dari balik bajunya dan mencatat nomor rumahanya. Tidak ada lagi yang dapat dilakukan, selain pulang.
Perjalanan pulang dapat dilakukan lebih cepat, karena Pertiwi memanfaatkannya sebagai latihan. Sesungguhnyalah, setiap melakukan perjalanan malam, Pertiwi tidak pernah melewatkan kesempatan yang ada untuk meningkatkan ilmunya. Itulah sebabnya, dia cepat menguasai pelajaran yang diberikan Darmawan. Tetapi gadis itu tidak menyadari kalau sejak keluar dari desa, seseorang telah mengikutinya. Orang itu tampaknya memiliki kemampuan tinggi, karena apapun yang dilakukan gadis itu, dia tetap dapat menjaga jaraknya.
Ketika Pertiwi memasuki halaman kecamatan, orang itu berdiri di sudut psagar halaman di bawah rimbunnya pohon mangga, memperhatikan bagaimana gadis itu membuka jendela kamarnya, dan masuk, sampai jendela tertutup kembali. Kemudian tubuhnya meloncat ke kebun di samping halaman kecamatan dan lenyap.Yang tertinggal adalah keheningan larut malam yang semakin sepi.

--0--


Sejak Pertiwi dan Purwanti naik delman pagi itu untuk pergi ke sekolah, tak seorang pun yang bicara, sehingga keadaan jadi hening. Terasa benar kekakuan di antara kedua gadis kakak-beradik itu. Darmawan tahu apa yang jadi penyebabnya. Dia menganggap situasi demikian tidak baik belangsung terlalu lama. Karena itu dia mencoba memperbaiki kembali hubungan mereka.
“Sudah dua hari Emang seperti naik delman seorang diri”, katanya memulai tanpa ditujukan kepada salah seorang diantaranya. “Kemarin Emang tidak tahu. Tetapi hari ini Emang bisa menduga kalau Nden berdua sedang tidak akur. Benar tidak dugaan Emang?”.
Yang menjawab Pertiwi: “Tidak benar”, ujarnya, “apa Emang pernah melihat kami bertengkar? Tidak kan?”.
“Kalau begitu, mengapa Nden berdua tidak ngobrol seperti biasa?”.
“Mang Darma tahu kan, dua hari Wanti tidak masuk sekolah karena sakit? Kukira dia masih belum punya selera ngobrol. Bukan begitu Wanti?”.
Purwanti diam saja, tidak menyahut dan tidak megangguk.
“Apa benar Nden?”, tanya Mang Darma kepada Purwant. Purwanti tetap bungkam.
“Ternyata dugaan Emang yang benar. Nden berdua pasti sedang bertengkar”, kata Mang Darma dalam nada bangga. Lalu: “Emang tidak tahu, sudah berapa lama Nden tidak berbaikan. Tetapi menurut ajaran agama yang Emang dengar, perselisihan di antara sesama muslim tidak boleh lebih dari tiga hari”.
“Tetapi aku merasa tidak pernah bertengkar dengan adikku Mang”, kata Pertiwi.
“Memang tidak bertengkar, tetapi mencampuri urusanku”, kata Purwanti dengan nada ketus.
“Aku mencampuri urusanmu, karena urusanmu itu tidak benar Wanti”.
“Huh tidak benar”. Purwanti mendengus.
“O, jadi kau merasa perbuatan itu benar ya? Baiklah kita buktikan nanti. Kita katakan kepada Ayah persoalannya. Kalau Ayah mengatakan perbuatanmu benar, aku akan minta maaf kepadamu dengan mencium ujung kakimu. Setuju?”.
Wajah Purwanti berubah, dan dia jadi membungkam.
“Kalau Emang boleh tahu, siapa tahu Emang bisa membantu”.
“Maaf Mang. Ini urusan pribadi yang menyangkut keluarga. Aku tidak bisa mengatakan kepada orang luar. Sebenarnya kalau aku ceritakan pada Ayah, persoalannya akan beres”, kata Pertiwi.
“Lalu kenapa Nden tidak menceritakan kepada Juragan?”.
“Karena aku bukan anak tumbak cucukan”.
“Tapi dengan begitu keadaan Nden berdua jadi berkepanjangan”. Mang Darma gogodeg, “apa Nden berdua betah begini terus?”.
“Tentu saja tidak Mang”, sahut Pertiwi, “tetapi apa boleh buat.Aku sendiri merasa tidak punya ganjalan hati apa-apa kepada adikku”.
Beberapa saat tidak ada yang bicara. Mang Darma rupanya tengah berpikir keras untuk mengakhiri suasana kaku itu. Itu tercermin dari kata-katanya kemudian.
“Kedua Nden”, katanya, “ini mah menurut pemikiran Emang yang bodoh. Meskipun Nden berdua tidak berkata apa-apa kepada Juragan, akhirnya pasti beliau akan mengetahui Nden berdua tidak akur. Emang yang bodoh saja bisa tahu, apalagi Juragan. Emang mah tidak dapat memaksa Nden berterus terang. Tetapi Juragan pasti akan memaksa. Jika sampai begitu, siapa yang benar dan siapa yang salah akan diketahui. Tapi akibatnya, hubungan di antara Nden berdua akan semakin tidak baik, karena yang dinyatakan bersalah pasti akan mendendam. Bukan begitu?”.
“Pendapatku juga begitu Mang”.
“Dan bagaimana pendapat Nden Wanti?”.
Purwanti tetap tidak menyahut. Sampai tiba di depan sekolah Purwanti, persoalan itu tetap tidak ada penyelesaiannya. Gadis itu turun tanpa bicara sepatah pun.Setelah delman bergerak lagi menuju sekolah mereka, Pertiwi membicarakannya lagi.
“Itulah adikku sekarang Wan”.
“Dia masih kecil Nden”.
“Justru masih kecil, maka keadaannya jadi gawat. Pikirannya telah dirasuki bujuk rayu si Angga yang sudah sangat berpengalaman sejak pesta harum sebulan itu. Aku khawatir sekali, kita tidak akan bisa menariknya lagi dari jalannya yang gelap”.
“Saya akan mencoba lebih mendekatinya Nden. Kebetulan hari ini Nden tidak pulang dulu ke rumah karena ada kegiatan belajar bersama. Mudah-mudahan saya bisa mengajuk hatinya”.
“Baiklah. Persoalan itu aku serahkan kepadamu. Sekarang kita biacara tugas kita”, kata Pertiwi mengalihkan persoalan. “Tadi malam aku mengawasi rumah si Angga. Ada tiga kawannya yang datang. Sayang aku tidak mengetahui apa yang mereka bicarakan. Tetapi aku mengenal ketiga tamu itu sebagai yang ikut latihan di Pasirpanjang. Aku mengikuti mereka. Tetapi yang berhasil kuketahui alamatnya hanya seorang. Yang dua lagi lolos”.
“Cerita saya lain lagi”, kata Darmawan, “saya langsung ke desa di selatan. Tapi sampai malam hampir larut, saya tidak menemukan wajah-wajah yang kita cari. Ketika hendak pulang, di mulut desa saya melihat tiga orang yang dicari itu. Sayang di satu persimpangan mereka berpisah. Saya mengikuti yang dua orang, karena yang seorang telah dibuntuti orang lain. Saya pikir nanti juga...”.
“Licik”, potong Pertiwi.
Darmawan tersenyum. Pertiwi pun akhirnya tersenyum. “Kalau begitu, hari ini kita mendapat tambahan tiga orang”, kata si gadis.
“Ya Nden. Soal nama-nama mereka, biar saya yang urus setelah mengantar pulang Nden Wanti nanti. Serahkan saja alamat yang Nden peroleh kepada saya”.
Pertiwi membuka tas sekolahnya dan menyerahkan bloknot khusus yang diminta anak muda itu. Seperti biasanya, setiba di depan sekolah, Pertiwi turun, sementara Darmawan menjalankan lagi delmannya untuk dititipkan selama sekolah. Ketika Pertiwi memasuki kelas, beberapa kawannya anggota tim volley sedang berkerumun membicarakan sesuatu.
“Aku malah senang tidak diundang”. Terdengar Maryanti bicara.
“Ya, kalaupun diundang, aku tidak akan datang”, sambung Betty.
“Makanya dia tidak mengundangmu. Karena sudah tahu, kau tidak akan datang”, kata Susi, “yang harus dipertanyakan, Kenapa aku, Marni, Lina dan yang lainnya tidak diundang?”.
“He ada apa ribut-ribut?”, tanya Pertiwi sambil menghampiri.
“Nah, ini dia orang pentingnya sudah datang”, kata beberapa gadis serempak.
“He, kenapa dengan aku?”.
“Kau mendapat undangan Wiwi”, kata Marni sambil menyodorkan sebuah surat undangan.
“Undangan apa,dan dari siapa?”, tanyanya.
“Baca saja sendiri”, kata Susi.
Pertiwi membuka sampul surat itu dan mengambil isinya. Sebuah undangan ulang tahun.
“Apa yang aneh? Bukankah kalian juga pernah mengundangku dalam ulang tahun kalian?”.
“Yang aneh adalah kami semua tidak diundang”, kata Susi.
“Kok begitu? Alasannya?”.
“Alasannya?”, sahut Susi mengulang pertanyaan Pertiwi, “aku mau tanya dulu. Apa kau merasa jadi anak pejabat atau tidak?”.
“Anak pejabat?”.
“Ya, merasa jadi anak Camat atau tidak?”.
“Lalu apa hubungannya?”.
“Itulah alasannya”, sahut Susi.
“Gila si Dora”, desis Pertiwi.
“Memang itulah alasannya yang dikatakan si Dora kepadaku Wiwi”, kata Marni.
“Ah kukira si Dora hanya berolok-olok”.
“Tidak Wiwi. Dia bicara serius kok”.
“Hmm kalau begitu aku tidak akan datang. Apa dia kira aku akan merasa bangga karena diundang dengan alasan itu. Tolol benar dia”, kata Pertiwi.
“Aku minta Wiwi, sebaiknya kau datang”, kata Marni.
Pertiwi memandang Marni dengan heran. Begitu pula kawan-kawan lainnya. Mereka semua tahu, Marni memiliki sifat hampir sama dengan Pertiwi. Itu sebabnya Marni adalah kawan terdekat Pertiwi. Kalau sekarang Marni meminta Pertiwi agar memenuhi undangan itu, tentu ada pertimbangan khusus.
“Kau juga aneh Marni”, kata Pertiwi.
“Aku hanya merasa kasihan pada si Dora”. Marni mulai menjelaskan. “Untuk mengundangmu, dia sengaja datang ke rumahku. Dia mengatakan, sebenarnya dia malu menyampaikan undangan itu. Tetapi terpaksa karena permintaan orangtuanya. Dia mengakui orangtuanya masih kampungan, sehingga sangat bangga ketika tahu anaknya punya teman anak Camat. Mereka ingin memperlihatkan kepada para tetangganya bahwa anak mereka berkawan dekat dengan anak pejabat tinggi. Dia tidak dapat menolak desakan orangtuanya agar mengadakan pesta ulang tahun yang belum pernah diadakan. Itulah yang diberitahukan kepadaku. Aku benar-benar jadi kasihan padanya”.
Semua kawan Pertiwi saling pandang. Kini tak seorang pun berminat untuk berolok-olok. Sampai beberapa lamanya Pertiwi membungkam dengan kening berkerut.
“Kau telah memberi pilihan yang sulit Mar”, kata Pertiwi akhirnya. “Kalau undangan kupenuhi, orang akan menilaiku gadis sombong yang gila hormat. Kalau aku tidak datang, juga akan dinilai sama oleh keluarga si Dora. Hmm, sebaiknya aku menemui si Dora”, katanya sambil beranjak.
“Jangan Wiwi”. Marni menahan dengan memegang tangan Pertiwi.
“Kenapa?”.
“Dia mengatakan malu bertemu denganmu. Karena itu dia mengirimkan undangan melaluiku”.
“Tetapi aku harus tahu, apa dalam undangan kepada para tetangganya disebutkan akan hadir anak camat?”, kata Pertiwi kesal.
“Tidak Wiwi. Aku juga telah menanyakan kepadanya. Dia bersumpah tidak. Jadi, pengumuman kau sebagai anak Camat baru akan terjadi setelah kau hadir di sana. Dengan demikian, orang tidak akan menganggapmu sombong dan gila hormat. Tuduhan akan ditujukan kepada kelurarga si Dora”.
“Hmm,biarlah aku pikirkan lagi nanti”.
“Sekali lagi aku minta Wiwi”, kata Marni.
Ulangan permintaan Marni itu jelas menunjukkan sikap si Dora yang istimewa, sehingga Marni demikian terpengaruh. Karena itu sampai bubaran sekolah Pertiwi masih tidak dapat melepaskan dalam pikirannya. Namun akhirnya dia mengambil keputusan yang memperlihatkan bahwa sesungguhnya dia tidak menyetujui cara undangan yang ditempuh si Dora.
“Tentang undangan si Dora tadi”, kata Pertiwi kepada Marni ketika mereka pulang ke rumah Marni untuk belajar bersama. “Dia ternyata salah menilaiku. Sebenarnya kalau tidak menggunakan alasan macam-macam, tanpa harus berpikir dua kali, aku akan penuhi undangannya. Paling-paling aku akan menanyakan kenapa yang lain tidak diundang”.
“Soal itu pun sudah kukatakan”, sahut Marni, “alasannya cukup masuk akal. Karena rumahnya jauh di luar kota, tentu tidak akan ada yang datang. Tapi jika ada yang akan datang, dia tidak berkeberatan”.
“Kalau begitu tolong sampaikan kepada dia. Kalau dia mau mengurungkan pengumuman diriku anak Camat, mungkin aku akan datang”.
“Kok masih mungkin. Aku minta ketegasanmu Wiwi. Jika pesanmu kusampaikan, apa kau akan memenuhi undangan itu?”.

--0--


“Baiklah aku penuhi permintaanmu, tetapi dengan syarat”, sahut Purwanti kepada Mang Darma sementara delman bertoplak menuju pulang.
Bibir Mang Darma berkerenyut menahan senyum karena geli oleh jawaban kekanak-kanakan majikan termudanya. Bagaimana tidak kekanak-kanakan, mengingat berbaiknya kembali kakak beradik itu sebenarnya akan menguntungkan dirinya. Dengan berbaiknya mereka, perbuatan gadis itu dengan Raden Angga akan tetap menjadi rahasia dan tidak akan diketahui orangtuanya. Namun demikian Mang Darma berusaha tidak memperlihatkan kegelian hatinya, agar gadis bongsor itu tidak tersinggung, yang bisa mengakibatkan gagalnya usaha merukunkan kembali kedua majikan mudanya itu. Karena itu apa yang ada dalam hatinya, berbeda dengan yang diucapkannya.
“Terimakasih Nden. Emang amat gembira karena Nden mau berbaik kembali dengan kakak Nden”.
“Belum lagi Mang. Sudah kukatakan, aku mau berbaik dengan kakakku, tetapi dengan syarat. Jadi tergantung pada sanggup-tidaknya Emang memenuhi syarat itu, mengerti?”.
“Ya, ya Nden. Emang mengerti”, kata Mang Darma sambil menganggu-anggukkan kepala.
“Bagus. Sekarang aku mau tanya. Apa Kak Wiwi suka memberi uang padamu?”.
“Pernah juga Nden, satu-dua kali”, sahut Mang Darma tanpa menjelaskan alasannya.
“Kalau begitu aku juga akan memberimu uang, bahkan lebih sering, asal kau mau menurut kata-kataku. Bagaimana mau?”.
“Terimakasih Nden. Tentu saja Emang mau”.
“Tetapi Mang Darma harus memegang rahasiaku. Jangan diketahui Kak Wiwi dan orangtuaku”.
“Rahasia Nden? Rahasia apa? Apa Emang boleh tahu?”.
“Tentu nanti juga Mang Darma akan tahu sendiri. Yang penting aku minta janjimu. Segala yang Mang Darma ketahui tentang urusanku, harus Emang rahasiakan. Nah mau berjanji?”.
Mang Darma tidak segera menjawab.
“Ingat Mang. Kalau Emang tidak mau berjanji, aku tidak mau berbaikan dengan Kak Wiwi. Sebaliknya, kalau Emang mau berjanji, aku akan memenuhi keinginanmu. Ditambah lagi, Emang akan sering mendapat uang dariku”, kata Purwanti mendesak.
“Ya, ya Nden. Baiklah Emang berjanji. Emang akan memegang rahasia Nden”, sahutnya.
Purwanti tersenyum. Tetapi gadis itu tidak bicara apa-apa lagi. Sampai delman mereka sudah mendekati kantor kecamatan, ternyata Purwanti masih tidak memberitahukan rahasianya. Ini membuat Mang Darma tampak gelisah, sampai akhirnya dia tidak dapat menahan kegelisahannya.
“Nden’, katanya, “apa Nden tidak percaya pada janji Emang?”.
“Aku percaya Mang. Karena itu kalau nanti Kak Wiwi pulang, aku akan berbaikan dengannya. Apa kau tidak percaya?”, tanya Purwanti.
“Percaya Nden, Emang percaya. Tetapi rupanya Ndenlah yang tidak mempercayai Emang”.
“Sudah kukatakan, aku percaya”.
“Tetapi mengapa Nden tidak mau memberitahukan rahasia itu?”
“O itu”. Purwanti tersenyum lagi. “Soal itu aku tidak tergesa-gesa. Yang penting Emang sudah berjanji mau memenuhi syaratku”.
“Tapi...”.
“Hmm, apa kau takut aku melupakan janjiku untuk memberimu uang?”, tanya Purwanti.
Mang Darma menunduk karena maksud hatinya dapat ditebak dengan tepat. Sementara Purwanti merogohkan tangannya ke dalam tas sekolahnya untuk mengambil uang, kemudian diberikan kepada Mang Darma.
“Terimakasih Nden. Emang berjanji akan menuruti segala perintah Nden”, kata Mang Darma.
“Benar Mang?”.
“Pasti Nden, pasti”.
“Kalau begitu, nanti sore Emang tidak usah menjemput Kak Wiwi. Biarkan dia berjalan kaki”.
“Tapi bukankah Nden akan berbaikan dengan Nden Wiwi? Kalau Emang tidak menjemputnya, nanti Nden Wiwi bisa marah kepada Emang. Kalau Emang mengatakan dilarang Nden, tentu Nden Wiwi yang akan menolak berbaikan dengan Nden, karena ternyata Nden masih mendendamnya”.
“Jangan takut. Soal kau tidak menjemputnya, aku yang akan minta maaf, karena kau kusuruh ke rumah kawanku untuk meminjam buku pelajaran. Aku hanya ingin meyakinkan, apa kau lebih menurut kepadaku atau kepada dia?”.
“Kalau begitu baiklah Nden. Tentu Emang akan lebih menurut kepada Nden. Nanti Emang akan terus ke pasar untuk narik”.
“Ya, begitu saja”, kata Purwanti menyetujui.
Dengan adanya keputusan itu, ketika delman telah tiba di depan kantor kecamatan, Purwanti turun dan Mang Darma menjalankan lagi delmannya menuju pasar. Mang Darma benar-benar melakukan apa yang telah dirundingkan dengan Purwanti. Dia baru pulang dari pasar menjelang magrib.
Pada dasarnya Purwanti gadis lincah, karena itu mudah baginya untuk merubah suasana. Ketika Pertiwi pulang dengan berjalan kaki, di wajah gadis itu tidak tampak lagi rasa permusuhan.
“Kak Wiwi”, sapa Purwanti ketika Pertiwi muncul di tepas dan hendak terus masuk ke dalam.
Pertiwi menghentikan langkahnya dan berpaling. “Ada apa?”, tanyanya, sementara hatinya yakin, Darmawan telah berhasil meluluhkan permusuhan gadis itu. Karena kalau belum berhasil, pasti Purwanti tidak akan menegurnya.
“Aku minta maaf Kak Wiwi. Tadi aku menyuruh Mang Darma meminjam buku pelajaran kepada temanku, sehingga tidak dapat menjemputmu. Kak Wiwi tidak marah kan?”.
Pertiwi tersenyum. “Tentu tidak Wanti. Memang tadinya aku akan menanyakan mengapa dia tidak menjemputku”.
“Aku perlu catatan pelajaran ketika tidak masuk”, kata Purwanti menjelaskan.
“Memang harus begitu, supaya kau tidak tertinggal dari kawan-kawanmu”, sahut Pertiwi. Lalu: “Aku cape sekali, sehabis latihan harus jalan kaki pula. Aku mau istirahat dulu”.
Pertiwi berlalu diikuti pandangan Purwanti dengan bibir tersenyum. Gadis itu merasa puas, karena Mang Darma ternyata mematuhinya. Dia tidak tahu samasekali bahwa ketika latihan volley, Darmawan telah memberitahukan kepada Pertiwi tentang permintaan adiknya. Maka setelah latihan, Darmawan pergi ke pasar lagi, sehingga Pertiwi harus berjalan kaki.
Sehabis isya, setelah kedua orangtuanya dan Purwanti masuk kamar masing-masing, dengan diam-diam Pertiwi pergi ke pondok Darmawan karena ada masalah yang hendak dibicarakannya. Rupanya Darmawan baru selesai sembahyang pula. Ketika Pertiwi muncul, Darmawan sedang melipat sajadah.
“Apa kau tidak akan bepergian Wan?”, tanya Pertiwi setelah mengambil tempat duduk di salah satu kursi. Di atas meja tampak sepiring ubi rebus yang masih mengepulkan asap tanda belum lama diangkat dari jerangan.
“Tidak Nden. Nampaknya Nden ingin tahu soal Nden Wanti”, sahut Darmawan sambil duduk di kursi di hadapan Pertiwi.
“Memang”, katanya, “tetapi ada masalah lain yang mengherankan hatiku”.
Darmawan mengabil sebuah ubi dan mengupasnya. Lalu katanya: “Kalau soal Nden Wanti, belum banyak yang dapat saya ceritakan. Kecuali satu hal, di balik pemikirannya yang masih kanak-kanak, rupanya pengaruh Den Angga telah tertanam di hatinya. Saya kira kita akan sulit sekali untuk mengubah kembali hatinya. Nampaknya nasihat Nden tempo hari tidak masuk sedikitpun”.
Sementara Darmawan bicara, Pertiwi mengambil dua buah gelas yang tertelungkup di dekat piring ubi rebus. Dia menuangkan air ke dalamnya, untuk dirinya dan untuk Darmawan.
“Karena itukah kau berusaha mendekati dia dan pura-pura menjauhiku?”, tanya Pertiwi sambil mengambil sebuah ubi rebus dan mengupasnya.
“Ya Nden. Saya kira, satu-satunya jalan adalah mengawasinya langsung. Nampaknya saya akan dijadikan perantara hubungan Nden Wanti dengan Den Angga”.
“Apa dia telah memintamu untuk merahasiakan hubungan mereka?”.
“Saya belum tahu apa yang harus dirahasiakan, karena Nden Wanti belum memberitahukannya. Saya hanya menyimpulkan berdasarkan pengalaman sebelumnya”.
“Kukira kesimpulanmu hampir pasti, karena akupun menyimpulkan begitu”, kata Pertiwi.
“Apapun yang harus saya rahasiakan nanti, mudah-mudahan saya dapat mengetahui saat-saat yang akan membahayakan dirinya, sehingga Nden dapat bertindak menolongnya”.
“Aku mengerti maksudmu. Kau tidak mau menolong langsung agar dirimu tetap mereka percayai. Baiklah aku akan mengimbangi permainanmu, meski kemungkinannya dia akan semakin membenciku bahkan mendendamku”.
“Apa boleh buat Nden. Yang penting, maksud kita baik. Siapa tahu yang terjadi kemungkinan sebaliknya. Dengan berkali-kali perbuatan salahnya Nden halangi, mudah-mudahan Nden Wanti diberi kesadaran atas kekeliruannya”.
“Ya, akupun akan berdoa, mudah-mudahan Tuhan memberi kesadaran kepadanya”.
Beberapa lamanya tidak ada yang bicara. Mulut mereka sibuk mengunyah ubi.
“Sekarang masalah apa yang mengherankan Nden?”, tanya Darmawan setelah ubinya habis.
“Aku mendapat undangan ulang tahun dari si Dora. Anehnya yang mendapat undangan itu hanya aku. Ketika kutanyakan, karena aku anak Camat”, sahut Pertiwi. Lalu dia menceritakan selengkapnya tentang permintaan si Dora kepada Marni. “Inilah undangannya. Bagaimana pendapatmu?”, tanya Pertiwi selesai menjelaskan.
Darmawan menerima surat undangan itu. “Pendapat Nden sendiri bagaimana?”. Darmawan balik bertanya sementara matanya membaca undangan tersebut.
“Bukankah sudah kukatakan, aku akan memenuhi permintaannya?”.
“Alasannya?”.
“Karena aku akan disanjung sebagai anak pejabat tinggi daerah”, sahut Pertiwi sambil tersenyum.
“Kalau itu alasan Nden, jangankan saya, si Dora pun tidak akan mempercayainya. Karena itu dia tidak berani memberikan undangannya langsung kepada Nden”.
“Jadi, apa aku harus mengatakan karena merasa tidak tega kepada orangtua si Dora?”.
“Alasan itu hanya dapat diterima teman-teman dekat Nden, tidak untuk saya”.
“Kenapa?”.
“Sebab kalau hanya dua alasan itu, Nden tidak akan menunjukkan surat undangannya kepada saya”.
“Hmm, rupanya kau telah terbius oleh cerita Sherlock Holmes”, gumam Pertiwi, namun matanya bersinar karena nampaknya pemuda itu punya simpulan lain seperti yang dipikirkannya. Maka sambungnya: “apa kau menemukan sesuatu yang menarik pada undangan itu?”.
Darmawan tersenyum. “Yang saya ingat”, katanya, “nomor rumah dalam undangan ini hanya berjarak dua rumah dari salah satu alamat orang yang saya buntuti terakhir. Juga pestanya sore hari”.
“Itu pula yang menarik hatiku. Bukankah orang itu satu di antara yang datang ke rumah si Angga? Mungkin si Angga ingin secepatnya membalas sakit hatinya kepadaku dengan lempar batu sembunyi tangan. Untung waktu itu kau langsung memberi peringatan kepadaku. Hanya saja aku tidak mengira samasekali kalau si Dora bisa ikut terlibat di dalamnya”.
“Jangan berprasangka dulu. Mungkin si Dora hanya dijadikan alat. Tetapi baiklah Nden. Memang sebaiknya kita layani permainan mereka selagi kita diberi kesempatan mengetahui rencananya. Kalau tidak dilayani sekarang, mungkin kita akan dihadapkan pada rencana lain yang tidak kita ketahui, sehingga kita jadi lengah”, kata Darmawan.
Pertiwi mengangguk. “Kalau nanti terbukti si Dora terlibat, aku akan menambahkan namanya pada daftar nama yang harus dikirim ke Pak Abdurrakhman”, ujarnya. Lalu: “Yang merepotkan, aku harus membawa pakaian salin dan berganti baju di tengah jalan”.
“Saya kira tidak perlu Nden. Menurut penglihatan saya, pakaian dinas malam Nden sangat cocok untuk pergi ke pesta. Bukankah saya pernah mengatakan, pakaian itu mirip baju mode peragawati?”.
“Ah, apa benar Wan? Kukira waktu itu kau hanya bergurau untuk menyenangkan hatiku saja”.

--0--


“Sungguh Wiwi. Kau benar-benar mirip peragawati. Dalam pakaian ini kau tampak sangat anggun, begitu serasi. Di mana kau membuatnya Wiwi? Aku juga ingin punya model baju begini”, kata Dora sementara matanya menatap lekat pada pakaian merah kecoklatan yang dikenakan Pertiwi.
“Ini buatanku sendiri Dora”, sahut Pertiwi, “tetapi kurasa semua penjahit juga bisa membuatnya asal diberi gambarnya, karena potongannya sangat sederhana, tidak sulit”.
“Itulah yang aneh. Aku juga melihat potongannya sederhana, tapi tampak bagus sekali. Kurasa aku akan meniru membuatnya”, kata Dora.
Saat itu dari dalam rumah muncul sepasang suami-isteri tua menyambut dengan tergopoh-gopoh. Tetapi begitu melihat Pertiwi, keduanya tertegun dengan tatapan kagum hampir terpesona. Entah karena model pakaian yang dikenakannya, entah karena kecantikannya yang menonjol, atau keduanya, yang jelas sikap suami-isteri itu tampak begitu hormat, sehingga Pertiwi tidak dapat membedakan, apa sikap mereka itu sewajarnya atau sekedar dibuat-buat. Nampaknya Dora cepat tanggap.
“Wiwi, ini orangtuaku”, kata Dora memperkenalkan. Lalu kepada orangtuanya: “Mak, Bapak, ini kawanku Pertiwi dari Kecamatan”.
“O, jadi Nden inikah puteri Pak Camat itu?”, tanya yang perempuan sambil menyodorkan kedua tangannya agak gugup mengajak bersalaman. Pertiwi pun mengangguk hormat dengan ramah.
“Mari masuk saja Nden. Kurang baik ngobrol di luar”, ujar ayah Dora.
“Terimakasih”, sahut Pertiwi, dan dia mengikuti sepasang suami-isteri itu digandeng oleh Dora.
Ternyata tamu-tamu yang lain sudah pada datang. Nampaknya mereka sudah cukup lama, terlihata dari minuman dan amakanan ringan yang sudah habis sebagian. Tetapi tamu itu tidak banyak. Bahkan menurut pendapat Pertiwi terlalu sedikit, jika tujuannya untuk membanggakan diri kepada penduduk kampungnya, karena tidak lebih dari 15 orang pemuda-pemudi.
Sesungguhnyalah sejak dia memasuki halaman rumah itu tadi, Pertiwi merasa yakin, cerita si Dora kepada Marni adalah perangkap, karena tidak tampak tanda-tanda kelainan dari sehari-hari. Tidak menunjukkan dalam rumah itu sedang diadakan pesta kebanggaan diri. Untunglah Pertiwi bukan jenis gadis yang senang membanggakan diri, sehingga tidak harus merasa kecewa oleh kenyataan itu.
Demikian pula dalam pelaksanaan acara ulang tahun itu tidak ada yang istimewa, selain meniup lilin ulang tahun dan nyanyi-nyanyi yang terlalu sederhana. Tidak ada acara perkenalan diri Pertiwi yang dibesar-besarkan sebagaimana cerita Dora, sehingga Pertiwi tidak harus tersipu-sipu atau malu diri oleh tanggapan orang di sekelilingnya. Alasan itu tidak jadi dilakukan, dikatakan pula oleh Dora.
“Aku minta maaf, karena rencana pengumuman dirimu sebagai anak Juragan Camat tidak jadi dilakukan, karena menurut Marni, kalau acara itu diadakan, kau justru tidak akan datang”, bisiknya.
“Kenapa minta maaf? Aku justru bersyukur. Kalau kau lakukan juga, berarti kau tidak menganggapku sebagai kawan dekat, sehingga aku pun tidak perlu datang. Syukurlah Marni menyampaikan pesanku. Kalau dilakukan juga, aku tidak mau berkawan lagi denganmu”.
“Ya Wiwi. Itu yang kukatakan kepada orangtuaku, sehingga mereka terpaksa memendam keinginannya”, sahut Dora.
“Hmm, kalau begitu aku harus menemui untuk minta maaf karena telah mengecewakan mereka. Mari antar aku Dora”, ujar Pertiwi sambil bangkit dari duduknya.
“Duduklah Wiwi. Kalau kau menemui mereka, mungkin sekali mereka akan mewujudkan keinginannya meski hanya kepada jumlah orang yang sangat sedikit ini”.
“Tapi aku jadi tidak enak hati”.
“Mereka tidak menyalahkanmu. Akulah yang mereka marahi karena menghalangi rencananya”.
Akhirnya Pertiwi duduk lagi dan meneruskan makannya. Sebenarnya, sejak kehadiran gadis itu, sekalipun tidak diumumkan secara terbuka, perhatian semua tamu lebih tertuju kepada dirinya, karena penampilannya yang menonjol. Sehingga dalam tempo sebentar saja semua tamu sudah mengetahui siapa adanya gadis itu. Pertiwi sendiri bukan tidak mengetahui hal itu, karena melalui sudut matanya dia seringkali menyaksikan para tamu saling berbisik dengan kawannya sementara mata mereka mencuri-curi pandang kepadanya.
Kalau di dalam rumah, Pertiwi jadi pusat perhatian para tamu, ternyata tukang delmannya juga yang sedang duduk terkantuk-kantuk di atas delman, telah jadi pusat perhatian orang. Yang memperhatikan dia adalah tiga pemuda yang duduk di teras rumah berjarak dua rumah dari tempat berlangsungnya pesta ulang tahun si Dora. Ketiganya mengenakan pakaian pangsi hitam-hitam seperti yang biasa dipakaia jawara atau orang-orang persilatan, berikat kepala batik, dan di pinggang masing-masing tergantung golok. Darmawan sengaja menghentikan delmannya di pojok halaman rumah itu.
“Apa Bung Suho yakin gadis itu datang?”, tanya salah seorang di antara tiga pemuda tersebut.
“Pasti”, sahut yang ditanya, “sejak siang aku tidak beranjak dari tempat dudukku ini, sehingga aku melihat saat kedatangannya. Dia menumpang delman yang berhenti di depan itu”.
“Tentu kusir delman itu pengganti Bung Sarju”, kata kawan yang satunya lagi.
“Mungkin sekali”, sahut Bung Suho.
“Berarti kita harus memperhitungkannya”, kata yang bertanya pertama.
“Kukira dia hanya kusir delman biasa. Mungkin dengan gertakan saja sudah akan lari terbirit-birit. Bukankah Bung Yeye sendiri mendengar peringatan Bung Angga, gadis itulah yang harus dihadapi dengan hati-hati, karena punya kemampuan silat tinggi”.
“Memang. Tetapi kita tidak boleh menyepelekan siapa pun yang ada bersamanya”, sahutnya sementara matanya menatap lekat pada tubuh kusir delman yang terus juga terangguk-angguk oleh kantuk karena terlalu lama menunggu majikannya tanpa berbuat sesuatu. Lalu, “tetapi baiklah akan kita lihat nanti. Kukira sekalipun dia punya kemampuan, dengan tiga orang, kita akan bisa mengatasinya”.
“Kalau perlu, kita harus mengeroyok gadis itu. Baru kali ini aku melihat kuda yang begitu mulus. Pantas Bung Angga mengatakan, kita akan sangat beruntung bila berhasil menangkap gadis itu. Dia benar-benar kembangnya Kecamatan, bahkan mungkin di Kabupaten ini”, kata Bung Suho memberi keterangan tentang buruan mereka.
“Rupanya kau sudah terbius oleh keterangan Bung Angga, sehingga lupa pada Nyi Icih. Kukira dialah satu-satunya yang pantas disebut kembang Kecamatan”, kata temannya yang bernama Bung Adam.
“Bung Adam bisa mengatakan begitu, karena belum melihat orangnya. Dalam hal kebinalan, mungkin Nyi Icih menang. Tetapi dalam kecantikan, huh, tidak nempil”, kata Bung Suho sambil menjentikkan kelingkingnya.
“Bung telah membuat penasaran, sehingga aku ingin melihatnya langsung”.
“Silahkan. Toh sekarang dia hanya berjarak beberapa langkah saja dari sini”.
“Baiklah, aku juga ingin tahu”, ujar Bung Yeye memutuskan. “Kita melihat sebentar, lalu kita terus pergi agar bisa mencari tempat yang baik untuk melaksanakan rencana kita”.
Ketiga orang itu bangkit dari duduknya. Mereka keluar halaman melewati delman yang ditumpangi Darmawan, dan terus memasuki halaman rumah Dora. Tetapi mereka tidak masuk ke dalam, melainkan berdiri di samping jendela yang terbuka lebar. Kebetulan Pertiwi dan Dora duduk tidak jauh dari jendela itu, sehingga mereka tampak jelas dari luar.
Beberapa saat lamanya Bung Yeye dan Bung Adam terpaku melihat wajah gadis incarannya itu. Dora yang kebetulan melihat kehadiran mereka memberi isyarat dengan mengedipkan matanya. Sebenarnya saat itu Pertiwi sedang menunduk menikmati makanannya. Tetapi karena duduknya hampir menghadap langsung ke jendela, dia juga melihat kehadiran tiga orang tersebut. Namun dia tidak mengangkat kepala, hanya sudut matanya dapat mengenali mereka. Karena sejak awalnya sudah punya dugaan, dengan cepat pandangan sudut matanya dialihkan kepada Dora, sehingga dia sempat melihat isyarat mata Dora. Itu sudah cukup baginya untuk menyimpulkan bahwa ada hubungan antara si Dora dengan ketiga orang tersebut.
Bung Yeye dan kedua kawnnya hanya sebentar memperhatikan Pertiwi, dan ketiganya berlalu kembali ke jalan.
“Bukan main. Kali ini kita benar-benar mendapat keuntungan lipat”, desis Bung Yeye dengan mata bersinar, “selain mendapat sebagian dari biaya ulang tahun si Dora, kita juga akan dapat memuaskan diri dengan kuda terindah”.
“Apalagi jika sama binalnya dengan Nyi Icih”, bisik Bung Adam dengan menelan air liur.
“Meski tidak sehebat Nyi Icih, mungkin kepuasan kita akan lebih besar, karena dia pasti akan melawan meronta-ronta”, kata Bung Suho.
“Sttt, sudahlah. Meski terkantuk-kantuk, kusir itu punya telinga”. Bung Yeye memperingatkan dua kawannya karena mereka telah mendekati delman.
Sesungguhnyalah terkantuk-kantuknya kusir delman itu hanya pura-pura. Sebab percakapan mereka di teras tadi dapat didengarnya meski sayup-sayup. Darmawan telah memanfaatkan pendengarannya yang tajam untuk memperoleh informasi rencana ketiga orang itu. Dari pendengarannya dia dapat memastikan, pesta ulang tahun si Dora memang rencana mereka, dan biayanya dapat diduga dari Raden Angga.
“He Mang Kusir, apa kau mau narik kami?”, kata Bung Yeye tiba-tiba ketika lewat di samping delman, sementara tangannya menepuk tempat duduk di samping Darmawan.
Darmawan pura-pura terkejut dari kantuknya, dan tangannya menggosok-gosok mata.
“Ya, eh ad...ada apa Den?”, tanyanya gagap.
“Kau mau narik tidak?”. Bung Yeye mengulangi pertanyaannya.
“O itu...maaf Den. Ini mah bukan delman tambangan. Ini mah delman keluarga. Emang sedang nunggu majikan Emang”.
“Di mana?”.
“Itu tuh di tempat kondangan Den”.
“Kalau hanya sebentar kan tidak apa-apa Mang. Tidak jauh kok, dan aku bisa bayar dua kali lipat dari harga biasa. Soalnya kami takut kemalaman di jalan. Apa Mang Kusir tidak butuh duit?”.
Mang kusir nampak menelan ludah. “Butuh sih butuh Den. Apalagi sampai dua kali lipat harga. Tapi Emang tidak berani. Majikan Emang mah orangnya pemarah dan cerewet sekali”.
“Cerewet? Jadi majikan Mang Kusir itu perempuan ya?”.
“Iya Den. Malah perempuan cantik. Tapi amat galak. Salah sedikit saja suka main tampar”.
“Ah Cuma tamparan perempuan, masa Mang Kusir takut”.
“Meski perempuan, majikan Emang bukan perempuan biasa Den. Sekali tampar bisa biru pengap. Dia itu jagoan silat Den. Jangankan pantaran Emang, orang yang bawa golok macam Aden juga dia berani melawannya”.
“Hmm, aku tak percaya. Kau saja yang penakut Mang”.
“Kalau Aden tidak percaya, silahkan coba sendiri”.
“Sayang aku tidak punya urusan dengannya. Sudahlah. Kalau Mang Kusir takut sama majikan, sekalipun aku bayar sampai 10 kali lipat, tentu Mang Kusir akan menolaknya juga”.
“Benar Den, Emang mah tidak berani”.
“Huh dasar pengecut. Percuma saja kau jadi lelaki Mang”.
Bung Yeye dan kedua kawannya berlalu meninggalkan Darmawan yang memperhatikan dengan tersenyum. Barusan dia telah meyakinkan mereka tentang kepenakutan dirinya, sehingga akan dihapus dari perhitungan.
Sebenarnyalah, setelah berada cukup jauh dari kusir delman itu, Bung Yeye mulai berkomentar: “Rupanya dalam urusan ini kita bernasib mujur. Kusir delman itu telah memantapkan perhitungan”.
“Kenapa?”, tanya Bung Adam.
“Gunakan otakmu Bung. Kita tidak perlu memperhitungkan kusir itu lagi. Dengan sedikit gertakan, dia akan lari terbirit-birit meninggalkan majikannya seorang diri. Kegalakan gadis itu telah menutup kemungkinan mendapat pembelaan dari kusir delmannya. Sebab meski kusir itu tidak becus apa-apa, kalau dia punya kesetiaan, tentu akan membela mati-matian, sehingga menghambat rencana kita. Kita tidak akan bisa menyelesaikan dalam waktu singkat, karena mungkin saja muncul orang lain yang tidak mustahil bisa menggagalkan rencana kita. Tetapi dengan hanya sendirian, sekalipun bisa silat, kita dapat mempercepat pekerjaan dengan mengeroyoknya. Hmm, malam ini kita akan pesta harum sepuas hati”.
Bung Adam dan Bung Suho mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju pada ucapan kawannya.
“Rasa-rasanya pesta itu sudah terbayang di pelupuk mataku”, desis Bung Suho.
Sementara berbicara langkah-langkah mereka telah tiba di sudut desa. Di hadapan mereka membentang bulak panjang membelah sawah luas. Matahari sore tampak semakin merah karena makin mendekati ufuk, pertanda hari sebentar lagi akan gelap.
Marilah kita percepat langkah kita. Kita harus mencapai tempat paling lengang sebelum terkejar sasaran kita”, kata Bung Yeye pula sambil mempercepat langkahnya, diikuti kedua kawannya.
Ternyata Pertiwi jadi tamu yang pulang paling akhir, karena ada-ada saja yang dilakukan si Dora untuk menahannya. Terakhir dia meminta Pertiwi menggambarkan pola baju yang dipakainya, sehingga dia turun dari rumah setelah gelap. Ketika tiba di tempat delman, Daramawan tidak nampak, tetapi lampu-lampu delman sudah menyala. Rupanya akan muda itu pergi ke mesjid dulu. Namun gadis itu tidak terlalu lama harus menunggu.
“Ada-ada saja yang dilakukan si Dora untuk menahanku”, kata Pertiwi membuka percakapan setelah delman mencongklang. “Untung aku sedang tidak sembahyang”, sambungnya.
“Sudah saya duga”, sahut Darmawan, “dan dugaan kita semakin pasti adanya kerjasama Den Angga dengan ulang tahun itu”.
“Benar Wan. Tadi aku melihat tiga orang yang datang ke rumah si Angga tempo hari. Rupanya mereka ingin memastikan kehadiranku. Aku sempat melihat si Dora memberikan isyarat”.
“Saya juga mendengar samar-samar rencana mereka mencegat Nden. Meski mereka bermaksud jahat, ada satu hal yang membuat hati saya senang, sehingga mampu menumpas rasa marah saya”.
“Apa?”, tanya Pertiwi dalam nada heran.
“Ternyata bukan hanya pendapat saya. Mereka juga menyatakan Nden gadis tercantik yang pernah mereka lihat”, sahut Darmawan sambil tersenyum.
“Ah kau”, desah Pertiwi, “masa dalam situasi bahaya begini masih dianggap gurauan”.
“Samasekali tidak Nden. Sungguh saya sangat bangga karena punya pacar paling cantik, bukan ...”.
“Sudah. Aku tidak mau dengar lagi”.
“Kenapa?”.
“Habis kau benar-benar tidak mau tahu. Hatiku gelisah setengah mati, kau anggap main-main”.
“Itulah alasannya Nden. Nden terlalu gelisah, sehingga perkataan saya hanya dinilai kulitnya. Coba kegelisahan itu buang sejenak. Karena nilai kecantikan Nden sangat tinggi di mata mereka, maka Nden akan terpelihara dari kematian. Apa saya tidak boleh bersenang hati?”.
“Tapi dengan tidak ada maksud membunuhku, aku menghadapi bahaya lain yang justru lebih mengerikan dari kematian”.
“Itu tahap kedua. Yang jelas, pada tahap pertama saya dapat bertenang hati dalam menghadapi lawan, karena keselamatan Nden berada dalam jaminan mereka. Bagi Nden sendiri, nilai kecantikan itu kelemahan bagi mereka. Selama perlawanan Nden tidak terlalu membahayakan mereka, mereka akan berusaha menangkap Nden tanpa mencederai. Nden dapat memanfaatkannya untuk mengulur waktu. Tetapi jika Nden merasa punya kemampuan, kelemahan mereka dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya, sehingga ketika mereka menyadari, keadaan sudah kasip. Karena itu, menghadapi pencegatan mereka Nden tidak perlu gelisah. Dengan hati tenang, pikiran jadi bening, dan Nden tidak akan kehilangan pengamatan atas situasi yang berlangsung. Ketenangan hati sangat penting dalam menentukan akhir permasalahan yang kita hadapi”.
Pertiwi terdiam. Alasan Darmawan itu sangat masuk akal, sehingga ketika pemuda itu mengakhiri kata-katanya, kegelisahan hati gadis itu hampir terkikis samasekali. Dia tidak tahu, apa penjelasan itu yang membuat hatinya jadi tenang atau justru gurauannya pertama yang mencerminkan ketenangan pemuda itu dalam menghadapi ancaman bahaya, atau justru keduanya. Yang jelas, pujian terhadap kecantikannyalah yang kemudian muncul dalam pikirannya, dan dia tidak bisa menahannya.
“Wan”, katanya kemudian, “benarkah aku sangat cantik?”.
Mendengar pertanyaan itu justru Darmawan jadi terkejut, sehingga beberapa lamanya dia tertegun. Namun di saat lainnya dia mengerti. Rupanya hati gadis itu masih kurang yakin atas keterangan yang dikemukakannya tadi.
Maka sahutnya: “Sungguh Nden. Merekalah yang mengatakannya, bukan saya”.
“Terimakasih”, ujar Pertiwi dengan bibir tersenyum, “kini aku percaya, kau tidak bergurau dan ketenanganmu tidak dibuat-buat”.
“Artinya?”.
“Kau tidak perlu mengkhawatirkan diriku lagi. Sebab aku sudah yakin, aku memang cantik. Aku benar-benar akan memanfaatkannya seperti yang kau nasihatkan tadi”.
“Syukurlah. Kalau begitu sebaiknya Nden segera bersiap. Karena saya kira mereka sudah tidak terlalu jauh lagi di depan kita”.
Sementara bicara Darmawan membuka laci panjang di bawah tempat duduknya, dan mengeluarkan dua batang pipa besi yang memang telah dipersiapkan sejak lama. Sebuah dia serahkan kepada si gadis, yang sebuah lagi langsung diselipkan pada pinggang di balik bajunya. Pertiwi pun melakukan hal yang sama.
Ternyata dugaan Darmawan tidak salah. Tidak jauh dihadapan mereka, dalam kekelaman malam tampak tiga sosok tubuh berloncatan dari balik pohon di kedua sisi jalan. Ketiga sosok itu berdiri berjajar di tengah jalan dengan mengangkang kaki. Salah seorang yang berdiri di tengah mengacungkan tangannya.
“Berhenti!”, teriaknya.
Darmawan menarik kendali kuda dengan tiba-tiba, sehingga binatang itu berjingkrak. Delman pun berhenti pada jarak sekitar lima meter dihadapan ketiga pencegatnya.
“Sekarang kalian turun!”.
Pertiwi turun perlahan-lahan, lalu tegak di sisi delman. Tetapi Darmawan masih duduk membeku.
“Kau urus kusir delman itu. Kalau melawan bunuh saja”, katanya kepada salah satu kawannya.
“Baik”, ujar yang disuruh, dan dia berjalan menghampiri kusir delman.
Tetapi baru dua langkah orang itu bergerak, Daramawan telah meloncat turun seperti orang ketakutan dan tubuhnya terguling di sisi delman. Namun dengan cepat dia bangkit lagi, lalu berlari ke arah datangnya seperti dikejar setan. Beberapa saat saja tubuhnya telah lenyap ditelan kegelapan malam. Melihat tingkah kusir delman itu, ketiga penghadangnya tidak dapat menahan tawa mereka.
“Hahaha dasar pengecut”, kata Bung Suho yang ditugaskan mengurusnya, dan dia berbalik lagi.
“Nah Nona. Sebaiknya kau menyerah saja dengan baik-baik”, kata Bung Yeye.
“Kalian mau apa? Aku tidak punya barang berharga”, ujar Pertiwi sambil melangkah perlahan menghampiri ketiga pencegatnya. Melihat itu tiga pencegatnya berpencar mengepung dari tiga arah.
“Pada dirimu tidak ada yang lebih berharga selain tubuhmu sendiri Nona. Itulah yang kami inginkan darimu. Kalau kau mau menyerah, aku berjanji akan melepasmu lagi tanpa cedera”.
“Kalau begitu, apa maksud kalian mencegatku?”, tanya Pertiwi seperti tidak mengerti.
“Jangan pura-pura bodoh. Usiamu sudah lebih cukup untuk mengerti kebutuhan lelaki terhadap gadis secantikmu. Aku yakin, kau pun tentu membutuhkannya. Nah bukankah lebih baik kita saling mengisi kebutuhan dengan suka sama suka? Nona dapat pulang dengan utuh, dan hubungan kita akan terus berlanjut kapan saja Nona kehendaki”, ujar Bung Yeye.
“Hmm, kau katakan aku boleh pulang dengan utuh, tetapi setelah aku memenuhi kebutuhan kalian. Bagaimana bisa dikatakan masih utuh?”.
“Yang kumaksud, Nona tidak akan kami celakai”.
“Terimakasih”, sahut Pertiwi, “aku setuju dengan pendapatmu tentang suka sama suka itu. Hanya sekarang aku sedang tidak punya hasrat. Mungkin lain kali aku akan memenuhi hasrat kalian. Bukankah kalian sudah tahu siapa diriku? Nah, kalian bisa datang kapan saja ke rumahku. Siapa tahu waktu itu aku sedang butuh. Karena itu, aku minta sekarang kalian melepasku. Setuju?”.
“Gila! Kita hanya buang-buang waktu saja Bung. Dia bermaksud mengulur waktu”, desis Bung Adam kesal oleh pembicaraan yang tak berarti itu.
“Jangan kasar”, kata Pertiwi, “bukankah aku sudah setuju dengan permintaan kalian? Hanya kuminta bukan sekarang, sebab aku sedang tidak punya has...”.
“Diam! Kau kira kami ini manusia dungu? Kau benar-benar perempuan sombong yang tidak tahu tingginya gunung. Huh, kau pura-pura mengalah, padahal di hatimu menertawakan kami”.
“He, bagaimana kau bisa menduga begitu? Bukankah aku justru minta kalian melepaskanku?”.
“Keparat! Itulah keangkuhanmu. Kau meminta-minta, tetapi sikapmu tidak ketakutan samasekali”.
“O, jadi aku harus munduk-munduk memohon ampun dengan ketakutan, begitu?”.
“Memang harus begitu”, kata Bung Adam, “karena kau berada dalam kekuasaan kami”.
“Enak bener! Bagaimana kalau aku munduk-munduk, lalu kalian tidak melepaskanku?”.
“Itu sudah nasibmu”.
“Itu sebabnya aku tidak mau munduk-munduk ketakutan, karena aku belum dikalahkan kalian”.
“Hahaha, sekarang kau yang memberi kesempatan mengulur waktu Bung Adam”. Tiba-tiba Bung Yeye tertawa mengejek temannya, karena tadi hatinya tersinggung oleh sikap Bung Adam.
“Setan! Perempuan ini benar-benar licik. Kita harus...”.
“Awas!!”, teriak Bung Suho.
Sebelum Bung Adam menyelesaikan perkataannya, Pertiwi bergerak cepat. Dengan dua loncatan dia menerjang Bung Adam. Bung Suho berteriak memperingatkan, tetapi agak kasip. Bung Adam yang terkejut oleh serangan tiba-tiba mencoba berkelit. Namun kurang cepat, sehingga tendangan kaki Pertiwi ke arah perutnya hanya bergeser sedikit, menghantam lambungnya cukup keras. Bung Adam memekik dengan tubuh terputar. Sementara Bung Yeye yang terlena oleh ejekannya, terpaku oleh tindakan Pertiwi yang mendadak itu. Namun pada saat lainnya dia sadar bahwa perkelahian sudah dimulai.
“Kurung dia. Jangan diberi kesempatan kabur!”, teriaknya sambil meloncat ke tempat kosong.
“Huh memalukan. Sungguh memalukan”. Tiba-tiba sebuah suara berat menimpali suara Bung Yeye dari arah belakangnya, sehingga Bung Yeye terlonjak dan berbalik cepat. Bung Suho dan Bung Adam pun terkejut, tetapi mereka tidak berani melepaskan pandangannya dari Pertiwi.
Tampak seorang berpakaian hitam-hitam dan kepalanya diselubungi kupluk muncul dari balik pohon. Orang inilah yang berbicara barusan, dan dia masih meneruskan kata-katanya: “mengeroyok seorang perempuan bukan sikap lelaki jantan”.
“Keparat! Siapa kau?!”, tanya Bung Yeye dengan nada tersinggung.
“Aku orang yang paling tidak senang menyaksikan ketidakadilan berlangsung di depan mata”.
“Jadi kau mau mencampuri urusan kami ya?”.
“Tergantung sikap kalian. Kalau kalian main keroyok, tentu aku akan membantu Nona itu. Tetapi kalau kalian berani satu lawan satu, aku hanya akan jadi saksi”.
“Setan! Kau berani mengatur kami he?!”, teriak Bung Yeye, lalu, “kawan-kawan cepat bunuh orang ini. Biar aku yang menangkap gadis itu”.
Aba-aba Bung Yeye tidak usah diulang dua kali. Bung Suho dan Bung Adam segera bergeser menghadapi orang yang baru datang, sementara Bung Yeye berbalik menghadapi Ppertiwi.
“Bagus”, desis orang yang baru datang, “memang imbanganku dua dari kalian. Jadi cukup adil”.
“Setan! Kau menghina kami!”, teriak Bung Adam. Dia langsung menerjang lawannya diikuti oleh Bung Suho. Di sebelah lain Pertiwi pun tidak mengulur-ulur waktu lagi. Setelah lawannya tinggal seorang, dia langsung menerjang Bung Yeye.
Maka sejenak kemudian terjadilah pertarungan dalam dua lingkaran. Tingkat kemampuan Bung Yeye memang di atas kedua kawannya. Pada serangan pertama Pertiwi, Bung Yeye dapat menghindari karena dia telah bersiaga penuh. Bahkan dia dapat membalas serangan gadis itu. Namun dengan gesit Pertiwi mengelakkan terjangan lawannya. Tetapi pada serangan-serangan berikutnya tampak jelas, Pertiwi memiliki kelebihan dari lawannya meski hanya selapis tipis. Berkat kemauan yang keras dan latihan tekun, dia memiliki kecepatan bergerak mengagumkan, membuat Bung Yeye sering kewalahan. Ditambah dengan ketenangan hatinya, serangan-serangannya demikian mantap. Sebab setelah beberapa saat bertarung, Pertiwi dapat menilai tandang lawannya tidak terlalu berat. Setiap serangan lawannya dapat dia hindari. Sebaliknya serangan-serangannya sendiri berkali-kali menyentuh tubuh lawannya yang kurang cepat menghindar. Kadang-kadang hanya menyerempet, namun tidak jarang menghantam telak, sehingga Bung Yeye harus menyeringai dengan mulut mendengus oleh rasa sakit yang menyengat tubuhnya.
Di sebelah lain, Darmawan yang menghadapi dua orang tampak tidak mengalami kesulitan samasekali. Sebaliknya, kedua lawannyalah yang kewalahan. Maski banyak kesempatan untuk menyelesaikan lawan, namun Darmawan tidak melakukannya. Dia lebih banyak bertahan, karena sebagian perhatiannya dicurahkan kepada pertarungan Pertiwi. Bibir anak muda itu tersenyum ketika melihat tandang Pertiwi yang garang namun penuh perhitungan. Ternyata gadis itu sengaja memanfaatkan pertarungan tersebut sebagai arena untuk memperdalam kemampuannya. Itu terlihat dari serangan-serangannya yang tidak dilakukan sepenuh tenaga, tetapi cukup menyakitkan lawannya.
Sebagai pelatihnya, Darmawan dapat menilai kekuatan langsung gadis itu. Dalam berkali-kali serangannya yang telak, hanya membuat tubuh lawan terhuyung-huyung. Padahal bila dilakukan sepenuh tenaga, tubuh lawannya akan terlempar jatuh. Justru dengan cara demikian, tenaga lawannya cepat terkuras, karena dipaksa mengerahkan segenap tenaganya untuk menghindari serangan-serangan yang menyakitkan tubuhnya.
Tetapi setelah cukup lama bertarung dan kecepatan gerakan lawannya semakin menurun, Pertiwi merasa tidak ada lagi yang dapat dipelajari dari gerakan lawannya. Karena itu pada suatu saat, dia melakukan serangan beruntun. Kedua kepalannya bertubi-tubi menghantam wajah, dada, dan perut Bung Yeye, sehingga tubuh orang itu berkali-kali terdongak, terdorong mundur, dan terbungkuk dengan dengusan-dengusan keskitan keluar dari mulutnya yang memerah karena darah, baik dari bibirnya yang pecah, maupun dari kedua lubang hidungnya. Wajah itu telah menjadi sembam dan memar matang biru. Kemudian tubuh Bung Yeye terdorong keras ke belakang, dan jatuh terguling karena tidak dapat menahan keseimbangan tubuhnya.
Pertiwi tidak mengejarnya. Dia berdiri mengangkang kaki beberapa langkah di depan lawan. Bung Yeye mengumpat-umpat kasar. Dia bangkit lagi dengan pandangan penuh dendam. Kemudian tiba-tiba dia mencabut golok di pinggangnaya.
“Perempuan iblis, kubunuh kau!”, geramnya.
Hati Pertiwi berdebar melihat golok ditangan lawannya itu. Dia tahu, dengan telah mencabut golok, berarti lawannya sudah melepaskan rencananya semula untuk menangkapnya hidup-hidup. Inilah pertarungan yang sebenarnya. Namun satu hal yang membesarkan hati gadis itu. Tenaga lawannya sudah jauh berkurang. Maka Pertiwi pun mencabut pipa besi dari pinggangnya.
Dalam pada itu Darmawan yang melihat Bung Yeye menggunakan goloknya, merasa perlu mengawasi Pertiwi lebih khusus beberapa saat. Karena itu, ketika dua lawannya menyerang serempak dari dua arah, dia menjatuhkan tubuhnya tepat pada saat pukulan lawan hampir menyentuh tubuhnya. Bersamaan dengan itu kedua tangannya bergerak menangkap tengkuk dua lawannya, dan dengan sekali hentak kedua kepala lawannya ditumbukkan. Terdengar bunyi berdebuk keras disertai pekikan. Lalu tubuh Bung Suho dan Bung Adam ambruk di tanah. Mereka berguling-guling sambil kedua tangannya memegangi kepala dengan mulut mengerang-erang. Kemudian terdiam, pingsan.
Saat itu Bung Yeye dan Pertiwi sudah mulai bertarung lagi. Tetapi ketika mendengar pekikan kedua lawannya, perhatian Bung Yeye agak lengah, sehingga dia terlambat menangkis serangan pipa Pertiwi. Tak ampun lagi, pipa besi Pertiwi menghantam pundaknya dengan telak. Beradunya pipa besi dengan tulang pundak membuat mulut Bung Yeye menyeringai oleh rasa sakit yang hampir tak tertahankan. Dalam keadaan demikian, Pertiwi tidak melepaskan kesempatan yang baik itu. Dia meneruskan serangannya, mengayunkan pipa besinya pada lengan Bung Yeye yang memegang golok. Kembali terdengar bunyi detakan beradunya tulang dan pipa besi. Rasa sakit luar biasa itu membuat golok Bung Yeye lepas dari pegangannya tanpa dia kehendaki.
Pertiwi menyisipkkan kembali pipa besinya ke pinggangnya. Kini dia menerjang tanpa senjata. Untuk kesekian kalinya, kedua kepalannya menggocoh wajah lawan yang sudah berlumuran darah itu. Terakhir kakinya terjulur menghantam dagu Bung Yeye yang sudah tidak dapat melawan samasekali, sehingga tubuhnya terlempar beberapa meter ke belakangdan ambruk di tanah. Sejenak tubuh itu menggeliat, namun kemudian diam.
Pertiwi berdiri mematung memperhatikan tubuh lawannya. Kemudian dia memandangi kedua belah telapak tangannya. Sikap gadis itu tidak lepas dari perhatian Darmawan yang tengah bekerja menyeret kedua lawannya ke pinggir jalan. Dia juga melihat gadis itu membalikkan tubuhnya melangkah menghampiri delman dengan kepala tunduk. Darmawan menyelesaikan pekerjaannya menyeret tubuh Bung Yeye, disatukan dengan tubuh kedua kawannya. Baru kemudian dia pun naik ke atas delman.
Darmawan melihat Pertiwi duduk mmatung memandangi kegelapan malam. Rupanya dalam hati gadis tersebut tengah bergejolak perasaan tidak tenteram. Darmawan melingkarkan tangannya ke pinggang Pertiwi dan menariknya. Pertiwi menyandarkan kepalanya pada bahu Darmawn, sementara delman mulai bergerak melanjutkan perjalanan pulang mereka yang terhenti beberapa lamanya karena dihambat para pencegat tadi.
“Wan, apakah orang itu mati?”, tanya Pertiwi tiba-tiba.
“Tidak Nden. Mereka hanya pingsan. Mungkin dalam satu jam mereka sudah akan sadar lagi”, sahut Darmawan di telinga Pertiwi, “habis kenapa Nden?”.
“Syukurlah. Pada saat terakhir ketika dia mengancam hendak membunuhku, kemarahanku tidak terkendali lagi. Aku baru sadar ketika melihat tubuhnya terbaring diam dengan wajah penuh berlumuran darah. Aku jadi bingung dan khawatir. Kukira aku telah membunuhnya”.
“Saya mengerti Nden. Saya juga melihatanya. Ketika lawan tidak bersenjata, Nden dapat mengendalikan diri dengan baik. Bahkan saya lihat, Nden sengaja menggunakan kesempatan itu untuk menilai kemampuan sendiri. Tetapi ketika orang itu memegang senjata, nampaknya dalam hati Nden tumbuh kegelisahan, sehingga mengambil keputusan untuk menghentikan perkelahian secepatnya selagi ada kesempatan”.
“Benar Wan. Melihat golok itu aku jadi ketakutan. Soalnya kemampuanku hanya selapis tipis di atas kemampuannya”.
“Hal yang wajar Nden. Tetapi sesungguhnya dia sudah tidak terlalu berbahaya, karena tenaganya sudah terkuras banyak. Ancaman yang diucapkannya sebenarnya pertanda dari keputusasaan. Dia sudah tidak punya harapan memenangkan perkelahian. Dalam keadaan demikian, sesungguhnya Nden dapat memanfaatkan untuk menilai kemampuan berkelahi dengan senjata. Mungkin tandang lawan Nden akan menjadi kasar dan membabi buta. Tetapi dengan pikiran yang jernih, saya yakin, Nden akan mampu mengatasinya dan menguras tenaganya sampai habis”.
“Hmm”. Pertiwi hanya bergumam. Darmawan meneruskan kata-katanya.
“Tetapi dengan penyelesaian yang cepat tadi, nilai kemampuan Nden di matanya memang lebih tinggi dan membuatnya jera. Dia tidak akan berani lagi menghadapi Nden satu lawan satu”.
“Hmm...karena itu dia akan menghadangku dengan orang lebih banyak. Bukan begitu maksudmu?”.
“Itu satu kemungkinannya”, sahut Darmawan, “kemungkinan lainnya, mereka akan menggunakan orang berkemampuan lebih tinggi untuk menangkap Nden”
“Kalau begitu aku harus memacu diri lagi meningkatkan kemampuan lebih tinggi”.
“Ya, di samping tetap mengawasi kegiatan Den Angga. Saya yakin, setiap saat mereka akan melaporkan kegagalan usahanya mencegat Nden”.
Pertiwi mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi. Pembicaraan mereka pun berhenti sampai di situ. Sementara kuda delman yang ditumpanginya mencongklang dalam keheningan malam gelap memperdengarkan suara ketoplak berirama.
Di belakang mereka, Bung Yeye dan dua kawannya mulai sadar kembali dari pingsannya. Dengan susah-payah karena merasakan sakit di sekujur tubuhnya, mereka bangkit terhuyung-huyung dengan mulut mengerang kesakitan.
“Perempuan laknat”, umpat Bung Yeye sementara mereka melangkah tertatih-tatih saling papah menuju pulang. “Aku tidak akan puas sebelum dendamku terbalaskan”, sambungnya.
Kedua kawannya tidak menimpali umpatan itu. Mereka masih segan bicara selain mengeluarkan desahan rasa sakit. Tetapi dinginnya udara malam membantu mempercepat kembalinya kesegaran tubuh dan otak mereka, sehingga langkah-langkah mereka lebih cepat.
“Kita sudah kehilangan kesempatan paling baik, gara-gara turut campurnya setan tak diknal itu. Dan aku tidak akan bisa membalasnya samasekali”, kata Bung Adam yang dijatuhkan Darmawan.
“Sekalipun mengenalnya, kau tidak akan pernah bisa membalasnya Bung”, kata Bung Yeye, “karena itu kita hanya bisa melampiaskan sakit hati ini kepada perempuan liar itu”.
“Tetapi setelah kejadian tadi, pasti kita akan susah menjebaknya lagi. Apa Bung Yeye sudah punya rencana lain?”.

--0--


Tujuh
Nasakom Bersaing
“Belum Nden. Nden Wanti belum memberikan rencananya. Tetapi seperti kemarin, hari ini pun saya diberi uang”, sahut Darmawan.
“Hmm kalau begitu dugaanku semakin kuat. Rupanya dia sedang mengambil hatimu agar kau memihak kepadanya”, ujar Petiwi.
“Benar Nden. Tetapi yang lebih penting harus kita sadari, dibalik kekanak-kanakannya ternyata dalam hal-hal khusus dia telah bertindak seperti orang dewasa”.
Percakapan itu terjadi malam hari di pondok Darmawan. Pada saat-saat demikian mereka duduk bersisian dengan menyatukan dua kursi, sementara Pertiwi menyandarkan kepalanya ke bahu Darmawan, dan Darmawan mengelus-elus rambutnya yang panjang hitam dan tebal.
“Itulah yang kukhawatirkan. Karena dengan demikian, tanpa segan-segan dia akan berani berbohong, bukan hanya kepadaku, tetapi juga kepada orangtua. Kulihat juga, sekarang dia sudah pandai bersolek”, kata Pertiwi, “rasanya aku sudah kehilangan harapan untuk memperbaiki dirinya. Mungkin akulah penyebabnya. Sebab terjadinya perubahan itu sejak peristiwa di kebun belakang tempo hari”.
“Jangan menyalahkan diri sendiri. Kalau tempo hari Nden tidak menghalanginya, tentu sekarang keadaannya sudah lebih parah”.
“Hmm”, gumam Pertiwi. Tetapi tiba-tiba dia tersenyum sendiri, dan Darmawan melihatnya.
“Kenapa Nden tersenyum?”.
“Aku mengata-ngatai adikku. Padahal aku sendiri sudah demikian lama berbohong kepada orangtua”.
Darmawan pun jadi turut tersenyum. “Dalam soal kita, kedudukan sayalah yang salah. Andaikata martabat saya seperti Den Angga, tentu Nden tidak perlu sembunyi-sembunyi”.
“Itu menunjukkan bukan kau yang salah, tetapi feodalisme kaum menak. Karena itulah aku merasa tidak bersalah walaupun telah berbohong kepada orangtua. Aku yakin, dalam hal ini pandangan hidup orangtuaku yang salah. Bukti yang tidak terbantah adalah kelakuan si Angga yang ningrat jauh lebih rusak daripadamu”.
“Kok Nden membandingkannya dengan saya”.
“Karena aku tidak bisa membandingkan dengan orang yang disebut Bung Yeye, Bung Adam, Mang Sarju, yang menurut pandangan orangtuaku tentu sama derajatnya denganmu tetapi rusaknya sama dengan si Angga”.
“Apa Nden sudah memperoleh kepastian pandangan Juragan tentang darah keturunan itu?”.
“Secara tidak langsung”, sahut Pertiwi, “menjelang magrib tadi Ayah bicara tentang darah biru si Angga dan dugaan seringnya datang ke rmah. Ayah berpendapat si Angga pemuda yang baik, dan kini sudah diserahi tanggung jawab menangani usaha orangtuanya. Kepergiannya sebulan tempo hari yang dikatakan ke Bandung merupakan bukti kepercayaan orangtuanya. Ayah meminta pula agar aku jangan terlalu sibuk dalam kegiatan luar sekolah”.
“Itu artinya Juragan mengharapkan Nden menerima kehadiran Den Angga”.
“Ya, dan kulihat si Wanti memberengut. Tentu dia juga mengerti maksud Ayah. Karena itu aku menduga dia akan secepatnya melaksanakan rencananya agar tidak didahului olehku”.
Darmawan tidak berkata apa-apa lagi. Untuk beberapa lamanya keadaan hening. Namun tiba-tiba Darmawan berbisik.
“Nden, ada orang datang”.
Pertiwi langsung bangkit dan mengangkat kursi yang didudukinya ke tempat semula. Sebenarnya dia belum mendengar langkah-langkah mendatang. Tapi dia percaya pada pendengaran Darmawan.
“Mang Darma tidak usah menjemputku siang-siang. Aku akan langsung belajar bersama dan terus latihan volley”, kata Pertiwi mengalihkan percakapan dengan suara dikeraskan.
“Jadi pukul berapa Emang harus menjemput Nden?”.
“Pukul lima sore saja di lapangan volley”.
“Baik Nden”.
“Jangan lupa”, ujar Pertiwi sambil berjalan ke pintu.
“Ya Nden”.
Pertiwi meninggalkan pondok Darmawan tanpa menengok lagi, langsung ke arah dapur. Tetapi sudut matanya dapat menangkap gerakan ke samping pondok, Purwanti. Gadis itu tetap diam di samping pondok sampai Pertiwi masuk dapur, baru dia menghampiri pintu pondok yang terbuka. Dia melihat Mang Darma sedang meneguk air dalam gelas. Mang Darma berpaling ketika melihat Purwanti masuk.
“O Nden Wanti, silahkan duduk”, ujarnya dalam nada agak gugup.
“Kulihat Kak Wiwi dari sini”, kata Purwanti sementara dia masuk.
“Betul Nden”.
“Mau apa dia kemari?”.
“Biasa Nden, memberi pesan agar Emang menjemputnya sore karena katanya pulang sekolah akan langsung belajar bersama dan latihan volley”, sahut Mang Darma.
“Hmm, lain kali Mang Darma harus melaporkan kepadaku kalau dia berpesan kepadamu”.
“Tentu Nden. Emang juga tahu, Nden sangat baik kepada Emang. Tadi juga Emang mau melapor”.
Purwanti tersenyum. “Memang aku juga mendengar pesannya tadi. Aku hanya ingin tahu, apa Mang Darma berkata jujur kepadaku atau tidak”.
“Kalau begitu Nden tentu tahu, Emang berkata sebenarnya”.
“Hmm”, Purwanti menggumam sambil menganggukkan kepala, sementara tangannya merogoh ke balik bajunya. Ketika keluar lagi di tangannya telah tergenggam sampul surat, dan ditaruh di atas meja bersama selembar uang lima ratusan.
“Apa Mang Darma masih ingat rumah Kak Angga?”, tanya Purwanti.
“Maksud Nden, Den Angga?”.
“Heeh”.
“Masih Nden”.
“Bagus. Surat ini untuk dia. Mang Darma harus menyampaikan besok. Tetapi ingat, harus diterima oleh dia sendiri. Jangan dititipkan kepada orang lain, mengerti?”.
“Mengerti Nden”.
“Dan Mang Darma harus menunggu jawabannya”, kata Purwanti.
“Baik Nden, Emang mengerti”.
Purwanti bangkit lagi dari duduknya. Sambil berlalu dia masih memberi harapan: “Jika surat ini langsung diterima Kak Angga, mungkin Mang Darma akan dapat uang juga darinya”.
Mang Darma berdiri di depan pintu memperhatikan kepergian gadis itu. Sebenarnya dia tidak tertarik samasekali pada uang pemberian itu. Tetapi dia tidak dapat menolaknya, karena justru akan membuat persoalan jadi runyam mengingat kedudukannya sebagai orang rendahan di mata ningrat. Dia hanya dapat menghela nafas berat. Menurut kewajarannya, dia merasa telah mengkhianati kepercayaan. Tetapi pengkhianatan itu dilakukan justru demi kebaikan si gadis sendiri, untuk menyelamatkan masa depannya dari cengkeraman tangan-tangan yang tidak punya moral.
“Apa boleh buat. Aku hanya berniat baik”, desahnya sambil menutup pintu pondoknya.
Malam terus merayap sejalan dengan waktu yang melarut dan sunyi, tanpa menghiraukan segala persoalan yang bergejolak dalam dada dan pikiran makhluk yang menjalaninya. Gejolak itu tidak hanya terjadi pada tiga anak muda yang bertemu di pondok kusir Juragan Camat, namun juga diucapkan dalam pertemuan tersembunyi di rumah Mang Sarju yang dihadiri enam orang, termasuk Mang Sarju sendiri dan Bung Lili.
Kamar tempat pertemuan yang tidak besar itu demikian suram oleh asap rokok yang memenuhi ruangan. Namun bagi keenam orang yang mengisinya bukan gangguan samasekali, karena pikiran mereka terpusat pada masalah penting yang dibicarakan. Bahkan kepulan asap rokok dari mulut dan hidung mereka merupakan pendukung tidak kecil dalam merencanakan gagasan pertemuan tersebut.
“Kita sudah tidak mungkin lagi mengharapkan perbaikan nasib rakyat kecil kepada angkatan bersenjata. Kekuatan itu kini sudah dikuasai antek-antek nekolim. Karena itu mulai besok kita harus mempersiapkan gerakan besar-besaran mendukung usulan buruh tani dipersenjatai sebagai angkatan kelima. Dalam ultah Proklamasi Kemerdekaan nanti kita harus memperlihatkan kepada seluruh rakyat bahwa angkatan kelima benar-benar diingini kehadirannya oleh rakyat kecil”, kata Mang Sarju.
“Kalau begitu kita harus mengerahkan semua kader yang telah dilatih tempo hari untuk menghubungi semua ranting orpol dan ormas kita di seluruh kecamatan ini”, ujar Bung Lili.
“Memang itu maksudku. Kita harus bergerak secepatnya. Pada tahap pertama, setiap ranting mengadakan pawai rutin di daerah masing-masing. Beberapa hari menjelang ultah, kita lakukan pawai-pawai gabungan. Pada hari ultah, semuanya dikerahkan ke kota Kecamatan. Bila di sini sudah berjalan, kita sarankan ke kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten ini agar melaksanakan hal yang sama”.
“Bagus. Kita akan menjadi pelopor lagi di Kabupaten ini”, ujar orang bertampang intelek.
“Tetapi ingat. Tak seorang pun dari kader memperlihatkan diri sebagai penggerak. Kita semua pemain di belakang layar. Biar massa dan musuh-musuh kita menilai kita sebagai keroco. Bahkan aku cenderung, jangan ada yang terjun langsung. Bung semua tahu, kita adalah kekuatan inti partai yang tidak tergiur penampilan luar, karena level kita tingkat naisonal”.
Kelima kawan Mang Sarju mengangguk-anggukan kepala. Sebulan penuh mereka telah ditempa, bukan hanya latihan badani, namun dititikberatkan pada yang bersifat jiwani. Kehadiran beberapa tokoh puncak partai dari Ibukota yang datang bergiliran memberi pengarahan selama sebulan telah membentuk mereka jadi kader ideologi yang kesetiaannya dapat diandalkan, bukan hanya dikulit, tapi sudah merasuki aliran darahnya: komunis yang mendarah daging.
“Apa masih ada yang belum jelas?”, tanya Mang Sarju.
“Soal itu kukira kita semua sudah mengerti”. Sahut orang berwajah intelek. Lalu: “Tetapi apa tema yang akan kita kobarkan dalam kegiatan nanti? Apa masih tetap nasakom?”.
“Nasakom adalah sandi pokok. Dengan nasakom kita telah membuat kamuflase. Golongan nasionalis dan agama mengira kepala batu itu oknum-oknum partai terlarang. Tetapi bagi kita adalah keseluruhan yang bertuhan. Aku sudah mendapat info bahwa pusat sudah membuat rencana besar terhadap mereka semua. Yang penting kita tangani sekarang, selain menarik massa sebanyak-banyaknya, juga menghapus racun ketuhanan di benak generasi kecil. Sehingga setelah generasi tuanya lenyap, tidak ada penerusnya lagi. Dengan cara itu kita benar-benar mematikan api dalam sekamnya samasekali, bukan sekedar kobarannya yang tampak saja”.
“Dengan kata lain, tema kegiatan kita tetap nasakom. Bukan begitu?”, tanya Bung Lili.
“Ada tambahannya. Hambatan terbesar usulan dibentuknya angkatan kelima datang dari angkatan bersebjata. Hambatan ini pun harus dihapuskan. Sandinya adalah genjer-genjer sebagai singkatan dari genjot jenderal”.
“Bagus, cocok sekali”, kata kelima kawannya hampir serempak. Lalu orang berwajah intelek yang bernama Samiran menyambungnya: “Dengan mengetahui maksud sebenarnya dari genjer-genjer, aku yakin, lagu itu akan terus mendengung di mana-mana dengan gejolak semangat yang berbeda dari sebelum mengerti maksudnya”.
“Lalu bagaimana cara menghapus racun ketuhanan pada generasi kecil tadi? Terus terang saja aku belum memahaminya”, kata orang berkumis lebat dan bertubuh kekar bernama Bambang.
“Kukira tugas itu lebih dibebankan kepada kami para guru dan pendidik. Sebab gurulah yang menghadapi mereka sehari-hari”, sahut Bung Samiran.
“Benar. Tetapi bukan berarti kita yang tidak berkecimpung di dunia pendidikan harus berlepas tangan. Sebab di luar sekolah pun pembinaan harus tetap berjalan”, kata Mang Sarju.
“Justru pergaulan luar sekolah lebih banyak waktunya dari di sekolah”, kata Bung Lili.
“Pendapat Bung Lili benar sekali”, kata orang berwajah tirus bernama Adang turut bicara. “karena itu kalau Bung Sam sudah punya cara pelaksanaannya, sebaiknya dijelaskan kepada kami”.
“Sebenarnya cara itu amat mudah. Racun ketuhanan didasarkan pada ajaran tuhan yang pengasih-penyayang, mahakuasa memberi apapun kepada manusia. Itu kelamahan utamanya. Kalau benar tuhan itu ada, coba suruh mereka minta yang diinginkannya. Misalnya minta makanan atau buku atau apa saja. Karena mahakuasa dan pengasih, seharusnya permintaan itu langsung dikabulkan. Kenyataannya tidak pernah ada yang diberi langsung, misalnya tiba-tiba muncul dihadapan seperti sim salabim”.
“Ah benar sekali. Ternyata pikiran Bung Sam sangat hebat”, ujar kawan-kawannya.
“Hal itu sudah aku lakukan beberapa lama di sekolah. Aku suruh seorang anak minta potlot atau buku kepada tuhan. Kemudian aku beri apa yang dimintanya. Ternyata tuhan mahapengasih itu omong kosong. Sebaliknya, dia mendapat yang dimintanya dari aku bukan dari tuhan”.
“Bagus! Bagus! Kita akan tanamkan ajaran itu di benak anak-anak”, kata semua kawannya gembira.
“Baiklah, kukira rencana kita sudah terbahas semua”, kata Mang Sarju dengan nada puas. Lalu, “mulai besok pagi kita akan bergerak secepatnya. Aku percaya, Bung semua dapat mengendalikan kegiatan di wilayah kerja masing-masing dengan dibantu kawan-kawan yang tidak kuundang kesini”.
Mang Sarju mengangkat gelas kopinya dan meneguk isinya diikuti kawan-kawannya. Mereka tidak menyadari samasekali hadirnya sesosok tubuh kehitaman dibalik onggokan bata merah dekat jendela kamar tempat perundingan. Setelah Mang Sarju mengakhiri rapat itu, sosok tersebut mengendap-endap meninggalkan tempat mengupingnya tanpa menimbulkan suara. Meloncati pagar halaman, dan lenyap dalam kegelapan.
Tak lama kemudian pintu depan rumah Mang Sarju terbuka. Pertama keluar dua orang. Beberapa menit kemudian dua orang lagi. Terakhir Bung Lili ditemani Mang Sarju sampai ke pintu halaman.
“Kita manfaatkan kehidupan yang semakin mencekik rakyat kecil sekarang. Dengan menekankan samarata-samarasa di setiap kegiatan, rakyat akan jadi pendukung partai kita, paling tidak simpatisan”.
“Baik. Aku akan segera merundingkan dengan kawan-kawan di kota kecamatan ini. Aku cenderung mengambil pos baru di tengah kota tetapi tersembunyi sebagai pusat kendali kegiatan”, kata Bung Lili.
“Apa maksud Bung pos untuk itu tempat Bung Angga?”, tanya Mang Sarju.
“Benar”.
“Bagus. Aku juga setuju sekali. Kita akan menjadikan tempat itu bukan sekedar pusat kendali kegiatan wilayah kota, tetapi untuk seluruh wilayah Kabupaten ini. Tolong sampaikan ke Bung Angga”.
“Baik. Kukira Bung Angga juga akan gembira mendengarnya”, sahut Bung Lili dan berlalu.
Mang Sarju memperhatikan kepergian kawannya sampai lenyap ditelan kegelapan malam, baru dia masuk kembali ke rumahnya. Malam merayap semakin larut. Tidak terlalu lama kemudian, bersamaan dengan munculnya fajar di ufuk timur, kokok ayam pun bersahut-sahutan menyambut tibanya hari baru. Ketenangan dan kesunyian berubah pula dilanda gejolak kehidupan manusia yang sibuk.

--0--


Mang Darma menghentikan delmannya di depan sebuah rumah besar. Sambil menekan topi pandannya, dia masuk ke halaman rumah besar itu. Rumah itu tampak sunyi. Dia mengetuk pintu beberapa kali. Karena tidak ada yang membuka, Mang Darma mengulangi ketukannya. Namun keadaan tetap sunyi. Rupanya penghuninya sedang tidak ada.
Mang Darma bermaksud kembali ke delmannya. Tetapi ketika sampai di arah samping rumah, telinganya mendengar suara perempuan sedang bercakap-cakap dari arah belakang. Rupanya karena asyik bercakap-cakap, mereka tidak mendengar ketukannya tadi. Karena itu Mang Darma berjalan sepanjang dinding samping rumah menghampiri suara percakapan.
Tiba di ujung dinding belakang, tampak dua perempuan pembantu rumah. Yang seorang tengah menjemur pakaian, yang seorang lagi tengah menimba air di sumur. Mang Darma menghampiri mereka.
“Maaf Bibi. Apa Den Angga ada di rumah?”, tegurnya kepada yang sedang menjemur.
Dia menghentikan pekerjaannya. “Ada, tuh di sana di ranggon bersama kawan-kawannya”, sahutnya sambil menunjuk ke arah kebun belakang, di mana tampak sebuah pondok baru cukup besar. Di tepas pondok tampak beberapa orang pemuda sedang bercakap-cakap.Tetapi karena jaraknya jauh, percakapan mereka tidak terdengar.
“Apa saya boleh menemuinya?”, tanya Mang Darma.
“Jangan! Nanti Bibi dimarahi Aden”, sahutnya dengan cepat, “Ujang tunggu saja di depan. Biar Bibi yang menyampaikan pesan Ujang”.
“Baiklah Bi. Tolong katakan, saya disuruh Nden Purwanti puteri Juragan Camat”.
“Ya, tunggu saja di teras”, kata perempuan itu.
Mang Darma mengangguk dan kembali ke depan rumah. Tidak terlalu lama menunggu, pintu depan rumah terbuka. Raden Angga muncul di pintu menghampiri Mang Darma yang duduk di teras.
“Ada apa Mang?”, tanyanya.
“Ini Den. Emang disuruh Nden Wanti menyampaikan ini”, sahutnya sambil menyodorkan amplop.
“Ditunggu?”.
“Iya Den”. Raden Angga membuka sampul surat yang diterimanya. Beberapa lama dia membaca isinya. Kemudian dia mengangguk-anggukkan kepala.
“Tunggu sebentar ya Mang”, ujarnya sambil melangkah masuk ke tepas rumah kembali. Tidak lama kemudian, dia telah muncul kembali sambil menjilat sampul surat dan merekatnya.
“Ini, berikan kepada Nden Wanti”, katanya sambil menyodorkan sampul surat itu, disertai selembar uang ribuan, “dan uang ini untuk Emang”, sambungnya.
Mang Darma menerima surat dan uang itu sambil membungkukkan badan. “Terimakasih Den. Emang permisi dulu”, katanya.
“Heeh”.
Raden Angga memperhatikan Mang Darma sampai naik ke delmannya. Dia baru masuk ke rumah setelah delman mencongklang pergi. Sebagai seorang kusir delman yang hampir setiap hari mengelilingi kota, Mang Darma tahu betul situasi kota itu. Karena itu munculnya hal-hal yang tidak biasa, langsung menjadi perhatiannya.
Yang tidak biasa itu ialah pemusatan-pemusatan kesibukan warga kota di beberapa tempat. Di satu tempat, anak-anak muda berlatih reog dikerumuni anak-anak. Di tempat lainnya, orang-orang sibuk membuat tanda-tanda gambar partai dari beberapa jenis bahan seperti bambu, kayu, seng, bilik, dan sebagainya. Ada pula yang membuat rumah-rumahan, bambu runcing, topeng, dan sebagainya. Sementara bekerja, mulut mereka rampak menyanyikan berbagai lagu perjuangan seperti Ganefo, Nasakom, Nekolim, dan lagu-lagu bersifat kepartaian.
Sebelum sampai di sekolah, Darmawan membelokkan delmannya ke lapangan rumput kecil tidak jauh dari lapangan tempat latihan volley. Ketika tiba di lapangan, anak-anak lain telah berkumpul. Ada yang sedang berganti pakaian, latihan pemanasan, dan ada pula yang sedang saling mengirim bola.
“Wan”, kata Dodi ketika Darmawan telah berada di tengah mereka. “Di tempat belajar bersama tadi kami telah merencanakan pertandingan persahabatan beruntun dengan tim-tim volley kuat di Kabupaten. Kami kira sudah saatnya bagi tim puteri menambah pengalaman bertanding sebagai persiapan porda”.
“Rencana yang sangat bagus Dod”, sahut Darmawan sambil mengacungkan ibu jarinya.
“Jadi, kau setuju?”, tanya Maryanti dengan wajah berseri.
“Setuju sekali. Dan aku yakin, saat ini kemampuan kalian sudah dapat mengimbangi juara tim puteri Kabuaten...”.
Semua kawan-kawannya bersorak gembira sebelum Darmawan menyelesaikan kata-katanya, shingga dia harus menunggu sampai suasana reda kembali.
“Jangan terlalu gembira dulu”, kata Darmawan melanjutkan.
“Kenapa Wan? Apa kau keberatan?”, tanya Herlina.
“Sudah kukatakan, pada dasarnya aku setuju sekali. Hanya saja...”.
“Hanya saja apa?”, tanya Sumarna, “apa karena porda itu masih lama, sehingga kita tidak perlu tergesa-gesa? Bukan begitu maksudmu?”.
“Bukan, bukan itu. Tapi coba pasang telinga kalian. Apa yang kalian dengar? Apa ketika kalian berangkat ke sini tadi tidak melihat suasana yang agak berbeda di kota ini?”.
Pertanyaan Darmawan langsung mengarahkan kepada situasi, sehingga kawan-kawannya tidak susah menebak apa yang dimaksudkannya. Karena sesungguhnyalah saat itu mereka mendengar reog dan bunyi gendang bertalu-talu dari beberapa arah. Dan sesungguhnya pula, mereka melihat kegiatan anak-anak muda yang meningkat. Tetapi kebanyakan mereka tidak terlalu memikirkannya. Hanya Pertiwi yang mempunyai penilaian lebih serius atas suasana itu. Dan peringatan Darmawan barusan membuat gadis itu mengerutkan keningnya, memikirkan yang tersirat dari ucapan pacarnya. Kegiatan terselubungnya bersama anak muda itu membuat Pertiwi langsung memahami tujuan pembicaraan Darmawan. Sementara itu Nasrul memperjelas pertanyaan Darmawan.
“Maksudmu suara gendang dan kegiatan orang membuat tanda gambar dan usungan-usungan?”.
“Ya itulah maksudku”, sahut Darmawan.
“Itu kan persiapan menghadapi peringatan kemerdekaan. Tiap tahun juga keadaannya selalu begitu, dan kita dapat memperingati kemerdekaan dengan cara kita. Justru menurutku lebih baik jika rencana pertandingan persahabatan kita kaitkan dalam rangka memperingati Hari Proklamasi”, kata Dodi.
“Benar Wan”, tambah Marni, “aku siap membantu jika tim pria menugaskan untuk minta piala kepada Pak Bupati. Kukira Pak Bupati juga akan sangat gembira jika kita mengemukakan rencana ini Prestasi sekolah kita yang diperlihatkan dalam Porda Provinsi akan memperlancar rencana kita”.
“Benar”, sahut kawan-kawannya yang lain.
“Itu semua saran dari Wiwi, Wan”, ujar Nasrul, “kita bukan hanya mengundang tim volley sekolah saja, tetapi juga tim volley luar sekolah. Kita dapat mengajukan rencana ini kepada Bapak Bupati sebagai seleksi tidak remsi, serta memberi tim-tim bibit baru. Bukan begitu Wiwi?”, tanyanya.
“Wah, sebuah rencana besar yang bagus. Kalau situasinya tepat, kukira Bapak Bupati akan mendukung 100 persen rencana kalian ini. Tetapi kalau diajukan sekarang, aku sangat meragukan”.
“Bagaimana Wiwi?”, tanya Marni, “kami tahu, dalam soal politik, kau punya pandangan lebih tajam dari kami”.
“Begini kawan-kawan”, ujar Pertiwi mulai bicara. “Aku memberi saran karena semangat kalian demikian menggebu-gebu. Aku hanya menyarankan rencana yang lebih berguna bagi kepentingan yang lebih besar. Ketika berangkat sekolah tadi, aku tidak melihat perubahan situasi, dan baru kita lihat pada saat berangkat ke sini. Karena itu tadi aku minta kalian merembukkan dengan Wawan. Tetapi setelah mendengar pendapat Wawan barusan, aku ingin memberi saran tambahan. Bagaimana?”.
“Katakan Wiwi”, seru kawan-kawannya hampir serempak.
“Sebelumnya aku akan mengemukakan alasannya”, sambung Pertiwi. Lalu: “Melihat gelagatnya dengan mendengar dari berita-berita radio, kegiatan yang ditimbulkan salah satu partai hari ini, akan menimbulkan reaksi dari partai-partai lain. Entah besok atau lusa akan terjadi persaingan yang memanas. Aku tidak tahu, apa persaingan itu akan berlangsung hanya sampai Hari Proklamasi atau akan berlanjut terus, walau menurut perkiraanku justru akan semakin meningkat. Karena itu aku menyarankan, agar rencananya kita tunda mengikuti situasi”.
“Wah bisa-bisa didahului orang”, kata Susi.
“Kukira tidak Sus, asal jangan diceritakan kepada luar lingkungan kita”, sahut Pertiwi. “Alasan lainnya, beberapa bulan lagi kita menghadapi ujian. Berarti tim yang sekarang akan pecah, karena sebagian dari kita akan sudah lepas dari sekolah, sehingga kita akan jadi tim luar sekolah. Juga sangat mungkin jadi tidak utuh, karena sebagian kita pasti akan melanjutkan sekolah dikota lain. Dengan demikian, rencana itu akan jadi rencana mereka yang tinggal di sini”.
“He, benar juga”, kata Maryanti, “soalnya kalau lulus, aku telah merencanakan pindah ke Bandung. Artinya, aku tidak akan bisa ikut”.
“Ah benar. Kita lupa karena telah terlena oleh rencana besar”, gumam Faisal.
“Salah, salah”, timbrung Susi cepat-cepat, sehingga semua kawannya berpaling.
“Salah apa?”, tanya Betty.
“Salah apa? Sudah jelas si Isal tidak pernah terlena oleh rencana besar, karena satu-satunya yang ada di benaknya adalah Lina manisku”, sahutnya dengan mulut nyengir.
“Sialan, kukira apa”. Betty mengumpat.
“Salahmu sendiri Betty. Sudah jelas dia suka memojokkan orang, kau masih melayaninya”, kata Herlina.
“He, kau tidak percaya Lina? Tanya sendiri pada orangnya”, timpal Susi.
“Eh apa benar kau ngebet sama Lina, Isal?”. Maryanti cepat-cepat menanggapi permintaan Susi.
“Sialan kau Yanti”, umpat Herlina.
Maryanti tertawa, tapi mulutnya masih menjawab: “Aku hanya ingin menolongmu Lina”, ujarnya.
“Huh, memangnya aku tidak punya mulut sendiri. Kalau mau aku bisa nanya sendiri”.
“Jadi kau benar-benar menolak cinta dia Lina?”, tanya Susi dengan nada serius.
“Isal, kenapa kau biarkan ocehan mulut usil ini?”, kata Herlina.
Faisal hanya tertawa. Sebaliknya, Susi mendesak Herlina.
“He, aku tidak tanya dia, tetapi kau. Apa benar kau menolak cintanya?”.
Herlina mendeliki Susi dengan wajah semburat merah. Tetapi mulutnya terbungkam, takut salah omong. Sementara kawan-kawan lainnya pada mengulum senyum. Bahkan mereka ingin tahu, bagaimana gurauan si Susi itu.
“Kenapa kau tidak menjawab Lina? Bukankah kau bisa menjawab sendiri?”.
Mata Herlina semakin mendelik, tetapi mulutnya masih tetap membungkam.
“Baiklah, begini saja”, kata Susi memutuskan, “kalau kau menolak cintanya, kau harus ngomong tidak mau. Kalau tidak ngomong, artinya kau menerima cintanya. Bukankah begitu kata orangtua-tua. Nah, aku akan menghitung sampai tiga. Satu...’.
Tampak Herlina serba salah, dan ketika Susi menyebut ‘tiga’, Herlina menundukkan kepalanya dengan wajah berubah memutih. Melihat itu Pertiwi merasa perlu menegur Susi.
“Susi, kalau bergurau jangan keterlaluan”, ujarnya.
Susi tidak menanggapi teguran Pertiwi. Dengan kalem dia menghampiri Faisal, dan menarik tangan anak muda itu menghampiri Herlina. Begitu tiba di depan si gadis, Susi menarik tangan Herlina, lalu disatukan dengan tangan Faisal. Yang mengherankan, baik Faisal maupun Herlina mandah saja diperlakukan oleh kawannya yang suka usil itu. Juga ketika Susi mengambil tangan lainnya, sehingga akhirnya kedua belah tangan muda-mudi itu sambil berpegangan dalam genggaman tangan Susi.
“Nah Isal. Kau harus konsekwen dengan ucapanmu. Jangan plintat-plintut. Aku paling tidak suka punya kawan yang berpacaran secara sembunyi-sembunyi. Karena hal itu dapat mengundang perbuatan yang tidak bertanggung jawab. Yang paling merugi tentu saja pihak perempuan. Dan aku tidak mau hal itu terjadi pada kawan dekatku”, ujar Susi dengan wajah serius.
Selama Susi bicara, Herlina menatapnya dengan pandangan yang sulit ditafsirkan. Nampaknya Pertiwi dapat menduga apa yang begejolak di hati Herlina. Karena itu, begitu Susi selesai bicara, dia menghampiri mereka dan mengguncang-guncang tangan mereka.
“Aku setuju dengan pendapatmu Sus”, ujarnya sambil tersenyum penuh arti, “selamat untuk kalian berdua. Dan kau Isal, kau tidak boleh plintat-plintut seperti kata Susi, karena semua kawan di sini sudah mengetahui”.
“Baiklah, mulai sekarang aku akan terbuka seperti kau dan Wawan”, sahut Faisal sambil menatap Herlina, “bukan begitu Lina?”,
Herlina menunduk tersipu-sipu tanpa menjawab, tetapi bibirnya menyungging senyum.
“Nah begitu dong”, kata kawan-kawannya hampir serempak, dan semuanya menyerbu untuk memberi salam bergantian.
“Sejak kini kalian jangan sungkan-sungkan lagi pulang berduaan, karena sudah jadi tugasmu mengawal Lina, Isal”, kata Pertiwi memantapkan hubungan Faisal dan Herlina.
“Aku tidak bermaksud menghindari tanggung jawab Wiwi”, sahut Faisal dengan tersenyum lebar, “aku hanya malu untuk berterus terang”.
“Kenapa malu? Kalian sudah cukup besar, dan wajar kalau berpacaran terbuka. Justru dengan tertutup membuat orang bercuriga. Kau tidak akan bisa apa-apa kalau pacarmu membelot”.
“Memangnya aku gadis macam gitu?”. Lina cepoat-cepat menyangkal.
Pertiwi tersenyum. “Tetapi kenapa kalian sembunyi-sembunyi?”.
Herlina terbungkam. Susi merasa menang angin, maka katanya: “Nah bukankah benar kataku?”.
Darmawan merasa persoalan Faisal dan Herlina sudah selesai. Mka dia membelokkan lagi pada soal semula: “Baiklah kawan-kawan. Kita kembali pada persoalan semula. Masih ada satu hal yang ingin kusampaikan”, ujarnya.
Dia menunggu sampai semua kawannya memperhatikan. Baru lanjutnya: “Kalau yang diduga Wiwi tadi terjadi besok atau lusa, kita terpaksa harus melonggarkan disiplin. Karena sebagai orang-orang yang sudah cukup besar, mungkin ada beberapa tanggapan yang berbeda di antara kita dalam hubungannya dengan sikap partai-partai yang bersaing. Kalian bebas mengambil pihak dan kegiatan. Aku tidak mau dituduh jadi penghambat kegiatan mereka. Sebab dalam situasi panas, orang mudah sekali bercuriga. Karena itu kalau di antara kalian ada yang ingin mengikuti kegiatan partai yang kalian penujui, aku persilahkan. Nah, bagaimana pendapat kalian?”.
Beberapa lamanya Darmawan menunggu. Semua kawannya nampak turut berpikir.
“Kukira pendapatmu benar Wan”. Akhirnya Nasrul menanggapi, “bagaimana pendapat yang lain?”.
“Bagiku tidak ada masalah, karena aku tidak memihak partai manapun. Tapi masalah politik memang rawan”, ujar Dodi.
“Baiklah, kalau begitu kita putuskan saja demikian. Beberapa hari ini kita akan melihat keadaan dulu. Kalau situasi memanas, kita akan hentikan dulu latihan ini. Tetapi satu hal yang harus tetap kalian ingat. Sekalipun kita mungkin punya pihak yang berbeda, kuharap kekompakan kelompok ini dipelihara. Artinya, persaingan partai jangan dibawa ke dalam tim meski hanya gurauan”, ujar Darmawan.
“Aku setuju”.
“Aku juga”.
“Baiklah. Dan sekarang nampaknya latihan harus dibatalkan karena sudah terlalu sore”.
Hampir serempak semuanya menengok ke arah matahari yang sudah sangat condong di barat. Rupanya pembicaraan mereka telah memakan waktu lama. Akhirnya mereka pun bubaran.
“Jangan lupa mengantar Lina, Isal”, teriak Susi yang berlalu paling dulu dengan Maryanti.
“Pasti. Terimakasih Sus”, jawab Faisal.
“Selamat indehoy”, kata Maryanti.
“Awas Sus, kalau ketahuan punya pacar, aku akan balas”, teriak Lina.
“Boleh saja kalau bisa”, sahut Susi yang telah sampai di jalan.
Seperti biasa, Pertiwi dan Darmawan pulang paling akhir. Mereka selalu ayal-ayalan. Kali ini mereka mempercakapkan Faisal dan Herlina yang meninggalkan lapangan tanpa tergesa-gesa.
“Ternyata sifat usil si Susi banyak manfaatnya”, kata Pertiwi sementara mereka berjalan.
“Benar, tanpa dia, kelompok ini kurang hidup”, sahut Darmawan.
“Maksudku soal Faisal dan Lina”.
“Ya, saya juga baru tahu kalau mereka telah berpacaran”.
“Bukan telah, tetapi baru berpacaran”, kata Pertiwi.
Darmawan berpaling. “Maksud Nden?”, tanyanya kurang mengerti.
Pertiwi tersenyum. “Kawan-kawan boleh dikelabui, tetapi aku tidak”, ujarnya, “aku yakin, saat ini si Isal dan si Lina sedang merundingkan hadiah apa yang pantas diberikan kepada Susi, karena telah mempertautkan hati mereka. Rupanya si Isal yang pemalu telah minta bantuan Susi jadi comblangnaya. Sesuai dengan kebiasaannya yang usil, Susi menjebak Lina agar mengambil pilihan yang menentukan, apa akan menerima Isal atau tidak. Ketika Susi menyatukan tangan mereka, aku melihat poerubahan wajah si Lina. Mula-mula bimbang, tetapi kemudian berubah jadi tatapan penuh rasa terimakasih kepada si Susi. Karena itu aku langsung memantapkan perasaannya”.
“Bukan main. Kiranya begitu kejadiannya”, gumam Darmawan, “hmm, kalau bukan Nden yang bicara, saya belum tentu percaya”.
“Kenapa?”.
“Dalam soal jebak-menjebak saya percaya, Nden memang lebih mahir. Karena saya pun telah Nden je..aduh”. Darmawan mengeluh sebelum kata-katanya selesai, karena lengannya dicubit Pertiwi. “Kalau kepada orang lain Nden harus hati-hati. Karena cubitan Nden sekarang bisa melukai”, sambungnya.
“Kepada orang lain aku tidak pernah mencubit. Hanya kau sasaranku satu-satunya”, gerutu Pertiwi.
“Wah berabe. Kalau Nden gemas pada orang lain, saya yang kena getahnya”.
“Benar. Karena hanya kau satu-satunya yang mandah menerima kegemasanku, sehingga aku tidak perlu khawatir mendapat pembalasan”.
“Jangan terlalu yakin. Sebab saya juga akan melihat dulu, kegemasan mana yang akan saya biarkan. Saya tahu, Nden akan marah kalau kegemasan yang satu itu tidak saya balas. Betul tidak?”.
“Husy! Sejak kapan pikiranmu jadi ngeres begitu?”.
“Sejak saya tahu kalau keinginan Nden tidak bisa dilarang”, sahut Darmawan.
“Salah”, kata Pertiwi tegas, “aku tidak mau kau hanya nunut kepada segala yang kuinginkan tanpa penilaian, apa keinginan itu wajar atau tidak, masuk akal atau tidak, baik atau tidak. Kalau kau mengabulkan segala keinginanku tanpa penilaian, berarti kau belum mengerti diriku seutuhnya”.
“Tentu Nden, tentu. Tapi saya tahu, kalau Nden minta sesuatu, tentu sudah disertai pertimbangan”.
“Tetapi aku juga manusia yang suka hilaf”.
“Saya mengerti Nden”.
Percakapan berhenti sampai di situ. Tidak jauh dari lapangan rumput tempat Darmawan melepaskan kudanya ada sebuah warung. Darmawan ingat pada surat dari Den Angga.
“Nden tolong belikan sampul surat sementara saya mengambil, delman”.
Pertiwi mengangguk. Sebelum membelok ke warung dia bertanya: “Apa surat dari si Angga?”.
“Ya Nden”, sahut Darmawan sambila terus melangkah, sementara Pertiwi membelok ke warung.
Setelah membeli amplop lima buah sekaligus, Pertiwi pergi ke jalan menunggu delman. Agak lama juga dia menunggu. Akhirnya Darmawan muncul dengan delmannya. Dia telah berganti pakaian dengan baju kusir, dan menghentikan delmannya di dekat si gadis. Maka Pertiwi pun naik.
“Mengapa lama?”, tanya si gadis.
“Membuka surat dulu”, sahut Darmawan. Dia merogohkan tangannya ke saku. Ketika keluar lagi, tangannya telah menjepit surat dan diserahkan kepada Pertiwi.
Pertiwi membaca surat itu. Isinya tidak panjang, hanya sebuah kalimat: “Dalam seminggu ini Dik Wanti jangan berkirim surat dulu, supaya kakakmu tidak curiga”. Dibawahnya tertulis ‘Kak Angga’.
Pertiwi melipat lagi surat itu. Dia mengambil satu amplop dari tasnya, dan surat itu dimasukkan ke dalamnya. Dia membasahi perekat tutup amplopnya dengan ludah, sekaligus direkatkan.
“Berarti dalam seminggu ini kita dapat melepaskan soal si Wanti”, katanya.
“Ya Nden”, sahut Darmawan, lalu: “Nampaknya Den Angga sedang memusatkan perhatian pada masalah Nden. Tentunya dia sedang menanti laporan dari Bung Yeye dan kawan-kawannya.
“Artinya, nanti malam aku harus mengawasi lagi rumah si Angga. Begitu kan?”.
“Itu memang tugas Nden, jika Nden tidak ingin kehilangan jejak langkah mereka”.
“Sulitnya, aku tidak tahu di mana mereka berunding. Tempo hari juga aku telah berusaha mengintip di beberapa bagian rumah, tapi tidak mendengar apa-apa”.
“Apa Nden tidak pergi ke pondok di kebun belakang rumah besar?”, tanya Darmawan.
“Pondok? Di kebun belakang?”. Pertiwi balik bertanya dengan nada heran.
“Maksud saya, rumah kecil”, sahut Darmawan.
“Rumah kecil? Setahuku di kebun itu tidak ada pondok, kecuali ranggon seperti punya Ayah”.
“Kapan terakhir Nden berkunjung ke rumah Den Angga?”.
Pertiwi mengerutkan keningnya. Rupanya dia tengah mengingat-ingat. Baru sahutnya: “Kalau tidak salah sekitar enam bulan lalu, ketika disuruh Ayah menyerahkan sertifikat pembelian tanah”.
“Meski kurang jelas karena terhalang pepohonan, nampaknya pondok itu masih sangat baru karena gentengnya masih merah benar”.
“Hmm, bisa jadi rumah itu dibangun sepulangnya si Angga dari latihan di Pasirpanjang”.
“Sangat mungkin Nden. Bukan mustahil pondok itu akan dijadikan pos kegiatan mereka”.
“Kalau benar, itu menguntungkan kita. Aku akan dapat mendengarkan apa yang mereka rencanakan dengan mudah. Karena aku sudah hapal betul kebun itu. Waktu kecil aku sering main kucing-kucingan di sana. Aku tahu tempat-tempat sembunyi yang baik”, kata Pertiwi.
“Kalau begitu pembagian tugas kita jadi jelas. Tugas saya mengawasi Pasirpanjang, dan tugas Nden mengawasi rumah Den Angga”, kata Daramawan. Lalu sambungnya: “Kalau kita hubungkan dengan permintaan Pak Abdurrakhman tempo hari, apa yang Nden ramalkan pada kawan-kawan tadi, hampir dapat dipastikan terjadi”.
“Bukan ramalanku, tapi ramalanmu. Aku hanya menyimpulkan jalan pikiranmu”, timpal Pertiwi.
“Tapi saya tidak pernah menyebutkan. Saya hanya mengingatkan bunyi gendang”.
“Dan belum setengah hari kau sebutkan, bunyi gendang itu sudah semakin ramai di semua arah. Sekarang bahkan anak kecil pun sudah bisa meramalkan bagaimana keadaannya besok”.
Darmawan tersenyum, lalu katanya: “Saya hanya bermaksud mengatakan...”.
“Bahwa tugas kita yang sebenarnya baru dimulai sekarang dan akan berjangka panjang. Bahwa mungkin Pak Abdurrakhman akan menghubungi kita lagi untuk memberi tugas dalam situasi baru”.
“He, bagaimana Nden tahu persis apa yang akan saya katakan?”, tanya Darmawan heran.
“Jadi, benarkah tebakanku?”.
“Tak salah Nden”.
“Terimakasih Tuhan. Ternyata aku sudah mengerti jalan pikiran pacarku”, gumam Pertiwi.
Darmawan memandang Pertiwi sejenak, lalu katanya: “Itu tandanya Nden berpikiran tajam. Tetapi ada bedanya dengan mengerti pribadi seperti yang Nden maksudkan tadi”.
“Maksudmu, mengerti dirimu seutuhnya?”.
“Ya”.
“Tentu saja berbeda. Tetapi pengertian ini penting dalam hubungannya dengan tugas kita. Sehingga kalau perlu, tanpa berbicara panjang, aku dapat menduga apa yang akan kau lakukan. Sedangkan tentang pribadimu...hmm, justru aku akan terkecoh kalau kepribadianmu berubah dari yang sekarang. Bukankah pengenalanku kepadamu dulu berangkat dari kepribadian itu?”, tanya Pertiwi.
Darmawan tidak menjawab, karena saat itu mereka telah sampai di ujung alun-alun kecamatan. Perhatian mereka tertuju ke lapangan. Tampak sekelompok muda-mudi tengah berlatih reog.
“Besok tentu bukan hanya sekelompok. Mungkin menyebar di tiap sudut dan tengah lapangan”.
Pertiwi mengangguk. “Sayangnya tidak ada ciri yang menunjukkan partai mereka”, timpalnya.
“Tentu karena persiapan yang mendadak, sekedar mengimbangi persaingan. Tetapi mulai besok ciri-ciri itu akan mereka bawa. Kita tinggal mengasah ingatan pada mereka yang berhubungan dengan tugas kita. Situasi ini memperkuat dugaan akan datangnya berita dari Pak Abdurrakhman”.
“Apa mungkin beliau justru sudah ada di sini sekarang?”, tanya Pertiwi.


--0--


“Belum lagi”, sahut Mang Sarju, “dari pusat memang hari ini. Tetapi dia harus singgah dulu di Provinsi untuk menyesuaikan rencana, sekaligus menjemput kawan yang akan menyertainya”.
Jawaban itu dikatakan Mang Sarju di tepas pondok baru Raden Angga kepada enam kawannya yang duduk bersila mengitari lampu. Sinar lampu itu menjadi suram oleh tebalnya asap rokok dan asap kopi panas yang keluar dari gelas-gelas. Mereka tidak menyadari kalau perundingan itu didengar oleh telinga luar yang berdiri di balik pohon kelapa cengkir tidak jauh di samping pondok. Pakaiannya yang merah tua menyatu dengan pohon kelapa dalam pekatnya malam.
“Kalau begitu, paling cepat juga baru besok sore tiba di sini”, timpal Raden Angga..
“Benar. Karena itu kuminta Bung Suho menjemputnya di pasar”.
“Kenapa bukan Bung Angga langsung? Bukankah sebelum ke Pasirpanjang, mereka akan menginap di sini?, kata Bung Suho. Nampaknya dia agak kebaratan karena wajahnya yang luka belum sembuh benar. Demikian pula dengan wajah Bung Yeye dan Bung Adam.
“Bung harus mengerti. Kalau penjemputnya orang kota ini bisa menimbulkan curiga. Lagi pula Bung Angga harus terhapus dari kegiatan kita di kota ini. Namanya harus netral dari memihak partai-partai, karena dia calon Camat dukungan kita, agar mendapat dukungan rakyat. Hubungannya yang dekat dengan Camat sekarang, memberi peluang besar untuk dipercaya rakyat”, kata Mang Sarju.
Semua pendengarnya menganggukkan kepala. Tetapi Bung Yeye teringat pada persoalannya dengan Pertiwi. Maka katanya: “Lalu bagaimana dengan soal puteri sulung Camat?”.
“Serahkan kepada Bung Angga yang mengaturnya. Gadis itu memang akan jadi penghalang, tetapi bukan dalam hubungan dengan partai. Pada akhirnya kuda liar itu akan jadi tunggangan kita semua. Itulah nasib akhir kembang tercantik di Kecamatan ini”, kata Mang Sarju.
Kembali semua kawannya menganggukkan kepala. Sementara pengintainya menggertakan gigi oleh rasa marah yang terungkat di hatinya. Dalam pada itu perundingan terus berlanjut.
“Apa dia termasuk calon kuda pacu yang akan dicoba tamu kita?”, tanya Bung Yeye.
“Bagaimana pendapat Bung Angga?”, tanya Mang Sarju.
“Aku keberatan”, sahut yang ditanya, “bukannya aku tidak setia kepada partai. Sesungguhnya ayah gadis itu telah mencalonkan untukku, tetapi orangnya sendiri menolak. Ini membuat aku penasaran. Aku punya dendam kepadanya, dan dendam itu hanya akan terpuaskan kalau dia telah berlutut di depanku. Setelah itu trserah”.
“Aku juga punya dendam kepadanya”. Bung Yeye menimpali, “aku orang kedua yang berkeberatan sebelum dendamku terlampiaskan”.
“Benar, aku dan Bung Adam juga setuju dengan Bung Angga. Kenapa kita harus selalu menyajikan yang terbaik kepada tamu kita? Padahal kita sendiri membutuhkannya”, timbrung Bung Suho.
“Baiklah. Aku pun sebenarnya ingin sekali menukar kedudukan. Kalau dulu sebagai kusir delman yang diperintah olehnya, nanti aku ingin jadi yang memerintah dia sesuai yang kuinginkan”, kata Mang Sarju memutuskan nasib yang akan diterima gadis bekas majikannya.
“Artinya, kita harus mencari kuda pengganti baru yang lain. Bukankah mereka memesan kuda yang belum ditunggangi?”, tanya Bung Manaf.
“Tak salah”, sahut Mang Sarju, “bahkan aku sudah memikirkan jalan keluarnya. Besok sore kita akan mulai kegiatan pawai besar. Sejak pagi harus sudah ada pawai rayon untuk memancing partai lain melakukan kegiatan yang sama. Isyukan pawai besar itu di seluruh penjuru kota. Usahakan juga ada yang datang dari luar kota. Pawai harus berlangsung sampai gelap. Selain untuk memperlihatkan kepada tamu-tamu kita semangat perjuangan Pemuda Rakyat di daerah ini, juga memudahkan kita mengambil kuda baru. Simpang-siurnya pawai akan membuat orangtua tidak cepat mengetahui kehilangan anak gadisnya. Waktu sadar, kita sudah mengamankannya di tempat jauh”.
Kembali semua kawannya menganggu, dan Mang sarju melanjutkan: “Pencarian kuda baru itu tugas Bung Manaf yang paling kenal situasi kota. Bung bisa minta pertolongan satu-dua kawan. Paling tidak malam besok harus sudah memperoleh dua, langsung dibawa ke Pasirpanjang”.
“Jadi, berapa yang kita butuhkan semuanya?”, tanya Bung Manaf.
“Empat orang sudah cukup”. Selebihnya srikandi-srikandi kita sendiri. Dua lainnya dapat dikirim belakangan, tetapi jangan lebih dari tiga hari”.
“Kalau semua dibawa ke Pasirpanjang, siapa yang akan melayani tamu di rumah ini sebelum mereka pergi ke sana?”, tanya Raden Angga.
“Untuk yang di sini Bung sendiri yang harus menyediakannya, karena mereka tamu Bung”.
“Aku hanya dapat meminta bantuan Bung Yeye, karena belum punya kuda sendiri”, kata Raden Angga. Lalu: “Apa Bung Yeye bisa mengusahakan yang tempo hari berulang tahun jika kukirimkan uang sewanya?”.
“Untuk saat ini memang kita masih harus mengambil hatinya walau sudah jadi milik kita. Mungkin setelah di sini, dia akan mau ikut ke Pasirpanjang atas kehendak sendiri”, sahut Bung Yeye.
“Baiklah. Kalau begitu semuanya sudah terencana. Kita tinggal melaksanakan besok”, kata Mang Sarju menutup perundingan. Tetapi belum ada yang meninggalkan rumah itu, kecuali sosok tubuh yang berdiri di balik pohon kelapa cengkir. Setelah tahu perundingan selesai, tanpa menimbulkan suara, sosok itu menyelinap ke belakang rumah, dan lenyap dalam kegelapan.
Ketika sosok itu tiba di kecamatan, dia menyusuri dinding kantor ke belakang. Dia menghampiri pondok kusir delman yang diterangi lampu gantung, dan di balai depan pondok tampak Darmawan tengah duduk santai.
“Kau belum tidur?”, sapa sosok yang menghampirinya yang tidak lain dari Pertiwi.
“Niis dulu Nden. Di dalam rasanya gerah”, sahut Darmawan.
“Jadi kau juga baru datang?”.
“Ya Nden. Tetapi hampir tidak ada informasi baru, kecuali tiga orang yang nampaknya tengah mempersiapkan tempat latihan di hutan tempo hari, ditemani seorang srikandi”.
“Hmm, di mana pun mereka bergiat harus selalu ditemani srikandi untuk kuda pacunya”.
“Itulah daya tarik mereka yang utama”, sahut Darmawan, “lalu bagaimana perolehan Nden”.
“Lumayan. Tapi besok saja aku ceritakan, sekarang aku ngantuk”.

--0--


“Ngantuk? Masa masih pagi begini sudah ngantuk lagi?”, tanya Susi mengomentari kata-kata Faisal di depan kelas waktu istirahat.
“Habis hampir semalaman tidak bisa tidur”, sahut Faisal.
“Nah, ayo ngaku. Kau apakan pacarmu hampir semalam suntuk?”, timbrung Betty.
“Tentu saja dikelonin”, timpal Susi sambil lari menjauhi Faisal.
“Iya dah, supaya...”.
“He, apa kau bilang?”, damprat Herlina dengan mata melotot kepada Faial.
“Akui saja Lina. Enak tidak? Soalnya kalau enak, aku mau ikut”. Maryanti membauri.
“Masa aku harus mengaku yang tidak kulakukan”, sanggah Herlina dengan kesal, “memangnya aku ini perempuan apa?”.
“Tentu saja perempuan yang lagi jatuh cinta. Betul tidak kawan-kawan?”, kata Farah.
“Betuuul!”, kata kawan-kawannya serempak.
“Gila! Kalian memang gila!”, kata Herlina hampir memekik.
“Makanya, supaya cepat diam, kataku juga akui saja Lina”, ujar Faisal.
Wajah Herlina semburat merah.
“Benar enak Isal. Ikut dong”, timbrung Henni.
“Gila! Kalian semua pada gila!”, bentak Herlina dengan mata merah.
“Apa kau belum bisa menyesuaikan diri juga setelah bergaul sekian lama dengan kawan-kawan usilmu Lina?”. Pertiwi turut nimbrung untuk menghentikan kelakar kawan-kawannya, melihat Herlina hampir menangis. Lalu sambungnya: “Faisal bermaksud membantumu”.
Kata-kata Pertiwi itu seperti guyuran air yang mendinginkan hatinya. Saat itu terbayang olehnya cara Pertiwi menghadapi setiap kelakar kawan-kawannya, sehingga tidak pernah berkepanjangan. Tiba-tiba saja Herlina menyadari kekeliruan sikapnya, dan dengan sendirinya rasa marah dihatinya pun sirna seketika. Dia sudah bersiap memberi jawaban yang mematikan. Tetapi ternyata kawan-kawnnya tidak meneruskan lagi kelakarnya. Yang nyeletuk justru Dodi.
“Wajar kalau si Isal ngantuk karena ngelonin pacar. Sedang aku yang belum punya pacar juga sekarang ngantuk karena hampir semalam suntuk tidak tidur. Kenapa coba?”.
“Ya kenapa? Kau sendiri yang harus menjawab”, kata Maman.
“Aku tahu”, kata Faisal cepat-cepat untuk menjelaskan rasa kantuk yang sebenarnya. “Pasti bunyi genderang penyebabnya. Di dekat rumahku juga sampai larut malam orang berlatih reog. Pagi-pagi sekali sudah menabuh pula”, jelasnya.
“Benar. Latihan itu tepat di sebelah rumahku. Rupanya ramalan Wiwi tepat sekali. Coba dengar, sekarang bunyi-bunyian itu sudah rampak di seluruh kota. Tadi pagi ketika aku berangkat, mereka sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Nampaknya hari ini akan ada pawai”, kata Dodi.
Baru saja perkataan Dodi selesai, sayup-sayup terdengar suara nyanyian riuh diikuti sorakan-sorakan pendorong semangat: “Hiduuup!!! Hiduuup!!!”.
“Nah mulai”, kata Nasrul.
Sorakan dan nyanyian makin lama makin jelas, tanda sumbernya sedang mendekat. Sebagian murid menghambur berlarian ke pagar halaman sekolah. Yang berlari ke pintu halaman hampir saja tertubruk sepeda pengantar pos yang masuk ke halaman, sehingga Pak Pos harus membunyikan bel.
Murid-murid yang tergabung dalam tim volley tidak turut berlarian. Karena sejak kemarin mereka sudah membicarakan kemungkinan itu. Karena itu mereka tetap di depan kelas masing-masing.
“Hidup buruh tani!”
“Hiduuup!!!”
“Hidup PKI!”.
“Hiduuup!!!”.
“Hidup Gerwani!”.
“Hiduuup!!!”.
“Hidup Pemuda Rakyat!”.
“Hiduuup!!!”.
Teriakan-teriakan semakin dekat dan semakin keras, diikuti nyanyian yang kata-katanya lebih jelas dan semakin jelas. Tidak lama kemudian muncullah sumbernya di depan sekolah. Sebuah pawai alegoris yang didahului rombongan kesenian reog dan angklung dengan para penari lelaki dan perempuan. Lalu sebuah tanda gambar palu arit besar dan gambar D.N. Aidit diangkat naik, didukung beberapa orang.
Di belakangnya rombongan anak-anak berpakaian pak tani, bu tani, tukang sayur menggendong bakul, memikul padi memakai topi cetok, dan aneka ragam pakaian rakyat kecil. Diikuti rombongan pemuda tidak berbaju dengan wajah dicorengi arang, berikat kepala merah dan merah putih, ditangannya memegang bambu runcing. Gadis-gadisnya juga mengenakan aneka pakaian. Kelompok merekalah yang memberi komando teriakan dibalas semua rombongan pawai dari belakang hingga ke depan. Lalu diikuti nyanyian perjuangan yang penuh semangat.

Nasakom bersatu
Singkirkan kepala batu
Nasakom satu cita
Sosialisme pasti jaya.....!

Orang-orang yang tengah berjalan pada berhenti di pinggir. Tiap kelompok pawai itu berteriak, orang-orang menyambut dengan teriakan ‘hiduuup!!!’ sambil mengacungkan tangan terkepal. Bahkan para pelajar yang berdiri berderet di balik pagar juga banyak yang turut berteriak sambil mengacungkan kepalan tangannya. Rombongan pawai itu cukup panjang dan kelengkapannya beraneka ragam hingga usung-usungan rumah-rumahan.
“Kunjungi beramai-ramai rapat raksasa di alun-alun nanti sore”, teriak salah seorang yang bersuara keras ketika lewat di depan sekolah.
“He, bukankah itu teman kita si Karna?”, kata salah seorang di antara yang nonton di balik pagar.
“Benar”, sahut kawan di sebelahnya, lalu: “He! Karna!”.
Pemuda yang wajahnya bercoreng-moreng itu berpaling sambil menjulurkan lidahnya.
“Pantas dia tidak masuk”, ujar kawannya yang lain.
“Kalau tidak mendengar suaranya, aku tidak akan tahu”, kata yang pertama. Kehadiran kawan mereka dalam rombongan pawai itu jadi bahan pembicaraan yang cukup hangat di antara mereka.
Sementara itu ujung belakang rombongan telah melewati sekolah dengan teriakan yang sama dan diulang-ulang, diikuti nyanyian lain yang makin sayup sejalan dengan makin jauhnya rombongan.

Genjer-genjer
Nang kedokan pating keleler
Mama e tole teko-teko
Muputi genjer....

Murid-murid yang berjajar di pagar halaman sekolah sudah pada bergerak hendak kembali ke kelas masing-masing. Tetapi tidak jadi, karena dari arah datangnya rombongan pertama tadi terdengar pula bunyi genderang yang mendekat.
“He, ada lagi!”, teriak beberapa orang hampir serempak.
Mereka kembali berderet di belakang pagar. Rombongan kedua ini berbeda dari yang pertama. Tetabuhannya teratur, genderang dan terompet seperti tetabuhan mengiringi tentara berbaris. Bedanya, diselingi dengan teriakan-teriakan seperti dilakukan rombongan pertama tadi.
“Hidup Fatayat!”.
“Hiduuup!!!”.
“Hidup Ansor!”.
“Hiduuup!!!”.
“Hidup Nahdatul Ulama!”.
“Hiduuup!!!”.
Suatu pemandangan baru bagi penduduk Kecamatan itu. Sejak rombongan masih jauh, para pelajar telah bersorak menyambut, sehingga murid-murid yang tadinya tidak tertarik, akhirnya berlarian ke pagar halaman.
“Hebat! Hebat!”, teriak mereka.
Sesungguhnya rombongan yang baru datang ini sangat teratur dengan baju seragam satin hijau. Di depan sekali gadis tinggi lampai dalam pakaian seperti jenderal, membawa tongkat panjang yang terus diputar-putar. Sekali-sekali tongkatnya dilemparkan ke udara dan ditangkap lagi dengan manis. Semua yang menyaksikan demonstrasi itu menyambut dengan gempita. Gadis yang memimpin barisan kadang-kadang berjalan mundur, tapi langkahnya tetap sejalan dengan irama genderang.
“Aneh, aku tidak pernah tahu di daerah kita ada rombongan pemain genderang hebat. Perempuan lagi”, kata Betty.
“Namanya Drum Band. Perempuan pembawa tongkat itu namanya Mayoret”, kata Nasrul menjelaskan, “ketika di Provinsi tempo hari kami pernah melihat pawai seperti itu. Bukan begitu Dod?”.
“Benar. Di sana, semua partai memiliki Drum Band. Pakaiannya beraneka ragam dan mewah”.
“Tetapi di sini kita belum melihatnya”, kata Maryanti, “untuk sampai pada kemampuan itu pasti memerlukan latihan lama”.
“Kurasa mereka bukan orang sini”, ujar Nasrul.
“Maksudmu?”, tanya Marni.
“Mereka dipanggil datang kemari”, sahut Susi cepat-cepat.
“dari mana kau tahu?”, tanya Maryanti.
“Aku hanya menduga. Karena tadi malam ayahku rapat dengan pengurus NU di rumah. Mungkin untuk mengimbangi propaganda partai lain”.
“Ternyata partai-partai cepat tanggap”, ujar Nasrul.
“Itu artinya persaingan akan terus menghangat”. Pertiwi menimbrung.
Dalam pada itu rombongan drum band telah tiba di depan sekolah. Terdengar suara melengking perempuan dari tengah barisan memberi aba-aba teriakan “hidup fatayat”. Teriakan diikuti oleh seluruh anggota rombongan dan juga penonton di pinggir jalan: “hiduuup!!”, termasuk para pelajar.
“He, kepada siapa sebenarnya kau memihak? Bukankah tadi juga kau menyambut dengan teriakan yang sama Nana?”, tanya Susi kepada salah seorang dari mereka.
“Tidak kepada siapa-siapa”, sahutnya.
“Huh dasar plin-plan”, timbrung Maryanti.
Si Nana nyengir. Katanya: “Aku hanya cari selamat. Kau sendiri memihak ke mana?”.
“Tidak kepada yang mana-mana. Aku masih sekolah, belum mau berpolitik. Karena itu aku tidak berbuat apa-apa, hanya nonton”, sahut Maryanti..
Beberapa pelajar agak jauh dari kelompok Pertiwi ribut, di antaranya ada yang menunjuk ke dalam barisan gadis-gadis yang tidak membawa apa-apa selain mengenakan seragam hijau.
“Ada apa?”, tanya Herlina sambil berlari ke dekat pagar. Tapi kemudian dia kembali.
“Ada apa Lina?”, tanya Susi.
“Sadiah dan Titin ikut dalam barisan”, sahut yang ditanya, “di rombongan lelaki kulihat si Ahmad. Mungkin masih ada yang lainnya. Aku hanya melihat sekilas”.
“Mereka calon-calon pemain drum band. Rupanya barisan belakang itu pemuda-pemudi daerah kita yang mungkin bakal sering bolos”, ujar Pertiwi.
Setelah rombongan drum band lewat, kembali dari jauh terdengar sorakan riuh. Tapi lonceng masuk telah berbunyi. Maka mereka semua masuk ke kelas masing-masing.
Biasanya, tak lama setelah lonceng berbunyi guru kelas segera hadir. Tetapi hari ini guru-guru tidak segera datang. Karena itu para ketua murid mendatangi ruang guru. Melihat kedatangan para KM, salah seorang guru yang duduk dekat pintu menghampiri mereka di luar.
“Tolong, jangan ada yang ke luar kelas. Kami sedang rapat. Sebentar lagi juga selesai”, katanya.
“Baik Pak”, sahut para KM serempak, dan mereka berbalik ke kelas masing-masing.
“Nak Wawan”, panggilnya kepada Darmawan sebagai salah seorang KM.
Darmawan yang sudah berbalik berhenti mendengar panggilan itu.
“Ada apa Pak?”, tanyanya.
“Di TU ada surat untukmu”, kata Pak Guru.
“Terimakasih”, kata Darmawan, dan dia berbelok ke kator TU. Darmawan menghampiri kepala TU, lalu katanya, “maaf Pak. Kata Pak Guru ada surat buat saya”.
“Ya baru tadi datang. Bapak belum sempat memasang di papan pengumuman”, ujar Kepala TU sambil mengambil beberapa buah surat yang tertumpuk di atas mejanya, memilihnya, dan menyerahkan sebuah kepada Darmawan. “Ini”, katanya.
Darmawan menerima surat itu dan membaca pengirimnya, Pak Abdurrakhman. “Terimakasih Pak”.
“Sebentar Nak Wawan. Masih ada satu lagi”, ujar kepala TU sementara tangannya membuka buku catatan penerimaan surat-surat berharga, “tanda tangani di sini”, sambungnya.
Sekilas Darmawan membaca catatan surat yang diterimanya, sebuah weselpos Rp. 100.000. Pengirimnya Pak Abdurrakhman juga. Selesai menandatangani, Darmawan menerima poswesel itu.
“Tinggal ambil di kantor pos. Tadi sudah ditandatangani Pak Direktur dan sudah di cap sekolah”.
“Terimakasih. Permisi Pak”.
Darmawan memasukkan surat dan wesel itu ke balik bajunya. Sebab dia tidak ingin mendapat banyak pertanyaan dari kawan-kawannya. Tiba di kelasnya ternyata Pak Guru sudah hadir.
“Maaf Pak, saya ke kantor TU dulu”.
Guru kelas mengangguk. “Duduklah. Bapak baru akan mulai”.
Tetapi saat itu di jalan terdengar bunyi hingar gendang dan teriakan dari rombongan pawai yang lewat, sehingga guru kelas menunda dulu pembicaraannya.
“Hidup PNI Ali!”.
“Hiduuup!”.
“Hidup Bung Karno!”.
“Hiduuup!”.
Nasakom bersatu
Singkirkan kepala batu
Nasakom satu cita
Sosialisme pasti jaya

“Nah anak-anak”, kata guru kelas setelah suara hiruk-pikuk menjauh, ditimpali suara hiruk-pikuk yang mengeras dari arah berlawanan. “Seperti kalian ketahui sendiri, beberapa murid kelas ini dan juga kelas-kelas lainnya tidak masuk. Kalian juga melihat sendiri di antara mereka tampak dalam rombongan pawai. Ini permulaan yang kurang baik. Karena itu sebelum kasip, Bapak Direktur telah memanggil kami para guru untuk menyampaikan kebijaksanaan sekolah. Bapak Direktur dan kami para guru tidak bermaksud melarang kalian turut kegiatan partai, sebab kalian sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan. Tetapi sebagai pelajar, kalian juga punya kewajiban mematuhi ketentuan sekolah. Artinya, kami minta, selama waktu sekolah, kalian penuhi kewajiban sebagai pelajar. Di luar itu, dalam situasi sekarang ini, kami tidak berani melarang. Namun kami hanya ingin memberi pesan. Pikirkan baik-baik dalam memilih pihak, karena masa depan kalian masih panjang”.
Sejenak guru kelas menghentikan wejangannya, karena di jalan mulai terdengar lagi suara riuh berbaur dengan bunyi tetabuhan.
“Hidup PNI Osa-Usep!”.
“Hiduuup!!”.
“Hidup pemimpin besar revolusi!”.
“Hiduuup!!”.
“Hidup Marhaen!”.
“Hiduuup!!”.
Setelah keriuhan melemah, guru kelas melanjutkan: “Menurut perkiraan kami, hari ini rombongan pawai akan keliling kota bergantian, disambung rombongan-rombongan dari penjuru kota dan luar kota untuk menghadiri rapat di alun-alun. Karena itu Pak Direktur telah mengambil kebijaksanaan. Kalian semua boleh pulang”.
“Asyiiik”, sambut semua murid dengan gembira.
“Nah bereskan dulu peralatan sekolah kalian, dan keluar dengan tertib”, kata guru kelas, “selamat siang”, sambungnya sambil berlalu.
“Siaaang!”, sambut murid-murid serempak sambil membereskan alat tulis mereka dan berserabutan.
Seperti biasa, Darmawan dan Pertiwi keluar kelas paling belakang. Darmawan mengeluarkan surat dan weselpos dari balik bajunya, langsung diserahkan kepada Pertiwi.
“Dari siapa? Kok suratnya belum dibuka?”, tanya Pertiwi.
“Dari Pak Abdurrakhman”, sahut Darmawan, “Nden saja yang membaca”.
Pertiwi menyobek sisi sampul dan mengambil suratnya. Isinya pendek saja.

Nak Wawan/Wiwi,
Mungkin akan ada kegiatan khusus yang sangat penting di daerah kalian. Gunakan uang yang Bapak kirim untuk memperoleh informasi lengkap. Kalau kurang, jangan segan, minta lagi kepada Bapak. Informasi yang kalian peroleh, kalau dapat, dibawa sendiri ke Jakarta, jangan melalui pos.
Abdurrakhman

“Kukira sangat erat hubungannya dengan orang yang akan datang nanti Wan”, kata Pertiwi.
“Benar Nden. Untung kita sudah tahu rencana mereka dan tempat kegiatannya”.
“Tetapi apa usaha penyelamatan gadis yang akan diculik mereka itu tidak akan membuat mereka curiga?”, tanya Pertiwi.

--0--


Delapan
Mengalih Perhatian
“Tentu saja akan curiga jika kamu yang memintanya”, sahut Manaf.
“Habis siapa?”, tanya Karna.
“Menurutmu, siapa kawan prianya yang tidak sekolah hari ini dan sepaham dengannya?”.
“Si Tarman”.
“Nah, tunggu apa lagi?”.
“Hmm, baiklah”.
Percakapan itu terjadi dalam rombongan Pemuda Rakyat yang tengah istirahat sehabis pawai. Maka Karna dan Manaf pun berlalu meninggalkan rombongan itu.
“Aku tunggu hasilnya di rumah”, kata Manaf.
“Aku akan berusaha”, jawab Karna, dan mereka berpisah.
Adalah kebetulan, saat itu muncul delman Darmawan dari belokan jalan. Baik Pertiwi maupun Darmawan mengenal dua orang yang saling mengangkat tangan untuk berpisah itu. Karena yang satu pelajar di sekolahnaya, sedang yang satu lagi sudah tercatat dalam daftar orang yang dilaporkan.
Sekilas Karna melihat kepada Pertiwi, tetapi cepat berpaling lag meneruskan langkahnya. Manaf bersikap biasa sebagai orang asing, karena memang bukan pelajar. Dia justru memandang Pertiwi dengan lekat dan penuh kekaguman. Pertiwi pura-pura tidak melihatnya. Dia justru berpaling kepada Darmawan: “Itu si Manaf”, bisiknya.
“Ya Nden. Saya kira dia menghubungi si Karna untuk melakukan tugas yang diberikan kepadanya”.
Pertiwi tidak menyahut, karena saat itu delman berpapasan dengan orang yang dibicarakannya. Setelah lewat jauh, Darmawan berpaling ke belakang. Dia tidak melihat si Manaf, tetapi dikejauhan masih tampak si Karna yang mengikuti jalan lurus. Darmawan menghentikan delmannya.
“Nden, saya kira jarak ke rumah Marni...”.
“Aku tahu”, kata Pertiwi sebelum kata-kata Darmawan selesai sambil turun dari delman, “kalau kau tidak sempat menjemput pukul lima, aku akan pulang sendiri”.
“Saya kira tidak akan lama. Saya hanya ingin tahu, siapa yang akan dihubungi si Karna”, kata Darmawan sambil mengedut kendali dan memutar delmannya balik kembali ke arah datangnya tadi. Pertiwi meneruskan perjalanannya ke rumah Marni dengan berjalan kaki.
“Dari jauh Darmawan melihat Karna tiba di simpang empat. Pemuda itu berbelok, maka Darmawan pun mempercepat lari kudanya. Ketika tiba di simpang empat, dia masih sempat melihat Karna berbelok ke sebuah pekarangan. Karena itu dia melambatkan lari kudanya. Dia lewat di depan pekarangan rumah itu tepat ketika pintu rumah dibuka dari dalam. Seorang pemuda muncul dari dalam, Tarman. Tentu saja Darmawan mengenalnya, karena dia murid di sekolahnya. Tarman mengajak Karna masuk. Darmawan menjalankan masih delmannya. Setelah tidak terlihat dari rumah itu, dia memutar delmannya balik lagi.
Kini Darmawan mengarahkan delmannya ke rumah Manaf. Tetapi sejarak 20 meter dari rumah itu, dia menghentikan delmannya di bawah pohon rindang. Dia menekan topi pandannya dalam-dalam, lalu bersandar di tiang atap delman. Waktu pun berlalu.
Lama juga dia menunggu. Kemudian telinganya mendengar langkah-langkah kaki mendekat dari arah belakangnya. Orangnya lewat di samping delman, Karna. Dari balik topi pandannya Darmawan memperhatikan tanpa diam-diam. Sampai di depan rumah Manaf, Karna membelok masuk pekarangan.
Sekitar seperempat jam kemudian dari pekerangan muncul pemuda yang belum dikenal Darmawan. Pemuda itu berjalan ke arahnya. Ketika telah dekat, Darmawan memejamkan matanya seperti sedang tidur. Pemuda itu berdiri di sisi delman, dan tangannya mengguncang tubuh kusir.
“He Mang, Mang Kusir”, panggilnya.
Tubuh Darmawan terlonjak seperti terkejut. “Ap..eh ada apa Den?”, sahutnya gagap dan dia membetulkan letak topinya, “maaf Den, Mamang ketiduran. Habis tadi malam hampir tidak dapat tidur karena orang latihan reog di dekat rumah”.
“Aku tidak tanya itu. Yang aku tanyakan, apa Mamang mau dapat untung gede?”.
“Untung apa Den? Tentu saja mau”, sahut Kusir.
“Membawa barang ke luar kota”.
“Baik Den. Di mana barangnya?”.
“Bukan sekarang, tapi nanti malam”.
“Nanti malam? Mamang kira sekarang. Kalau nanti malam mah Mamang tidak berani Den. Mamang takut. Apalagi ke luar kota”.
“Kenapa takut? Kan ada aku. Nanti kubayar dua kali lipat dari harga biasa”.
“Tiga kali lipat juga Mamang tidak berani. Sekarang mah jaman werit Den. Jangankan ke luar kota, di dalam kota juga pikir-pikir dulu”, ujar Mang Kusir.
“Huh, dasar pengecut”, gerutu orang itu sambil berlalu ke arah datangnya tadi.
“Maaf Den, Mamang mah masih sayang nyawa”, kata Mang Kusir sambil mengedut kekang kudanya, “terimakasih Aden sudah membangunkan Mamang. Kalau tidak, Mamang bisa kemalaman”.
“Dasar penakut”, gerutunya lagi ketika delman lewat di sampingnya.
“Soalnya Mamang punya isteri tercinta Den. Mamang permisi dulu”, sahut Mang Kusir.
Ketika lewat di depan pekarangan rumah Manaf, dia melihat Manaf dan Karna tengah duduk di tepas terbuka. Telinga Darmawan masih mendengar pertanyaan Manaf.
“Bagaimana Dang? Apa dia mau?”.
“Penakut”, sahut yang ditanya, “kita cari yang lain saja”.
Kata-kata terakhir hampir tidak terdengar karena jaraknya sudah jauh. Namun informasi itu bagi Darmawan sudah cukup. Dia mempercepat lari kudanya karena waktu yang dijanjikan hampir tiba.
Darmawan menghentikan delmannya di tempat biasa kalau menjemput Pertiwi, yaitu di sudut pekarangan rumah Marni. Pintu rumah terbuka, dan Pertiwi keluar diantar Marni sampai pintu depan. Kawan-akawan lainnya sudah tidak ada, sudah pulang semua. Memang Pertiwi selalu pulang paling belakang, untuk menjaga rahasia Darmawan.
“Bagaimana Wan?”, tanya Pertiwi setelah delman berjalan agak jauh dari rumah Marni.
“Yang dihubungi si Karna adalah Tarman. Tapi saya tidak tahu rencana mereka. Yang jelas, gadis yang diculik mereka akan diangkut dengan delman”.
“Hmm, banyak juga keterangan yang kau peroleh. Rupanya si Manaf menawar delmanmu ya?”.
Darmawan mengangguk.
“Aku bisa membayangkan. Kau terkantuk-kantuk di atas delman di dekat rumah si Manaf”.
Darmawan tersenyum. “Bagaimana Nden dapat menebak dengan tepat?”, tanyanya.
“Apa susahnya. Kau mengikuti si Karna. Si Karna harus melapor hasil usahanya kepada si Manaf. Maka kau tinggal menunggu kedatangan si Karna di dekat rumah si Manaf. Yang tidak kau duga, si Manaf menawar delmanmu, dan kau menolak karena takut terbuka kedokmu”.
“Sedikit koreksi”, kata Darmawan.
“Yang mana?”.
“Yang saya katakan bukan takut terbuka kedok, tapi takut tidak bisa bertemu lagi isteri tercinta”.
“Nah mulai lagi”. Pertiwi mendumel, namun kehangatan menjalari perasaannya.
“Memang begitu yang saya katakan”.
“He, kenapa jalan ke sini?”, tanya Pertiwi ketika delman tidak berbelok ke jalan yang biasa.
“Nden dengar sendiri, bunyi tetabuhan mulai ramai lagi. Saya menghindari keributan itu. Sekalian melihat kalau-kalau ada informasi tambahan di rumah Tarman”.
Pertiwi tidak menukas lagi. Delman pun mencongklang terus. Jalan yang biasanya sepi, sore itu agak ramai oleh orang yang berbondong-bondong menuju alun-alun. Ketika hampir sampai di simpang empat, Darmawan menarik les kudanya, dan delman pun berhenti. Pertiwi yang hendak bertanya, tidak jadi, karena Darmawan menunjuk ke simpang empat. Berlawanan dengan arah orang banyak, tampak sepasang muda-mudi berbelok menjauh dari arah ke alun-alun.
“Nden, yang diincar si Manaf itu rupanya...”.
“Farah”, tukas Pertiwi cepat-cepat.
“Hmm, saya sekarang mengerti alasan yang dijejalkan si Tarman kepada Farah”.
“Ya. Si Tarman dan si Karna tidak masuk sekolah. Mereka pura-pura hendak mencatat pelajaran hari ini. Dengan menyanjung si Farah yang lebih pandai dari kawan-kawan lain, mereka minta bantuan untuk menyalin sekalian menjelaskan soal-soal aljabar”, kata Pertiwi.
“Sanjungan itulah yang melenakannya”, tambah Darmawan, “saya kira informasi ini sudah cukup. Yang harus diperhitungkan, di mana si Farah akan dicegat si Karna dan kawan-kawannya”.
“Kukira tadi siang kau sudah memperhitungkan hal itu”, kata Pertiwi.
“Ya Nden. Saya menduga, mereka akan mencegat di pertengahan jalan ke rumah si Manaf. Sebab saya melihat tempat yang cukup bagus untuk melaksanakan itu. Mari saya tunjukkan”.
Darmawan mengedut les kudanya lagi. Farah dan Tarman sudah tidak terlihat berbelok ke rumah Tarman. Darmawan membelokkan delmannya ke arah berlawanan dari yang ditempuh pasangan muda-mudi itu. Tidak terlalu jauh dari simpang empat, di satu sisi jalan ada belukar kecil dan diseberangnya deretan kebun penduduk. Dalam jarak setengah kilometer tidak ada rumah, kecuali dangau-dangau kecil dalam kebun. Tetapi pada malam hari dangau-dangau itu kosong, dalam keadaan gelap, tidak akan terlihat dari jalan. Sedangkan hutan kecil itu pada malam hari akan tampak cukup seram.
“Kita tidak tahu, siapa calon korban yang kedua”, kata Pertiwi.
“Benar. Tetapi kita sudah tahu ke mana dua korban itu akan di bawa. Karena itu kita harus bekerja sendiri-sendiri”.
“Tidak apa. Bukankah belakangan ini aku sudah sering bekerja sendiri?”.
“Tetapi saya minta Nden tetap berhati-hati, sebab mungkin Nden tidak menghadapi satu lawan”.
Pertiwi mengangguk. “Percayalah kepada muridmu Wan. Meski lawanku berkemampuan lebih rendah, aku tidak akan melupakan nasihatmu”, kata Pertiwi meyakinkan.
“Syukurlah. Yang Nden katakan itu sudah setengah modal bagi kemenangan”.
Beberapa lamanya mereka tidak bicara. Ketika melewati rumah Manaf, keadaan sepi. Tetapi di jalan banyak orang menuju alun-alun. Makin dekat ke alun-alun, suara hingar tetabuhan makin keras.
“Nampaknya aku harus berbohong kepada Ayah karena harus berangkat sebelum magrib. Aku akan menghatakan bukuku ketinggalan di rumah Marni”, kata Pertiwi ktika sampai di sudut alun-alun yang sudah dipenuhi orang, serta bunyi tetabuhan hingar-bingar.
“Apa boleh buat Nden. Sebab bohong Nden untuk menyelamatkan nyawa orang. Kita sudah kenal orang-orang tak bermoral itu. Kalau terlalu malam berangkat, meski nyawanya dapat diselamatkan, saya khawatir miliknya yang paling berharga tidak terselamatkan”, kata Darmawan.

--0--


“Jangan khawatir. Nanti aku yang akan minta maaf kepada ayahmu Farah. Ini tanggung sekali sih, hanya sedikit lagi”, sahut Tarman menenangkan Farah, sementara tangannya tetap mencatat.
“Tapi aku tidak pernah telat sampai gelap begini”.
“Justru karena belum pernah telat, tentu ayahmu akan memafkan. Aku akan berterus terang bahwa aku yang salah”.
Farah tidak berkata lagi. Tetapi kegelisahan di wajahnya tidak hilang. Dia mulai menyesal, mengapa tadi tidak menolak ajakan Tarman. Dia hampir menyangka, Tarman sengaja mengulur-ulur waktu melalui ketidakmengertiannya soal aljabar, sehingga harus berulangkali dijelaskan. Tetapi karena tidak ada alasan kuat, sangkaan itu dia buang kembali.
Keadaan di luar sudah semakin gelap, dan kegelisahan Farah makin memuncak. Namun akhirnya Tarman selesai juga mencatatnya. Cepat-cepat Farah memasukkan bukunya ke dalam tas, sementara Tarman masuk ke dalam untuk memberitahu ibunya. Ibunya muncul bersama Tarman.
“Ibu mohon maaf, karena anak Ibu telah membuat Nak Farah pulang telat. Biarlah dia mengantar dan minta maaf kepada ayah Nak Farah”, kata ibu Tarman.
Farah memaksakan diri tersenyum. “Tidak apa Ibu, saya permisi dulu”, sahutnya.
Ibu Tarman mengantar sampai di pintu. Begitu tiba di jalan, Farah melangkah cepat.
“Tidak perlu tergesa-gesa Farah. Tenang saja”, kata Tarman.
“Tetapi ini sudah terlalu malam. Aku takut”, sahut Farah. Tapi dia terpaksa memperlambat jalannya, karena Tarman tidak mengikuti langkah-langkah cepat Farah.
“Kenapa takut? Kan ada aku. Apa kau tidak percaya kepadaku?”.
Farah tidak menyahut. Hatinya benar-benara kesal dan gelisah. Tetapi dia tidak dapat memaksakan kehendaknya, karena memang dia harus menggantungkan diri pada lelaki itu. Dari kejauhan terdengar tetabuhan diselingi sorak-sorai sayup-sayup. Sesungguhnya jarak ke alun-alun itu cukup jauh, sehingga kalau siang hari mungkin suara itu tidak akan terdengar.
Tiba di simpang empat, Farah hendak berbelok ke arah datangnya tadi.
“Jalan sini saja. Bukankah kau ingin cepat sampai? Jalan sini lebih dekat”, ajak Tarman.
“Tetapi di sana ada hutan dan jarang ada rumah”, sahut Farah ragu-ragu.
“Apa kau tidak percaya juga kepadaku?”.
Farah menghela nafas. Dia benar-benar tidak bisa memilih. Dari arah yang berseberangan, tampak seseorang berpakaian hitam dan bertopi cetok berjalan mendatangi. Sosok yang tampak misterius itu membuat hati Farah berdebar-debar. Karena itu dia terpaksa ikut ajakan Tarman.
Ketika mencapai ujung hutan, Farah menengok ke belakang. Sosok hitam itu tak terlihat lagi, sehingga hatinya tenang kembali. Dia tidak menyadari kalau sosok hitam itu telah menjajari dirinya, tetapi pada jarak beberapa meter di dalam hutan yang gelap.
Ketika hampir mencapai pertengahan hutan, tidak terlalu jauh di depannya tampak dua sosok berpakaian gelap mendatangi.
“Ada orang Tarman”, bisik Farah.
“Biar saja. Paling-paling juga yang pulang dari alun-alun”, sahut Tarman.
Mendengar jawaban itu hati Farah agak tenang. Apalagi ketika dalam keremangan dia melihat, dua orang yang mendekat itu seperti sedang bercakap-cakap. Farah mencoba menajamkan penglihatannya. Hatinya bercekat ketika melihat dua orang iu mengenakan kain penutup seluruh kepala hingga ke leher. Tetapi keadaan sudah kasip karena jaraknya sudah sangat dekat.
Belum lagi rasa terkejutnya hilang, dua orang itu telah meloncat bersamaan. Farah memekik hampir bersamaan dengan suara berdebuknya tinju menghantam tubuh, dan suara Tarman mengaduh keras. Saat selanjutnya mulut Farah disumpal kain oleh penyerangnya, dan tubuhnya diseret ke dalam hutan. Si Tarman dan lawannya bangkit berdiri sambil menepuk-nepuk debu yang melekati pakaian mereka setelah jatuh bergulingan barusan.
“Kita robah rencana sedikit. Rugi kalau kita tidak merasainya dulu”, kata penyerangnya yang tidak lain dari si Karna. “Nah pakai tutup kepala ini supaya dia tidak mengenali kamu”, sambungnya sambil menyerahkan kupluk kepada si Tarman.
“Tetapi bukankah dia harus diserahkan utuh?”, tanya Tarman ragu-ragu.
“Aku yang tanggung jawab. Kita katakan saja tidak tahu-menahu kalau dia sudah bukan gadis lagi”.
“Lalu kapan dia akan diambil Bung Manaf?”. Tarman bertanya lagi.
“Sekarang dia sedang mengambil yang satunya. Paling cepat juga sejam lagi baru sampai di sini. Aku yakin, Bung Manaf tidak akan berani mengganggu keutuhan tangkapannya. Sebab dia bertanggung jawab kepada pimpinan. Sedang kita tidak punya tanggung jawab selain menyerahkan si Farah”.
Tarman mengangguk setuju. Dia langsung mengenakan kupluk pemberian Karna. Lalu keduanya bergegas mengikuti arah diseretnya tubuh Farah.
Keadaan gelap membuat Karna dan Tarman tidak bisa melihat jauh ke depan. Mereka hanya mengikuti bunyi gemeresak ranting-ranting yang ditimbulkan tubuh yang diseret. Setelah sekitar 20 meter, bunyi seretan tubuh berhenti. Tarman dan Karna terus menghampiri tempat berhentinya suara seretan di balik gerumbul semak. Mereka tegak di tempat yang cukup lapang memandang sesosok tubuh hitam yang berdiri pada jarak 2 meter. Tetapi ada yang ganjil pada sosok itu....bercetok.
“Kalian pemuda bejat yang tidak patut dikasihani”, desis sosok bercetok dalam suara tak jelas.
Begitu selesai kata-katanya, sosok itu meloncat menerjang Tarman dan Karna yang berdiri bengong. Tidak ampun lagi tinju beruntun sosok itu menghantam wajah mereka beberapa kali. Rupanya sosok itu tidak mau membuang-buang waktu. Gerakannya yang cepat membuat kedua lawannya tidak punya kesempatan melawan, tetapi juga tidak segera membuat kedua tubuh lawannya ambruk. Tubuh Tarman dan Karna terbungkuk dan terdongak beberapa kali seperti benda mati. Satu-satunya tanda mereka hidup adalah keluhan-keluhannya.
Karna dan Tarman terundur-undur sampai ke gerumbul semak yang lain. Terakhir, setelah wajah keduanya babak belur berlepotan darah, sosok itu meloncat tinggi, dan kedua kakinya menghantam bahu kedua lawannya dengan telak menimbulkan bunyi berdebuk. Tubuh Tarman dan Karna terpelanting beberapa meter ke belakang, lalu ambruk di tanah tidak bergerak lagi, pingsan.
Sejenak sosok itu memperhatikan kedua lawannya dengan kaki mengangkang. Tetapi kemudian dia membalikkan tubuh kembali ke arah jalan. Dia berhenti di dekat sebuah batang kayu yang menunjuk ke tengah hutan, dan masuk menyusup ke dalam semak.
Sosok itu melepaskan cetoknya menggantung di punggungnya. Ternyata kepalanya juga memakai kupluk seperti Karna dan Tarman. Sambil berjalan, tangannya menyibak-nyibakkan rumpun semak yang menimbulkan bunyi keresekan. Sampai kemudian terdengar suara teguran di depannya.
“He kenapa kalian lama sekali?”, tanya si penegur dari kegelapan.
Sosok itu tidak menjawab, tapi terus menghampiri. Di tempat agak lapang tampak seseorang tengah berjongkok di depan tubuh terlentang meronta-ronta dengan tangan-kaki terikat.
“Kalian masing-masing harus memegang sebelah tangannya. Kita gantian, aku yang lebih dulu”, kata orang itu tanpa menengok.
Sosok hitam itu kembali mengenakan cetoknya sambil mendekat, tegak di depan orang berjongkok itu diantarai tubuh Farah yang tergolek. Rupanya orang berjongkok itu melihat sesuatu yang agak lain pada sepasang kaki yang tegak di depannya. Dia menengadahkan kepala untuk meyakinkan, tetapi sebelah kaki didepannya terayun menghantam wajahnya, sehingga tubuh orang itu terlempar beberapa meter ke belakang dengan mengaduh keras. Sosok hitam itu melangkahi tubuh Farah, menghampiri orang yang ditendangnya.
“Siapa kau?”, tanya orang yang ditendangnya sambil meloncat bangkit.
Sosok misterius itu tidak menjawab.
“Setan! Kau apakan kedua temanku?!”, bentaknya lagi.
“Kubunuh”, sahut sosok hitam dengan suara serak tak jelas.
Mendengar jawaban itu, lawannya langsung menerjang. Tetapi sosok hitam itu menangkisnya, dan salah satu kakinya menyapu kaki lawannya, sehingga tubuh orang itu terpelanting ambruk lagi di tanah. Namun ternyata dia gesit. Dia menggeliat berdiri lagi memasang kuda-kuda.
Sejenak mereka saling mengawasi. Si penculik meloncat menerjang lagi dengan juluran kaki yang deras ke arah leher lawan. Bersamaan dengan itu, lawannya memutar tubuh sambil menjulurkan kakinya pula ke arah tubuh si penculik yang sedang meluncur. Hentakan kaki sosok hitam itu tepat menghantam perut si penculik. Dengan suara ‘huk’ tubuhnya terpelanting ke samping dan terbanting di tanah.
Kini dia bangkit dengan susah-payah sambil memegangi perutnya. Sementara si sosok hitam telah berada di depannya lagi. Dia tidak menggunakan kakinya lagi, tetapi kepalan tangannya menggocoh wajah si penculik. Pukulan beruntun itu membuat kepala lawannya tersentak-sentak ke belakang, dan tubuhnya terundur-undur sambil terhuyung-huyung. Lalu gocohan tangannya diganti dengan tendngan-tendangan pada leher dan rahang lawan sambil memutar tubuh, dan tubuh si penculik terlontar ke belakang menabrak pohon, melorot turun sampai terduduk dengan kepala terkulai, dan terguling di atas akar yang menonjol keluar dari tanah, pingsan. Sosok bercetok berbalik menghampiri Farah. Mula-mula membuka ikatan kaki-tangannya, dan terakhir membuka sumpal mulutnya.
“Terimakasih Bapak”, ucap Farah dalam sedunya.
Si sosok hitam tidak menyahut. Dia bangkit berdiri diikuti Farah. Sosok hitam itu mendorong punggung Farah sebagai isyarat agar berjalan. Kebisuan dan kekakuan sikap sosok itu menimbulkan rasa seram di hati Farah. Apalagi ketika membayangkan tindakannya yang tegas keras terhadap lawannya yang lebih mirip telengas. Karena itu dengan hati kecut Farah mengikuti isyaratnya. Dia merasa telah lepas dari nasib yang sangat ditakutinya, tetapi juga ngeri pada nasib yang bakal menimpanya.
Dengan tersaruk-saruk karena pekatnya malam, akhirnya mereka keluar dari hutan dan tiba di jalan. Farah memungut tasnya yang tadi terlepas ketika ditangkap si penculik. Pikiran gadis itu benar-benar beku oleh sikap sosok misterius penolongnya. Dia hanya bisa menuruti ketika punggungnya didorong supaya berjalan lagi.
Baru belasan langkah berjalan, dari arah depan tampak seseorang berpakaian hitam pula berjalan ke arah mereka dengan langkah cepat. Hati Farah berdebar lagi. Ada keinginan hendak minta tolong, tetapi dia tidak tahu bagaimana caranya. Jauh di belakang orang yang mendekat itu terdengar bunyi ketoplak kuda mendatangi. Farah mencoba memeras otaknya. Tapi sebelum menemukan pemecahan, pendatang itu telah tiba didepannya dan berhenti dalam jarak 3 meter. Si sosok misterius memegang pundak Farah agar berhenti. Kembali Farah terkesiap. Orang yang baru datang itu juga ternyata memakai kupluk.
“Cegat delman itu, biar gadis ini aku yang menjaga”, ujar orang yang baru datang.
Mengalami peristiwa mengejutkan yang beruntun itu otak Farah benar-benar jadi pening. Tanpa dikehendaki kakinya terasa lemas, dan dia jatuh terduduk di tanah. Hanya matanya yang melihat gerak-gerik kedua orang misterius itu. Orang bercetok melangkah agak ke tengah jalan sambil melepaskan cetoknya tergantung di punggung, menanti datangnya delman. Sejenak kemudian delman pun muncul.
Setelah cukup dekat, si orang misterius mengangkat tangan memberi isyarat agar delman berhenti. Ternyata kusir delman itu menurut, berhenti dalam jarak sekitar lima meter.
“Beres pekerjaanmu Bung?”, tanya kusir delman sambil turun. Lalu kepada kawannya: “Bawa karungnya Danu”.
Orang yang duduk di belakang delman turun sambil menjinjing karung goni besar dan keduanya menghampiri Farah. Tetapi begitu berpapasan dengan si sosok misterius, langkah mereka tidak laju, karena tiba-tiba wajah mereka masing-masing dihantam satu pukulan tinju. Tentu saja kedua orang itu terkejut dengan mulut mengaduh. Sebelum menyadari betul apa yang sebenarnya terjadi, kembali leher mereka dihantam tendangan keras membuat keduanya terjengkang beberapa langkah ke belakang.
Sosok misterius itu tidak meneruskan serangannya. Dia menanti kedua orang itu bangun kembali. Sementara kawannya yang menyuruh mencegat delman, tidak bergerak berdiri di dekat Farah.
“Bangsat! Siapa kau?”, bentak si kusir delman sambil bangkit berdiri.
Orang misterius itu tidak menjawab. Sebaliknya tangan kirinya menggapai cetok dan dikenakan lagi di kepalanya. Lawannya yang telah berdiri bersiap sambil bergeser menjauhi kawannya yang baru bangkit, sampai akhirnya orang misterius itu berada di tengah di antara dua lawannya.
“Terjang!”, tiba-tiba si kusir memberi aba-aba sambil tubuhnya meloncat.
Mendapat serangan dari dua arah, si orang misterius menghindar ke samping sambil membalas serangan si kusir. Karena perhatiannya terpusat pada yang pertama, dia kurang cepat menghindari serangan lawan kedua. Mulutnya berdesah oleh tendangan yang menghantam lambungnya. Maka dia memutar tubuh dan menyapukan kakinya kepada lawan kedua. Serangan refleks itu cukup telak menghantam lawannya yang terdorong mundur.
Dia tahu, lawannya yang pertama tidak tinggal diam. Karena itu tubuhnya kembali berputar dan tangannya menangkis tinju lawan yang meluncur ke rahangnya. Kembali dia tidak dapat menghindar sepenuhnya serangan itu, sehingga mengenai bahunya, namun tinjunya juga menghantam pelipis lawan.
Pertarungan itu cukup seru. Serangan bergantian dari dua lawannya banyak yang tidak terhindari sosok misterius itu, sehingga berkali-kali mulutnya berdesis. Namun serangan-serangannya sendiri telah merepotkan kedua lawannya.
Bagi Farah yang tidak mengerti tata berkelahi, sosok misterius itu tampak keteter. Timbul rasa simpati dihatinya. Dia melirik kepada orang misterius di dekatnya. Tapi yang diliriknya diam mematung dengan dua tangannya bersilang dada, seolah tengah menonton permainan yang mengasyikkan. Hanya sepasang matanya yang bergerak-gerak mengikuti geseran pertarungan itu.
Farah benar-benar tidak mengerti sikap orang-orang misterius itu. Ada keinginan minta orang itu membantu kawannya. Tetapi hatinya bimbang oleh sikap kaku si orang misterius, sehingga mulutnya tetap terkunci. Kembali matanya mengikuti pertarungan. Kini dia melihat sedikit perubahan. Gerakan sosok misterius itu tampak lebih cepat. Berkali-kali serangan kedua lawannya dapat dihindari. Hanya satu-dua kali menyentuh tubuhnya. Sebaliknya serangan sosok misterius itu lebih banyak mengenai sasarannya dengan telak.
Perubahan gerakan sosok misterius mulai merepotkan dua lawannya. Mereka tidak bisa menyerang dari dua arah lagi, tetapi hanya dari arah depan. Saat itulah sosok misterius mulai menggunakan lagi pukulan beruntunnya ke wajah kedua lawannya. Lalu dia menyapu kaki satu lawannya sampai terjungkal. Kesempatan itu digunakan mendera lawan lainnya. Tinjunya menggocoh wajah lawan yang terus terundur-undur. Lalu dia memutar tubuh dan menghantamkan kakinya ke leher lawan dengan telak.
Tanpa melihat hasil tendangannya dia berbalik menghadapi yang pertama yang telah bangkit lagi. Kembali tangan dan kakinya beraksi bergantaian menghantam perut, dada, leher, dan wajah lawan. Seperti tadi, kali ini pun dia mengakhiri serangannya dengan tendangan telak pada perutnya. Suara menyenak keluar dari kerongkongan lawannya, dan tubuhnya terpelanting ambruk di tanah tak bergerak lagi. Rupanya tendangan itu telah menyumbat jalan nafasnya.
Dia meloncat pada lawannya yang lain yang tengah menggeliat bangkit dengan mengerang-erang. Hanya satu tendangan menghantam rusuknya, tubuh orang itupun terguling lagi, pingsan.
Setelah pertarungan berakhir, orang yang berdiri di dekat Farah menghampiri delman. Farah tidak tahu apa yang dilakukananya. Yang jelas ketika kembali, dia telah menjinjing karung kosong besar dan seutas tambang. Dia menghampiri salah satu tubuh yang tergeletak dan mengikat kedua tangan dan kakinya disatukan ke dada, sehingga tubuh itu meringkuk. Lalu dimasukkan ke dalam karung, dan karungnya diikat sisa tambang pengikat tubuhnya. Setelah selesai, karung itu diseret ke pinggir jalan.
Demikian pula yang dilakukan pada orang kedua. Karung yang tadinya akan dipakai membungkus Farah, telah berganti isi dengan orang yang akan membungkusnya. Selama pekerjaan itu berlangsung, sosok misterius yang telah melakukan pertarungan tadi hanya mengawasi di tempatnya. Akhirnya orang itu menghampiri Farah.
“Mari”, ajaknya sambil menarik lengan Farah agar berdiri, dan mendorongnya ke delman.
Untuk kesekian kalinya Farah terkejut ketika menaiki delman. Sebab di dalam delman meringkuk sesosok tubuh gadis dalam keadaan terikat, persis seperti meringkuknya kedua orang tadi. Mulut gadis itu disumpal kain, sehingga tidak bisa mengeluarkan suara. Hanya matanya yang bergerak-gerak.
“Buka ikatan dan sumpal mulutnya”, suruh orang itu kepada Farah sambil duduk di tempat kusir. Sementara sosok miserius bercetok telah duduk di samping kusir.
Ikatan itu cukup kuat, sehingga Farah memerlukan waktu cukup lama membukanya, sementara delman telah bergerak berputar balik ke arah datangnya tadi. Begitu ikatan dan sumpal mulutnya lepas, gadis itu merangkul Farah sambil menangis.
“Farah”, katanya dalam suara mengisak.
“Titin”, kata Farah pula, dan kedua gadis itu menangis sambil berangkulan.
Bunyi genderang di alun-alun terdengar memencar. Rupanya rapat telah bubaran, dan rombongan-rombongan mulai pulang ke arah datangnya masing-masing. Delman yang membawa Farah dan Titin pun jalannya dipercepat. Rupanya kusir delman telah mengetahui rumah kedua gadis itu. Karena tanpa bertanya samasekali, delman berhenti, pertama di depan rumah Titin. Dengan tergesa-gesa Titin turun. Tetapi sebelum berlari masuk halaman, dia sempat mengucapkan terimakasih yang tidak pernah disahuti kedua orang misterius itu.
Delman baru bergerak lagi ketika pintu rumah Titin dibuka dari dalam dan ayah Titin tampak di ambang pintu. Gadis itu langsung merangkul ayahnya sambil menangis. Begitu pula ketika tiba di depan rumah Farah, delman berhenti. Seperti Titin, Farah pun menghambur masuk pekarangan rumahnya. Tetapi tidak perlu menunggu dibukakan pintu, karena kedua orangtua Farah tengah menunggu di teras. Begitu melihat Farah datang, Ibunya berlari menyambut, dan mereka saling rangkul.
Setelah delman berjalan agak jauh, Pertiwi dan Darmawan membuka tutup kepalanya, tetapi Pertiwi mengenakan lagi cetoknya. Di sebuah persimpangan keduanya turun dari delman dan meninggalkannya begitu saja. Dari sana mereka berjalan kaki ke tempat penitipan delman Darmawan. Dalam perjalanan pulang di atas delmannya sendiri baru mereka bercakap-cakap.
“Nampaknya Nden lebih cepat menyelesaikan penculik Farah”, kata Darmawan.
“Aku menghadapi tiga orang. Karena itu tidak berani ayal-ayalan. Pertama kupancing si Tarman dan si Karna, dan aku tidak memberi kesempatan mereka melawanku, sebab mengkhawatirkan si Farah yang di bawa ke arah lain”.
“Tentu yang bernama Danu seperti disebutkan si Manaf tadi”, kata Darmawan.
“Ya. Begitu pula dengan si Danu, aku tidak memberi kesempatan. Aku bermaksud membawa si Farah langsung pulang. Tak kukira kau datang ke tempat itu pula”.
“Karena itu saya memberitahu kedatangan delman itu. Saya khawatir Nden tidak mengenali saya”.
“Memang kalau kau tidak bicara kukira aku akan menyangka orang lain. Tapi bagaimana kau tahu delman itu dipakai mengangkut si Titin?”, tanya Pertiwi.
“Hanya kebetulan”, sahut Darmawan, “tadinya saya bermaksud langsung ke Desa Pasawahan. Tapi tiba-tiba ingat kedua calon korban akan dibawa dengan delman. Karena itu saya berbelok ke rumah si Manaf untuk melihat kalau-kalau dia belum berangkat dari rumahnya. Ketika tiba di dekat rumah Titin saya melihat delman tanpa kusir. Saya curiga. Ternyata dugaan saya benar. Rupanya si Manaf dan si Undang menculik Titin sepulang latihan drum band. Jarak tempat latihan ke rumah Titin tidak terlalu jauh, dan hari belum begitu malam, sehingga Titin pulang sendiri. Saya menduga, mereka akan langsung menjemput calon korban incaran si Karna. Maka saya mendahului. Saya sengaja berlari tidak terlalu cepat, untuk memastikan arah yang mereka tempuh. Bunyi toplak kuda adalah petunjuknya”.
Mereka menghentikan percakapan karena dari arah depan datang rombongan yang pulang dari alun-alun dengan menyalakan obor-obor bambu. Keadaan ribut, karena mereka berjalan sambil meneriakkan yel-yel partai dan memukul tetabuhan. Untunglah Pertiwi mengenakan cetok, sehingga tidak ada yang menyangka dia seorang gadis. Setelah rombongan lewat, mereka meneruskan percakapannya.
“Tentang rencana mereka, ternyata dugaanmu benar Wan”, kata Pertiwi.
“Rencana yang mana?”.
“Kalau kita melakukan pencegatan di Desa Pasawahan, celakalah nasib si Farah. Mereka bermaksud merusaknya dulu di hutan itu sebelum diserahkan kepada si Manaf”.

--0--


“Orang yang menyeretku sendiri yang mengatakan rencana itu kepadaku sampai aku menggigil”, kata Farah yang dikerumuni kawan-kawan sekelasnya. Wajahnya masih pucat, sehingga Susi tidak punya selera untuk berolok-olok. “Disaat putus asa itulah muncul si orang misterius”, sambungnya.
“Kenapa kau sebut misterius?”, tanya Marni.
“Karena sikap dan pembawaannya menimbulkan rasa seram”, sahut Farah, “seingatku, selama beberapa jam hanya satu kata yang keluar dari mulutnya ketika penculikku menanyakan dua temannya”.
“Apa katanya?”, tanya Maryanti.
“Kubunuh”.
“Ih, serem betul”, desis Henni.
“Suaranya dingin tanpa perasaan. Di tempat gelap dan sunyi itu aku seperti menghadapi makhluk pencabut nyawa. Tanpa berkata lagi dia menggocoh penculikku. Aku tidak tahu, apa penculikku juga terpengaruh sikapnya atau tidak. Yang jelas, dia seperti benda mati tak punya daya. Aku baru benar-benar lega setelah berada di halaman rumah. Bahkan aku tidak percaya dia mau melepaskan diriku”.
“Apa dia pernah menyakitimu?”, tanya Pertiwi.
“Samasekali tidak. Dengan sentuhan tangannya di punggung saja, hatiku sudah sangat kecut”.
“Rupanya kau terpengaruh penampilan. Kau tidak curiga apalagi takut kepada si Tarman karena dia kawanmu dan penampilannya tidak menakutkan”.
“Tetapi si Tarman juga diserang. Aku mendengar dia dipukul dan memekik lalu tubuhnya ambruk. Aku tidak tahu bagaimana nasibnya. Aku kasihan kepadanya. Bagaimana aku bisa curiga?”.
“Kalau kau tidak terpengaruh penampilan, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan”, ujar Pertiwi. “Setelah menjelaskan aljabar, kau bersedia meminjamkan buku catatanmu. Tetapi dengan berbagai alasan, dia tidak menerima kebaikanmu, sebaliknya dia tetap menahanmu, bahkan ketika kau hendak pulang sendiri karena masih siang. Kau kesal karena dia mencatat ayal-ayalan. Coba kau bayangkan kembali”.
Pertiwi berhenti sejenak. Lalu lanjutnya: “Ketika kau mengajak ke jalan yang ramai, dia memaksa lewat hutan dengan alasan lebih dekat. Padahal jalan itu justru lebih jauh. Tanpa pikir lagi kau mengikuti ajakannya karena takut si orang misterius. Kalau dia orang jahat, justru lebih mudah melakukannya di jalan itu, bukan di jalan ramai. Artinya, kau lebih percaya penampilan si Tarman dibanding rasa takut kepada orang misterius itu. Benar tidak?”.
Farah terpaksa mengiyakan, karena yang dikatakan Pertiwi adalah sebenarnya. Pertiwi melanjutkan lagi: “Kau mengatakan penculikmu menanyakan dua kawannya kepada si orang misterius. Padahal katamu yang menyergap kalian hanya dua orang. Lalu siapa orang ketiga yang ditanyakannya? Apa tiga alasan itu belum cukup untuk bukti adanya kerjasama di antara mereka?”.
Farah terpaku beberapa lamanya, sementara Pertiwi menambahkan: “Sosok misterius itu orang baik. Jika si Tarman mendapat kesulitan, tentu akan ditolong olehnya. Bukankah penculikmu harus menunggu lama kedatangan dua kawannya? Tetapi kalau dia bekerja sama dengan si penculik, kau pasti akan melihat dia babak belur oleh tangan si orang misterius. Ini dapat kau buktikan sepulang sekolah nanti, atau siapa saja yang ingin membuktikan kebenaran dugaanku”.
“Biar aku yang akan membuktikannya. Kebetulan rumahku lebih jauh dan sejurusan dengan rumah si Tarman. Aku akan pura-pura menanyakan kenapa hari ini dia tidak sekolah”, kata Maman.
“Sekalian lihat keadaan si Karna”, kata Pertiwi, “kalau terbukti, aku harap kau jangan bergaul lagi dengannya Farah. Orang yang suka mengumpankan kawan ke mulut buaya begitu bukan kawan tapi lawan berbahaya. Dia akan menohok kawan seiring di saat lengah. Aku tidak ingin kawan-kawanku jadi santapan serigala berbulu domba. Kau hampir dimakannya. Jadikan sebagai pengalaman berharga”.
“Kau hebat Wiwi. Nampaknya kau begitu yakin, seolah orang misterius itu kau sendiri”, kata Dodi.
“Mana mungkin aku jadi orang misterius tanpa punya kemampuan berkelahi”, sahut Pertiwi, “tetapi jika nanti terbukti, sudah cukup untuk menjauhi mereka selamanya. Namun aku tidak mau memaksakan kehendak. Terserah padamu Farah. Aku sekedar mengingatkan”.
“Tidak Wiwi. Aku sependapat. Jika besok terbukti perkiraanmu, meski tidak berani berterus terang kepadanya, aku tidak dapat memaafkan perbuatannya itu”.
“Itulah kelemahanmu Farah”, timbrung Maryanti, “kau tahu jarak melalui pinggir hutan itu lebih jauh, tapi kau tidak berani mengatakan terus terang”.
“Suatu pengalaman pahit buatku”. Farah mengakui, “mudah-mudahan tidak kuulangi lagi”.
“Bila kita lihat dari persiapannya, terutama pengangkutan calon korban, aku menduga merupakan rencana kelompok besar”, kata Pertiwi, lalu: “Sebab pengangkutan dengan karung itu menunjukkan calon korban akan dibawa jauh, bukan hanya untuk kepentingan penculiknya yang lima orang. Artinya, para penculik itu hanya suruhan orang lain. Benar tidak?”.
“He benar sekali Wiwi”, seru Nasrul.
“Kalau begitu, apa pendapatmu Nas?”.
“Kita harus sebarluaskan agar gadis-gadis tidak ada yang keluar malam”. Dodi mendahului.
“Benar”, timbrung Darmawan, “kukira sebaiknya kita laporkan kepada Pak Direktur. Selain semua murid sekolah kita mendapat peringatan, juga beliau tentu akan memperingatkan sekolah lainnya”.
“Langkah yang sangat tepat anak-anak”, ujar seseorang dari belakang kerumunan.
Darmawan dan kawan-kawannya berpaling serempak. Mereka demikian asyik berdiskusi, sehingga tidak mengetahui kalau beberapa guru mereka hadir diam-diam ikut mendengarkan cerita Farah dan Titin yang diselamatkan orang misterius.

--0--


“Itulah yang kudengar. Lalu semua guru kelas mengumumkan”, kata Dora mengakhiri laporannya.
“Gila anak-anak itu. Mereka telah memotong rencana kita”, kata Bung Saman.
“Bukan hanya memotong rencana, tapi bisa merusak nama Partai. Karena itu kukira kita harus menghentikannya”, tukas Mang Sarju dengan kesal.
“Kenapa merusak nama Partai?”, tanya Bung Suho.
“Hmm besok atau lusa, orang akan tahu rencana penculikan itu dilakukan anggota Pemuda Rakyat”.
Percakapan itu terjadi malam hari di pondok kebun belakang Raden Angga. Jumlah yang hadir dalam pertemuan cukup banyak, sehingga tepas pondok yang cukup luas itu telah penuh, karena mereka menyambut dua orang tamu yang baru datang, Bung Miin dan Bung Ari.
“Tadinya kami bermaksud menyenangkan Bung berdua dengan sebaik-baiknya”, lanjut Mang Sarju, “tetapi kegagalan kemarin malam membuat rencana jadi berantakan. Sungguh memalukan, lima orang sampai kalah oleh satu orang”.
“Lima kalah oleh satu orang?”, tanya Bung Miin terkejut, “berapa tinggi sih kemampuannya?”.
“Sebenaranya tidak langsung lima lawan satu. Orang itu sangat licik. Walau kepandaiannya cukup tinggi, kalau dibandingkan dengan Bung kukira masih jauh di bawah”.
“Hmm, aku jadi ingin menjajal kemampuannya”, gumam Bung Miin.
“Bung jangan hanya menjajal, tapi harus membunuhnya. Sebab dari beberapa peristiwa yang terjadi, aku hampir menyimpulkan pasti, dia setan laknat yang telah lama membayangi gerakan terselubung kami. Dia tahu siapa kita, tetapi kita tidak tahu siapa dia. Aku benar-benar benci kepadanya. Kalau tidak segera ditemukan, dia bisa merusak rencana besar kita”, kata Mang Sarju dengan geram.
“Apa mungkin dia telah mengetahui pos-pos kegiatan Bung di daerah ini?”, tanya Bung Ari.
Mang Sarju menggeleng. “Aku tidak tahu. Tetapi kukira tidak. Yang hampir pasti, punya hubungan dengan puteri sulung Camat. Sebab kegagalan-kegagalan yang terjadi, langsung atau tidak langsung, hampir selalu berkaitan dengan gadis itu. Aku menduga dia guru silat gadis itu”.
“Guru?”, tanya Bung Miin.
“Maksudku pengajar. Sebab setahuku, di daerah ini tidak ada guru silat. Memang ada beberapa orang berkemampuan silat, tetapi bukan dari perguruan seperti Bung, melainkan silat keluarga”.
“Hmm kalau begitu, salah satu jalan paling mudah untuk memancing kehadirannya adalah melalui muridnya”, gumam Bung Miin lagi.
“Itu telah kami coba melalui srikandi kita ini”, kata Bung Yeye sambil menunjuk Dora, “tapi gagal, dan sekarang kukira kita akan sulit menipunya lagi”.
“Barangkali aku punya jalan”. Tiba-tiba Raden Angga menimbrung, “tetapi perluk waktu beberapa hari. Demi Partai, biarlah kukorbankan pacarku”.
“Siapa pacar Bung Angga itu?”, tanya Bung Miin.
“Puteri bungsu Camat. Aku akan membawa dia ke Pasirpanjang. Nantinya akan jadi kawan Dora”.
“Bagus. Pengorbanan Bung Angga akan dicatat dengan tinta mas oleh Partai”, seru Mang Sarju dengan gembira, “kali ini kita pasti berhasil, sehingga dalam rundingan langkah babak penentuan nanti, kita akan ditemani tiga kuda pacu yang benar-benar segar dan memuaskan”.
“Ya, kita tidak perlu melakukan penculikan lagi yang bisa merugikan nama Partai”, kata Bung Ari.
Semua yang hadir mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.
“Aku minta Bung Angga dapat mengusahakan tidak terlalu lama. Karena rapat kerja kita hanya akan berlangsung sepuluh hari. Aku harus segera pulang lagi, karena masih banyak tugas final yang harus dikerjakan di sana”, kata Bung Miin.

--0--


“Tidak akan lama, hanya dua hari”, sahut Juragan Danu kepada dua anaknya ketika sarapan pagi di meja makan, “paling telat lusa siang sudah kembali. Dan kau Wiwi, jaga adikmu agar tidak bepergian sehabis magrib. Ayah sudah menerima berita penculikan kawan sekolahmu”.
“Baik Ayah”, sahut Pertiwi.
“Nah, Ayah pergi dulu”, kata Juragan Danu sambil bangkit dari duduknya. Lalu: “O iya, apa kuda Ayah sudah disiapkan Mang Darma?”.
“Sudah sejak tadi Ayah”.
“Hmm, Ayah pergi dulu”, kata Juragan Danu.
“Ya Ayah”, kata Pertiwi dan Purwanti serempak.
Setelah Juragan Danu berlalu, Pertiwi pergi ke kamarnya untuk membereskan buku. Purwanti langsung ke belakang kr pondok Mang Darma, karena sejak sebelum makan tadi dia sudah membawa tasnya ke meja makan. Mang Darma tampak sedang mengusap-usap kuda delmannya.
“Mang Darma, nanti siang kau siapkan kudaku. Aku akan jalan-jalan ke rumah teman di luar kota. Sampaikan pesanku kepada Kak Angga, aku menunggu di simpang empat pukul tiga”.
“O, yang Emang antar kemarin itu surat minta diantar jalan-jalan?”.
“Heeh”.
“Kenapa sekarang tidak pakai surat?”.
“Kan sudah tahu. Dia hanya menunggu kepastiannya saja. Jangan lupa, aku menunggu jam tiga”.
“Baik Nden. Habis mengantar Nden berdua, akan Emang sampaikan langsung”, sahut Mang Darma.
Purwanti tidak bicara lagi, karena dari dapur muncul Pertiwi. Sejenak kemudian delman bergerak.
“Kak Wiwi, bukankah hari ini Kak Wiwi belajar bersama?”, tanya Purwanti di perjalanan.
”Ya, kenapa?”.
“Setelah mengantar Kak Wiwi nanti, aku minta Mang Darma mengantarku ke rumah teman”.
“Ya, tidak apa. Biar aku pulang jalan kaki saja”, ujar Pertiwi.
“Aku tidak akan lama. Aku hanya perlu sampai pukul 3 atau pukul 4. Bukankah Kak Wiwi biasa pulang pukul lima?”.
“Jangan terhalang olehku. Asal jangan sampai gelap. Bukankah Ayah telah memesan begitu?”.
“Ya. Tetapi memang keperluanku tidak akan lama”.
Pertiwi mengangguk tanpa menyahut lagi, dan delman pun terus melaju menuju sekolah Purwanti. Setelah Purwanti turun barulah Pertiwi bercakap-cakap lagi dengan Darmawan.
“Sekarang Nden Wanti benar-benar sudah pandai”, kata Darmawan seperti kepada dirinya sendiri.
“Ya, pandai berbohong”, sahut Pertiwi.
“Nden juga”, kata Darmawan sambil tersenyum.
“Benar. Kami sama-sama tukang bohong”, sahut Pertiwi tanpa tersenyum.
“Nden marah ya”.
Pertiwi menggeleng. “Tidak. Aku benar-benar mengaku salah. Dan aku tahu persis mulainya, yaitu sejak berkawan denganmu”.
“Artinya, sayalah yang membuat Nden jadi tukang bohong”.
“Sudahlah. Aku sedang tidak punya selera bergurau”, kata Pertiwi memutuskan. Lalu lanjutnya, “aku mulai merasa, beban kita makin berat. Ternyata si Angga dan antek-anteknya sudah mampu mengatur langkah-langkah Ayah. Bukankah kepergian Ayah hari ini tidak direncanakan Ayah, tetapi karena diatur oleh si Angga?”.
“Apa yang telah dilakukan Den Angga?”, tanya Darmawan.
“Menurut Ayah, ada jalan longsor cukup parah. Kuwu minta bantuan dari Kecamatan, dan Ayah diminta hadir menyaksikan perbaikannya, sehingga harus menginap semalam di sana”.
“Bukan main, demi mencapai tujuan, mereka tega merusak alam lingkungan”, desis Darmawan.
“Mending kalau tujuan yang akan dicapainya sesuatu yang besar. Sedangkan tujuan mereka hanya untuk menjebakmu dan menangkap aku”.
“Satu contoh kecil dari kotornya dunia politik Nden. Apalagi jika mereka tahu bahwa kita telah mengetahui banyak soal rencana mereka”.
“Lalu bagaimana rencana kita?”, tanya Pertiwi.
“Hari ini terpaksa Nden tidak ikut belajar bersama, karena Nden Wanti dan Den Angga akan berangkat ke Pasirpanjang pukul tiga nanti”, sahut Darmawan.
“Aku agak takut Wan. Dari pembicaraan mereka, yang bernama Bung Miin itu punya kepandaian silat tinggi. Dia murid sebuah perguruan silat terkenal”.
“Itu sudah Nden katakan kemarin. Saya juga sudah mengatakan, apa saya akan mampu menghadapi dia atau tidak? Karena saya belum melihat tandangnya. Jalan yang paling selamat adalah mencegah Nden Wanti sebelum sampai ke Pasirpanjang”.
“Tidak mungkin Wan. Perjalanan ke Pasirpanjang dengan kuda hanya menghabiskan waktu satu jam. Kalau kita mencegat di tengah perjalanan, hari masih sangat siang. Dia tidak akan bisa dilarang. Dia akan memutar balik keadaan, sehingga justru aku yang akan disalahkan Ayah”.
“Kalau begitu apa boleh buat Nden. Kita harus berani menghadapi resiko. Dalam keadaan demikian, sambil berusaha semampu daya, berserah dirilah kepada Tuhan, minta perlindungannya dari kekuatan jahat yang kita hadapi. Dengan cara itu, hati kita akan menjadi tenang, dan ketenangan sangat penting dalam mengatasi suatu bahaya”, ujar Darmawan.
“Sebenaranya hatiku akan mantap kalau kau hadir di sana”.
Darmawan menggeleng. “Sekaranglah saat penentu jatuh bangunnya diri Nden. Saya akan hadir di sana, tetapi tidak memperlihatkan diri. Artinya, saya tidak akan menolong Nden hingga pertarungan selesai. Saya akan berusaha menolong Nden seperti Nden menolong Farah dan Titin, setelah Nden tertangkap. Saya tidak tahu, apa akan berhasil atau tidak. Sebab kalau orang itu punya kemampuan sangat tinggi, jika membantu terang-terangan sama artinya dengan menutup kesempatan menyelamatkan diri Nden. Tetapi dengan sembunyi-sembunyi, kesempatan itu lebih besar, karena saya dapat bertindak di saat mereka lengah. Apa Nden mengerti?”.
“Kasarnya, sama artinya kau tidak ada di sana. Aku tidak akan mendapat bantuan samasekali. Bukan begitu maksudmu?”, tanya Pertiwi.
Darmawan mengangguk. “Saya hanya ingin mengatakan bahwa rasa ketergantungan terhadap diri saya itulah yang paling membahayakan Nden. Kalau tidak dapat melenyapkan rasa ketergantungan itu, saya hampir dapat memastikan, sekalipun kepandaian lawan lebih rendah, Nden akan kalah”.
“Tetapi perasaan ragu itu sulit sekali menghilangkannya”.
“Kenapa? Apa Nden sudah melihat sendiri tandang orang itu?”.
“Memang belum. Tetapi dia murid perguruan silat terkenal”.
“Lalu, apa karena murid perguruan silat, maka kemampuannya harus selalu lebih tinggi?”.
Pertiwi tidak menjawab. Mka Darmawan meneruskan kata-katanya: “Nden”, ujarnya, “ketinggian ilmu seseorang bukan ditentukan sumber pemberinya, tetapi lebih ditentukan oleh kemauan, bakat, dan keyakinan orangnya sendiri. Meski sumber pemberinya paling unggul, kalau yang menerimanya tidak punya tiga unsur itu, ilmunya tidak akan berbeda dengan orang kebanyakan. Saya melihat ketiga unsur itu ada pada diri Nden, sehingga dalam waktu singkat, kemampuan Nden sangat memuaskan. Tetapi ketika mendengar berita tentang orang itu, unsur ketiga telah hilang dari diri Nden. Bagaimana mungkin Nden bisa mengembangkan kemampuan kalau kepercayaan pada kemampuan diri itu tidak ada?”.
“Hmm”, gumam Pertiwi dengan tatapan mata kosong.
“Percuma Nden belajar kepada saya, kalau punya penilaian bahwa sumber ilmu saya rendah”.
Kembali Pertiwi hanya menggumam. Darmawan jadi terdiam, karena penjelasannya yang panjang tidak dapat mengungkat kepercayaan diri si gadis. Dia merasa kebimbangan Pertiwi terlalu besar dan sulit diatasi. Karena itu dengan terpaksa dia memutuskan untuk menanganinya sendiri.
“Baiklah Nden. Kalau Nden masih tetap bimbang, sebaiknya jangan pergi...”.
“He, apa kau bilang?”, tukas Pertiwi sebelum Darmawan menyelesaikan ucapannya.
“Nden jangan pergi ke sana, sebab...”.
“Bukan itu, yang tadi”, potong Pertiwi lagi.
Darmawan menoleh kepada Pertiwi dengan kening berkerut. “Yang tadi yang mana?”, tanyanya.
“Bukankah tadi kau mengatakan bahwa aku menilai rendah sumber ilmumu?”.
“Hanya kesimpulan saya Nden. Saya minta maaf, karena terdorong kepercayaan diri yang menilai terlalu tinggi sumber ilmu saya. Saya lupa bahwa setiap orang punya kepercayaan sendiri-sendiri yang tidak bisa dipaksakan kepada orang lain”.
“Kau salah. Justru aku menganggapmu terlalu tinggi, sehingga kehadiranmu merupakan jaminan keselamatanku. Tetapi keteranganmu tadi telah menyadarkan kekerdilan pikiranku. Aku baru sadar bahwa ketergantunganku bukan kepada ilmumu, melainkan kepada dirimu. Padahal tanpa ilmu itu kau tidak akan bisa menolongku sekalipun hadir di sana. Kenapa aku harus takut, sementara kau yang tahu pasti tingkat ilmuku tidak merasa sangsi melepasku sendirian?”.
Tangan Darmawan menggenggam tangan Pertiwi. “Sebuah lompatan besar Nden. Saya benar-benar gembira”, ujarnya, “Nden telah menemukan keyakinan diri, sehingga saya tidak khawatir lagi. Nden akan mampu menggunakan ilmu yang dimiliki sepenuhnya. Nden tinggal mengatur penggunaannya dengan pikiran tetap jernih. Nden telah punya pengalaman itu ketika menyelamatkan Titin. Saya lihat Nden sudah mulai dapat mengatur pengerahan tenaga sesuai keperluannya”.
“Itu karena kau hadir, membuat hatiku merasa mantap. Aku tidak dikejar-kejar oleh perasaan takut kalah”, sahut Pertiwi.
Tidak ada yang bicara lagi. Dengan telah menemukan rahasia kebimbangannya, hati Pertiwi jadi tenang, sehingga dia dapat menikmati ketoplak kaki-kaki kuda yang berirama teratur.

--0--


Langkah-langkah kaki dua ekor kuda yang berjalan berdampingan itu tidak berderap cepat, tetapi berirama teratur seperti langkah orang yang berjalan. Kedua penunggangnya, Purwanti dan Raden Angga membiarkan kuda berjalan seenaknya, sementara mereka mengobrol sambil memperhatikan pemandangan sawah yang membentang luas di kanan-kiri jalan. Matahari sore yang sudah condong rendah di langit barat tidak terasa panas lagi. Tidak jauh di depan mereka tampak anak bukit yang memanjang menumbuk pinggang gunung, Pasirpanjang.
Sebentar kemudian mereka telah tiba di samping dangau bekas tempat tinggal Darmawan dulu, yang letaknya di salah satu sisi jalan mendaki. Keadaan dangau tidak berubah. Sepi, seolah tidak berpenghuni. Tetapi di tengah tepasnya terhampar tikar besar dan beberapa buah bantal untuk berbaring-baring, menandakan dangau itu berpenghuni. Bahkan di atas tikar tampak talam besar berisi beberapa gelas, ada yang masih kosong, dan ada pula yang sudah berisi tinggal sedikit air.
“Siapa pemilik dangau itu Kak Angga?”, tanya Purwanti.
“Punya kawan Kak Angga”, sahut yang ditanya.
“Ah, benarkah?”, tanya Purwanti sambil menahan les kudanya.
“Masa Kak Angga bohong”.
“Kalau begitu, tentu kawan Kak Angga tidak akan keberatan jika kita duduk-duduk ngobrol di situ. Nampaknya menyenangkan sekali”.
“Tentu saja tidak. Tetapi jangan sekarang. Kita naik ke bukit itu dulu untuk melihat pemandangan, setuju?”, tanya Raden Angga.
“Bagaimana Kak Angga saja”, sahut Purwanti.
Raden Angga tersenyum, lalu dia berteriak: “Dam! Adam! Apa kau ada di dalam?”.
“Siapa di luar?”, sahut seseorang dari dalam dangau. Lalu pintu dangau terbuka, dan tampak Bung Adam muncul di tepas.
“He Angga. Ada apa sore-sore datang ke sini?”.
Raden Angga tertawa. “Mengajak pacar jalan-jalan”, sahutnya, “nanti aku akan singgah. Sekarang akan ke atas dulu”.
“Boleh, boleh. Kebetulan aku baru merebus ubi. Tapi nanti aku pergi ke hutan sebentar mengambil kayu bakar. Kalian bersenang-senang saja seperti di rumah sendiri sebelum aku balik”.
“Baik. Sediakan saja ubinya, pasti kami sikat habis”.
“Memang kau rakus. Makanya tidak akan kusuguhkan semua”.
Raden Angga tertawa keras. Begitu pula Bung Adam. Sedangkan Purwanti hanya tersenyum.
“Mari Dik Wanti”, ajak Raden Angga sambil mengedut les kudanya.
Purwanti mengangguk. “Senang sekali punya kawan akrab seperti dia”, kata Purwanti sementara kuda mereka mendaki anak bukit Pasirpanjang.
“Banyak kawan Kak Angga, dan semuanya akrab. Mereka semua suka naik kuda seperti Dik Wanti. Nanti juga Dik Wanti akrab dengan mereka”, kata Raden Angga.
Tentu saja apa yang diartikan dengan kuda oleh Raden Angga berbeda dengan bayangan Purwanti. Gadis itu tidak menyadari samasekali, betapa bahaya yang mengerikan demikian dekatnya. Jangankan dia yang terhitung masih kecil, mereka yang sudah besar pun tidak akan berpikir lain. Karena itu, begitu turun dari kuda di punggung bukit, Purwanti tidak menghindar ketika dipeluk Raden Angga. Matanya memandang bentangan sawah luas di bawahnya dengan tatapan sendu.
Saat itu dari sawah di seberang dangau meloncat sesosok tubuh berpakaian hitam-hitam. Dia adalah Darmawan. Sebagai orang yang pernah tinggal di dangau itu sekian tahun, dia tahu betul setiap sudut tempatnya. Dia menyelinap ke belakang dangau, muncul di dinding kamar. Sejenak mendengarkan, hening. Maka dia bergerak cepat mengikuti jalan setapak di belakang dangau menuju ke hutan, dan lenyap ditelan gerumbulan semak.
Di atas bukit, siliran angin gunung menerpa wajah dan tubuh sepasang muda-mudi yang tengah dilanda asmara. Matahari sudah hampir menyentuh puncak pegunungan, warnanya merah.
“Dingin”, bisik Purwanti.
Raden Angga mengetatkan pelukannya, dan jari-jari tangannya mulai menggerayangi tubuh gadis itu. Purwanti berdesah dan mengeluh.
“Hampir gelap Kak Angga. Kita turun ke dangau saja”, desis Purwanti dalam desah nafasnya.
“Mari”, sahut Raden Angga.
Mereka menuruni anak bukit sambil berdekapan tanpa menghiraukan kuda-kudanya. Ketika tiba di tepas dangau keadaan sudah remang-remang. Tetapi tepas itu sudah diterangi cempor gantung yang dibuat dari botol bekas. Sebuah talam diletakkan di tengah tepas, berisi satu piring ubi rebus dan beberapa gelas kosong yang menangkup, serta sebuah cerek air. Namun pasangan muda-mudi itu tidak menghiraukan samasekali hidangan tersebut. Mereka melanjutkan cumbuannya dalam gejolak memanas.
Saat itu dari sawah seberang jalan muncul lagi sesosok tubuh, Pertiwi. Gadis itu tidak mengenakan pakaian malam, tetapi pakaian biasa untuk berlatih silat. Pada pinggangnya terselip pipa besi. Dengan langkah pasti tanpa menyelinap-nyelinap, dia langsung menuju tepas dangau. Raden Angga dan Purwanti sudah lupa pada keadaan sekelilingnya. Purwanti terbaring di tepas. Kedua anak muda itu tengah membuka baju masing-masing.
Pertiwi meloncat ke tepas. Sebelah kakinya langsung terayun menghantam rahang Raden Angga, sehingga tubuh anak muda itu terjajar menabrak dinding tepas dengan suara berdebuk dan mulut mengaduh. Kemarahan Pertiwi telah membuatnya lupa pada pertimbangan bening. Dia menggocoh Raden Angga tanpa tanggung-tanggung lagi. Kali ini Raden Angga berusaha melakukan perlawanan. Tetapi Pertiwi tidak memberi peluang samasekali. Hanya satu-dua kali Raden Angga mampu menangkis tinju Pertiwi.
Dia mencoba mengambil jarak dengan meloncat ke halaman, namun Pertiwi terus mengejarnya. Justru di tempat lapang itu Pertiwi lebih leluasa mengembangkan kemampuannya. Raden Angga adi bulan-bulanan serangan Pertiwi tanpa mampu memberi perlawanan. Tubuh anak muda itu terdongak dan terbungkuk berkali-kali dengan mulut mengerang-erang.
“Bukan main”, gumam sebuah suara yang tiba-tiba muncul dari samping dangau.
Mendengar suara itu Pertiwi memutar tubuh sambil mengayunkan kakinya, menendang leher Raden Angga dengan telak. Kemudian dia berdiri tegak mengangkang kaki menghadap ke arah datangnya suara tadi. Telinganya masih sempat mendengar ambruknya tubuh Raden Angga, sementara matanya menangkap sesosok tubuh keluar dari samping dangau dan melangkah menghampirinya dengan mantap. Lalu berhenti pada jarak sekitar dua meter di depan Pertiwi.
Penerangan lampu di tepas sudah cukup bagi Pertiwi untuk mengenalinya sebagai orang yang bernama Miin. Sejenak mata Bung Miin menatap tajam wajah Pertiwi, lalu menelusuri tubuhnya.
“Tak salah kata kawan-kawan. Kau memang sangat cantik Nona”, ucapnya dalam nada kagum yang tidak disembunyikan, “sayang pakaianmu terlalu longgar sehingga kepadatan tubuhmu kurang tampak”.
“Kau bisa melihat tubuhku sepuasmu bila aku kalah”, sahut Pertiwi mengimbangi ucapan lawan.
“Bukan main. Kau langsung menantangku Nona”.
“Tidak usah berbasa-basi, bukankah kau kawan si Angga?”.
“Apa salahnya kalau kawan dia?”.
“Kawan cecurut yang tak becus tentu cecurut tak becus pula”, sahut Pertiwi dalam nada angkuh.
“Alangkah angkuhnya kau Nona. Tetapi dapat dimengerti juga, karena kau anak pimpinan daerah, sangat cantik, dan berkemampuan cukup. Aku juga bisa menebak jalan pikiranmu. Bukankah kau hanya mau tunduk kepada lelaki yang mampu mengalahkanmu?”.
“Syukur kalau kau tahu, sehingga kau harus berpikir dua kali jika ingin menyentuh tubuhku”.
“Bagus. Kalau begitu aku akan menundukkanmu, karena aku benar-benar ingin memilikimu. Nah, bersiaplah Nona”.
“Tidak perlu memberi peringatan. Sejak tadi aku sudah bersiap”, desis Pertiwi.
“Hmm, kau tidak tahu tingginya langit”.
“Jangan hanya sesorah. Apa kau sengaja mengulur waktu untuk menunggu kawan?”.
“Gila! Kau kira aku takut kepadamu?”, bentak Bung Miin mulai panas.
“Jangan hanya bicara kalau kau bukan pengecut”. Pertiwi terus memanasi.
Bung Miin benar-benar tersinggung. Maka bentaknya: “Awas serangan!”.
Pertiwi yang memang telah bersiap, bergeser menghindari serangan itu sambil mengayunkan tinju balasan. Tetapi ternyata lawannya sangat gesit. Dia menunduk sambil menyerang lagi, sehingga Pertiwi harus meloncat mundur. Bung Miin tidak memberi peluang bernafas kepada Pertiwi, karena dia ingin menaklukan gadis itu cepat-cepat. Dua kali Pertiwi harus meloncat mundur karena lawan terus memburunya. Tetapi setelah loncatan ketiga, ketika serangan datang, tiba-tiba dia menjatuhkan diri. Sepasang kakinya menyambut tubuh lawan yang datang, lalu dihentakan untuk menambah dorongan tenaga lawan.
Tubuh Bung Miin terlontar deras tanpa terkontrol lagi, dan terbanting di tanah beberapa meter di belakang Pertiwi. Tetapi dengan lincahnya Bung Miin melenting berdiri lagi, hampir bersamaan dengan saat melentingnya tubuh Pertiwi. Bung Miin menggeram marah, bukan karena rasa sakitnya, melainkan lebih condong oleh rasa malu karena kecolongan gerakan.
Dalam pada itu di halaman barak bekas latihan kader-kader Pemuda Rakyat di dalam hutan, telah menyala api unggun. Unggun itu dilingkari Mang Sarju, Mang Gomar, Bung Yeye, Bung Adam, Bung Ari, dan dua orang wanita, yaitu Dora dan isteri Mang Sarju. Dora menyandarkan kepalanya pada bahu Bung Ari sambil melonjorkan kaki ke arah unggun. Sementara isteri Mang Sarju didekap Bung Yeye.
“Apa kira-kira gadis kembangnya kecamatan itu sudah muncul?”, tanya Bung Adam sementara tangannya mengangsur-angsurkan kayu bakar.
“Mungkin sudah bertarung dengan Bung Miin”, sahut Bung Ari sambil lengannya mengelus-elus rambut Dora.
Mang Gomar berdiri dari duduknya. “Aku akan melihat”, katanya.
“Jangan!”, larang Mang Sarju, “tak seorang pun kuijinkan datang ke sana. Apalagi Bung, karena gadis itu telah mengenal kita, kecuali Bung Ari”.
“Apa salahnya? Bukankah kita yakin gadis itu akan kalah?”.
“Pasti. Tetapi jika gadis itu melihat kita, bisa berbalik keadaan. Pengalaman membuktikan, akibat rasa takut berlebihan, orang yang dalam keadaan wajarnya tidak berani meloncati selokan kecil, bisa meloncati selokan besar. Kalau Bung muncul di sana, kemungkinannya ada dua. Kalau tidak lari sebelum tertangkap, gadis itu bisa berubah lebih garang dari seekor macan. Biarkan Bung Miin menyelesaikan sendiri. Gadis itu belum mengenalnya, kecuali sebagai kawan Bung Angga”.
“Tetapi bagaimana kalau orang misterius itu muncul tanpa diketahui mereka yang mencegatnya?”.
“Bung tidak percaya pada pengaturanku?”. Mang Sarju balik bertanya dengan nada tersinggung.
“Bukan begitu. Aku hanya mengkhawatirkan gagalnya rencana kita”, sahut Bung Adam.
“Dengar. Aku sudah mengatur segalanya dengan memperhitungkan segala kemungkinannya. Tiga orang yang menghadang di jalan sudah cukup, karena mereka tidak akan mengeroyok berhadapan. Mereka akan menyerang tiba-tiba dari belakang, langsung mematikan. Di atas bukit sudah kutempatkan dua orang untuk mengawasi sekitar dangau. Kalau orang misterius itu lolos juga dari pengawasan mereka, Bung Miin sendiri akan memberi isyarat dengan suitan, sehingga akan didengar oleh yang menghadang, yang di atas bukit, dan oleh kita di sini. Saat itulah baru kita bergerak mengepungnya. . Coba katakan, apa ada kelemahannya?”, tanya Mang Sarju, lalu kepada Mang Gomar: “Sudahlah. Bung duduk saja sampai ada isyarat itu”, ujar Mang Sarju menjelaskan panjang lebar.
Mang Gomar terpaksa duduk lagi. Mereka tidak menyadari kalau pembicaraan itu ada yang menguping dari balik gerumbul semak. Dia adalah Darmawan. Tanpa menerbitkan suara sedikit pun Darmawn beringsut meninggalkan persembunyiannya. Setelah cukup jauh, dia bergerak cepat ke atas bukit. Sebagai orang yang pernah tinggal lama di tempat itu, dengan mudah dia dapat mencapai puncak bukit tanpa diketahui oleh dua pengawas yang dipasang Mang Sarju, muncul dari belakangnya.
Kedua pengawas itu tidak menduga samasekali kalau orang yang diawasinya muncul dari belakang mereka, karena mereka berangkat dari perkampungan di pinggang bukit, sehingga yang diawasi mereka adalah sawah dan jalan di bawahnya. Ketika jaraknya tinggal tiga meter dari kedua pengawas itu, Darmawan bergerak cepat dengan dua langkah lebar. Ketika Darmawan tiba, kedua orang itu berpaling serempak. Namun terlambat, karena kedua tangan Darmawan telah menangkap kepala mereka, lalu diadukan dengan keras. Tanpa sempat bersuara lagi, kedua orang itu jatuh di tanah, pingsan.
Sejenak Darmawan memandangi kedua tubuh yang terkapar itu. Lalu dia berjalan menghampiri dua ekor kuda yang tadi ditinggalkan Raden Angga dan Purwanti. Kuda Raden Angga mendengus. Tetapi dengan usapan di lehernya, kuda itu tenang kembali. Darmawan menuntun keduanya menuruni bukit. Sampai di pinggir jalan di samping gubuk, dia mengikatkan les kedua kuda tersebut pada sebatang pohon turi. Dari situ dia menyeberang jalan, lalu merayap menyusuri pematang ke arah jalan pulang sejauh belasan meter, baru berdiri di balik pohon.
Jarak itu tidak terlalu jauh dari halaman gubuk tempat Bung Miin dan Pertiwi bertarung. Lampu gantung di tepas dangau cukup terang, sehingga dia dapat menyaksikan pertarungan itu, juga Purwanti yang duduk di tepas dangau. Beberapa lamanya dia menilai pertarungan. Kemampuan Bung Miin memang lebih tinggi dari Pertiwi, tetapi hanya selapis tipis. Kalau Pertiwi cukup berhati-hati, dia akan dapat bertahan lama, dan perkelahian itu dapat dijadikan pengalaman sangat berharga.
Darmawan meninggalkan tempatnya untuk mencari tiga orang yang ditugaskan menghadang dirinya. Setelah menyelinap-nyelinap di balik lima batang pohon yang berjajar di sepanjang pinggir jalan, dalam jarak 15 meter di depannya, dia melihat tiga sosok tubuh tengah duduk di pinggir jalan di balik pohon, dua di seberang dan satu di sebelah sini. Sejenak dia memperhitungkan langkah yang akan diambilnya. Jalan paling aman untuk mendekati mereka adalah dengan menyusup ke sawah, dan itulah yang dilakukannya.
Dengan mengambil jalan melingkar, dia muncul dari balik batang-batang padi hanya dua meter di belakang orang itu. Ketiga orang tersebut hampir tidak pernah lepas mengawasi jalan yang diperkirakan akan munculnya sasaran mereka. Karena itu dengan sangat hati-hati Darmawan merayap di belakangnya hingga kurang dari satu meter. Lalu dia bangkit sambil menetakkan sisi telapak tangannya pada pelipis lawan, sekaligus menekan tubuhnya ke tanah. Kedua kawannya yang duduk di seberang jalan tidak menyadari kalau tubuh yang duduk di seberang mereka telah berganti.
Darmawan memeriksa pakaian orang itu. Dia menemukn sebungkus rokok kretek yang isinya tinggal beberapa batang berikut sebungkus korek api. Darmawan mengambil korek apinya dan menyalakan dengan ditutupi oleh tangannya seperti orang sedang menyulut rokok. Pancingannya mengena.
“Aku minta satu Bung”, kata salah seorang yang di seberang jalan dengan suara perlahan.
“Ambil saja ke sini”, sahut Darmawan.
Orang itu merangkak menghampiri Darmawan.
“Ambilkan buat aku satu”, kata kawannya dengan pandangan tetap ke arah jalan di depannya.
Tanpa curiga samasekali orang itu mendekati Darmawan yang membelakangi jalan, lalu duduk di sampingnya. Tangan kiri Darmawan membekap mulut orang itu melalui belakang kepalanya, dan tangan kanannya menghantam pelipisnya dengan keras, lalu disandarkan ke batang pohon. Selanjutnya dia merangkak menyeberang jalan. Tanpa harus berhati-hati lagi orang ketiga itu dapat diselesaikan dengan mudah.
Di depan dangau, pertarungan berlangsung makin seru. Berkat ketekunan berlatih dan keterampilan memanfaatkan situasi seperti di saat latihan volley, ada saja cara Pertiwi yang tidak terduga lawan ketika berada dalam keadaan terjepit. Ditambah dengan telah ditemukannya kepercayaan diri terhadap ilmunya, maka dalam pandangan lawannya kemampuan gadis itu seperti berimbang.
Serangan-serangan mereka sudah mulai saling menyentuh tubuh lawan. Namun umumnya hanya sentuhan-sentuhan ringan karena leterampilan mereka menghindari serangan. Purwanti yang pada mulanya terkejut oleh kehadiran kakaknya yang tiba-tiba dan dikejutkan pula oleh kejadian-kejadian selanjutnya, duduk terpaku menyaksikan perkelahian sengit itu. Dia baru tahu kalau kakaknya memiliki kemampuan silat yang menurut penilaiannya sangat tinggi. Mulanya dia mengira kesalahan Raden Angga tadi karena pemuda itu sengaja mengalah sebab takut dilaporkan kepada ayahnya. Tetapi kini pendapatnya berubah samasekali.
Pada dasarnya kemampuan Pertiwi lebih rendah dari Bung Miin, dan pengalamannya jauh lebih sedikit. Karena itu setelah pertarungan cukup lama, Pertiwi merasakan tekanan lawannya semakin berat. Serangan lawannya makin sering menyentuh tubuhnya. Sampai suatu saat dia tidak punya kesempatan untuk menghindari tendangan lawan yang mengarah lambungnya dengan telak.
Bung Miin sudah yakin, sesaat lagi gadis itu akan berada dalam kekuasaannya, bahkan dia sudah membayangkan kesenangan memeluk tubuh padat menggairahkan itu. Tetapi pada detik terakhir ketika tendangannya sudah menyentuh tubuh lawan, Bung Miin memekik karena rasa nyeri yang hampir tidak tertahankan pada betisnya. Ternyata dalam saat kritis itu Pertiwi telah mencabut pipa besi dari pinggangnya dan langsung diayunkan ke betis lawan, menimbulkan bunyi berdetak cukup keras. Tubuh Bung Miin terbanting jatuh. Tetapi tubuh Pertiwi pun terdorong beberapa langkah dan terbanting pula.
Dengan meringis menahan sakit di lambungnya, Pertiwi segera bangkit lagi dan bersiaga dengan pipa besinya. Tetapi ternyata lawannya bangkit lebih lambat sambil memegangi betisnya dengan mulut menyeringai. Dalam keadaan demikian, sebenarnya Pertiwi punya kesempatan untuk menekan lawan. Namun dia tidak melakukannya karena ada perhitungan lain.
“Kuntilanak! Kau telah menyakitiku”, umpat Bung Miin dengan marah.
“Kau juga telah menyakitiku”, sahut Pertiwi balik menyalahkan.
“Tapi kau licik menggunakan alat”.
“Apa ada perjanjian bahwa aku tidak boleh menggunakan alat? Apa kalau kau terdesak tidak akan menggunakan golok di pinggangmu itu?”.
“Hmm rupanya kau cukup jujur untuk mengakui keunggulan tangan kosongku, sehingga kau tidak memanfaatkan kesempatan ketika aku belum siap tadi”.
“Jangan sok pintar menyimpulkan, aku belum merasa kalah”, sahut Pertiwi.
“Tentu kau ingin menguji ilmu golokku dulu kan?”.
Pertiwi tidak menyahut. Memang dia sengaja mendorongkan lawan ke arah penilaian itu. Suatu taktik yang cukup berbahaya, namun jadi perisai dari ancaman bencana yang lebih mengerikan bagi dirinya bila dia kalah dalam pertarungan. Dia telah menumbuhkan kesan yang membuat orang itu akan merasa sayang menyerahkan kepada orang lain. Ternyata gadis itu telah mengembangkan ilmu bela dirinya ke arah yang agak berbeda dari siasat yang biasa ditempuh para pesilat dalam mempengaruhi ketahanan mental lawan. Bukan siasat untuk menjatuhkan lawan, tetapi penjagaan jika dia kalah dan dikuasai lawan.
Sejenak kemudian pertarungan berlangsung lagi. Suatu pertarungan berbahaya, karena setiap sentuhan dari gaolok lawan akan menimbulkan luka berdarah. Tetapi setelah menemukan rahasia kekerdilan dirinya, hati Pertiwi jadi mantap. Beradunya golok dan pipa besi di keheningan malam itu memperdengarkan dentingan nyaring yang terdengar hingga ke barak di dalam hutan, menandakan pertarungan sudah mencapai babak akhir. Ini mencegah orang-orang di dalam hutan bertanya-tanya yang bisa mendorong mereka merubah pendirian. Sesungguhnyalah suara dentingan senjata itu mendorong Mang Sarju berkomentar.
“Nah, sebentar lagi perkelahian akan selesai. Jika suara senjata itu sudah berhenti, Bung Angga pasti akan datang ke sini memberitahu kita”, ujarnya.
“Tetapi kenapa belum ada isyarat kehadiran orang misterius itu?”, yanya Bung Adam.
“Ada dua kemungkinan”. Sahut Mang Sarju, “kalau bukan sudah diselesaikan oleh pengawas di jalan, bisa jadi dia tidak datang”.
“Alasannya?”.
“Menurut Bung Angga, gadis itu belajar bersama hingga pukul lima. Ketika tiba di rumah, dia mendapat berita dari pembantunya bahwa adiknya pergi dengan Bung Angga. Dia harus bertanya-tanya kepada tetangganya ke arah mana adiknya pergi, sehingga tidak ada waktu lagi untuk menghubungi orang yang suka menolongnya karena hari sudah mulai gelap. Dia akan langsung mengejar ke sini”.
Semua kawannya mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju. Sementara di halaman dangau, pertarungan memang sudah hampir berakhir. Pertiwi yang belum banyak pengalaman telah mengalami kesulitan dalam menghindari golok lawan. Suatu saat dia kurang cepat menangkis sambaran golok lawan, dan menyentuh bahu sebelum pipa besinya memukul golok itu. Pertiwi berdesis merasakan pedih pada bahunya. Dia meloncat mundur dua langkah untuk melihat lukanya. Luka itu tidak besar, hanya segores kecil, tetapi mengalirkan darah. Lawannya sengaja membiarkan gadis itu melihat lukanya.
“Menyerahlah Nona. Sayang kalau sampai banyak luka”, kata Bung Miin.
Pertiwi tidak menyahut. Sebaliknya dia langsung menerjang lawan. Tetapi Bung Miin cukup gesit. Maka pertarungan pun berlangsung lagi, sampai terjadi pula hal yang sama. Kali ini golok Bung Miin menyentuh lengannya, dan darah pun mengalir pula.
“Bagaimana Nona?”.
“Jangan gembira dulu”, ujar Pertiwi dengan ketus.
Kali ini Pertiwi menerjang seperti orang kalap. Bung Miin agak kelabakan juga mendapat serangan yang membadai itu. Dua kali pipa besi Pertiwi mengenai pinggang dan bahu lawan cukup telak, dan Bung Miin menyeringai menahan sakit. Dia jadi geram. Maka dia pun meningkatkan kecepatan permainannya. Goloknya silang-menyilang mengurung tubuh Pertiwi.
“Ih!”. Tiba-tiba Pertiwi menjerit kecil terkena sentuhan golok pada bahunya agak dalam. Darahpun mengalir deras. Pertiwi berdiri mematung sambil tangannya memegangi lukanya. Dia menatap tajam kepada lawannya dengan mulut terkatup.
“Masih penasaran?”, tanya Bung Miin.
“Huh”. Pertiwi mendengus dengan mata melotot. Tetapi detik berikutnya, matanya meredup. Kepalanya menunduk lemah, dan pipa besi di tangannya dilepaskan jatuh ke tanah.
Mata Bung Miin bersinar terang. Dia menyelipkan kembali goloknya pada sarungnya, dan melangkah menghampiri Pertiwi.
“Salahmu, kenapa tidak menyerah dari tadi”, kata Bung Miin.
Petiwi melepaskan tangan yang memegang bahunya. Dia menatap cairan merah pada jari-jarinya.
“Jangan cemas. Aku selalu membawa obat luka yang manjur”, kata Bung Miin lagi menenangkan hati Pertiwi sambil jari tangannya menyentuh luka gadis itu.
Saat itulah yang ditunggu Pertiwi. Tiba-tiba saja dia mengangkat dengkulnya menghantam selangkangan Bung Miin. Bung Miin mengaduh sambil kedua tangannya memegangi alat vitalnya. Dia tidak berdaya menghindari gocohan tinju Pertiwi yang beruntun menimpa wajah, rahang, dan lehernya. Apa yang tejadi pada Raden Angga tadi, kini terjadi pula pada Bung Miin. Dia tidak memberi peluang kepada lawannya. Tinjunya bertubi-tubi menghantam perut, dada, leher, hidung, dan pelipis lawan.
Tubuh Bung Miin terbungkuk dan terddongak. Langkahnya terhuyung-huyung mundur. Dua kali Pertiwi memutar tubuh sambil melayangkan tendangannya ke perut dan leher lawan. Tubuh Bung Miin terlontar ke belakang beberapa meter dan terbanting ambruk di tanah tanpa bergerak lagi, pingsan. Tetapi akibat pengerahan tenaga itu, darah mengalir deras dari luka di bahunya. Tetapi Pertiwi tidak menghiraukannya. Dia langsung menghampiri Purwanti untuk secepatnya berlalu dari tempat itu.
Purwanti benar-benar terkesima oleh tindakan kakaknya. Juga ada rasa ngeri melihat luka di bahu Pertiwi yang merembeskan darah membasahi baju di bagian bahunya. Karena itu ketika Pertiwi menarik lengannya, Purwanti hanya mengikuti. Dia bingung membayangkan kemarahan ayahnya kalau kakaknya melaporkan kejadiannya.
Pertiwi tidak mengetahui apa yang terjadi di luar gelanggang pertarungan. Dia juga tidak tahu kalau tadinya di samping dangau itu tidak ada kuda, karena hatinya yang rusuh memikirkan adiknya. Maka tanpa banyak pikir lagi, dia mengambil kuda Purwanti. Sejenak kemudian mereka telah mencongklang di punggung kuda menuju pulang dalam gelapnya malam.
Beberapa lamanya tidak ada yang bicara. Tetapi akhirnya Pertiwi memutuskan untuk memberitahukan sikapnya. Sebab dia tahu, kalau tidak dikemukakan saat itu, maka tidak akan ada kesempatan lagi. Jika telah tiba di rumah, pasti Purwanti akan langsung masuk ke kamarnya dan mengurung diri. Kalau ayahnya sampai mengetahui kejadian sebenarnya, akibatnya akan parah. Bukan hanya bagi Purwanti, tetapi juga menyangkut keluarga Raden Angga. Mungkin akan terjadi perpecahan antar keluarga.
“Wanti”, kata Pertiwi dengan sareh, “aku tahu, kau pasti makin membenciku, karena telah dua kali menghalangi kesenanganmu. Terserah maumu. Juga terserah kepadamu, mau percaya atau tidak. Aku melakukan itu karena menyayangimu, karena kau satu-satunya saudara kandungku”.
Sejenak Pertiwi berhenti agar omongannya dapat dicerna adiknya. Baru kemudian melanjutkan lagi.
“Tetapi satu hal yang harus kau pertimbangkan sungguh-sungguh. Kalau Ayah sampai tahu kejadian ini, aku tidak dapat membayangkan, apa yang akan dilakukan terhadapmu dan Angga. Kalau Ayah kehilangan pertimbangan, akan terjadi perpecahan keluarga kita dengan keluarga Angga yang bisa berlarut-larut. Karena itu aku tidak akan melaporkan kepada Ayah. Kalau Ayah sampai tahu, itu bukan dari aku tetapi karena sikap tidak wajarmu. Soal lukaku, aku bisa menyembunyikannya dengan berbagai alasan. Itu saja pesanku padamu. Selanjutnya terserah kau”.
Purwanti tidak menyahut, tetapi pikirannya terasa plong. Namun demikian dia tidak mau mengakui betapa baiknya hati kakaknya terhadap dirinya. Sebaliknya, yang bersarang di hatinya adalah kebencian, namun dia tidak punya cara untuk melampiaskannya.
Tepat seperti diperkirakan Pertiwi. Begitu tiba di rumah, Purwanti langsung masuk ke kamarnya dan tidak keluar lagi. Pertiwilah yang harus bersekongkol dengan Ibunya dan pembantu rumahnya agar tidak memberitahukan kepada Ayahnya”.

--0--


Sembilan
Tanda Bagi Kepala Batu
“Dedemit! Bagaimana mungkin dia mengetahui semua pengawas di dua tempat yang letaknya berlawanan tanpa ada yang melihat kemunculannya?”. Mang Sarju menggeram penuh kemarahan yang tidak terlampiaskan, sementara matanya mengawasi Raden Angga dan Bung Miin yang berbaring di tepas dengan wajah babak belur, tengah dirawat Dora dan isteri Mang Sarju di pagi hari.
“Satu-satunya penjelasan yang masuk akal ialah, dia datang bersama-sama gadis itu. Kemudian, sementara gadis itu berurusan dengan Bung Angga dan bertarung dengan Bung Miin, secara diam-siam orang itu memeriksa ke atas bukit. Setelah menyelesaikan pengawas di atas bukit, secara diam-diam pula menyelidiki jalan. Rupanya mereka datang melalui sawah sebelum pengawas di bukit datang. Karena tak seorang pun pengawas di jalan yang melihat kedatangan mereka”, kata Bung Ari.
“Gila! Itu berarti, mereka mengetahui keberangkatan Bung Angga lebih siang dari pukul lima”.
“Yang Bung perhitungkan adalah pulangnya gadis itu dari belajar bersama. Bung justru melupakan kemungkinan orang itu yang secara kebetulan melihatr keberangkatan Bung Angga dan pacarnya. Lalu memberitahukan kepada gadis itu, sehingga dia membatalkan belajar bersamanya”.
Mang Sarju terpaku. “Setan! Kenapa aku sampai lupa pada kemungkinan itu?”, geramnya.
“Salah satu pesan pokok dari pusat yang harus kusampaikan adalah memperhitungkan situasi dengan cermat”, kata Bung Miin dari tempat berbaringnya. Dia memaksakan diri untuk bangkit dengan mulut menyeringai. Lalu sambungnya: “Kita berdua telah jadi korban ketidakcermatan perhitungan. Aku gagal menangkap gadis itu karena tertipu oleh sikap angkuh yang jujur. Bung gagal menangkap orang misterius itu, karena terkecoh waktu belajar bersama. Aku lupa, gadis itu datang ke sini bukan untuk kepentingan dirinya, tetapi untuk menyelamatkan adiknya. Sehingga perhitungan sikapnya juga adalah menyelamatkan adiknya. Bung juga lupa, orang misterius itu datang ke sini bukan untuk kepentingan dirinya, tetapi untuk keamanan gadis itu. Sehingga perhitungan waktunya juga adalah waktu untuk keamanan gadis tersebut dalam menyelamatkan adiknya”.
Semua yang hadir di tepas dangau terpaku. Keterangan Bung Miin baru menyadarkan mereka bahwa, peristiwa semalam lebih bersifat pertandingan perhitungan. Mereka teringat kepada keterangan Mang Sarju dengan perhitungan langkah-langkahnya. Dimulai dari langkah Bung Angga dalam menyingkirkan pengawas utama kedua gadis itu, yaitu Ayahnya, yang berhasil mulus. Kemudian rencana Mang Sarju dalam menjebak orang misterius itu yang salah memperhitungkan waktu. Kini mereka menyadari, perhitungan waktu itulah penyebab kegagalan totalnya. Sebab, sekalipun kedua gadis itu dapat lolos dari tangkapan Bung Miin, kalau para pengawas di jalan tidak diamankan oleh si orang misterius, masih ada kemungkinan tertangkap lagi.
“Perhitungan waktulah penyebab utamanya”, desah Mang Sarju sambil menundukkan kepala.
“Suatu pengalaman berharga bagi kita semua”, kat Bung Miin pula. “Untung bukan rencana final keseluruhan. Tapi dengan rencana lokal ini Bung Sarju akan semakin matang dalam memperhitungkan situasi. Dalam satu-dua hari ini aku tidak bisa memberi pengarahan. Kepulanganku juga nampaknya harus diundur. Karena itu aku ingin mendengar rencana Bung dengan menyesuaikan pada keadaanku”.
Mang Sarju mengerutkan keningnya. Beberapa lamanya dia berpikir. Kawan-kawannya tidak mau mengganggu, karena selama ini perhitungan dialah yang jadi tumpuan setiap rencana mereka. Pemikiran lainnya hanya pengisi kelemahannya. Akhirnya Mang Sarju mengemukakan pendapatnya.
“Demi kerahasiaan rencana final, nampaknya kita harus menghentikan usaha menjebak dedemit misterius itu. Artinya, kita harus menghentikan setiap urusan atau keinginan menangkap anak Camat itu untuk dijadikan kuda pacu kita”, kata Mang Sarju memulai perubahan rencananya.
“Kenapa?”, tanya Bung Yeye.
“Aku khawatir, dia akan mengetahui rahasia tempat-tempat khusus kita. Jebakan di tempat ini tadi malam, secara tidak langsung telah menuntun dia semakin dekat ke barak latihan. Jika dia tahu barak itu, dia akan menyelidikinya lebih jauh. Ini akan menuntun dia ke tempat-tempat pertemuan rahasia kita. Karena dia akan membayangi setiap orang yang ada di barak itu tanpa kita ketahui. Dan itu sama artinya dengan membukakan rencana final partai kita”.
Semua yang hadir mengangguk-anggukan kepala. Sementara Mang Sarju melanjutkan: “Memang kita membencinya dan ingin melenyapkannya. Tetapi hingga kini kita belum mengetahui identitasnya. Setiap usaha menjebak dia melalui kedua gadis anak Camat itu lebih besar bahayanya dari kemungkinan berhasilnya. Sebab pengalaman telah mengajar dia menjadi lebih berhati-hati”.
Kembali kawan-kawannya menganggukkan kepala tanda setuju. Mang Sarju meneruskan lagi.
“Mulai sekarang kita akan memusatkan pada jalur rencana final. Beberapa hari lagi rakyat akan merayakan proklamasi kemerdekaan. Mulai besok pawai-pawai kita laksanakan untuk memanaskan persaingan partai, sehingga pada hari proklamasi rakyat akan terlena oleh perayaan itu. Dengan demikian pengarahan di barak dapat berlangsung aman. Setelah hari proklamasi, persaingan tidak akan mereda. Sebaliknya akan terus meningkat, sehingga akan jadi kamoflase yang baik untuk menutupi langkah-alangkah partai dalam mempersiapkan rencana final. Bagaimana ada pendapat lain?”.
“Aku kira semuanya sepakat. Yang belum Bung jelaskan adalah rincian rencana kegiatan kita”, kata Bung Adam.
“Itu akan dijelaskan Bung Miin dalam pengarahan nanti”, kata Mang Sarju.
“Baiklah. Tetapi kapan hari-H dari rencana final itu?”, tanya Bung Yeye.

--0--


“Mereka sendiri belum tahu. Menurut Bung Miin, hari-H itu baru akan diberitahukan bila semua persiapan telah rampung”, sahut Darmawan.
“Lalu kegiatan apa yang sekarang mereka lakukan di barak itu?”, tanya Pertiwi.
“Ada beberapa jenis. Diantaranya latihan mengintai dan menyergap musuh, menculik, berkelahi”.
Percakapan itu terjadidi pondok Darmawan pada malam hari, sementara dia menyeduh kopi.
“Nden mau minum? Biar saya buatkan sekalian?.
“Tidak usah”, sahut Pertiwi.
Darmawan duduk di pinggir divan. Pertiwi pun pindah, duduk di samping Darmawan.
“Apa yang berlatih itu orang-orang dulu juga?”, tanya Pertiwi.
“Ya, tetapi tidak keseluruhan, hanya sepuluh orang. Melihat persiapannya, nampaknya latihan kali ini seperti pemantapan. Barangkali mereka akan menyusun kelompok-kelompok tugas yang berlainan dengan jenis latihan yang berbeda”.
“Hmm, dengan demikian aku belum dapat membuat laporan kepada Pak Abdurrakhman”, gumam Pertiwi.
“Ya, kita harus menunggu giliran kelompok berikutnya untuk dapat menyimpulkan, apa sebenarnya yang tengah mereka rencanakan”.
“Menurutmu, apa mereka telah mencurigai kita, sehingga pengarahnya belum memberitahukan?”.
“Saya kira tidak Nden. Di sekitar dangau itu tidak dipasang pengawas samasekali, kecuali di tepas dangau. Kadang-kadang seorang, adakalanya dua orang duduk ngobrol sambil makan rebus ubi atau pisang. Sehingga, kalaupun ada kecurigaan dari si orang misterius terhadap tempat itu, dia tidak akan menaruh curiga lebih jauh. Karena itu, para pengarahnya sendiri memang belum diberitahu. Saya cenderung menduga, pengaturan latihan per kelompok itu, selain untuk menyusun satuan-satuan tugas khusus, juga merupakan cara menanti instruksi-instruksi yang datangnya bertahap”, sahut Darmawan.
Sementara mengobrol, Pertiwi menyandarkan kepalanya ke bahu Darmawan, dan anak muda itu melingkarkan tangannya ke pinggang Pertiwi dengan tangan saling menggenggam. Kebiasaan itu sudah berlangsung sejak lama, tetapi sepasang mata yang mengintai dari luar pondok melalui lubang kecil di dinding yang terbuat dari bilik bambu, baru pertama kali itu menyaksikannya. Dia tidak mendengar apa yang dibicarakan sepasang muda-mudi itu, karena mereka bicara perlahan hampir berbisik.
Siapapun yang melihat sikap muda-mudi itu tidak akan menduga bahwa dalam keadaan demikian, apa yang mereka bicarakan umumnya tidak berhubungan dengan sikapnya itu. Sesungguhnya dalam suasana demikian, yang mereka bicarakan kalau bukan soal pelajaran sekolah atau silat, tentu perkembangan situasi. Tetapi orang lain akan mengira, pembicaraan itu bisikan-bisikan cinta. Demikian pula yang terkesan oleh mata pengintai itu, yang tidak lain dari Purwanti.
Sejak penemuan pertamanya yang secara kebetulan tentang rahasia kakaknya dan kusir gelman itu, Purwanti telah membuat lubang tempat mengintai yang lebih baik. Sejak itu secara diam-diam dia selalu memperhatikan gerak-gerik kakaknya. Rasa dendam yang bersemi di hatinya karena perbuatannya dengan Raden Angga selalu dihalangi, telah membuahkan rencana untuk menangkap basah perbuatan kakaknya. Dia menyamakan sikap kakaknya seperti yang dilakukan dirinya dengan Raden Angga. Dia menyangka, suatu saat, apa yang pernah dilakukan dirinya dengan Raden Angga, akan berlaku juga di antara kakaknya dan kusir delman itu. Karena itu dia tidak segera melaporkan kepada Ayahnya.
Sungguh patut dikagumi kesabaran gadis yang belum dewasa itu dalam menunggu saat yang diingininya, juga dalam menutupi rencananya. Dia telah memanfaatkan pembawaannya yang lincah jadi tameng dalam menutupi kepura-puraannya. Sikapnya kepada kakaknya yang agak kaku setelah peristiwa di dangau itu, lenyap samasekali. Dia mengobrol dan bersikap wajar dengan Pertiwi dan Mang Darma seperti sebelum ada persoalan dengan Raden Angga. Di hadapan orangtuanya pun tidak memperlihatkan kemurungan lagi, sehingga kalau beberapa saat sebelumnya Juragan Danu merasakan perubahan sifat anak bungsunya, kini keadaannya telah pulih kembali.
Dalam hal ini nampaknya Pertiwi lebih memahami sifat adiknya dibandingkan orangtuanya sendiri. Perubahan sikap adiknya yang tiba-tiba itu justru telah jadi bahan pemikirannya. Tetapi dia tidak dapat membicarakan dengan orangtuanya yang akan berangkat dari penilaian positif. Satu-satunya yang bisa diajak mempertimbangkan adalah yang berangkat dari penilaian netral, yaitu Daramawan. Soal itulah yang mereka bicarakan di malam yang lain ketika berduaan di pondok Darmawan.
“Saya juga merasakan Nden. Bukan hanya kepada Nden saja, tetapi juga terhadap saya. Sebenarnya sejak kemarin saya ingin mengemukakan ini, khususnya perubahan sikapnya terhadap saya sendiri”.
“Bagaimana perubahan sikap terhadapmu?”, tanya Pertiwi.
“Sebagaimana Nden lihat sendiri. Sikap Nden Wanti demikian polosnya, seolah di antara saya dan dia tidak pernah ada perjanjian rahasia”.
“Hmm, lalu?”.
“Ini sekedar dugaan belum jelas. Mungkin Nden Wanti telah mempunyai sangkaan, sayalah yang membuka rahasia kepergiannya dengan Den Angga kepada Nden”.
“Mungkin sekali Wan. Soalnya dari siapa lagi aku mengetahui kepergian mereka kalau bukan darimu. Semua orang di rumah, bahkan Ibu sendiri tidak diberitahu”, kata Pertiwi.
“Sebenarnya saya dapat memberi alasan kepadanya. Saya terpaksa memberitahu Nden, karena Nden memaksa saya, dan kalau tidak, Nden akan memecat saya. Tetapi apapun alasannya, tetap saja Nden Wanti tidak akan mempercayai saya lagi”.
“Itu berarti kita harus lebih ketat lagi mengawasi dia”.
“Untung kita telah mengetahui pos-pos kegiatan mereka, sehingga tidak akan terlalu sulit mengawasi langkah-langkah Den Angga”.
“Hmm, katamu si Angga sedang di tempat latihan. Lalu apa yang membuat tiba-tiba si Wanti berubah sikap?”, tanya Pertiwi.
“Siapa tahu dia benar-benar telah kapok Nden”, sahut Darmawan meski dia ragu-ragu.
“Tidak Wan. Aku tahu betul sifat dia. Semakin baik dia menutupi sifatnya, berarti dia punya rencana lebih nekad. Kita harus mengawasinya lebih ketat lagi”.
“Baiklah, kita akan berusaha Nden”.
Hari-hari terus berlalu. Persaingan partai semakin panas. Sampai suatu hari setelah menurunkan Purwanti di sekolahnya, Darmawan mengemukakan persoalan yang belum begitu jelas.
“Nden”, katanya, “tadi malam saya terlambat sesaat datang ke barak. Saya tidak sempat mendengar rencana pokok mereka. Saya hanya mendengar, dalam waktu tiga malam berturut-turut Mang Sarju menyebarkan orang-orang tertentu untuk melakukan sesuatu di seluruh wilayah kecamatan. Tadi malam Bung Miin yang telah pulang sepuluh hari lalu, tiba-tiba sudah ada lagi di barak. Saya menduga kedatangannya kali ini berhubungan dengan hari-H. Sebab, sementara orang-orangnya berpesta harum, para pemimpinnya mengadakan rapat tertutup di dalam barak. Rupanya hari-H itu belum diberitahukan kepada anggota tetapi sudah diketahui oleh pimpinan. Saya menduga, hari-H itu baru aka diumumkan menjelang pelaksanaan. Karena setelah rapat selesai, Bung Miin tidak menginap di barak, tetapi pulang bersama Den Angga. Saya kira subuh tadi dia pulang ke Jakarta”.
“Jadi, apa rencanamu?”, tanya Pertiwi.
“Nanti sore saya akan membayangi orang yang mendapat tugas di kota, mungkin sampai malam. Saya tidak tahu, apa yang akan ditemukan nanti. Tetapi jika ada sesuatu yang sangat penting, saya akan mengetuk jendela kamar Nden. Kita akan membicarakan langkah apa yang harus kita lakukan. Saya harap Nden jangan tidur dulu”.
“Baiklah”, sahut Pertiwi, lalu: “Apa mereka akan menyelubungi kegiatannya dengan pawai?”.
“Justru tidak. Rupanya mereka menginginkan orang-orang tinggal di rumah dan cepat tidur, sehingga mereka dapat bergerak leluasa. Pawai-pawai dilakukan siang sampai sore hari”.
Sesungguhnyalah persiapan pawai itu sudah terlihat sejak pagi. Kemudian menjelang sore pawapun berlangsung hingga menjelang magrib. Di sebuah rumah yang diawasi Darmawan, tampak beberapa pemuda berkumpul di tepas. Mereka tengah sibuk mengaduk beberapa kaleng cat. Kemudian orang yang ditunjuk memegang tugas di kota, membagikan beberapa lembar kertas.
Ketika malam sudah mulai larut, semua mereka keluar rumah. Masing-masing membawa kaleng cat dan kuas, dan berpencar ke beberapa arah. Ternyata orang yang mendapat tugasnya sendiri tidak ikut. Dia tinggal di rumah. Karena itu Darmawan mengikuti salah satu dari pemuda yang berpencar tersebut. Pada pintu-pintu rumah tertentu yang tertutup, pemuda itu membuat tanda silang dengan cat.
Pada mulanya Darmawn tidak mengerti apa tujuan dari pembuatan tanda cakra itu. Rupanya tanda itu dibuat sesuai dengan daftar pada lembaran kertas yang dibawanya. Sampai suatu saat dia melihat pemuda itu membuat tanda silang di pintu rumah Susi. Tiba-tiba saja hatinya bergetar. Dia menyadari apa yang bakal terjadi di hari-H itu.
Tanpa mengikuti lagi ke mana pemuda itu pergi, Darmawan langsung pulang. Di sepanjang jalan pulang dia menemukan juga rumah-rumah yang pintunya diberi tanda silang serupa. Tetapi dia tidak tertarik lagi, karena pikirannya dipenuhi kebingungan mencari langkah yang cepat dan tepat untuk mengatasi bahaya besar yang serempak terjadi di seluruh wilayah kecamatan pada hari-H itu, bahkan bisa jadi juga di daerah-daerah lain.
Pertiwi tengah membaca buku ketika telinganya mendengar ketukan tiga kali pada jendela. Maka dia menutup bukunya, lalu keluar kamar menuju dapur. Dia tidak menyadari kalau sesaat kemudian Purwanti juga keluar kamar dan mengikutinya. Rupanya gadis itu juga mendengar ketukan pada jendela kamar kakaknya.
Ketika Pertiwi masuk ke dalam pondok Darmawan, dia melihat anak muda itu tengah duduk menunduk di pinggir pembaringan. Dia hanya sekilas menengok kepada Pertiwi ketika si gadis menutup kembali pintu pondok. Pertiwi melihat wajah Darmawan agak pucat.
“Wan”, sapa Pertiwi ketika telah berdiri di sisi si pemuda untuk meyakinkan penglihatannya tadi.
Darmawan tetap menunduk. “Duduklah Nden”, katanya perlahan.
Pertiwi duduk di sampingnya, sehingga dapat melihat wajahnya yang memang pucat.
“Apa yang terjadi?”, tanyanya.
Darmawan menatap Pertiwi beberapa lamanya, baru menjawab: “bahaya besar Nden”, bisiknya.
Pertiwi tidak bertanya lagi, karena dia tahu pemuda itu akan menjelaskan.
“Hari ini saya baru tahu maksud yang sebenarnya dari baris kedua lagu nasakom itu”, ujarnya.
“Maksudmu, singkirkan kepala batu?”.
“Ya, saat ini mereka tengah menandai rumah-rumah orang yang mereka sebut kepala batu itu”.
“Siapa?”.
“Para tokoh agama. Saya baru menyadari ketika rumah Susi ditandai. Nampaknya pada hari-H itu mereka akan melakukan penculikan dan pembantaian besar-besaran”.
Mendengar itu wajah Pertiwi berubah memutih. Terkilas dalam pikirannya latihan-latihan yang berlangsung di dalam hutan di Pasirpanjang.
“Saya benar-benar bingung Nden. Kalau soal ini diberitahukan kepada Pak Abdurrakhman melalui surat, besar kemungkinan tidak sampai, baik karena waktunya terlalu sempit maupun kemungkinan sabotase di tengah jalan. Jika yang kedua terjadi, mereka akan tahu siapa kita. Satu-satunya jalan paling aman dan cepat adalah berangkat sendiri ke Jakarta”.
“Tetapi bagaimana kalau Pak Abdurrakhman kebetulan tidak ada di rumah? Padahal perjalanan dari sini ke sana menghabiskan waktu sehari penuh. Belum lagi mencari rumahnya. Paling cepat juga pergi pulang menghabiskan dua hari, tidak termasuk persiapan langkah yang harus dilakukan”, kata Pertiwi.
“Itulah yang membingungkan saya. Saya cenderung akan berkeliling ke seluruh desa di kecamatan ini untuk memberi peringatan kepada mereka tentang bahaya yang bakal terjadi. Waktu dua hari saya kira lebih dari cukup, karena saya hanya akan mendatangi satu tokoh di setiap kampung. Saya akan menyiapkan selebaran malam ini juga dengan ditulis. Mudah-mudahan mereka percaya. Tetapi usaha ini tidak akan dapat menghentikan perang, selain hanya memberi kesempatan yang jadi sasarannya untuk melawan atau mengungsi menyelamatkan diri”.
Pertiwi tidak menyelak perkataan Darmawan. Dia turut memikirkan langkah paling baik yang bisa ditempuh. Sementara Darmawan meneruskan pendapatnya.
“Kalau saya berangkat ke Jakarta, tugas memberi peringatan terbengkalai, karena tidak mungkin dilakukan wanita. Sedangkan saya dapat menyamar sebagai kusir delman. Yang lebih parah, jika saya memilih pergi ke Jakarta, jika sampai terlambat, bencana besarlah yang akan terjadi. Tetapi jika tidak terlambat, selain para tokoh agama dapat dselamatkan, semua pelaku rencananya akan tertangkap, karena nama dan alamat mereka telah ada di tangan Pak Abdurrakhman”.
“Kenapa kau tidak menugaskan aku yang pergi ke Jakarta?”, tanya Pertiwi.
“Saya tidak berani Nden. Juragan tidak mungkin mengizinkan Nden pergi. Kalau Nden pergi tanpa sepengetahuan Juragan, saya tidak dapat membayangkan betapa marahnya beliau sepulang Nden nanti”.
“Aku memilih yang kedua”, kata Pertiwi.
Darmawan menggeleng. “Jangan Nden. Saya takut Juragan akan mata gelap, dan nasib Nden sendiri taruhannya”.
“Apa artinya nasibku seorang dibandingkan nyawa sekian banyak manusia. Kalau sampai terjadi hal itu, sekalipun aku hidup selamat, hatiku akan tersiksa oleh rasa menyesal seumur hidup. Sedangkan seburuk-buruknya dimarahi Ayah, paling-paling aku dipukuli hingga babak belur. Dan aku punya alasan amat kuat bahwa, kepergianku mengemban tugas sangat penting bagi daerah ini khususnya dan bagi negara umumnya, sehingga sudah seharusnya dia berbangga hati pada anaknya”.
“Itulah kata-kata yang ingin saya dengar dari Nden sendiri”, ujar Darmawan sambil tersenyun cerah.
“Aku tahu”, sahut Pertiwi sambil menyandarkan kepalanya ke bahu Darmawan. Lalu, “tapi jangan berpikir bahwa sikapku itu terpaksa karena diminta kekasihnya. Untuk soal begini, tanpa ada yang meminta pun, aku siap melakukannya”.
“Saya juga tahu Nden. Itulah sebabnya saya tidak meminta langsung”.
Beberapa lamanya mereka tidak bicara. Darmawan mengusap-usap lengan Pertiwi dan kemudian mengangkat jari-jarinya ke mulutnya, lalu dikecupnya.
“Nden harus membuat dua buah surat. Untuk ke sekolah biar saya yang menyampaikan, dan yang sebuah lagi untuk Ayah Nden”, kata Darmawan sambil mengusap-usap jari Pertiwi, “saya kira Nden harus segera mempersiapkan pakaian karena harus berangkat subuh. Jangan lupa membawa kartu nama Pak Abdurrakhman yang ada tanda khususnya”.
Pertiwi hanya menggumam, tetapi tidak segera bangkit. Nampaknya dia berat untuk berpisah.
“Wan”, bisik Pertiwi sementara matanya menerawang ke langit-langit kamar, “aku ingin minta sesuatu yang kurang pada tempatnya”.
“Katakan saja, mudah-mudahan saya bisa memenuhinya”.
“Maukah kau hmm...menciumku?”, gumamnya.
Darmawan menatap wajah Pertiwi, tetapi gadis itu tidak melihatnya, karena matanya terpejam. Hanya rona merah yang membayang di wajah lembut itu.
Sejenak Darmawan ragu-ragu. Tetapi ketika bibir ranum itu terbuka sedikit, hatinya tergoda. Dia mendekatkan bibirnya dan mengecup bibir gadis itu. Di saat lainnya bibir mereka saling melumat sambil berpelukan erat. Di luar pondok, mata Purwanti berbinar. Dia menanti saat yang sekian lama ditunggu-tunggunya, saat kedua orang itu lepas kendali tanpa ada yang berusaha mencegahnya.
Tetapi saat yang ditunggu-tunggu itu tidak kunjung tiba. Karena apa yang dilakukan pasangan itu hanya sampai di situ. Kemudian mereka melepaskan pelukannya.
“Terimakasih Wan. Aku sangat memerlukan bekal itu. Apapun yang terjadi kemudian, aku tidak akan pernah melupakanmu. Kaulah satu-sastunya orang yang ada di hatiku”, ujar Pertiwi dalam sendu.
“Mengapa Nden berkata begitu?”.
“Entahlah. Ada sesuatu yang membuat hatiku tidak tenteram. Entah apa yang menungguku di perjalanan, dan entah apa yang akan terjadi padamu sepeninggalku. Satu permintaanku, selama aku pergi, tolong jaga adikku”.
“Tentu Nden, tentu”.
Di luar Purwanti menggertakan gigi. Dia mengendap-endap meninggalkan tempat mengintipnya. Tak lama kemudian Petiwi pun meninggalkan pondok, diantar Darmawan hingga ke pintu.
“Jaga dirimu Wan. Mudah-mudahan perasaan tidak tenteram itu hanya ungkapan khawatir belaka”.
“Kita sama-sama berdoa Nden, demi keselamatan semuanya”. Kata Darmawan.

--0--


“Ya anak muda. Kita sama-sama berdoa, semoga Tuhan melindungi kita semua. Bapak akan berusaha menghubungi kawan-kawan untuk merembukkan cara yang paling baik”, kata Pak Haji.
“Baiklah Pak Haji. Saya tidak dapat tinggal lama. Saya hanya mohon tanya. Kalau Pak Haji tahu, siapa yang paling pantas saja hubungi di Kampung Kidul”, tanya Darmawan yang mengenakan baju kusir. Dia mengenakan kembali topi pandannya dan ditekan dalam-dalam.
“Kau cari saja mesjid besar di pinggir jalan. Di sampingnya ada rumah besar. Itulah rumah Haji Badrudin. Katakan, kau telah menghubungiku Haji Rosyid”.
“Terimakasih Pak Haji, saya permisi dulu”.
“Kamilah yang harus berterimakasih anak muda. Kudoakan semoga Tuhan memberkahimu”.
Pak Haji Rosyid membawa Darmawan jalan ke dapur, dan keluar di halaman belakang rumahnya. Lewat pintu kebun belakang, dia sampai di jalan kecil. Dari situ dia menuju ke jalan besar, muncul tidak jauh dari tempat delmannya diparkir. Beberapa sasat kemudian delman itu telah mencongklang lagi di jalan desa yang lengang. Dia memasuki kampung Kidul menjelang asar. Karena itu dia langsung menuju masjid besar dan memparkir delmannya di depan masjid.
Di dalam masjid belum ada orang. Maka lewat tempat wudu, Darmawan menyelinap ke belakang rumah besar. Ternyata bagian belakang rumah itu merupakan pusat kegiatan organisasi pemuda. Tampak beberapa pemuda tengah mengangkuti peralatan drum band. Rupanya mereka belum lama selesai latihan. Beberapa gadis tengah mengobrol di pelataran luas yang lantainya di floor. Darmawan menghampiri kelompok gadis itu.
“Maaf Nden. Saya diutus Pak Haji Rosyid di kampung sebelah untuk menghadap Pak Haji Badrudin, ada hal penting. Dapatkah Nden mengantar saya kepada beliau?”, tanya Darmawan sambil membuka topi pandannya dan membungkukkan badan.
“Mamang ingin bertemu dengan Ayah? Ada apa?”, tanya salah seorang di antara gadis itu.
“Penting sekali Nden dari Pak Haji Rosyid”, sahut Darmawan.
“Hmm, mari ikut”, ajak si gadis.
Darmawan dibawa gadis itu ke taman di samping rumah. Di tengah taman terdapat kolam yang diatasnya ada ranggon kecil tempat istirahat. Tampak seorang lelaki berusia sekitar 50 tahun, berkopiah hitam, tengah duduk di ranggon memandangi ikan-ikan. Ketika Darmawan dan gadis itu muncul di pinggir kolam, dia berpaling.
“Ada apa Adah?”, tanyanya sementara matanya menatap Darmawan.
“Tamu dari Haji Rosyid di kampung sebelah. Katanya ada soal penting”, sahut di gadis.
“Hmm...kemarilah anak muda”, undangnya. Lalu kepada anaknya: “tinggalkan kami berdua”.
“Gadis bernama Adah itu mengangguk dan kembali ke arah datangnya. Darmawan menyeberangi jembatan kecil pendek yang menghubungkan taman dengan ranggon.
“Duduklah”, kata Haji Badrudin sambil menunjuk kursi di dekatnya, dan menanyakan urusannya.
Darmawan mengeluarkan anplop kecil tertutup dari saku baju kampretnya, disodorkan kepada Haji Badrudin. Lelaki itu menyobek sisi sampul dan mengambil isinya. Isi surat itu pendek tanpa pengirim.

Penghuni yang pintu rumahnya bertanda silang X
terancam bahaya penculikan dan pembunuhan. Harap bersiaga.

Begitu selesai membaca, Haji Badrudin memandang tamunya yang masih sangat muda itu dengan wajah berubah memutih.
“Apa surat ini dari Haji Rosyid?”, tanyanya dengan suara bergetar.
“Saya mohon maaf Pak Haji. Untuk mmudahkan menghadap Bapak, Pak Haji Rosyid menyuruh saya menggunakan nama beliau”, sahut Darmawan.
“Kau sendiri siapa?”.
“Diri saya tidak penting Pak Haji. Yang penting, bagaimana cara menyampaikan berita ini kepada semua tokoh agama di kampung ini agar mereka bersiaga. Saya harap Pak Haji mempercayai saya, sebab saya mendengar sendiri rencana mereka”.
“Aku percaya penuh anak muda. Soalnya tadi pagi aku melihat pintu rumahku sendiri bertanda silang. Sebelum kau datang, justru aku sedang memikirkan tanda itu”.
“Terimakasih atas kepercayaan Pak Haji”.
“Bukan kau yang harus berterimakasih, tetapi Bapak dan kawan-kawanlah yang harus mengucapkan terimakasih tak terhingga kepadamu”, tukas Haji Badrudin, “kapan kira-kira pelaksanaan rencananya?”.
“Pastinya saya tidak tahu. Tetapi menurut perhitungan, sekitar dua-tiga hari mendatang, dan akan berlangsung serempak di seluruh daerah kecamatan ini. Bahkan mungkin juga di daerah-daerah lain. Mereka menyebutnya hari-H”.
“Astagfirulloh...jadi mereka merencanakan pembantaian besar-besaran?”. Haji Badrudin mengusap dada dengan suara bergetar.
“Saya mohon bantuan Pak Haji untuk menyampaikan berita ini kepada para tokoh di kampung ini”.
“Insya Alloh. Percayakan saja kepada Bapak. Bahkan Bapak dapat menyebarkan informasi ini lebih luas lagi melalui teman-teman anak Bapak”.
“Kalau begitu, saya mohon diri, karena masih beberapa kampung lagi yang harus saya kunjungi”.
“Tunggu dulu Nak”. Haji Badrudin mencegah, “kau tidak usah tergesa-gesa. Biar hilang waktu sedikit, tetapi membuahkan hasil lebih besar. Kau telah bersusah payah berkeliling dari kampung ke kampung untuk menyelamatkan orang lain dengan meninggalkan kepentinganmu sendiri, tanpa ada yang menyuruh dan tanpa minta balas jasa. Tentu kau tidak sempat mengisi perutmu sendiri. Lebih dari wajar kalau Bapak mengajakmu hanya sekedar menjamu makan”.
“Tidak apa Pak Haji. Lagi pula saya biasa makan setelah magrib”, sahut Darmawan.
“Hmm untuk kali ini Bapak minta kau majukan waktu makanmu menemani Bapak. Lagi pula Bapak punya rencana membantu mempercepat pekerjaanmu, bagaimana?”.
Darmawan tidak dapat menolak. Apalagi Haji Badrudin menawarkan bantuannya yang sangat diperlukan. Karena itu Darmawan mengangguk.
“Saya sangat berterimakasih Pak Haji”.
“Sudah Bapak katakan. Bukan kau yang harus berterimakasih, tetapi kami. Nah, sekarang kita sholat asar dulu”.
Haji Badrudin bangkit dari duduknya diikuti Darmawan. Mereka menuju masjid melewati pelataran tempat latihan drum band yang dilalui Darmawan tadi. Beberapa pemuda dan gadis tampak sedang duduk beristirahat di depan kantor organisasi sambil ngobrol.
“Adah kemari sebentar”, panggil Haji Badrudin kepada anaknya.
Saadah menghampiri Ayahnya. “Ada apa Ayah?”, tanyanya.
“Beritahukan kepada kawan-kawan priamu agar mereka jangan pulang dulu. Suruh saja membeli nasi bungkus dan makan di sini. Ayah akan memberi briefing. Setelah itu kau siapkan makan. Ayah akan menjamu tamu. Sekarang Ayah akan sholat dulu”.
“Baik Ayah”, sahut Saadah dan kembali kepada teman-temannya.
“Ada apa?”, tanya salah seorang kawan Saadah.
“Ayah minta kalian jangan pulang dulu. Ada briefing penting”.
“Siapa pemuda yang bersama Ayahmu itu?”.
“Dia kusir delman. Aku tadi melihatnya. Delmannya juga masih ada di depan mesjid”, sahut salah seorang yang belum lama datang.
“Tapi nampaknya Pak Haji sangat akrab seperti kepada kawan dekat saja waktu ngobrol tadi”.
“Aku juga tidak tahu”, kata Saadah, “yang jelas Ayah akan makan bersamanya. Aku disuruh menyiapkan makan buat mereka sekarang. Mari bantu aku Jamilah”, ajaknya kepada sahabat dekatnya.
“He tunggu. Bagaimana makan kami? Kami juga sudah lapar”. Teriak salah seorang pemuda.
“Pesan saja nasi bungkus di depan, nanti aku yang bayar”, sahut Saadah sambil berlalu.
Haji Badrudin dan Darmawan muncul di meja makan ketika Saadah sedang menuangkan air pada gelas. Mereka duduk berhadapan. Sementara makan, Haji Badrudin mengemukakan rencananya.
“Bapak punya kelompok pemuda terampil, karena mereka punya kemampuan silat. Bapak akan membentuk barisan serba guna. Mereka akan Bapak sebarkan ke seluruh daerah yang dapat dijangkau menghubungi para tokoh, dan berani menghadapi aksi para penculik. Mereka akan membawa pesan kepada semua tokoh daerah untuk membentuk kekuatan yang ada di tempat masing-masing. Insya Alloh, paling lambat besok sore, pesan itu akan sampai di semua tempat yang dituju. Langkah ini kita tempuh karena kita tidak dapat memastikan jalur resmi mana yang dapat kita hubungi. Musuh kita memiliki bulu dan kulit yang sama. Karena itu, jalan paling aman adalah membentuk barisan pertahanan sendiri. Bukankah begitu?”.
“Saya sependapat Pak Haji”, sahut Darmawan.
“Hmm, nampaknya kita terpaksa harus perang saudara”, gumam Haji Badrudin.
“Itulah yang saya khawatirkan Pak Haji. Mudah-mudahan saja usaha saya mencegahnya tidak terlambat”.
“Apa yang telah kau lakukan untuk mencegah itu?”, tanya Haji Badrudin dengan terkejut.
“Subuh tadi kawan saya berangkat ke Jakarta untuk menghubungi jalur yang dapat dipercaya...”.
“Ah berbahaya Nak. Apa kau yakin betul jalur itu dapat dipercaya?”, tukas Haji Badrudin, “jangan-jangan sebaliknya yang akan terjadi”.
“Saya yakin Pak Haji. Sebab kami sudah cukup lama bekerja sama membayangi mereka. Bahkan semua nama penting yang terlibat dalam gerakan mereka telah saya kirimkan. Jalur itu sedang menanti laporan hari-H dari kami. Namun hari-H itu masih mereka rahasiakan. Tetapi dari istruksi pimpinan mereka kemarin, kami menyimpulkan hari-H itu terjadi sekitar 2-3 hari lagi”.
“Bukan main. Sudah berapa lama kau membayangi kegiatan rahasia mereka?”, tanyanya kagum.
“Hampir dua tahun Pak Haji”.
“Berapa orang kalian bekerja?”.
“Dua orang”.
“Hanya dua orang? Dan kawanmu juga seusia denganmu?”.
Darmawan mengangguk. Haji Badrudin menggeleng-gelengkan kepala, membayangkan betapa dalam waktu sekian lama, dengan sabar dan ulet, membayangi dan mengumpulkan nama-nama sekian banyak orang secara sembunyi-sembunyi. Saat itu juga tampak sikap orangtua itu begitu menghormat.
“Kau telah membuat orang setuaku menjadi iri”, katanya, “hmm, kalau saja aku tahu sejak lama...”, gumamnya tanpa menyelesaikan kata-katanya.
“Kita hanya dapat berdoa, mudah-mudahan kawan saya tidak terlambat, sehingga mereka semua dapat diciduk sebelum banyak korban jatuh”, kata Darmawan.
“Ya, Bapak akan turut membantu berdoa agar kawanmu tiba di tujuan dengan selamat dan tidak terlambat”.
Meski makan telah selesai, mereka maih bercakap untuk merampungkan rencana Haji Badrudin.
“Sudah berapa kampung yang didatangi Nak Wawan?”, tanya Haji Badrudin. Rupanya ketika di masjid dia telah menanyakan nama anak muda itu.
“Empat kampung Pak. Saya mengambil kampung terjauh dulu”
“Artinya, di daerah tempat tinggalmu sendiri belum mendapat peringatan, begitu?”.
Darmawan mengangguk. “Saya dapat melakukannya pada malam hari”, sahutnya.
“Kalau begitu kita atur begini saja. Semua daerah di luar tempat tinggalmu Bapaklah yang akan menanganinya, sehingga kau tidak banyak membuang waktu lagi. Bukankah itu lebih baik?”.
Darmawan mengangguk lagi.
“O iya. Dari tadi kita bicara tentang rencana, sampai Bapak lupa menanyakan hal yang sangat penting. Di kampung mana Nak Wawan tinggal?”

--0--


“Tidak jauh Neng. No, di sono”, sahut pemilik kios sambil menunjukkan jarinya, “naik becak aje, tidak setengah jam juga udah nyampe”, sambungnya.
“Terimakasih Bang”, kata Pertiwi.
Ketika sebuah becak kosong mendatangi, Pertiwi mengacungkan jarinya, dan becak pun berhenti.
“Ke mana Neng?”, tanya tukang becak setelah Pertiwi naik.
“Ke sana Bang, jalan Anu”.
Sekitar 20 menit kemudian becak yang ditumpangi Pertiwi telah sampai di jalan yang dituju.
“Stop, stop Bang”. Kata Pertiwi ketika melihat nomor gedung yang ditujunya.
Setelah membayar ongkos becak, Pertiwi tidak segera menghampiri pintu halaman gedung itu. Beberapa lamanya dia berdiri mematung. Dia ragu karena gedung dihadapannya bukan rumah biasa, melainkan sebuah gedung besar, terlalu besar malah, dan berlantai dua dengan halaman yang amat luas. Untuk ukuran di daerahnya, gedung itu tak ubah seperti istana. Sampai beberapa kali dia mencocokkan nomor gedung pada kartu nama yang dipegangnya dengan yang tertera pada pilar pintu pagar gedung. Tak salah. Tiba-tiba saja hati gadis itu merasa kecil. Namun akhirnya dia memaksakan diri menghampiri pintu gerbang. Kebetulan, tidak jauh dari pintu tampak seorang lelaki separuh baya tengah menyiram tanaman. Hari sudah sekitar pukul lima sore.
“Pak, Pak, maaf saya mau tanya”, panggilnya kepada orang yang tengah menyiram tanaman itu.
Orang itu menghentikan kerjanya dan menghampiri. “Ada apa Neng?”, tanyanya.
“Apa Tuan pemilik gedung ini benar seperti dalam kartu nama ini?”. Pertiwi balik bertanya sambil menyodorkan kartu nama yang dipegangnya.
Orang itu menerima kartu nama tersebut, membaca namanya, kemudian membalikkan kartu itu. Ketika melihat tanda silang yang dilingkari, tergesa-gesa dia membukakan pintu kecil di sisi gerbang.
“Tidak salah Neng, silahkan masuk”, sahutnya sambil mengangguk hormat, “mari ikut Mamang”.
Pertiwi mengangguk mengikuti orang itu. Mereka berjalan melewati taman bunga dengan kolam ikan yang besar, baru sampai di depan gedung. Orang itu membuka pintu dan mempersilahkan masuk.
“Silahkan tunggu sebentar Neng. Mamang hendak memberitahu Nyonya dulu”, katanya dan berlalu.
Pertiwi kembali mematung beberapa lamanya di ruangan tamu yang luas dengan kelengkapannya yang baru pertama kali itu dia melihatnya, lengkap dan modern, lantai marmar mengkilap. Dengan hati-hati dia melangkah ke kursi sofa panjang. Matanya merayapi seluruh ruangan dengan kagum.
Dari pintu tengah muncul seorang wanita cantik berkebaya. Dari jauh sudah tampak senyumnya yang ramah dengan wajah cerah. Sebelum sampai di hadapan Petiwi, wanita itu telah menyapanya.
“Nak Wiwi hanya sendiri? Kenapa tidak bersama Nak Wawan?”, tanyanya.
Pertiwi terkejut mengetahui namanya disebut. Dia bangkit dan menyalami wanita itu.
“Bagaimana Ibu tahu nama saya?”.
Senyum wanita itu semakin lebar. Dengan akrab dia membimbing Pertiwi dan duduk bersisian. “Itu rahasia”, sahutnya, “pukul berapa dari kampung?”.
“Subuh tadi Bu”.
“Hmm, cepat juga perjalananmu. Kenapa baru datang sekarang? Apa sedang libur sekolah?”.
“Tidak Bu”.
“He, jadi anak Ibu ini bolos ya?”.
Pertiwi tersipu. “Terpaksa Bu”, sahutnya.
“Hmm Ibu tahu. Tentu kau membawa berita penting untuk Bapak. Betul kan?”.
“Iya Bu. Kalau melalui surat pasti terlambat dan takut tidak sampai”.
“Ah kalau begitu pasti amat penting, padahal Bapak sedang ada tidak di rumah. Ayo kita coba menghubunginya”, ujarnya sambil bangkit dan menarik tangan Pertiwi.
Sikap dan ucapan wanit itu demikian terbuka dan akrab, seolah mereka telah berkenalan lama, sehingga rasa kikuk Pertiwi pun lenyap seketika. Dia menurut saja ke mana wanita itu membimbingnya.
“Setelah perjalanan jauh dan udara Jakarta yang panas, tentu Nak Wiwi haus. Kebetulan Ibu punya minuman segar”, ujarnya sambil membuka lemari es. Lalu sambungnya: “Sementara Ibu menelpon, pilih saja apa yang kau suka. Jangan segan-segan. Mau dihabiskan juga boleh”.
Mendengar kelakar akrab itu Petiwi tersenyum. Sementara si wanita pergi ke tempat telpon, Pertiwi memperhatikan isi lemari es yang penuh dengan beberapa jenis buah-buahan dan minuman yang tidak pernah tersedia di rumahnya. Pertiwi mengambil seuntai buah anggur dan sebotol coca cola. Di atas lemari es ada pembuka tutup botol. Dia buka tutup botol itu dan kembali ke tempat duduknya.
Sementara menikmati minuman segar, matanya melihat wanita itu memutar nomor telpon beberapa kali dan bicara. Dia kembali setelah mengambil sepiring buah-buahan dari lemari es. Dan membawa ke tempat duduk Pertiwi, lalu duduk di samping gadis itu.
“Di beberapa tempat mangkal Bapak tidak ada. Tetapi di tempat mangkal khusus memberitahukan bahwa Bapak akan pulang pukul sembilan nanti”, kata Nyonya Abdurrakhman.
“Mengapa disebut tempat mangkal khusus Bu?”.
“Karena di tempat itu Bapak punya tugas khusus yang membuatnya bertemu dengan kalian”, sahut Nyonya Abdurrakhman. “Karena yang ditunggu masih lama, sebaiknya kau istirahat dulu. Perjalanan jauh tadi tentu membuatmu lelah. Mari Ibu tunjukkan kamarmu”.
Bu Abdurrakhman membawa piring buah-buahan diikuti Pertiwi yang menjinjing tas pakaiannya. Mereka menaiki tangga ke lantai dua. Kamar yang disediakan untuk Pertiwi letaknya di atas pintu depan gedung yang punya balkon. Kamar itu cukup luas berukuran 4 x 4 meter, lengkap dengan perabotannya termasuk lemari es, pesawat televisi 20 inci, dan kamar mandi sendiri. Sebuah rak panjang penuh dengan buku-buku juga tampak di sisi kamar.
Dari laci meja tulis, Bu Abdurrakhman mengambil sebuah kunci dan diserahkan kepada Pertiwi.
“Ini kunci lemari. Sebaiknya tas pakaian itu disimpan di lemari saja”, katanya.
Pertiwi yang tengah mengeluarkan pakaian salin menerima kunci itu dan membuka lemari. Ketika pintu lemari terbuka, tampak berderet pakaian perempuan, mulai dari rok, terusan, kebaya, hingga celana panjang. Paling bawah perangkat sembahyang, selimut, dan setumpuk kain batik dan sarung. Pertiwi menutup kembali pintu lemari itu.
“Kenapa kau tutup lagi?”, tanya Bu Abdurrakhman.
“Ini kamar siapa Bu?”. Pertiwi balik bertanya.
“Kamar anak perempuan Ibu”.
“Ah, kalau begitu sebaiknya saya di kamar lain saja”.
“Tidak. Kau yang di sini”, kata Bu Abdurrakhman sambil mengambil pakaian salin dan tas Pertiwi. Lalu lemari itu dibuka lagi lebar-lebar, dan pakaian Pertiwi ditaruh pada rak yang masing kosong.
Pertiwi merasa bersalah, karena barusan dia telah menolak apa yang diatur pemilik rumah, padahal dia hanya tamu. Dia jadi malu sendiri. Untuk menghilangkan rusuhnya gadis itu mengambil sebuah apel dan menggigitnya sambil duduk di pinggir pembaringan. Bu Abdurrakhman membiarkan lemari tetap terbuka, dan duduk pula di samping Pertiwi.
“Kalau kau mau nonton tv, nyalakan saja”, kata Bu Abdurrakhman.
“Saya tidak tahu cara menyalakannya. Di tempat saya belum ada televisi”.
“Putar knop paling bawah di sisi layar itu ke kanan. Itu untuk menyalakan dan membesarkan suara”.
Pertiwi bangkit menghampiri televisi dan memutar tombol yang ditunjukkan. Ternyata tidak sulit. Sementara nonton, pikiran Bu Abdurrakhman nampaknya masih kepada pakaian di lemari, dan itu dikemukakannya.
“Nak Wiwi, mumpung kau ada, kita bertaruh yu”, katanya.
Pertiwi memandang wanita itu dengan heran. “Taruhan apa Bu? Maaf, saya tidak pernah bertaruh”.
“Tidak apa. Nak Wiwi tidak usah mempertaruhkan apapun. Ibu hanya minta kau mencoba semua pakaian di lemari itu. Ibu bertaruh, semua pakaian itu pasti pas dibadanmu. Kalau benar dugaan Ibu, semua pakaian itu jadi milikmu, mau?”.
“Ah Ibu ini ada-ada saja. Bukankah semua pakaian itu milik puteri Ibu?”.
“Terus terang saja, anak Ibu sendiri belum mengetahuinya. Karena itu Ibu punya janji, siapa saja gadis yang datang ke sini dan mau mengaku Ibu sebagai ibunya, serta pakaian itu cocok dibadannya, dialah yang akan memilikinya”.
“Bagaimana mungkin puteri Ibu sampai tidak mengetahui semua pakaian itu?”, tanyanya heran.
Bu Abdurrakhman menghela nafas. “Sebab hingga sekarang Tuhan belum memberikan karunianya. Itulah satu-satunya kekurangan di rumah ini”, sahut Bu Abdurrakhman dengan wajah muram.
“Maksud Ibu?”.
Mata Bu Abdurrakhman berkaca-kaca, dan ketika bicara suaranya pilu” “Begitulah Nak. Sampai setua ini Tuhan belum memberi kepercayaan kepada kami untuk menimang anak”.
“Lalu pakaian di lemari itu? Bukankah Ibu mengatakan punya puteri Ibu?”.
Bu Abdurrakhman tersenyum pahit. Lalu katanya: “Jangan kau tertawakan Ibu. Ceritanya terjadi sekitar satu setengah tahun lalu, ketika Bapak pulang dari tugas. Waktu itu Bapak pulang dengan tingkah amat gembira dan wajah cerah. Datang-datang dia merangkul Ibu dan membawa Ibu menari-nari. Dia menceritakan pertemuannya dengan seorang gadis yang mirip dirinya. Dia mengatakan, kalau Ibu mencintai Bapak, Ibu harus mengambilnya sebagai anak. Begitu besarnya perhatian Bapak kepada gadis itu, sehingga dia dapat menggambarkan wajah dan ukuran tubuhnya demikian yakin, dan Ibu dapat memperkirakan, besarnya kira-kira sama dengan Nak Wiwi”.
“Apa gadis itu menolak diambil anak oleh Ibu?”, tanya Pertiwi.
“Tunggu dulu, cerita Ibu belum selesai”, kata Bu Abdurrakhman. Maka lanjutnya: “Besoknya Bapak membawa cerita lain. Dia menceritakan perjumpaannya dengan seorang anak muda yang sifat dan nasibnya mirip Ibu. Bapak memang pandai bercerita, sehingga Ibu demikian tertarik pada anak muda itu. Maka Ibu katakan kepada Bapak, kalau Bapak mencintai Ibu, dia harus mengambil anak muda itu sebagai anaknya. Sampai beberapa hari, yang kami bicarakan hanya kedua anak muda itu. Kemudian Bapak meminta kedua anak muda itu supaya datang kemari. Selama menanti kedatangannya, Ibu telah mempersiapkan apa yang diperlukannya bila datang. Kamar dan kelengkapan inilah yang Ibu sediakan buat gadis itu. Tetapi Ibu benar-benar sedih, karena Bapak tidak berani berterus terang kepada mereka, sehingga keadaan jadi terkatung-katung”.
“Mungkin mereka tidak tahu maksud yang sebenarnya permintaan Bapak itu”, kata Pertiwi dengan nada iba.
“Ya, mungkin sekali”, desah Bu Abdurrakhman.
Beberapa lamanya mereka tidak bicara. Tetapi kemudian Bu Abdurrakhman bertanya: “Andaikata. Ini hanya andaikata”, ujarnya, “gadis yang diminta datang oleh Bapak itu Nak Wiwi. Apa kira-kira Nak Wiwi akan memenuhi permintaannya?”.
“Saya akan melihat dulu, apa Bapak tidak bermaksud jahat? Kalau ternyata Bapak orang baik, tentu saya akan memenuhi permintaannya”.
“Kemudian bila sampai di sini Ibu memintamu jadi anak Ibu, apa kau akan menolak?”.
“Kalau saya sudah tidak punya Ibu, kenapa maksud baik orang harus ditolak? Bukankah dengan mengangkat saya sebagai anak, berarti Ibu menyayangi saya?”.
“Misalkan. Sekalipun kau masih punya orangtua. Ibu tidak berkeberatan mengambilmu sebagai anak akuan. Artinya, Ibu hanya ingin turut menyayangimu karena sifatmu mirip Bapak yang Ibu cintai. Apa Nak Wiwi akan menolak?”.
“Tentu tidak Bu. Siapapun yang bermaksud menyayangi saya, artinya keberuntungan bagi saya. Saya akan terima dengan rasa bahagia, dan saya akan menganggapnya sebagai ibu sendiri. Bukankah kasih-sayang itu tidak akan berkurang sekalipun diberikan kepada seribu orang, sebaliknya justru akan menciptakan kebahagiaan yang semakin besar?”.
Bu Abdurrakhman mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju. “Baiklah. Sekarang Ibu ingin tahu penilaianmu terhadap Bapak. Tetapi Ibu minta kau bicara menurut nurani. Jangan karena ada Ibu, lalu yang jelek disebut bagus. Anggap saja, Ibu tidak punya hubungan dengan Bapak. Kau bebas mengemukakan pendapat. Dengan demikian, kalau ada sifatnya yang jelek, Ibu akan memberitahukan kepada Bapak, supaya Bapak memperbaikinya. Mengerti maksud Ibu?”.
Pertiwi mengangguk. “Saya mengerti”, sahut Pertiwi. Lalu katanya: “Pada pertama kali bertemu, saya punya rasa curiga. Tetapi Wawan langsung mempercayainya, sehingga kami berdebat. Saya baru percaya Bapak orang baik setelah kami menerima beberapa surat agar kalau sempat, kami jangan hanya memberi laporan melalui surat, sebaiknya datang sendiri”.
“Lalu kenapa Nak Wiwi baru datang sekarang? Bukankah surat-surat yang Nak Wiwi terima selalu diakhiri dengan permintaan agar laporan itu sebaiknya kau sampaikan sendiri ke sini?”.
“Benar Bu. Tetapi karena laporan itu tidak perlu tergesa-gesa, dan kami sudah percaya kepada Bapak, kami pikir dengan pos juga sudah cukup. Kecuali dalam keadaan mendesak seperti sekarang”.
“Apa Nak Wiwi tidak merasakan janggal bahwa dalam surat-surat yang terhitung sangat pendek itu selalu mementingkan kalimat agar melaporkan sendiri ke sini?”, tanya Bu Abdurrakhman.
Pertiwi mengerutkan keningnya. Pertanyaan Bu Abdurrakhman itu baru menyadarkan dirinya atas kejanggalan surat-surat tersebut.
“Hmm, ternyata kau tidak merasakan kerinduan orangtua”, gumam Bu Abdurrakhman. “Tahukah kau, siapa yang selalu memintamu datang ke sini?”, sambungnya dalam nada sedih. “aku Nak, aku. Apa kau tidak merasakan samasekali, betapa aku hampir putus asa menunggu kedatanganmu?”.
Pertiwi tersentak. “Ap...apa maksud Ibu?”, tanyanya gagap, “say...sayakah gadis yang diceritakan Bapak itu?”, sambungnya dengan nada bimbang.
“Sudahlah. Tidak perlu kau pikirkan lagi. Ibu jadi malu sendiri membicarakannya”, ujar Bu Abdurrakhman dengan menghela nafas panjang.
Suatu perasaan iba seperti ketika melihat keadaan Darmawan yang mengenakan pakaian compang-camping telah melanda hati Pertiwi. Dia dapat merasakan, betapa wanita yang keadaan lahiriahnya serba cukup itu ternyata hatinya demikian gersang. Dia tidak mengerti, mengapa wanita itu tidak memungut anak yang mudah diperoleh dari panti-panti asuhan. Sebaliknya, untuk memperoleh setitik kebahagiaan, justru dia rela meski sekedar jadi ibu akuan. Apa itu bukan rahasia alam yang aneh?.
Tanpa dikehendakinya, mata Pertiwi berkaca-kaca. Kemudian tanpa segan-segan lagi dia merangkul Bu Abdurrakhman. “Maafkan Wiwi Ibu. Ternyata Wiwi terlalu bebal menanggapi kerinduan Ibu. Apa Ibu tidak menyesal mengambil anak sebebal Wiwi?”, bisiknya ditelinga Bu Abdurrakhman.
Bu Abdurrakhman membalas rangkulan gadis itu dengan mendekapnya erat-erat. Tetesan air mata bening jatuh dari sepasang matanya membasahi tengkuk Pertiwi, membuat hati gadis itu makin tersayat. dan diapun jadi menangis. Lama juga mereka berangkulan, sampai Bu Abdurrakhman mendorong bahu si gadis sehingga mereka dapat saling tatap.
“Hmm, ternyata anakku yang bengal juga bisa menangis”, gumam Bu Abdurrakhman. Tetapi kini wajahnya tampak cerah meski matanya masih berkaca-kaca. Pertiwi juga tersenyum mendengar gumaman wanita itu yang terasa lucu.
“Sebagai anak bengal, Wiwi jadi ingin tahu, apa Ibu benar-benar seorang Ibu yang baik?”.
“Bagaimana kau akan menguji Ibu?”, tanya Bu Abdurrakhman.
“Semua pakaian dalam lemari itu akan Wiwi coba. Kalau ada satu saja yang tidak pas, berarti Ibu kurang memperhatikan anaknya”, sahut Pertiwi.
“Boleh coba”, tantang Bu Abdurrakhman, “kecuali jika dalam waktu setengah tahun ini tubuhmu telah berubah banyak”.
Pertiwi bangkit menghampiri lemari, lalu mengambil salah satu baju tanpa dipilih lagi. Tanpa malu-malu dia melepas baju yang dipakainya, dan mengenakan yang diambilnya dari lemari. Menakjubkan! Pas benar, sehingga Pertiwi benar-benar jadi keheranan.
“Bagaimana mungkin Ibu mengetahui pasti ukuran tubuh Wiwi? Padahal Wiwi hanya bertemu sekali dengan Bapak”.
“Itulah kecermatan Bapak. Dia mengukur tubuhmu dari bekas dudukmu, bekas berdirimu, dan lain-lainnya dibandingkan dengan benda-benda disekitarnya seperti kursi, meja, ubin lantai, pintu, dinding. Itu dilakukan Bapak di hotel setelah kalian pulang”.
“Bukan main”, gumam Pertiwi dengan menggeleng-gelengkan kepala. Dia baru memhami tingkah aneh Pak Abdurrakhman di hotel itu.
Bu Abdurrakhman menghampiri meja tulis dan membuka lacinya. Dari dalamnya dia mengambil sebuah foto cukup besar yang telah diberi pigura.
“Sekarang foto ini sudah bisa dipasang. Kau pasang sendiri karena ini adalah kamarmu”, ujarnya sambil menyerahkan foto tersebut kepada Pertiwi. “Sudah hampir magrib, Ibu mau sholat dulu. Nanti pukul tujuh kita makan”, sambungnya, dan dia berlalu meninggalkan Pertiwi yang berdiri bengong.
Peristiwa itu sungguh tidak disangkanya samasekali. Seperti dalam mimpi saja, sampai-sampai dia mencubit lengannya sendiri untuk meyakinkan. Namun setelah tahu kenyataannya, dia hanya mengangkat bahu. Matanya menyapu dinding sekeliling kamar untuk mencari paku gantungan fotonya. Sebab dia yakin, paku itu pasti sudah terpasang. Dugaannya tidak salah. Paku itu ada di atas tempat tidurnya. Maka diapun naik ke tempat tidur dan menggantungkan foto tersebut.
Peristiwa yang tidak disangka-sangka itu membuat dia lupa pada rasa lelahnya setelah perjalanan sehari penuh. Yang tidak bisa hilang adalah kekakuan di seluruh tubuhnya karena keringat dan debu. Maka diapun mengambil handuk, lalu masuk ke kamar mandi.
Hari pun berlalu terus. Lewat magrib Pertiwi turun dari kamarnya ke ruang tamu, mengenakan baju kaos dan celana panjang yang tersedia di lemari. Bu Abdurrakhman keluar dari salah satu kamar di sisi ruang tamu yang di atas pintunya bertuliskan ‘mushola’. Dia menghampiri Pertiwi dan menggandeng gadis itu, membawanya ke ruang makan keluarga.
“Ibu, nampaknya kunjungan Wiwi kali ini singkat sekali, karena besok pagi harus pulang lagi”. Pertiwi memberitahukan kepulangannya sementara mereka ngobrol sambil makan.
“Ibu tahu. Dari beberapa laporan terakhir, Ibu dapat menyimpulkan situasi yang semakin memanas mendekati puncaknya. Karena itu dari kemunculanmu yang tiba-tiba, Ibu menduga berhubungan dengan situasi puncak itu”, sahut Bu Abdurrakhman.
“Benar Bu. Menurut pen...”.
Bu Abdurrakhman memotong perkataan Pertiwi: “Laporkan saja kepada Bapak, karena dia yang akan menentukan langkah-langkah selanjutnya. Tugas Ibu sekarang adalah, pertama memperkenalkan calon saudaramu. Kedua, memperkenalkan semua pembantu rumah dan lingkungan rumah ini. Ketiga minta janjimu agar sejak hari ini, setiap ada libur, kau harus berusaha menyempatkan diri datang ke sini untuk menemui Ibu”.
“Yang ketiga, insya Alloh akan saya penuhi”, sahut Pertiwi.
Selesai makan, Bu Abdurrakhman melaksanakan apa yang dikatakannya. Dia membawa Pertiwi ke sebuah kamar di sisi lain dari mushola.
“Apa saudara Wiwi sudah datang ke sini?”, tanya Pertiwi sementara mereka masuk kamar.
“Belum. Mungkin tanggapannya sama denganmu. Tetapi kau dapat melihat fotonya. Juga foto pacarnya, karena dia sudah punya pacar. Ibu kira usia saudaramu itu satu-dua tahun lebih tua darimu”.
“Hmm, kalau begitu Wiwi harus memanggil kakak”.
Kamar yang mereka masuki memiliki kelengkapan yang hampir sama dengan kamar Pertiwi. Tetapi di atas meja tulis ada tiga figura besar berukuran satu meteran berdiri sejajar, ditutup tirai kain hijau.
“Dua yang disebelah kiri adalah foto saudaramu”, ujar Bu Abdurrakhman, “yang paling kanan foto pacarnya. Kau lihat saja sendiri supaya dapat mengenalnya”.
Pertiwi mengangguk dan membuka figura paling kiri, lalu membuka tirainya. Sejenak gadis itu terpaku. Itu foto sebuah delman dengan kusirnya tengah berhenti di pasar, dan dia kenal betul kusir itu.
“Eh, bukankah ini Wawan, Bu?”, tanya Pertiwi.
“Jadi kau sudah kenal kepadanya?”. Bu Abdurrakhman balik bertanya sambil tersenyum.
Pertiwi tidak menjawab, melainkan tergesa-gesa dia membukai dua figura lainnya. Maka tampaklah foto Darmawan dan dirinya seperti yang dikamarnya tetapi dalam ukuran besar. Sejenak gadis itu mematung dengan tangan gemetar. Lalu tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan merangkul kaki Bu Abdurrakhman sambil berlutut, sementara dari mulutnya terdengar isakan.
“Eh, apa-apan ini?”. Bu Abdurrakhman justru terkejut menyaksikan sikap itu. Dia berusaha menarik tangan Pertiwi agar berdiri. Tetapi Pertiwi tetap bersimpuh, sehingga Bu Abdurrakhman akhirnya membiarkan saja apa diperbuat gadis itu, sampai kemudian Pertiwi bangkit sendiri dengan mata basah. Dia kembali merangkul wanita itu dengan erat.
“Ibu, alangkah bahagianya hati Wiwi sekarang”, bisiknya ditelinga Bu Abdurrakhman dalam isaknya. Ternyata kali ini gadis itu benar-benar menangis.
Bu Abdurrakhman membiarkan gadis itu melepaskan perasaannya. Dia hanya mengusap-usap punggung Pertiwi, sampai kemudian gadis itu melepaskan sendiri pelukannya.
“Kau mengherankan Ibu, Nak. Ketika kau mendapat keberuntungan, sikapmu biasa-biasa saja. Tetapi ketika mengetahui Wawan diangkat anak oleh Bapak, nampaknya kau begitu terharu”.
“Bukan maksud Wiwi kurang menghargai kebaikan Ibu. Samasekali tidak. Wiwi benar-benar merasa beruntung mndapat limpahan kasih-sayang Ibu. Saat itu timbul keinginan meminta agar Ibu mengganti diri Wiwi dengan Wawan. Karena sesungguhnya dialah yang lebih memerlukan tali kasih orangtua dibandingkan Wiwi yang masih punya tali kasih itu. Namun ternyata Bapak dan Ibu telah mengatur tali kasih itu untuknya. Bagaimana Wiwi tidak terharu? Ingin rasanya sekarang juga Wiwi pulang ke kampung untuk menyampaikan kegembiraan ini kepada Wawan bahwa, ada orang yang menyayangi dirinya”.
“Hmm, itu pulakah alasan anak Ibu yang begini cantik memilih pacar kusir delman?”.
“Wujudnya kusir delman Bu, tetapi hati dan pengabdiannya tidak dinodai pamrih dan ambisi. Kesetiaan dan kejujuran adalah pedoman utama hidupnya. Wiwi dapat membayangkan, betapa tenteramnya hidup bersama orang seperti Wawan”.
“Tetapi sifat-sifat itu tidak hanya dimiliki kusir delmanmu saja Wiwi. Tidak sedikit orang kaya dan berpangkat serta berderajat ningrat memiliki sifat itu. Kenapa harus memilih yang menurunkan derajatmu, sementara kesempatan untuk memperoleh pasangan yang sepadan dengan diri dan derajatmu bagi gadis secantikmu, bukan hal yang sukar”, kata Bu Abdurrakhman.“Sedangkan dengan memilih kusir delman kau telah melangkah pada jalur berbahaya. Terutama jika orangtuamu menilai darah keturunan di atas segalanya”.
“Entahlah Ibu. Yang jelas, perhatian Wiwi terhadap dia mulai dari rasa iba dan ingin membantunya mengangkat derajat diinya dari kehidupan yang dinilai masyarakat umum sebagai golongan paling rendah, bahkan ada yang menganggap hina”.
Kini Bu Abdurrakhman yang mendekap Pertiwi. “Anakku, kau benar-benar mirip Bapak”, bisiknya ditelinga si gadis, “nasib Ibulah yang mirip dengan Wawan, bahkan bisa jadi lebih parah lagi, dan Bapaklah yang mengangkat Ibu dari bencana, meski akibatnya dia dikucilkan oleh keluarganya”.
“Ibu? Jadi kau...?”.
“Ya, Ibu tahu maksudmu. Apa kau menyesal punya Ibu seperti aku?”, tanya Bu Abdurrakhman.
Pertiwi merangkul wanita itu dengan erat, sementara mulutnya berbisik di telinga wanita itu: “Tidak Ibu, samasekali tidak. Sebaliknya, kini Wiwi menyayangi Ibu seperti menyayangi Wawan”.
“Terimakasih anakku. Itu sudah cukup. Kau tidak perlu menjelaskan lagi, karena Ibu tahu, sayang macam apa yang ada dalam hatimu. Ibu benar-benar bahagia”, bisik Bu Abdurrakhman pula.
Setelah memadu saling pengertian yang lebih mendalam begitu, kedua perempuan itu keluar dari kamar dengan sikap yang jauh berbeda, seperti dua orang yang bukan baru beberapa jam berkenalan. Mereka bergandengan mengelilingi seluruh rumah, dan mereka mulai bersekongkol.
“Kalau Bapak datang, kau jangan menemuinya dulu. Apa dia bisa menebak dirimu atau tidak?”.
Pertiwi tersenyum dan mengangguk tanda setuju. Begitulah, menjelang pukul sembilam malam Pertiwi naik ke kamarnya. Bu Abndurrakhman duduk sendirian di ruang tamu. Ketika bel pintu berbunyi, wanita itu bangkit menuju pintu. Pertiwi yang tengah berbaring-baring juga mendengar bel itu. Karena itu dia turun dari pembaringannya. Dia keluar kamar tetapi tidak langsung turun, melainkan berdiri saja di sisi tangga mendengarkan percakapan suami-isteri itu.
Bu Abdurrakhman membuka pintu. Ketika suaminya melangkah masuk, Bu Abdurrakhman merangkulnya, mengecup pipinya, lalu menyandarkan kepalanya di dada suaminya. Suatu tingkah yang sudah jarang sekali dilakukan dalam usia tua mereka. Biasanya Bu Abdurrakhman langsung mengambil tas dari tangan Pak Abdurrakhman.
“He apa-apaan ini? Ada apa Bu?”, tanya Pak Abdurrakhman. Dia memandang wajah isterinya. “Eh, mengapa menangis?”, sambungnya ketika melihat mata isterinya berkaca-kaca.
Bu Abdurrakhman cepat-cepat melepaskan rangkulannya dan menyusut air matanya. Lalu mengambil tas dari tangan suaminya, dan menggandeng tangannya. Beberapa langkah Pak Abdurrakhman membiarkan kelakuan isterinya itu. Tetapi kemudian dia berhenti.
“Tunggu”, ujarnya, “bukankah tadi sore Ibu menelpon Bapak dan menceritakan ada berita yang sangat penting?”.
“Betul”, sahut isterinya.
“Dari mana?”.
“Dari kampung”.
“Mana suratnya?”.
Bu Abdurrakhman menggeleng. “Tidak melalui surat”, sahutnya, “dia datang sendiri”.
“He, di mana mereka sekarang?”, tanya Pak Abdurrakhman dengan nada gembira dan wajah cerah.
“Ada. Tetapi Ibu minta dia tidak menunjukkan dulu dirinya. Bapak harus bisa menebak, apa yang datang anakku atau anakmu?”.
“Eh, jadi hanya sendiri?”.
Bu Abdurrakhman mengangguk. Pak Abdurrakhman menatap isterinya beberapa lama. Pertiwi memperhatikan pasangan suami-isteri itu dengan tersenyum.
“Mudah!”, ujar Pak Abdurrakhman tiba-tiba, “malah Bapak bisa menebak lebih dari sekedar nama”.
“Katakan”, kata Bu Abdurrakhman.
“Yang datang adalah anakmu, dan dia telah setuju jadi anakmu, benar tidak?”.
“Bagaimana Bapak tahu?”.
“Bapak tidak lagi melihat kesuraman di wajah Ibu, dan Ibu tidak akan mencium pipi Bapak sambil menangis kalau dia belum menyatakan kesediaannya jadi anak Ibu”.
Mendengar jawaban itu Pertiwi pun menuruni tangga menghampiri mereka.
“Selamat malam Pak”, kata Pertiwi memberi salam.
Pak Abdurrakhman tersenyum. “Selamat malam Nden”, sahutnya dengan menggunakan panggilan yang dipergunakan Darmawan.
“Ah Bapak. Wiwi jadi malu”, kata Pertiwi dengan tersipu. Dia menyalami Pak Abdurrakhman.
“Panggilan itu sangat pantas dipergunakan anak Bapak. Bapak juga sangat setuju. Dandananmu kali ini membuat Bapak agak pangling.
“Bapak harus memuji Ibu. Karena baju ini Ibu yang menyediakannya”.
“Bukan main”, ujar Pak Abdurrakhman, lalu kepada isterinya: “ternyata Ibu ahli mendandani anak”.
“Itu tanda Ibu yang tahu kepentingan anaknya”, sahut Bu Abdurrakhman dan Pertiwi hampir serempak, sehingga ketiganya jadi tertawa.
“Nah, silahkan sampaikan laporanmu kepada Bapak. Ibu akan membuat minuman dulu”.
“Jangan Bu. Ibu duduk-duduk saja, biar Wiwi yang menyediakan. Bapak tentu air kopi dan Ibu air susu”, kata Pertiwi sambil berlalu ke dapur.
“Hmm inilah enaknya punya anak”, gumam Pak Abdurrakhman, “dari mana dia tahu kebiasaan kita?”.
“Ketika dibawa keliling rumah tadi dia menanyakan kesenangan makanan dan minuman kita dari pagi hingga malam”, sahut Bu Abdurrakhman.
“Hmm, apa itu bukan sikap mengambil hati?”.
“Apa kalau berbuat begitu Bapak punya maksud mengambil hati?”. Isterinya balik bertanya.
“Lho, kenapa Ibu menyamakan dia dengan Bapak?”.
“Sebab Ibu sudah menguji dia, dan ternyata wataknya persis Bapak”.
“Sudah demikian jauhkah Ibu mengujinya?”, tanya Pak Abdurrakhman.
“Soalnya dia sangat terburu-buru karena mengkhawatirkan pacarnya. Rencananya besok pagi akan pulang. Kini Ibu sudah yakin 100 persen, rasa sayangnya pada Ibu tidak beda dengan kepada pacarnya”.
“Alhamdulillah. Itu berarti kasihnya kepada Ibu tidak beda dengan sayang Bapak kepada Ibu. Bapak turut bersyukur. Kalau mungkin, Bapak akan meminta dia menunda kepulangannya barang sehari”.
“Terimakasih. Tetapi nampaknya...”. Bu Abdurrakhman tidak meneruskan kata-katanya karena Pertiwi sudah muncul dengan membawa nampan berisi dua cangkir dan sepiring roti bumbu bakar serta buah-buahan.
“Duduklah. Bapak ingin segera mendengar laporannya”, kata Pak Abdurrakhman setelah Pertiwi meletakkan bawaannya. “Pertama, mengapa Wawan tidak turut ke sini?”.
“Waktunya terlalu sempit Pak”, sahut Pertiwi, “berita ini baru diketahui kepastiannya tadi malam. Wawan bingung, kalau pergi ke sini takut terlambat dan taruhannya ratusan nyawa. Karena itu dia memilih berkeliling di sana untuk memberi peringatan, meski mungkin terjadi perang. Tugas itu tidak mungkin dilakukan Wiwi. Karena itu Wiwi menawarkan diri pergi ke sini”.
“Jadi hari-H itu sudah dijatuhan?”, tanya Pak Abdurrakhman dengan terkejut, “kapan waktunya?”.
“Secara langsung belum. Tetapi dari persiapan yang dilakukan mereka, menurut perhitungan Wawan, paling lambat tiga hari lagi dengan hari ini”.
“Apa yang menjadi dasar perhitungan Wawan?”.
“Penandaan rumah-rumah orang yang akan diculik dan dibunuh. Penandaan itu harus selesai paling lambat dalam tiga malam. Sekarang malam kedua. Hari-H akan dijatuhkan pada malam ketiga. Menurut perhitungan kami, pelaksanaannya akan dimulai sekitar tengah malam dan serempak di mana-mana. Sebab instruksi itu diberikan oleh orang yang datang dari pusat”.
“Karena itu Nak Wiwi menawarkan diri datang ke sini meski harus bolos sekolah dan tanpa sepengetahuan orangtua. Bukan begitu?”.
“Wiwi telah minta izin melalui surat”, sahut Pertiwi.
“Apa sudah kau pikirkan kemarahan Ayahmu bila pulang nanti?”, tanya Pak Abdurrakhman.
“Apa boleh buat Bapak. Apa artinya diri saya seorang untuk menyelamatkan sekian banyak nyawa”.
“Anakku”. Pak Abdurrakhman mengelus rambut dan menepuk bahu Pertiwi dengan rasa haru yang dalam, dan Bu Abdurrakhman merangkulnya.
“Yang saya khawatirkan justru keselamatan Wawan, Pak. Meski dia menyamar jadi kusir delman, tetapi dengan keluar-masuk sekian rumah orang yang ditandai, besar sekali kemungkinannya dipergoki pengawas mereka”, kata Pertiwi.
“Ya, Bapak mengerti”, sahut Pak Abdurrakhman, “itulah resiko perjuangan. Tetapi Bapak bangga kepadanya. Kalau Bapak yang jadi dia, Bapak juga akan mengambil langkah itu jika harus memutuskan dua pilihan. Kita doakan saja memohonkan perlindungan kepada Tuhan bagi keselamatan dirinya”.
Sejenak Pak Abdurrakhman memikirkan langkah yang harus ditempuhnya. Dia menuju ke pesawat telpon. Lama juga Pak Abdurrakhman berbicara pada telpon, dan tidak hanya pada satu nomor, tetapi beberapa kali ganti nomor. Akhirnya dia meletakkan gagang teleponnya dan kembali ke tempatnya.
“Begini Wiwi”. Pak Abdurrakhman menjelaskan hasil pembicaraannya. “Bapak telah menghubungi Kodam Siliwangi. Malam ini juga mereka akan mengirim satuan-satuan tugas ke berbagai daerah di Jawa Barat, terutama ke daerahmu. Khusus untuk daerahmu, mereka menunggu daftar orang-orang yang telah kalian kumpulkan selama ini. Karena itu, sekarang juga Bapak harus pergi lagi. Nampaknya Bapak baru dapat pulang besok siang atau sore. Dengan telah ada data itu, daerahmu yang paling terjamin keselamatannya, karena orang-orangnya akan langsung dijaring pada saatnya. Sedang daerah-daerah lain masih harus memperhitungkan penjaringannya, dan Bapak diminta memberikan saran-saran strategi pelaksanaannya. Laporan rinci dari kalian berdua sangat diperlukan sebagai acuan dalam menelusuri jejak kegiatan mereka di berbagai daerah. Karena langkah yang ditempuh mereka sangat mungkin sama, dimulai dari penentuan tempat kegiatan dengan membunuh Juragan Sukarta dulu. Kalaupun ada perbedaan, tentu tidak terlalu jauh. Kita berharap di Jawa Barat tidak terjadi perang”.
“Lalu, apa Wiwi sudah dapat pulang besok pagi?”, tanya si gadis.
“Jangaan. Situasi di perjalanan mulai tidak aman. Bukan hanya dari pihak mereka, tetapi terutama dari satuan penjaring. Salah-salah justru kau yang masuk ke dalam jaring itu. Kalau sampai terjadi demikian, Bapak akan sulit melacakmu, karena jarak dari sini ke kampungmu sangat jauh”.
“Jadi, kapan Wiwi dapat pulang?”, tanya Pertiwi dengan gelisah. Dia baru menyadari langkah yang ditempuhnya mengandung bahaya besar.
“Tenanglah. Kau harus bersyukur karena di daerahmu tidak akan terjadi perang berkat kedatanganmu ke sini. Apa kau kira Bapak tidak khawatir akan keselamatan Wawan?”, ujar Pak Abdurrakhman. Lalu: “Karena itu Bapak sendiri yang akan mengantarmu pulang, sekalian untuk mengetahui keselamatan Wawan. Kita akan berangkat besok malam, sehingga akan tiba di sana pagi hari. Jadi masih satu hari sebelum hari-H. Bagaimana?”.
“Tentu saja pekerjaan Wiwi hanya sepotong dan mementingkan diri kalau tidak memperhatikan keselamatan orang-orang di daerah lain. Wawan pun pasti akan menyesalkan Wiwi, dan Wiwi akan menyesali diri seumur hidup kalau memaksa Bapak mengantar Wiwi besok pagi”.
“Bagus. Ini baru anak Bapak”, kata Pak Abdurrakhman sambil mengacungkan jempol.
“Tidak bisa”, tukas Bu Abdurrakhman, “dia anakku”.
Mereka jadi tertawa. Ternyata dalam situasi yang menegangkan itu Bu Abdurrakhman masih dapat mengubah suasana.
“Nah Bapak berangkat dulu. Kita sama-sama berdoa agar perang tidak sampai terjadi”, ujar Pak Abdurrakhman sambil bangkit dan mengambil tasnya lagi.
“Amiiin”, sahut Bu Abdurrakhman dan Pertiwi serempak. Mereka mengantar Pak Abdurrakhman sampai di pintu. Sejenak kemudian, Pak Abdurrakhman telah meninggalkan gedungnya dalam mobil Impalanya menembus larutnya malam.

--0--

Sepuluh
Senja Merah
Mobil Impala hijau lumut itu meluncur cepat di kegelapan malam pada lerotan menurun dari Puncak arah ke Cianjur. Penumpangnya dua orang, Pak Abdurrakhman memegang kemudi dan Pertiwi duduk di sampingnya. Malam belum lama turun, karena Pak Abdurrakhman berangkat sore dari Jakarta. Rupanya dia mengerti kegelisahan hati Pertiwi, meski Pertiwi tidak mengemukakannya.
“Sekarang baru pukul delapan”, kata Pak Abdurrahman sambil melihat arlojinya, “kalau tidak ada rintangan, kita akan tiba di Bandung pukul setengah sepuluh. Bapak harus melapor dulu ke Kodam, sekalian mengecek persiapan operasi untuk daerahmu”.
“Apa sudah dipasang pos-pos penjagaan?”, tanya Pertiwi.
“Menurut informasi, sampai di Bandung untuk sementara baru dipasang dua pos. Tapi Bapak sudah mengirimkan rencana perjalanan ini tadi siang, termasuk dirimu, sehingga bagi kita pos-pos itu bukan rintangan”.
Benar saja, ketika mereka sampai di suatu tempat daerah Ciranjang mobil mereka distop. Di sana sudah ada beberapa mobil umum dan pribadi yang diperiksa. Tetapi dengan memperlihatkan kartu identitas khusus kepada petugas, petugas itu memberi hormat.
“Silahkan jalan terus Pak”, katanya.
“Terimakasih”, sahut Pak Abdurrakhman.
Pos penjagaan kedua berada di daerah Rajamandala. Di sini pemeriksaan dilakukan lebih teliti. Petugas mencocokkan dulu foto pada kartu identitas khusus itu dengan orangnya, serta melongok ke dalam sambil melihat penumpangnya. Baru dia memberi hormat dan mempersilahkan meneruskan perjalanan. Di pos penjagaan ini tampak lebih banyak kendaraan yang diparkir di pinggir jalan.
Tepat seperti yang diperkirakan, mereka memasuki Bandung sekitar pukul sembilan. Pada pukul setengah sepuluh mobil Pak Abdurrakhman membelok ke gedung Kodam Siliwangi.
“Tunggu saja di sini. Sementara menunggu Bapak, sebaiknya kau makan bekal dari Ibu”, kata Pak Abdurrakhman setelah mobilnya berhenti di tempat parkir.
Pertiwi mengangguk tanpa menyahut. Sementara Pak Abdurrakhman masuk, dia membuka bekal roti bumbu. Saat itulah tiba-tiba perasaan tidak tenteram melanda hatinya, sehingga beberapa lamanya dia berhenti mengunyah makanannya. Matanya memandang ke kegelapan malam. Di sana-sini tampak sinar lampu. Dia menyapukan pandangannya sampai kemudian tertumpu pada gardu penjagaan. Di depan gardu tampak seorang prajurit tengah berjaga dengan kaki mengangkang dan tangan kanannya bertumpu pada ujung bedil yang ditegakkan di sisi kakinya. Pertiwi melihat ke gardu karena melihat gerakan orang memasuki gardu.

--0--


Pada saat yang sama, Darmawan yang berdiri di balik pohon kelapa cengkir di kebun belakang rumah Raden Angga, memandang ke tepas pondok. Tampak Bung Yeye tengah duduk sendirian. Darmawan mengalihkan pandangannya kepada orang yang keluar dari pintu pondok.
“Kenapa Bung Sarju masih belum datang juga?”, tanya Bung Adam yang baru keluar dari pondok, lalu duduk di samping Bung Yeye.
“Pertemuan masih setengah jam lagi. Dia kan selalu datang tepat waktu”, sahut Bung Yeye sementara tangannya mengupas kulit ubi rebus.
“Lalu Bung Angga ke mana dulu?”.
“Sementara Bung berpacu dengan kudamu, mungkin Bung Angga tengah merayu kudanya pula”.
“He, apa ada kuda lain?”.
“Kuda peliharaannya yang belum sempat dicoba. Sekarang kesempatan paling baik, karena penjaganya sedang tidak ada. Nanti juga akan jadi tunggangan kita”, sahut Bung Yeye.
Di tempat persembunyiannya Darmawan tersentak kaget. Dia tahu pasti siapa yang disebut kuda peliharaan dan penjaganya itu. Selama dua hari dua malam dia demikian sibuk dengan tugas kelilingnya sehingga lupa samasekali pada persoalan Purwanti. Malam ini dia sedang menunggu jatuhnya hari-H.
Tiba-tiba hatinya bergetar mmbayangkan kemungkinan peristiwa yang dikatakan Bung Yeye atas Purwanti. Dia juga ingat pesan Pertiwi. Dengan hati rusuh dia mengendap menjauhi pondok. Setelah berada di luar pagar, dia berlari pulang ke Kecamatan seperti dikejar hantu. Tetapi ketika sampai di pagar halaman Kecamatan, dia menghentikan larinya.
Setelah memperhatikan situasi sekitarnya, dia meloncat masuk, lalu menyusuri dinding kantor. Terus ke belakang menyusuri dinding rumah. Di tempat timbunan kayu bakar di belakang rumah, tanpa sadar tangannya mengambil sebatang suluh. Dari sana dia terus ke kebun menuju ranggon di pinggir kolam. Sejenak dia berhenti untuk meredakan debar jantungnya. Matanya memandang tajam menembus kegelapan malam, memperhatikan bangunan ranggon.
Dalam kegelapan malam itu dia menangkap gerakan sosok di dalam ranggon. Dengan mengendap-endap dia mendekat. Tiba-tiba saja sesuatu menghentak jantungnya, ketika telinganya menangkap suara dengusan nafas dan rintihan lirih perempuan, sementara sosok di ranggon itu terus bergerak-gerak.
Saat itu terbayang jelas di pikirannya peristiwa yang sangat dikhawatirkannya, berbaur dengan pandangan Pertiwi yang menyalahkan keteledorannya. Perasaan bersalah memenuhi dadanya, dibarengi kemarahan yang menggelegak. Dalam keadaan demikian, tanpa sadar dia meloncat ke dalam ranggon dan kayu yang berada di tangannya berulang-ulang menghantam sosok yang bergerak-gerak itu.
Raden Angga mengaduh, dan melontarkan tubuhnya ke luar ranggon. Darmawan mengejarnya dengan ayunan pukulan kayu. Raden Angga berusaha menangkisnya dengan kedua tangannya. Tetapi ayunan kayu itu terus juga memukuli tubuhnya, bahunya, tangannya, bahkan kepalanya. Raden Angga terus mundur dengan berdesah dan mengerang, sampai kemudian tubuhnya terguling ke luar pagar halaman. Kesempatan itu dipergunakanmya untuk lari kabur, hilang dalam kegelapan. Darmawan berdiri mematung dengan pandangan kosong.
Ketika tubuh Raden Angga meloncat keluar ranggon, Purwanti bangkit dengan wajah pucat. Dia melihat Mang Darma terus memukuli Raden Angga dengan kayu. Tiba-tiba saja pikiran untuk membalas dendam kepada kakaknya terkilas dalam benaknya. Dia memungut celana Raden Angga yang tertinggal di ranggon dan digulungnya, lalu dilemparkan ke semak-semak. Setelah itu dia berlari ke rumah sambil menangis.
Purwanti mendorong pintu dapur dengan keras sehingga menimbulkan bunyi berderak. Juragan Danu dan isterinya yang sedang di kamar tidur tersentak kaget. Sejenak mereka memulihkan kesadarannya. Lalu terdengar lagi bunyi berderak pintu tengah disertai tangis Purwanti. Juragan Danu meloncat dari tempat tidurnya diikuti isterinya.
Bertepatan dengan terbukanya pintu kamar, Purwanti datang berlari menghampiri ibunya dan merangkulnya dalam tangis yang memilukan. Pembantu rumah dan tukang kebun bermunculan di kamar tengah. Mereka pada berdiri terpaku menyaksikan pakaian Purwanti yang robek-robek. Juragan Danu berdiri mematung di tempatnya. Kejadian itu demikian tiba-tiba dan sangat mengejutkan. Isteri Juragan Danu membawa puterinya duduk di kursi. Gadis itu terus menangis, namun lama-lama mulai reda.
“Dari mana kau? Apa yang terjadi denganmu Wanti?”, tanya Juragan Danu.
“Mang Darma”, sahut Purwanti dengan tersendat.
“Kenapa dengan si Darma? Kenapa?”.
“Dia mem..memaksa Wanti”, sahutnya dan tangisnya meledak lagi.
“Memaksa apa?”.
Purwanti menjawab dalam tangisnya. “Did...dia memperkosa Wanti”.
“Apa?!!!”.
“Dia memukuli Kak Angga yang mau menolong Wanti”.
“Setan! Kusir laknat!”, teriak Juragan Danu dengan mata mendelik dan tangan terkepal. Sambil menghentak kaki dia pergi ke luar menuju pondok Darmawan. Dua pembantu lelakinya, Mang Ikin dan Mang Juhro bergegas mengikuti tuannya.
Ketika Juragan Danu muncul di ambang pintu pondok, dia melihat Darmawan duduk mematung di sisi tempat tidurnya dengan pandangan kosong. Di tangannya masih tergenggam kayu pemukul yang berdarah. Juragan Danu meloncat menghampiri Darmawan. Sementara tangan kirinya menangkap kayu pemukul, tangan kanannya menghajar wajah Darmawan sehingga tubuhnya terdorong menumbuk dinding. Juragan Danu masih melanjutkan dengan beberapa pukulan ke wajah dan tubuh Darmawan. Kemudian dia menarik tubuh yang tidak melawan itu dan melemparkan ke tengah pondok.
“Ikat dia di kursi Ikin!”, perintah Juragan Danu.
“Baik Gan”, sahut Mang Ikin dan Mang Juhro serempak. Mereka mengambil tambang yang memang ada di satu pojok kamar. Tubuh Darmawan yang lemah diangkat dan didudukan di atas kursi. Kemudian Mang Ikin mengikatnya pada sandaran kursi. Kepala Darmawan terkulai ke dadanya.
“Juhro, panggil Mang Ulis sekarang juga. Suruh dia menemuiku di rumah”, kata Juragan Danu setelah kedua pembantunya selesai mengikat Darmawan. Lalu kepada Mang Ikin, “dan kau Ikin, kunci pondok ini supaya dia tidak kabur”.
Mang Juhro bergegas pergi. Juragan Danu langsung pergi ke rumahnya. Sedangkan Mang Ikin menutup pintu pondok dan menguncinya, karena kebetulan kunci itu tergantung pada gemboknya.

--0--


Pak Abdurrakhman membuka pintu mobilnya, dan duduk di belakang stir. Dia heran melihat Pertiwi duduk bersila sambil memejamkan mata, dengan kedua telapak tangannya dirangkapkan di depan dada. Tangan Pak Abdurrakhman yang hendak menstarter dilepaskan lagi.
“Wiwi, Wiwi”, panggil Pak Abdurrakhman dengan suara tidak terlalu keras.
Pertiwi membuka matanya. Pak Abdurrakhman menatap gadis itu beberapa lamanya.
“Ada apa?”, tanyanya.
“Entah Bapak”, sahut Pertiwi, “mula-mula ada sesuatu yang membuat hati Wiwi berdesir dan berdebar-debar. Wiwi memandang kegelapan malam, rasanya begitu gersang. Tiba-tiba saja nafas Wiwi sesak. Wiwi mencoba mengosongkan pikiran, tetapi sulit sekali. Bayangan Wawan terus mengganggu pikiran. Tak lama setelah debar hati mereda, Wiwi mendengar suara Bapak. Wiwi hanya berharap, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan Wawan”.
Pak Abdurrakhman tidak langsung menanggapi dengan bujukan menenangkan. Gadis ini bukan anak penakut dan cengeng. Kepercayaan dirinya sangat kuat. Dia tidak langsung menyatakan Darmawan terus membayangi pikirannya. Sebaliknya dia berusaha menghilangkan bayangan itu. Justru karena itu, hatinya sendiri jadi mengkhawatirkan pemuda itu. Nampaknya hubungan batin kedua anak muda itu sangat kuat. Kata-kata gadis itu menunjukkan, dia bukan anak yang bisa dibujuk dengan basa-basi. Karena itu Pak Abdurrakhman hanya mengemukakan berdasar nalar.
“Sayang Bapak tidak mengerti bahasa isyarat”, katanya, “karena itu memang kita hanya dapat berharap, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan dia”.
Pertiwi mengangguk. Pak Abdurrakhman menstarter mobilnya. Sejenak kemudian mobil itu telah keluar dari halaman Kodam, meneruskan perjalanannya yang masih sangat jauh, menembus kegelapan malam larut. Pak Abdurrakhman mengalihkan persoalan dengan menceritakan hasil kunjungannya.
“Satuan tugas ke daerahmu sudah disebar sejak pagi tadi”, ujarnya, “kelompok pertama tiba lewat tengah hari sebagai rakyat biasa. Laporan terakhir menyatakan, semua kampung telah terisi. Malah ada yang sudah menghubungi tokoh setempat. Tepat seperti laporanmu, tokoh itu telah mendapat informasi dari seorang anak muda tentang kemungkinan yang bakal terjadi”.
“Apa Satgas itu melaporkan hal-hal lain yang terjadi di daerah pengawasannya?”, tanya Pertiwi.
“Tentu saja, terutama kegiatan kerumunan seperti rapat, tempat judi, tempat pertunjukan. Karena di tempat-tempat begitulah biasanya mereka berkumpul. Tiap kejadian penting akan dilaporkan ke pos-pos penghubung, sehingga bila terjadi hal yang memerlukan bantuan, pos itu akan menyampaikan kepada satuan-satuan yang dekat dengan tempat kejadian. Kenapa kau tanyakan itu?”.
“Bukankah itu berarti, kita dapat menanyakan perkembangan keadaan ke pos-pos tersebut?”.
Pak Abdurrakhman tersenyum mendengar cara diplomatis gadis itu dalam mencari informasi. Maka katanya: “Tentu saja. Bahkan Bapak sendri telah diberi alat penghubung itu, sehingga pada jarak tertentu dapat menghubungi mereka. Lihat ini”.
Pak Abdurrakhman merogohkan tangannya ke balik jaketnya. Ketika keluar lagi, tangannya telah menggenggam walky-talky. Lalu dia menambahkan: “Bila memasuki perbatasan Kecamatan nanti, Bapak akan menghubungi pos untuk menanyakan situasinya”.
“Pukul berapa kita akan sampai di sana?”.
“Kalau langsung, pukul lima pagi juga sudah sampai. Tetapi Bapak perlu mengetahui perkembangan di daerah-daerah lain dulu, sehingga mungkin baru masuk sekitar pukul 7 pagi. Apa kau tidak keberatan?”.
Pertiwi menggeleng. “Memang lebih baik agak siang, sehingga Ayah sudah pergi ke kantor”.
“Kalau begitu sebaiknya sekarang kau tidur dulu, supaya besok tidak mengantuk”.
Pertiwi mengangguk, dan mereka tidak bicara lagi. Sementara mobil terus meluncur di kegelapan.
Sekitar pukul setengah delapan mobil mereka telah memasuki batas kota. Pertiwi yang mengenal betul situasi kotanya, melihat sesuatu yang tidak biasa. Hal itu dikatakan kepada Pak Abdurrakhman.
“Nampaknya ada sesuatu yang tidak biasa terjadi di kota Pak”, kata Pertiwi.
“Kenapa?”, tanya Pak Abdurrakhman.
“Orang-orang yang berjalan kaki ke kota terlalu banyak dari biasanya”.
“Hmm, coba Bapak akan hubungi pos di kota”, ujarnya sambil menyalakan walky-talkynya. Lalu: “Halo Kijang di sini minta hubungan dengan Kumbang. Ganti”.
Sejenak kemudian terdengar jawaban: “Kumbang menunggu. Ganti”.
“Kijang minta informasi kejadian di kota yang tidak biasa. Ganti”.
“Informasi belum lengkap. Orang-orang berkumpul di depan kantor Kecamatan untuk mnyaksikan pengadilan rakyat. Ganti”.
“Informasi sudah cukup. Kijang akan melihat sendiri. Terimakasih, hubungan selesai”. Pak Abdurrakhman mematikan alatnya, dan bertanya kepada Pertiwi: “Apa yang disebut pengadilan rakyat itu Wiwi?”.
Pertiwi menggeleng. “Baru kali ini Wiwi dengar”.
“Hmm, artinya ada peristiwa luarbiasa”, gumam Pak Abdurrakhman.
“Kalau begitu sebaiknya Wiwi jalan belakang. Bapak dapat memparkir mobil di pojok alun-alun”.
“Ya begitu saja. Kalau ada sesuatu kau dapat menghubungi Bapak di sana. Bapak juga ingin tahu bagaimana tanggapan Juragan Camat atas kepergianmu yang tidak memberitahu itu. Bapak akan mengenakan pakaian petani hitam-hitam supaya tidak menarik perhatian”, kata Pak Abdurrakhman.
Sesuai rencana, mobil berhenti di pojok alun-alun, dimasukkan ke lapangan kecil di sisi kandang kerbau yang kosong. Pertiwi turun, lalu menerobos kebun sambil menjinjing tasnya. Tiba di pagar samping Kecamatan, dia menyusuri pagar itu ke belakang. Dia masuk melalui pintu pagar ke kebun belakang rumah. Dia muncul di ruang tengah dari dapur. Tetapi kemudian berdiri mematung di ambang pintu, karena ternyata di ruang tengah itu berkumpul kedua orangtua dan adiknya. Begitu melihat kemunculan Pertiwi, mata Juragan Danu menatap tajam penuh kemarahan. Pertiwi menunduk.
”Selamat pagi Ayah, Ibu. Wiwi minta maaf karena pergi tanpa minta ijin dulu”, kata Pertiwi.
“Itu kesalahan pertama”, desis Juragan Danu, “artinya kau menganggap kami bukan orangtuamu”.
Pertiwi berlari dan berlutut di depan Ayahnya. “Wiwi mohon ma...augh!”.
Gadis itu tidak dapat menyelesaikan kata-katanya karena tiba-tiba kepalanya terputar oleh tamparan keras Juragan Danu pada pipinya. Pertiwi sujud mencium kaki Ayahnya, dan minta maaf atas ksalahannya. Tetapi tubuh gadis itu terlonjak lalu terjajar ke belakang dihantam tendangan Juragan Danu. Dari hidung Pertiwi menetes darah segar, dan pipinya merah sembam.
Pertiwi bangkit lagi, lalu menghampiri ibunya dan berlutut di kakinya: “Wiwi mohon ampun Ibu”.
Nyonya Danu sudah menjulurkan tangannya untuk mengusapkpala anaknya. Tetapi sekali lagi kaki Juragan Danu menendangnya dari samping. Tidak terdengar keluhan dari mulut Pertiwi, selain desisan kesakitan. Dia berusaha bangkit dengan susah payah. Lalu duduk di lantai dengan kepala tunduk.
“Sekarang aku akan mengatakan kesalahanmu yang kedua”, kata Juragan danu, “tetapi aku mau tanya dulu. Bukankah kau diam-diam telah bercintaan dengan si Darma, kusir laknat itu?”.
Pertiwi terkejut mendengar pertanyaan itu. Tetapi tiba-tiba dia teringat sikap Purwanti terakhir. Kini dia tahu pasti penyebab perubahan sikap adiknya.
“Jawab!”, bentak Juragan Danu.
“Ya Ayah”.
“Jangan panggil ayah lagi kepadaku”, kata Juragan Danu dengan ketus, “perbutanmu itu kesalahan paling besar. Kau telah merendahkan darah keturunan. Perbuatanmu telah mencemarkan darah biruku. Soal lain masih bisa dimaafkan. Tetapi pencemaran darah biruku tidak bisa ditebus dengan permintaan maaf. Hanya satu jalan keluarnya. Kau putuskan cintamu dengan kusir laknat itu, atau kau bukan anakku lagi. Pilih sekarang!”.
“Qur’an tidak membedakan darah keturunan Ayah”, sahut Pertiwi.
“Jangan mengajari aku. Pilih salah satu, dan jawab!”.
“Dia punya pekerti tinggi Ayah”.
“Jawab kataku!”.
“Wiwi sangat mencintainya”, ujar Pertiwi hampir tak terdengar.
“Artinya kau lebih memilih dia daripada darah keturunan, begitu?”.
“Ya Ayah”.
“Jangan sebut ayah lagi kepadaku. Kau telah memutuskan hubungan darah keturunan dariku. Kau bukan anakku lagi mengerti?!”.
“Tetapi Ayah...”.
“Aku sudah bukan ayahmu lagi, tahu?!.
Pertiwi tertunduk. Kini dia baru percaya kepada peringatan Darmawan dan Pak Abdurrakhman bahwa, darah keturunan itu bukan soal kecil yang dapat dibeli dengan harta. Tetapi gadis itu tidak menyesal atas pilihan hatinya. Sebab dia lebih meyakini ajaran kitab Rosulnya. Sementara Juragan Danu masih meneruskan kata-katanya.
“Aku punya satu bukti bahwa darah keturunan di atas segalanya. Akibat dari merendahkan darah keturunan, kau telah membuat kusir laknat yang tak tentu keturunan itu jadi besar kepala, merasa dirinya sejajar dengan ningrat. Kau tahu apa yang dilakukannya tadi malam? Dia telah menginjak-injak martabatku. Dia telah mencoreng mukaku dengan darah kotornya. Dia telah memperkosa anak kesayanganku, tahu?!”.
Tubuh Pertiwi bergetar. Hatinya terguncang hebat mendengar adiknya telah diperkosa. Artinya, apa yang dia khawatirkan selama ini telah terjadi. Tetapi tentu saja dia tidak percaya samasekali kalau pelakunya Darmawan. Kalau pemuda itu mau melakukan, harusnya sudah sejak lama terjadi, dan bukan pada Purwanti, tetapi kepada dirinya. Kemudian dia dapat membayangkan bagaimana terjadinya dari keterangan ayahnya sendiri.
“Setelah memperkosa anak kesayanganku, kusir laknat itu masih memperbesar dosanya dengan melawan seorang ningrat”. Juragan Danu meneruskan keterangannya: “Tahukan apa yang memperbesar dosanya itu? Dia telah memukuli Angga dengan kayu bakar yang memergoki perbuatannya dan bermaksud menolong anak kesayanganku, sehingga dia luka parah. Karena dosanya yang bertumpuk itu, tidak ada hukuman yang lebih adil baginya selain pengadilan rakyat. Itulah yang akan terjadi sebentar lagi di depan kantor Kecamatan ini”.
“Wiwi ingin tanya. Di mana terjadinya pemerkosaan itu?”.
“Hmm, sudah terlambat jika kau menyesalinya juga. Kau telah mengambil pilihan sendiri, dan aku telah memutuskan”, gumam Juragan Danu dalam nada rendah. Lalu sambungnya: “Tetapi agar kau tahu betapa laknatnya kecintaanmu. Dia memperkosa anakku di ranggon kebun belakang tempat istirahatku. Bukankah itu juga penghinaan terhadapku?”.
“Satu lagi pertanyaan Wiwi. Pukul berapa kejadiannya?”.
Juragan Danu mendelik. Tetapi Pertiwi tidak melihatnya karena dia menunduk.
“Hmm, jadi kau bermaksud membelanya? Boleh, boleh. Perkosaan itu dilakukan setelah aku tidur. Kalau aku masih bangun, mana mungkin si laknat itu berani”.
“Seharusnya Ayah melihat kel....”.
“Aku bukan ayahmu lagi, kau dengar? Berapa kali aku harus memberitahukannya?”, tukas Juragan Danu sebelum Pertiwi menyelesaikan kata-katanya.
Pertiwi semakin menunduk mendapat kenyataan ayahnya benar-benar sudah memutuskan hubungan darah dengan dirinya. Karena itu dengan suara pilu Pertiwi merubah sebutan terhadap ayahnya.
“Baiklah Juragan”, kata Pertiwi dalam nada tangis, “menurut pendapat saya yang hina, dalam kasus ini ada kelemahannya. Bagaimana mungkin Den Angga yang rumahnya jauh dari sini dapat berada di kebun belakang Juragan pada malam larut? Bagaimana mungkin Mang Darma yang tengah melakukan perkosaan dapat memegang kayu pemukul sementara Den Angga yang hendak menolongnya tidak memegang apa-apa? Saya berharap, Juragan melakukan penelitian lebih seksama, sehingga sebagai pimpinan daerah, Juragan dapat menghukumi rakyat yang dipimpinnya dengan hukum yang adil”.
“Gadis ingusan! Berani benar kau mengajariku!”, bentak Juragan Danu. “He gadis! Dengar! Mustahil anak kesayanganku dan Angga yang berdarah biru akan berbohong. Karena itu pendapatmu tidak punya arti samasekali. Keputusan hukuman terhadap kekasihmu tidak akan dirobah lagi. Dan sekarang”, ujarnya pula dengan nada meninggi, “aku harap kau angkat kaki dari rumah ini. Aku haramkan kau menginjakkan kaki kaki lagi di rumah ini”.
Tidak ada lagi harapan Pertiwi untuk mengubah pendirian ayahnya. Dengan merangkak dia menghampiri Juragan Danu, bersujud dengan mencium kakinya. Tetapi Juragan Danu mengibaskannya, sehingga Pertiwi terguling. Pertiwi bangkit lagi dan merangkak menghampiri ibunya. Kembali dia bersujud. Tetapi Juragan Danu mendorongnya sampai tubuh Pertiwi terguling lagi.
Pertiwi bangun dengan susah-payah, dan berdiri dengan kaki genetar. Sejenak matanya memandang ibunya dengan tatapan redup. Kemudian berpaling kepada ayahnya.
“Wiwi mohon pamit”, ujarnya tanpa berani menyebut panggilan orangtuanya. Dengan terhuyung-huyung gais itu membalikkan tubuhnya, berlalu dengan kepala tunduk, meninggalkan rumah yang telah membesarkan dirinya selama 18 tahun, tanpa membawa apapun selain baju yang melekat di tubuhnya..
Pak Abdurrakhman yang berdiri disudut halaman kantor Kecamatan dan tengah memperhatikan deretan orang-orang di depan kantor dengan mengenakan pakaian petani, berpaling ketika matanya menangkap gerakan orang jauh di arah sampingnya. Dia terkejut ketika mengenali orang yang datang itu, yang tidak lain dari Pertiwi. Gadis itu melangkah dengan menundukkan kepala. Pakaiannya kusut masai dan di bagian bahu dan dadanya tampak bercak-bercak darah. Di wajahnya yang sembam juga berlepotan darah.
Melihat keadaan gadis itu Pak Abdurrakhman terpaku mematung. Dia mencoba membayangkan apa yang terjadi di dalam rumah Juragan Danu. Dalam pada itu Pertiwi telah sampai di hadapan Pak Abdurrakhman. Tetapi gadis itu tidak berhenti. Dia terus melewatinya menuju jalan besar dengan kepala tunduk.
“Wiwi!”, panggil Pak Abdurrakhman.
Pertiwi terus juga melangkah seperti tidak mendengar panggilan itu. Dua kali Pak Abdurrakhman memanggil nama gadis itu, tetapi Pertiwi tidak berpaling samasekali. Pak Abdurrakhman mengejarnya dan menangkap tangan si gadis, lalu dibawa ke sudut halaman dekat kandang kerbau.
“Wiwi!”, panggil Pak Abdurrakhman lagi sambil mengguncang bahu Pertiwi.
Pertiwi tersentak dan menengadahkan kepalanya. Sepasang matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba saja dia menutup wajahnya dengan sepasang tangannya dan menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Dari tenggorokannya terdengar isakan pilu. Pak Abdurrakhman berjongkok di sampingnya, tetapi dia tidak mengganggu gadis itu melepaskan perasaan yang menyesaki dadanya. Baru setelah isaknya mereda, Pak Abdurrakhman memegang kedua bahunya.
“Wiwi”, kata Pak Abdurrakhman dengan suara perlahan, “coba pandang Bapak”.
Pertiwi memandang Pak Abdurrakhman yang mengenakan baju petani dan memakai cetok.
“Kau kenal Bapak tidak?”, tanyanya.
Pertiwi mengangguk. “Pak Abdurrakhman”, sahutnya.
“Kau percaya kepada Bapak atau tidak?”.
Pertiwi mengangguk lagi.
“Kalau begitu ceritakan kepada Bapak, apa yang terjadi padamu?”.
“Ayah”, sahutnya pilu, “Ayah mengusir saya”.
“Ternyata dugaan Bapak benar”, kata Pak Abdurrakhman. Lalu, “kau tahu, kenapa Bapak menduga hal ini akan terjadi? Nak, apa yang terjadi padamu hari ini, telah terjadi pada Bapak beberapa puluh tahun yang lalu”.
“Bapak juga...?”, tanya Pertiwi dalam nada heran.
“Ya Nak. Nasibmu sama dengan nasib Bapak. Kau boleh tanyakan pada Ibu di Jakarta nanti. Karena itu tabahkan hatimu. Kau tidak sendiri”.
“Tetapi Wawan Pak”.
“Kenapa dengan Wawan?”, tanya Pak Abdurrakhman.
“Wanti dan Angga memfitnahnya. Dialah yang akan menjalani pengadilan rakyat sebentar lagi”.
“Apa? Wawan akan dihukum?”. Pak Abdurrakhman nampak terkejut lagi. Tetapi segera dia dapat mengatasi perasaannya. Untung Pertiwi tidak melihat perubahan wajahnya, karena gadis itu tengah menunduk. Kini dia tahu, apa yang disebut pengadilan rakyat itu. Namun meski hatinya bergetar hebat, untuk menenangkan perasaan gadis itu, dia berusaha sekuatnya menahan perasaannya.
“Sekarang bersihkan dulu wajahmu. Bapak kira sebentar lagi pengadilan akan dimulai. Nanti kita akan memikirkan bagaimana cara menolongnya”.

--0--


Sesungguhnyalah saat itu tubuh Darmawan yang terikat dengan wajah babak belur dan berlepotan darah, didorong dari dalam kantor ke luar pintu oleh salah seorang pegawai kecamatan. Dibelakangnya diikuti Juragan Danu, Purwanti, dan Raden Angga yang kepalanya penuh balutan. Darmawan berdiri dengan kepala tunduk di ujung dua deretan manusia yang berjajar dari depan pintu kantor hingga ke pinggir jalan raya. Deretan manusia itu berlapis-lapis memenuhi halaman pendopo.
Di tengah kerumunan terdapat Mang Sarju dan kawan-kawannya para tokoh kader Pemuda Rakyat, berbaur dengan para penonton. Dari kejauhan, di pojok halaman, Pak Abdurrakhman memperhatikan Darmawan dengan hati bergetar. Di sampingnya Pertiwi mengenakan cetok agar tidak menarik perhatian.
“Para hadirin rakyat kecamatan tercinta. Tadi malam keluargaku terkena musibah”, tiba-tiba terdengar suara Juragan Camat lantang, sehingga suara ribut hadirin menyirap. “Putriku yang hadir di sini, dengan kekerasan telah dinodai kegadisannya oleh orang yang berada dihadapan hadirin ini”.
Para penonton ribut, tetapi segera reda ketika Juragan Danu melanjutkan sesorahnya.
“Pemerkosa ini adalah kusir delman keluargaku. Perbuatannya tertangkap basah oleh anak muda di sisiku ini, yang masih keluarga kami sendiri meski agak jauh. Dia berusaha menolong puteriku. Tetapi si pemerkosa telah menyerangnya sehingga terjadi perkelahian, yang mengakibatkan penolong puteriku ini menderita luka-luka parah sebagaimana para hadirin lihat keadaannya”.
Kembali para hadirin ribut menanggapi keterangan itu, kebanyakannya menyumpahi si tertuduh. Juragan Camat menunggu sampai suara ribut menurun. Baru dia meneruskan lagi.
“Masih ada satu lagi perbuatan yang menghina martabatku. Secara diam-diam dia telah merayu anak gadis sulungku, sehingga terbius oleh kusir laknat itu menjadi kekasihnya...”.
“Hebaat!”.
“Bukan main!”.
Sebelum Juragan Camat selesai bicara, para hadirin ribut berteriak-teriak. Namun Mang Sarju memiliki tanggapan lain.
“Setan! Dialah orang misterius berbahaya itu”, desisnya, “pantas susah dicari dan selalu mengetahui setiap berurusan dengan gadis itu”.
“Benar. Tentu dia guru silat gadis itu”, sahut Bung Adam.
“Dia tidak boleh dibiarkan hidup. Cepat hubungi Bung Manaf supaya menyiapkan mobil. Begitu dia tiba di jalan, langsung bawa kabur ke tempat sunyi dan bunuh”, bisik Mang Sarju kepada Bung Yeye.
Tanpa disuruh dua kali, Bung Yeye menyelinap keluar dari kerumunan. Sementara kepada kawan-kawan lainnya Mang Sarju menyuruh menyebar.
“Dukung keputusan hukuman Camat untuk mempengaruhi penonton”, katanya, “kalau penonton ragu-ragu melaksanakannya, kalian harus memulai dan mendorong mereka, mengerti?”.
Semua kawannya mengangguk dan menyebar menyusup di antara kerumunan. Dalam pada itu Juragan Camat meneruskan lagi pembicaraannya.
“Kejadian malam tadi adalah perkembangan dari perbuatan puteri sulungku yang merendahkan martabat dirinya dan memberi hati kepada kusir laknat itu, sehingga jadi besar kepala. Dia menganggap keluargaku bisa dipermainkan dengan semena-mena. Bukankah sudah semestinya puteri sulungku mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya?”.
“Betul! Harus!”.
“Apa hukumannya?!”, teriak lantang seseorang.
“Aku telah mengusir dia! Dia bukan anakku lagi!”, sahut Juragan Camat.
“Keputusan yang tepat!”.
“Setuju! Betul sekali!”.
Suara itu muncul di sana-sini, dan penonton lainnya banyak yang terpengaruh, turut berteriak.
“Terimakasih. Para hadirin telah menyetujui tindakanku, sebagai tanda bahwa tindakanku adalah benar menurut penilaian umum”.
“Camat bodoh”, desis Mang Sarju.
“Sekarang hukuman untuk si pemerkosa. Dosanya bertumpuk. Dia telah menghina dan menginjak-injak martabatku dan keluargaku. Dia telah mencemarkan kehormatan anakku dan aku sebagai pemimpin di sini. Agama juga menyatakan, perbuatan itu dosa yang sangat besar. Karena itu, aku yang telah dirugikan olehnya dengan semena-mena, menuntut salah satu jenis hukuman dari tradisi agama, yaitu hukum picis, dilempari dengan batu. Bukankah tuntutan hukuman itu adil?!”.
“Sangat Adil!”.
“Ya, lempari dengan batu sampai mati!”.
“Sampai mati!”.
Pertiwi memegang tangan Pak Abdurrakhman dengan erat. “Bapak”, keluhnya dan air matanya menitiki pipinya. Pak Abdurrakhman menggenggam bahu Pertiwi dengan gemetar. Dalam pada itu Juragan Camat masih meneruskan bicaranya.
“Terimakasih atas persetujuan para hadirin. Walaupun begitu aku masih punya kebijaksanaan. Aku akan memberi kesempatan kepada si pendosa. Dia diberi kesempatan untuk menempuh jarak dari sini ke pinggir jalan besar dengan berjalan kaki dalam hujan batu. Jika sampai di pinggir jalan masih mampu bertahan, maka dia telah terbebas dari hukuman, dan bebas pergi”.
“Mudah-mudahan Wawan mampu bertahan sampai di jalan Wiwi. Kita berdoa untuk dia”, bisik Pak Abdurrakhman.
“Ya Bapak”.
Pak Abdurrakhman mengeluarkan walky-talkynya. Dia memperhitungkan jarak itu akan dapat ditempuh Darmawan dalam waktu lima hingga sepuluh menit. Maka dia membuka hubungan.
“Halo Kumbang di sini Kijang. Kijang memanggil Kumbang. Ganti”.
“Kumbang mendengar, Kumbang mendengar. Ganti”.
“Minta mobil pengankut terhukum di depan Kecamatan. Dia informan kita. Harap diangkut ke pos pertolongan pertama. Ganti”.
“Angkutan segera dikirim. Tiba dalam seperempat jam. Ganti”.
“Terimakasih atas bantuannya. Selesai”.
Dalam pada itu di halaman Kecamatan orang-orang mengumpulkan batu yang memang banyak menebar di sana. Juragan Camat bersesorah lagi.
“Nah, kepada si terhukum. Aku memberi kesempatan untuk menyampaikan pesan terakhirnya sebelum hukuman dijatuhkan”.
Darmawan yang sejak tadi tertunduk, tiba-tiba mengangkat kepala. Lalu berkata lantang.
“Kepada Juragan Camat yang pintu rumahnya bertanda silang, dan kepada siapa saja yang pintu rumahnya bertanda silang. Sejak malam turun nanti harap bersiaga karena akan datang bahaya besar. Itulah pesan terakhir saya Juragan. Harap diperhatikan. Sekarang saya telah siap menjalani hukuman”.
“Buka ikatannya”, kata Juragan Camat.
Sejenak kemudian ikatan itu telah terbuka.
“Hukuman dimulai!”, teriak Juragan Camat.
Pada mulanya para penonton ragu-ragu. Tetapi kawan-kawan Mang Sarju terus mempengaruhi dengan teriakan sambil melempari Darmawan dengan batu. Akhirnya hujan batu pun menimpa seluruh tubuh Darmawan dari kiri-kanan-depannya. Darmawan terus melangkah melintasi barisan penghukum.
“Setan orang itu. Dia telah membuka rahasia kita”, rutuk Mang Sarju kepada Bung Adam. Lalu, “penyelesaian Camat harus dimajukan dari waktu yang ditetapkan”.
Di sudut halaman Pak Abdurrakhman memegang bahu Pertiwi dan berbisik: “Kau harus bangga kepada pacarmu. Dalam ancaman maut, hatinya masih bersih dari dendam terhadap Juragan Camat. Bahkan masih memikirkan keselamatan hakim penghukumnya dan orang-orang lainnya”.
Pertiwi mengangguk. Sejenak dia memperhatikan langkah-langkah Darmawan yang mulai sendat. Cairan merah sudah membasahi kepala, wajah, tubuh, dan pakaiannya.
“Wiwi akan mendekat Bapak”, kata Pertiwi.
“Mari”, ajak Pak Abdurrakhman menyetujui, dan mereka berjalan memasuki halaman.
Ketika mencapai setengah jarak ke jalan besar, tubuh Darmawan mulai limbung. Tetapi dia terus memaksakan diri. Ketika tubuhnya jatuh, Pertiwi menerobos kerumunan. Dia melihat Darmawan merangkak dengan susah payah. Pertiwi meloncat ke tengah hujan batu, menarik bangkit tubuh anak muda itu, melingkarkan sebelah tangannya ke bahunya dan dipapah menuju jalan. Untunglah Pertiwi mengenakan cetok, sehingga wajah dan kepalanya tidak banyak terhantam batu meski ada satu dua yang mengenainya. Tetapi tubuhnya menjadi sasaran yang tidak bisa dielakkan. Dalam waktu sebentar saja, hampir seluruh bajunya telah memerah.
Ketika kakinya sudah tidak dapat menahan berat tubuhnya yang dibebani tubuh Darmawan, hujan batu pun mereda, dan kedua tubuh mereka jatuh terguling di pinggir jalan besar. Pak Abdurrakhman berjongkok melepaskan tangan Darmawan yang melingkari leher Pertiwi, sehingga gadis itu dapat duduk. Mereka menunggui tubuh Darmawan yang terbaring lemah berlumuran darah.
Sebuah pick-up terbuka berhenti. Dua orang berpakaian tentara yang duduk di bak belakang melompat turun. Mereka mengangkat tubuh Darmawan dan dibaringkan di bak pick-up. Sejenak kemudian pick-up itupun berlalu. Pak Abdurrakhman membimbing Pertiwi agar berdiri. Mereka baru selangkah hendak menuju ke mobilnya yang diparkir di sudut alun-alun, ketika sebuah Jeep terbuka berhenti di samping mereka. Prajurit yang duduk di samping supir dan di belakang meloncat turun.
“Mana yang harus kami bawa ke pos Pak?”, tanya salah seorang di antara mereka.
“He, kalian dari Pos?”, tanya Pak Abdurrakhman dengan kaget, “cepat kejar pick-up itu, dia dibawa oleh penculik. Tangkap mereka”.
“Siap Pak”, sahutnya sambil berloncatan ke Jeepnya lagi. dan supirnya langsung menekan gas.
“Kita kecolongan Wiwi”, ujar Pak Abdurrakhman sambil menarik tangan Pertiwi. Mereka berlari ke mobilnya yang berada tidak jauh di sudut alun-alun.
Tidak lebih dari dua menit, Pak Abdurrakhman dan Pertiwi telah meluncur dalam Impalanya mengejar kedua mobil yang sudah pergi lebih dulu. Mereka masih sempat melihat Jeep yang mengejar Pick-up itu membelok ke jalan di pinggir sungai. Jeep yang mengejar Pick-up itu sudah jauh dan hampir dapat mengejar buruannya.
Sebuah ledakan senjata sayup-sayup membuat pick-up berhenti, dan dua orang di bak belakang mengangkat tangan. Prajurit yang duduk di samping supir Jeep meloncat turun sambil menodongkan pistol pada supir Pick-up itu. Pak Abdurrakhman menghentikan mobilnya di belakang Jeep.Dia melihat prajurit itu menampari para penculik beberapa kali.
“Ampun Pak, ampuuun!”, teriak mereka.
“Jahanam, di mana dia?”, tanya prajurit itu.
“Sumpah Pak, tadi dia meloncat ke sungai”, sahut salah seorang yang duduk di belakang Pick-up.
Prajurit itu menghantam kepalanya dengan gagang pistol, sehingga orang itu memekik.
“Demi Tuhan, Pak. Dia tiba-tiba berdiri lalu melocat ke sungai”, kata kawannya.
“Demi Tuhan apa? Bukankah kamu tidak percaya kepada Tuhan?”, bentak si prajurit.
“Ampuuun Pak”.
Pak Abdurrakhman dan Pertiwi turun dari mobil. Mereka menghampiri para penculik. Mata Pak Abdurrakhman menatap salah seorang dari mereka dengan pandangan mengancam, sehingga orang itu menunduk. Tetapi Pak Abdurrakhman menekan rahangnya ditengadahkan kembali.
“Katakan, kau apakan dia?”, tanyanya dengan suara halus.
Tiba-tiba saja orang itu menjatuhkan diri berlutut.
“Sumpah Pak. Ampuuun. Dia tiba-tiba berdiri dan terjun ke sungai”, katanya sambil menangis.
“Hmm, ikat mereka dan bawa ke Pos. Kami akan mencoba mencarinya dulu. Sekalian bawa mobil mereka”, kata Pak Abdurrakhman.
“Siap Pak. Laksanakan”.
Ketiga orang penculik itu diikat disatukan, lalu dimasukkan ke dalam Jeep, diawasi seorang prajurit. Prajurit yang seorang lagi mengemudikan Pick-up.
“Bapak kira mereka tidak berbohong”, ujar Pak Abdurrakhman kepada Pertiwi. Lalu, “sebagai orang yang biasa berlatih, Wawan punya ketahanan tubuh yang lebih dari orang kebanyakan. Mari kita coba mencarinya”.
Mereka naik lagi ke dalam mobil. Pak Abdurrakhman membalikkan mobilnya dan menjalankan dengan perlahan-lahan. Berkali-kali dia turun memeriksa pinggiran sungai yang terhalang semak-semak. Sampai tiga kali mereka bolak-balik. Namun hingga senja tiba, jejak Darmawan tidak ditemukan.
Akhirnya dengan lesu mereka menghentikan usaha pencarian itu. Ketika mereka meninggalkan sungai, langit di ufuk barat tampak memerah, seolah memberi tanda, pada malam itu tanah akan bersimbah darah.

Selesai Dimensi 1 dilanjutkan ke dimensi 2 Wajah-WAJAH









































.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar